Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sepulang dari studi di Amerika, Ismid Hadad bekerja di Redecon dan Indoconsult.
Pengalaman bekerja di perusahaan jasa konsultasi manajemen membuat Ismid bisa menerapkan good governance di berbagai LSM.
Ismid Hadad dan Emil Salim mendirikan Kehati.
SEBELUM menjadi pegiat lingkungan dan mengembangkan filantropi, saya bekerja di PT Resource Development Consultants (PT Redecon) sejak 1983. Saya bergabung dengan perusahaan jasa konsultasi manajemen pembangunan yang didirikan Sumitro Djojohadikusumo itu sepulang studi di Woodrow Wilson School of Public and International Affairs, Princeton University, lalu mendapat gelar master administrasi publik (MPA) dari John F. Kennedy School of Government, Harvard University, Amerika Serikat. Sampai Tanah Air, saya berpikir masak harus balik lagi mengurus lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya ingin menekuni jalur lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu Redecon baru mendapat proyek overseas fellowship program (OFP) yang didanai Bank Dunia. OFP adalah program beasiswa pendidikan bagi pimpinan dan personel Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta lembaga non-departemen lain untuk belajar sains dan teknologi di 17 negara. Sebagai project officer, saya bisa mengatasi hambatan dalam program itu. Redecon terus berkembang dan karier saya terus naik, seperti menjabat managing director hingga presiden direktur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumitro juga mengajak saya bergabung dengan perusahaan konsultan manajemen ekonomi-keuangan yang ia dirikan, PT Indoconsult. Saya dipercaya menjadi direktur utama pada 1994-1999. Pengalaman di Redecon dan Indoconsult memberi saya kesempatan mengembangkan ilmu dan profesi baru, yaitu jasa konsultasi untuk kepentingan publik.
Saat itu saya melihat yang berkembang hanya kekuatan pemerintah. Dewan Perwakilan Rakyat cuma menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Di sisi lain, masyarakat sipil tidak berkembang. Swasta berperan membangun masyarakat hanya melalui corporate social responsibility (CSR), meski program itu sebetulnya hanya untuk promosi badan usaha.
Dari situlah saya mengembangkan filantropi yang berkelanjutan. Saya melihat kelemahan filantropi di Indonesia saat itu adalah hanya dilakukan oleh swasta yang sudah mapan, tapi tetap berujung pada pengembangan bisnis badan usaha tersebut. Kedermawanan juga hanya dilakukan oleh mereka yang sudah kaya. Filantropi menjadi terbatas sekali dan tidak bisa menjadi kekuatan untuk mengembangkan masyarakat bawah.
Kendala lain adalah tidak berjalan dan terorganisasinya filantropi komunitas. Padahal banyak sekali komunitas di kalangan bawah yang bergotong-royong dan membuat program desa yang bagus. Hambatan lain adalah pengenaan pajak pada filantropi. Di negara-negara maju seperti di Eropa, filantropi bisa berkembang karena ada insentif pajak.
Ismid Hadad (kanan) bersama Sumitro Djojohadikusumo di salah satu acara PT Redecon di Jakarta, sekitar 1985/Dokumentasi Ismid Hadad
Saya pun mulai membentuk beragam filantropi dalam kelompok. Misalnya filantropi perusahaan, keluarga, hingga media massa. Salah satu lembaga filantropi yang saya dirikan bersama sejumlah kawan adalah Perhimpunan Filantropi Indonesia.
Pengalaman bekerja di Redecon dan Indoconsult membuat sejumlah LSM yang saya turut dirikan bisa menerapkan good governance dan pengelolaan dana dengan baik. Salah satunya Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati). Saya bersama Emil Salim mendirikannya pada 12 Januari 1995.
Gagasan pembentukan LSM yang bertugas mengembangkan keanekaragaman hayati itu muncul menjelang Emil pensiun sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Pada 1992, dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, Presiden Amerika George Bush Senior tidak bisa menandatangani konvensi tentang keanekaragaman hayati. Emil menolak keras sikap Amerika Serikat itu.
Presiden Bush lalu menawari bantuan proyek dan program. Namun Emil menolak karena mengurus lingkungan adalah pekerjaan besar dan seumur hidup, bukan proyek satu-dua tahun atau program lima-sepuluh tahun. Dari situ keluar ide, dia mau dana abadi, endowment fund. Presiden Bush lalu mengucurkan dana bantuan untuk pelestarian keanekaragaman hayati sebesar US$ 16,5 juta. Kehati mengelola dana hibah itu.
Pengalaman saya saat mendirikan dan mengelola LP3ES, yakni tidak boleh bergantung sepenuhnya hanya pada donor, juga diterapkan di Kehati. Kami gunakan dana bantuan itu untuk memperbaiki lingkungan dan membangun kapasitas serta kemandirian mitra di lapangan. Sekarang semua lembaga donor ingin menyalurkan dana bantuan kepada Kehati, tapi Kehati bisa menyeleksi donatur. Yayasan itu tetap eksis dan telah berusia 27 tahun.
NURDIN KALIM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo