TUBUHNYA yang tinggi besar boleh saja mengingatkan orang akan
tokoh wayang Gatotkaca. Sawito Kartowibowo masuk ruangan sidang
dikawal oleh para petugas Kejaksaan. Langkahnya mantap, senyum
banyak tersungging di bibirnya. Rambutnya yang sedikit keriting,
tersisir rapi, begitu pula jas lengkap warna coklat kekuningan,
biarpun potongannya tergolong agak kuno. Perkara Sawito
disidangkan untuk pertama kali Kamis 6 Oktober lalu, di Gedung
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jl. Gajai Mada. Sawito ditahan
14 September tahun lalu bersama tiga orang lainnya: Mr. Sudjono,
drs. Singgih BBA dan Karnarajasa.
Tidak berapa lama Hakim Ketua HM Soemadijono masuk diiringi
Anggotaanggota Anton Abdulrachman dan JZ Loudoe. Tidak seperti
lazimnya, protokol tidak menyilakan hadirin berdiri. Palu
diketukkan tiga kali dan tanyajawab tentang identitas terdakwa
dilakukan. Dengan suara mantap terdakwa berkata: "Sawito
Kartowibowo" -- lahir di Blitar 45 tahun lalu, bekas karyawan
Departemen Pertanian.
Ketika menginjak soal siapa pembela terdakwa, Sawito mengatakan
5 orang dan Yap Thiam Hien SH sebagai koordinator. "Masak
Pradin sampai lima. Tunjuk yang gembong-gembong saja," kata
Soemadijono. Lima Yuris itu adaIah Yap, Soenarto Soerodibroto.
A. Tamrella, Abdulrachman Saleh dan Nrbani Yusuf.
Agar persidangan lancar, Soemadijono mengatakan kepada Sawito
bahwa dua orang saja sudah cukup, tidak perlu lima. Karena
kurang jelas akan peraturannya. Sawito bertanya: apa
untukpembela ada pembatasan jumlah? "Ada. .Dalam Undang-Undang
pembela seorang saja," kata Soemadijono. "Tapi karena
kebijaksanaan kami, bolehlah dua orang saja." (Ketika Hariman
Siregar diadili beberapa waktu yang lalu. ia memakai empat orang
pembela). Sawito tetap pada kemauannya. 'Kok pakai koordinator
segala, kayak komandan," sahut Soemadijono lagi. Dia tetap
menyarankan dua orang, antara lain Soenarto. "Dia itu
gembongnya. Yang lain-lain kecil saja. Nurbani Yusuf, itu kecil
saja," kata Soemadijono.
Untuk menentukan pilihan, Sawito minta waktu untuk berkonsultasi
dengan Yap. Soemadijono menjawab: "Itu nanti saja. Pokoknya
tunjuk dulu siapa. Pengadilan memegang prinsip terdakwa tidak
akan dirugikan dalam pembelaan." Dengan tersenyum, Sawito mulai
menuruti kehendak hakim. Katanya: "Kalau saya disuruh memilih .
. . ", belum selesai Sawito berkata, Soemadijono sudah
menimpali dengan menyebut naina-nama: Yap Thiam Hien dan
Soenarto.
Sawito mencoba menerangkan bahwa dia belum pernah bertemu dengan
calon pembelanya. "ltu.nanti. Ada upacara-upacaranya," ujar
Soemadijono. "Pembela yang menghubungi saudara, bukan saudara
yang menghubungi pembela. Saudara 'kan ditahan."
Sebelumnya, Hakim Ketua pernah menerima fotokopi sllrat kuasa
Sawito kepada Yap. Cara fotokopi ini dianggap oleh Hakim tidak
memenuhi syarat sementara menurut Yap, bahkan pemberitahuan
dengan lisan saja sbenarnya sudah cukup. Soal surat kuasa ini
kabarnya jadi salah satu topik pembicaraan Kongres Peradin di
Yogya, bersamaan waktunya sidang pertama Sawito dibuka.
Untuk memberi kesempatan Sawito mempelajari tuduhan dan bertemu
dengan para pembelanya, Hakim Ketua menunda sidang tiga minggu
kemudian. Sidang yang cuma membicarakan soal identitas dan
pembela ini cuma berlangsung 13 menit. Pengunjung banyak yang
tidak mendapat tempat duduk. Tidak lampak teman dekat atau
isteri Sawito. Cuma seorang --mungkin kakaknya yang Sawito kenal
dari sekian banyak pengunjung. Waktu diumumkan penundaan sidang,
hadirin berseru bersama-sama: Hoooo !"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini