Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ismid Hadad ikut mendirikan LP3ES pada 1971.
LP3ES dibentuk dengan ide dasar sebagai lembaga think tank.
Ismid dan kawan-kawan membentuk organisasi payung, Bineksos, dengan memasukkan nama-nama besar.
PERBINCANGAN dengan Abdurrahman Wahid pada 1972 itu berlangsung cukup panjang. Saat itu Gus Dur—panggilan akrab Abdurrahman Wahid—telah menetap di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, sepulang dari studinya di Bagdad, Irak. Baru sekitar satu tahun mengajar di Jombang, Gus Dur mulai sering datang ke Jakarta, di antaranya mampir dan mengobrol di kantor Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jalan Jambu, Menteng, Jakarta Pusat. Ketika itu, saya sudah menjadi bagian dari pemimpin LP3ES.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu hari dia datang dan berbicara di kamar kerja saya. Tidak seperti orang lain, saya tidak pernah menyebutnya “Gus”. Sebagai sesama orang Jawa Timur, saya menyapanya dengan panggilan “Cak”. Adapun Gus Dur memanggil saya “Yid”—dari kata Sayid. Di kantor LP3ES itu, Gus Dur berujar, “Yid, aku iki entasno pok'o seko Jombang (Saya mohon dientas dari Jombang).”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendapati permintaan itu, saya balik bertanya, “Buat apa, Cak?”
Ia melontarkan jawaban yang membuat saya cukup terkejut. “Yo pengen kumpul karo konco-konco sampeyan sing pinter-pinter iku lho (Ya, ingin berkenalan dengan teman-temanmu yang pintar-pintar itu).”
Gus Dur lantas menyebutkan sederet nama, seperti Soedjatmoko, Sumitro Djojohadikusumo, Selo Soemardjan, dan Emil Salim. “Aku iki wong ndeso, ya mau belajar dari mereka.”
Begitu serius keinginannya itu, Gus Dur sampai mengatakan, jika diperlukan, ia akan menetap dan bekerja di Jakarta, tepatnya di LP3ES. Saya sempat bingung dengan ucapannya. “Sampeyan arep nyambut gawe opo, Cak (Kamu mau kerja apa)?” tanya saya yang langsung disahut oleh Gus Dur. “Sak karepe sampeyan (Terserah kamu).”
Singkat cerita, saya setuju menerima Gus Dur untuk bergabung dengan LP3ES. Saya memberinya sebuah meja kerja tepat di sebelah meja saya, di sebuah ruangan berisi tiga-empat orang. Dia juga mendapat mesin tik yang terpasang di dekat telepon. Selesai pemasangan meja kerja dan mesin tik itu, Gus Dur bertanya, “Aku ngapain?” Saya menjawabnya, “Sak karepe sampeyan.” Hari-hari pertama Gus Dur berkantor di LP3ES dihabiskannya untuk mengetik.
Ihwal keinginannya berkenalan dengan tokoh-tokoh penting, saya hanya sempat mengantar dan memperkenalkan Gus Dur dengan Soedjatmoko dan Emil Salim. Ternyata hubungan Gus Dur dengan Soedjatmoko yang berjalan lebih intens dan akrab sekali. Soedjatmoko pernah menyampaikan terima kasih kepada saya karena, dari perkenalan dan interaksinya dengan Gus Dur, dia justru lebih banyak belajar. Bukan sebaliknya.
Dari beberapa kali diskusi Soedjatmoko dengan Gus Dur dan teman-teman di LP3ES, kami melahirkan program pengembangan masyarakat melalui pondok pesantren. Program itu dirintis oleh LP3ES bersama Gus Dur dan banyak pemimpin pesantren di Jawa dan luar Pulau Jawa. Program itu lantas menjadi “model pembangunan masyarakat dari bawah” yang banyak membawa dampak positif bagi lembaga pesantren ataupun komunitas dan lingkungan desa-desa sekitarnya.
Suasana kantor Majalah Prisma dan LP3ES, Jakarta, 2009/Dok.TEMPO/Novi Kartika
Rupanya, kesibukan Gus Dur pada hari-hari pertamanya berkantor di LP3ES adalah mengetik concept note. Isinya tentang kerja sama LP3ES dengan pesantren. Saya bilang menarik konsepnya. Pikiran Gus Dur sebenarnya sama dengan saya. Konsep saya, LP3ES bukan sebagai institusi atau lembaga formal, tapi suatu gerakan dari bawah. Ide dasar dari konsep Gus Dur seperti itu juga, yakni bagaimana membuat pesantren sebagai wahana dalam bentuk gerakan masyarakat dari bawah untuk ikut dalam proses pembangunan.
Program untuk tiap pesantren tidak sama. Masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan masalah yang dihadapi pesantren itu. Pondok Pesantren Pabelan di Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, misalnya, tingkat kemiskinan warga sekitarnya tinggi. Angka buta hurufnya juga tinggi. Kami lantas membuat program-program yang sifatnya pelatihan. Program itu tidak hanya berorientasi pada ilmu atau pengetahuan yang bisa diperoleh masyarakat, tapi juga dapat menghasilkan secara ekonomi. Tidak hanya bermanfaat untuk peserta atau pekerjanya sendiri, tapi juga bagi pesantrennya.
Kami juga membuat program yang bisa memperbaiki lingkungan sekitar pesantren. Pondok Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur, termasuk yang mendapatkan penghargaan Kalpataru. Kisah mereka dimulai dengan kesulitan air karena bukit di atas pesantren itu gundul. Para santri dan warga desa menghijaukan bukit sampai keluar air lagi. Jadi, selain gerakan memperbaiki lingkungan, kegiatan itu bisa menghasilkan dan menggerakkan ekonomi, baik untuk pesantren itu sendiri maupun masyarakat desa sekitarnya. Sesederhana itu. Tapi inisiatifnya dari bawah, dari masyarakat itu sendiri.
•••
ISMID Hadad membentuk Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial atau LP3ES pada 19 Agustus 1971. Ia adalah satu dari enam nama yang berperan penting sebagai perintis, pendiri, pendukung, pelindung, dan khususnya pengembang lembaga itu dalam satu dasawarsa pertama. Lima tokoh lain adalah Nono Anwar Makarim, Sumitro Djojohadikusumo, Emil Salim, Satrio Boedihardjo Joedono, dan Dieter G. Wilke.
LP3ES dilahirkan oleh Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Sosial dan Ekonomi (Bineksos), asosiasi para cendekiawan bersifat nirlaba dan berbadan hukum perhimpunan yang bekerja sama dengan Yayasan Friedrich Naumann (Friedrich-Naumann Stiftung atau FNS) dari Jerman Barat. LP3ES awalnya bagian dari Bineksos yang berfungsi sebagai lembaga pelaksana program dan kegiatan perhimpunan tersebut. Tapi kemudian LP3ES menjadi organisasi otonom yang juga berbadan hukum perhimpunan.
LP3ES lahir tak lama setelah rezim Orde Baru menjalankan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama. Saat itu pembangunan nasional dilaksanakan dengan prinsip “stabilitas politik untuk pembangunan ekonomi”. Pembangunan ditandai dengan pola pertumbuhan ekonomi tinggi yang dipacu oleh pinjaman luar negeri dan mulai masuknya modal asing. Peran sektor swasta dan sistem ekonomi pasar dikendalikan “dari atas”.
Kebijakan dan sistem pembangunan itu rupanya menimbulkan banyak dampak sosial-ekonomi yang negatif, antara lain berupa meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran, melebarnya jurang kaya-miskin, masalah kepincangan dan konflik sosial, serta kesenjangan pembangunan antardaerah. Dengan latar kondisi bangsa seperti itulah Bineksos dan LP3ES didirikan.
•••
PADA masa rezim Demokrasi Terpimpin, para aktivis 1966, yaitu mahasiswa, dosen muda, dan lembaga swadaya masyarakat, mengalami masa sulit dan serba tertekan akibat buruknya kondisi ekonomi-sosial-politik. Peralihan kekuasaan ke tangan Orde Baru ternyata sama saja. Kami mulai merasakan benih-benih otoritarianisme rezim militer. Periode bulan madu mahasiswa-militer, yang pernah kami rasakan saat melawan rezim Orde Lama, usai sudah pada awal 1970-an.
Sejak LP3ES lahir, rezim Orde Baru selalu menjaga stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi dengan model represif. Tentara bertindak keras. Pukul sana, pukul sini. Hantam sana, hantam sini. Kegiatan LSM kian terbatas karena diawasi sangat ketat. Ruang partisipasi masyarakat sipil dibatasi hanya yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, termasuk di bidang penelitian, pendidikan, komunikasi, dan penyebaran informasi ke publik.
Tapi, karena Soeharto menginginkan pertumbuhan ekonomi, militer bersikap lembek terhadap para ekonom karena keberadaan mereka masih dibutuhkan oleh penguasa. Selain kepada tokoh militer dan politikus partai, rezim Orde Baru masih mempercayai dan memberikan ruang bersuara yang lebih leluasa kepada kaum teknokrat ekonomi. Sebagian kalangan menyebut mereka “mafia Berkeley”, sebutan yang sebenarnya tidak sopan karena mereka bukan mafia.
Mengetahui bahwa tim “mafia Berkeley” menjadi andalan Pak Harto, saya dan Nono memanfaatkannya. Kuncinya di susunan organisasi. Kami membuat LP3ES dengan ide dasar sebagai lembaga think tank. Kami ingin punya pusat pemikiran supaya masyarakat bisa berpikir, nalarnya jalan, kritis, lah. Tapi untuk itu kami butuh kebebasan bergerak. Karena itulah kami membikin organisasi payung, organisasi tameng, namanya Bineksos.
Saya memasukkan semua nama besar, para ahli ekonomi dan sosial, sebagai anggota Bineksos. Ada Emil Salim, Sumitro Djojohadikusumo, Ali Wardhana, J.B. Sumarlin, Selo Soemardjan, Koentjaraningrat, Adam Malik, bahkan Ali Sadikin. Mereka adalah gincunya. Mereka bersedia namanya dipajang karena kebetulan semuanya berteman dengan saya. Dulu, sewaktu saya aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), mereka menjadi partner dalam pergerakan. Emil Salim dulu tetangga saya dan menjadi kolumnis di Harian KAMI. Mereka tidak mempersoalkan nama mereka dipakai. Kami menjanjikan mereka tidak usah bekerja, cukup hadir minimal dua-tiga kali di rapat umum anggota dalam satu tahun.
Selain nama-nama besar itu, terdapat lapisan kedua, yaitu nama-nama aktivis. Ada Nono Anwar Makarim, Goenawan Mohamad, Satrio Boedihardjo (Billy) Joedono, dan Arief Budiman. Saya memasukkan semua nama aktivis angkatan 1966. Fungsi mereka adalah melindungi dan menyediakan basis dukungan sosial-politik untuk LP3ES. Resep ini terbukti mujarab. LP3ES bisa bekerja dengan aman tanpa gangguan dalam satu dasawarsa pertama hingga 1980.
Sebagai antitesis pola pembangunan Orde Baru yang bersifat top-down, teknokratis, dan berorientasi pertumbuhan, kami melaksanakan program-program berbasis akar rumput. Kami menggarap bidang-bidang yang memperkuat masyarakat sipil. Programnya antara lain pengembangan pondok pesantren, industri kecil dan kerajinan rakyat, serta irigasi tersier di perdesaan. Semua menggerakkan kekuatan dari bawah. Pola itu yang saya lakukan dalam satu dasawarsa pertama sebagai Direktur LP3ES dan berlanjut sampai lima-enam tahun kemudian.
•••
DI bidang penerangan—karena waktu itu belum banyak dikenal istilah penerbitan ataupun komunikasi—saya berinisiatif membikin penerbitan majalah Prisma pada 1971. Saya merancang Prisma sebagai jurnal ilmiah. Karena labelnya “jurnal ilmiah”, saya mengasumsikan komunitas intelijen, birokrat, dan aparat keamanan tidak akan tertarik karena enggak mudeng (paham) terhadap isinya. Dengan begitu, Prisma bisa terbebas dari ancaman bredel rezim Soeharto.
Sampai hampir dua tahun pertama, pengelolaan redaksi Prisma praktis saya lakukan seorang diri. Tapi, mulai 1974 hingga delapan tahun kemudian, meskipun saya menjabat pemimpin redaksi, keberadaan Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae, dan Dawam Rahardjo banyak mewarnai nada suara redaksi serta isi tulisan Prisma. Prisma menjelma menjadi jurnal pemikiran sosial-ekonomi yang fenomenal dan berpengaruh karena disajikan secara populer. Prisma juga menyuguhkan pikiran-pikiran alternatif dan kreatif tentang pembangunan.
Saya sangat terkesan oleh perencanaan edisi pertama Prisma yang disiapkan sejak pertengahan 1970. Saat itu penulis tinjauan perdananya adalah Soedjatmoko. Saya mengenal Soedjatmoko sebelum kelahiran LP3ES dan Prisma, yaitu dari hubungan akrab dia dengan paman saya, Hamid Algadri, sebagai sesama sahabat Sutan Sjahrir dan keluarga besar Partai Sosialis Indonesia.
Kantor redaksi Majalah Prisma, Jakarta, pada 2009/Dok.TEMPO/Novi Kartika
Om Koko—begitu saya memanggilnya—awalnya tak begitu mengenal saya yang waktu itu masih mahasiswa ingusan dan baru masuk perguruan tinggi. Tapi saya termasuk rajin dan banyak membaca karya tulisnya, juga beberapa bukunya dalam bahasa Inggris. Saya mengenal Om Koko secara langsung saat baru bergabung dengan LP3ES dan memiliki gagasan menerbitkan Prisma.
Saya memberanikan diri untuk agak sering datang ke rumahnya di Jalan Tanjung, Menteng, Jakarta Pusat, dan bertanya tentang peran lembaga think tank dan publikasi ilmiah bidang sosial-ekonomi. Ketika itu saya juga sedang menyiapkan diri untuk mengikuti beasiswa kuliah di Amerika Serikat serta meninjau “dapur-dapur penerbitan ilmiah” di kampus Harvard, Princeton, Massachusetts Institute of Technology, dan Yale. Saat menjabat duta besar di Washington, DC, 1968-1971, Om Koko juga banyak memberi saya buku, makalah, dan teks ceramahnya di berbagai forum dan kampus di Negeri Abang Sam.
Saya ingat betul sewaktu menyiapkan edisi perdana Prisma itu. Karena sangat tertarik pada pidato Soedjatmoko, yang mengulas faktor-faktor non-ekonomi dalam pembangunan Orde Baru, saya bertanya untuk mendapatkan teksnya. Dari Amerika, naskah itu dikirimkan kepada saya. Setelah saya baca dua-tiga kali, saya enggak mudeng. Kalimatnya bahasa Inggris, ditulis panjang hingga beranak-cucu, koma dan titiknya tidak jelas. Konstruksinya seperti bahasa Belanda.
Saya gatal membaca tulisannya. Berbekal keahlian dan pengalaman menyunting naskah, saya memberanikan diri mengedit tulisan Soedjatmoko. Saya ringkas, dari semula 29 halaman menjadi 14 halaman. Begitu rampung, saya serahkan kembali kepada Om Koko, yang saat itu sudah kembali dari Washington. Dia membacanya, lantas berkomentar, “Ismid, ini apa-apaan? Ini bukan tulisan saya.” Saya bilang, “Iya, Pak, saya memang sedikit edit. Maksudnya biar bisa dibaca.” Soedjatmoko melanjutkan, “Sedikit?” Dia marah sekali. Saya mengatakan kepadanya bahwa tulisannya tidak akan dimuat di Prisma jika dia marah. Saya kemudian pulang.
Dua hari kemudian saya dipanggil ke rumahnya. Dia sudah tidak menjadi duta besar lagi. Rupanya, dalam kurun beberapa hari itu dia membaca lagi editan saya. “Ismid, ini you sendiri yang bikin?” kata Om Koko. “Ya iyalah, Pak, saya yang minta, ya saya sendiri yang ngerjain.” Dia bilang, “Not so bad.” Saya kaget. Sebab, tadinya dia marah. Saya membalas, “Kalau ada yang bisa diperbaiki, ya saya perbaiki lagi, Pak.” Lalu dia memberikan coretan-coretan koreksi. Setelah penyuntingan bolak-balik sebanyak dua-tiga kali, baru dia mengizinkan saya menerbitkan tulisan itu.
Pemuatan tulisannya di edisi perdana Prisma itu ternyata berdampak positif bagi Soedjatmoko. Dia mempercayakan saya untuk menyunting naskah-naskah yang akan disampaikannya di berbagai forum. Sejak itu, kami berteman. Hubungan kami berjalan timbal-balik. Saya memberikan masukan tentang teknis penulisan. Pada saat bersamaan, saya banyak belajar substansi dari dia. Kami saling mempengaruhi. Interaksi seperti ini juga saya alami dengan Selo Soemardjan dan tokoh-tokoh besar lain yang langganan menjadi penulis di jurnal Prisma.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo