Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

Sejak muda tokoh nonkooperatif

Riwayat hidup teuku moehammad hasan,mulai dari pendidikan dasar, kws, ams, belajar di belanda hingga menjadi gubernur di provinsi sumatera. sebagai anggota ppki ia menjadi penengah dalam penyusunan uud 45.

18 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mr. T.H. Moehammad Hasan, 84 tahun, menerima gelar "Doktor Honoris Causa" dalam bidang ilmu hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara (USU), 28 Juli 1990. Bekas Gubernur Provinsi Sumatera dan Wakil Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini berjasa sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sebagai anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), ia telah menjadi penengah ketika hampir tejadi kebuntuan dalam menetapkan UUD kita. Atas permintaan TEMPO, berikut ini sebagian riwayat hidupnya. SEPERTI lazimnya anak-anak dulu di daerah saya, sekolah saya dua. Sekolah agama dan SD di Kampung Lampoih Saka, Sigli. SD itu dulu disebut sekolah rakyat. Di sekolah rakyat saya hanya dua tahun, lalu pindah ke ELS, Europeesshe Lagere School, sekolah untuk anak raja. Maksudnya anak bangsawan, begitu. Sebab, bapak saya seorang bangsawan, Teuku Bintara Pineueng Ibrahim. Bintara itu jabatan, uleebalang. Dan Pineueng nama daerah. Uleebalang itu punya kekuasaan mengatur perdagangan dan tentara. Ibu saya Cut Manyak, putri Tengku Mahmud, seorang kadi atau hakim agama di Kemangan. Di ELS saya masuk kelas nol, meski sudah dua tahun di sekolah rakyat. Tapi pelajarannya sama dengan kelas satu. Begini. Kelas nol dan satu disatukan dalam satu ruangan. Gurunya satu, seorang nyonya Belanda. Jadi, kalau dia mengajar, menengok ke kanan, itu kelompok kelas satu. Menengok ke kiri, kelompok kelas nol. Yang dipelajarkan ya sama saja. Murid ELS anak-anak bangsawan dan orang terkemuka. Anak Belandanya cuma dua ekor ha-ha-ha .... Anak residen dan kontrolir Sigli. Ada beberapa anak Indo, yaitu anak orang Manado dan Ambon yang jadi tentara Belanda dan berpangkat tinggi. Dari kelas nol saya naik ke kelas dua. Tak lewat kelas satu. Kan kelas nol dan satu pelajarannya sama. Setelah tujuh tahun sekolah, dari 1917 sampai 1924, saya ditawari ujian di Betawi. Bukan karena saya paling pintar, tapi karena yang lain-lain tidak mau. Mestinya, bila saya tak ke Betawi, saya melanjutkan ke MULO, SMP zaman Belanda, di Kutaraja. Dan masuk MULO tak usah ujian. Saya lulus tes di Betawi, maka saya masuk KWS, Koningin Wilhelmina School. Ini juga sekolah raja-raja, namanya saja pakai Wilhelmina, ratu Belanda. KWS itu umpama sekarang sekolah teknik, STM. Di sini banyak indonya. Waktu itu dari kampung saya di Sigli untuk ke Betawi mesti ke Medan dulu, naik mobil. Dari Medan naik kapal tiga hari baru sampai ke Betawi atau Jakarta sekarang ini. Saya sempat singgah di Singapura. DI KWS saya memilih jurusan sipil basah, bikin jembatan dan semacamnya. Saya tinggal di asrama Yayasan Jan Pieterzoon Coen, di Jalan Guntur sekarang. Bayarnya banyak, 51 gulden sebulan, karena ini asrama Belanda. Waktu itu indekos di kampung-kampung rata-rata 15 gulden, kalau rumahnya bagus 25 gulden. Di asrama bertingkat dua itu banyak anak MULO-nya. Nah, saya belajar pelajaran yang tidak diberikan di KWS lewat buku-buku anak-anak asrama itu. Di sekolah teknik KWS itu tak ada pelajaran bahasa Inggris, Prancis, Jerman hitung dagang, sejarah, botani. Saya belajar itu semua lewat buku-buku, gratis. Kalau tak paham, umpamanya pronunciation, saya tanya teman-teman. Untuk itu semua, saya terpaksa mengorbankan olahraga. Di asrama semua urusan kami diurus asrama. Saya tidak tahu berapa gulden orangtua saya mengirim uang. Yang saya tahu, 50 gulden untuk uang asrama, dan 1 gulden untuk kesehatan, tahu-tahu, sekali tiap bulan saya dipanggil pengawas asrama. Diberi uang saku 10 gulden. Wah, itu jumlah yang banyak. Orangtua saya kan kaya. Waktu itu tiap malam Minggu saya dan teman-teman nonton bioskop di Dieren Tuin, kebun binatang, yang sekarang ini jadi Taman Ismail Marzuki di Jalan Cikini. Jadi, dari Jalan Guntur naik sepeda ke Cikini, ramai-ramai. Meski itu Dieren Tuin, tiap malam Minggu ada bioskopnya. Kami abonemen, langganan, bayar tiap bulan, murah. Dan nontonnya tiap malam Minggu. Hanya malam Minggu, sebab asrama selalu sudah ditutup pada jam sebelas malam lampu dimatikan semua. Harus tidur. Tapi di malam Minggu ada ekstra, asrama buka sampai jam satu. KWS itu di SMA I Budi Utomo sekarang. Sekali atau dua kali tiap minggu kami memakai pakaian kerja hijau, khusus untuk praktek. Sudah seperti bekerja sesungguhnya. Misalnya praktek membuat jembatan, ya benar-benar kami bikin jembatan, tapi kecil. Kira-kira tiga tahun kemudiari saya minta izin ikut ujian ekstra MULO. Sebab, cita-cita saya masuk ke perguruan tinggi. Lulusan KWS tak boleh langsung ke perguruan tinggi, tapi mesti kerja dulu. Dengan ijazah MULO saya bisa langsung masuk AMS, SMA zaman Belanda Dan dari AMS ke perguruan tinggi. Direktur mengizinkan, mungkin karena prestasi saya di KWS baik. Persoalannya, waktu itu di Jakarta sedang tak ada ujian MULO. Yang ada di MULO Douwes Dekker di Bandung. Saya diizinkan ke Bandung. Waktu itu yang ikut ujian 13 orang, dan saya satu-satunya dari Jakarta. Tiga hari saya di Bandung, untuk ujian dan sekalian menunggu pengumuman. Wah, yang lulus hanya satu, yaitu saya. Saya senang sekali, dan langsung saya memberi kabar ke Jakarta. Direktur saya, Zurklein-scamid, rupanya ikut senang. Ketika saya kembali ke Jakarta dia bikin pesta makan malam untuk saya. Karena saya sudah punya ijazah MULO, suatu kali saya membicarakan ini dengan direktur. Ini ide nakal-nakalan. Saya bilang saya tak mau sekolah lagi. Saya mau masuk AMS. Jawab direktur, anak-anak tak boleh begitu, tak boleh merugikan diri sendiri. Bahwa saya hanya perlu menunggu setahun lagi. Jadi, jangan pindah. Teruskan dulu. Ia lalu berpetuah. Kalau lulus KWS, saya memiliki jaminan hidup. Kalau ada apa-apa dengan orangtua saya, saya bisa kerja. Takdir itu tak dapat ditebak, katanya. Teruskan saja setahun lagi, kata dia. Setahun kemudian, 1928, saya lulus nomor satu dari KWS. Karena nomor satu, saya langsung ditawari pekerjaan. Yang ditawari pekerjaan dua. Yaitu saya dan yang lulus nomor dua, anak Ambon, kalau tak salah nama dia Sahanaya. Saya janjikan gaji 110 gulden sebulan. Waktu itu uang sebanyak itu termasuk cukup. Tapi saya tidak mau. Saya kan punya ijazah MULO, dan punya rencana masuk AMS, kemudian ke perguruan tinggi. Saya bilang kepada insinyur yang menawari kerja itu, yang jadi guru saya, "Terima kasih." Saya masih ingin mencari ilmu, sebab Kennis is macht, Knowledge is power. Masuklah saya ke AMS. Karena saya merasa sudah sekolah empat tahun, KWS itu empat tahun, saya tak mau didudukkan di kelas empat. Saya mau kelas lima. Tidak boleh, karena yang dipakai di situ bukan ijazah KWS melainkan MULO 3 tahun, kata sekretaris AMS. Malah dia mengatakan KWS itu sekolah kerja kasar, di AMS kerja halus. Jadi tidak cocok. Saya berkeras. Kalau perlu saya jadi pendengar dulu, baru kemudian dites. Akhirnya sikap keras saya diperhatikan. Kompromi. Saya duduk di kelas lima, sebagai murid percobaan. Kalau rapor triwulan pertama bagus, saya boleh terus. Ternyata nilai saya bagus-bagus. Bahasa Prancis, Inggris, Jerman rata-rata enam atau tujuh, saya mendapat delapan. Kalau matematika mendapat sepuluh, itu biasa. Jadi, tiga bulan kemudian, direkturnya menemui saya. "Saya angkat topi untuk Anda," kata Pak Slachter, direktur itu. Saya diterima di kelas lima. Setelah mengikuti pelajaran sebulan, saya pikir enaknya saya loncat saja ke kelas enam, lalu ujian negara. Atau saya langsung saja ikut ujian negara. Saya temui direktur dan saya katakan maksud saya. Dia kaget. Tak bisa, kata dia. Mengapa, tanya saya. Lalu dia menceritakan pengalaman ketika jadi direktur di HBS. Ketika itu, cerita dia, ada murid kelas empat, seorang anak Belanda, berusia sekitar 15 tahun, minta ujian. HBS, sekolah menengah juga, itu lima tahun. Direktur menyuruh si murid minta izin ibu bapaknya dulu. Diizinkan. Karena itu direktur itu pun mengizinkan. Murid Belanda itu memang lulus. Tapi akibatnya apa? Menurut Pak Direktur itu ia lalu kena penyakit saraf. Jadi, ia tak meluluskan permintaan saya. Cerita Pak Direktur saya sampaikan pada sekretaris sekolah. Ia ini orang Ambon. Ia rupanya ingin membantu saya. Ia berjanji menemui direktur. Akhirnya direktur meluluskan permintaan saya. Menurut sekretaris itu, ia meyakinkan Pak Direktur bahwa saya bukan macam anak Belanda dulu itu. Pertama karena usia saya memang sudah matang, sudah 23 tahun, bukan lagi 15 tahun seperti anak Belanda itu. Kedua, saya sudah membuktikan bahwa saya brilyan. Saya tak sekolah di MULO tapi lulus ujian MULO. Di KWS saya nomor satu. Jadi, otak dia memang sudah kuat, saya pasti lulus, kata sekretaris itu. Pak Slachter rupanya terpengaruh, lalu saya dikasih izin. Apalagi Direktur KWS, Pak Zurkleinscamid, ikut menjamin saya pasti lulus. Akhirnya saya lulus, termasuk baik. Pak Slachter menemui saya, dana kata dia, "Sekali lagi saya angkat topi untuk kamu. Luar biasa." Lalu ditanya akan melanjutkan ke mana saya. Nah, ini problem. Saya ingin ke sekolah hakim tinggi, yang sekarang menjadi Departemen Hankam di Merdeka Barat itu. Tapi mestinya, karena saya dari KWS, meneruskan ke Sekolah Tinggi Teknik di Bandung, yang sekarang jadi ITB itu. Kebetulan saya berkenalan dengan seorang dari Aceh yang sudah tiga tahun di sekolah hakim tinggi. Namanya Hanafiah. Dia sudah bekerja di Landraad. Banyak anak muda yang menemui dia minta advis. Kepada saya mengatakan, semuanya tergantung saya sendiri, mau jadi apa. Kata Hanafiah, kalau saya masuk sekolah teknik tinggi yang empat tahun itu, tanggung pasti bisa, dan mungkin dua tahun sudah lulus. "Bung dari KWS, dan menggambarnya bagus," katanya lagi. "Tapi, Bung mau jadi apa?" Lalu ia menyarankan kepada saya begini. Belanda itu menguasai negeri ini. Belanda yang pegang pemerintahan yang di atas-patas itu semuanya meester, ahli hukum. Nah, negara kita belum merdeka. Kita perlu tahu hukum untuk memperjuangkan kemerdekaan. Waktu itu saya belum berpikir politik sejauh itu. Tapi saran Hanafiah masuk ke akal saya. Selain itu, menurut saya, ahli hukum bisa bekerja apa saja. Bisa jadi advokat, jaksa, hakim, bisa hanya dagang atau jadi pegawai negeri. Bila saya masuk ke sekolah tinggi teknik, lapangannya sempit. Saya memilih sekolah yang lapangan kerjanya lebih luas. Jadilah saya masuk sekolah tinggi hakim. Di sini saya berkenalan dengan Mohamad Roem dan Kasman Singodimedjo. Roem itu satu tahun di bawah saya. Dua tahun saya di sekolah tinggi ini, ujian tahun 1931, lulus kandidat II. Ya, mungkin setingkat sarjana muda. Lalu saya ke Belanda. Masuk Rijks Universiteit di Leiden. Sebelum pergi, saya bertemu kontrolir Sigli. Eh, dia menasihati saya supaya jangan pergi. Katanya saya orang baik, nanti sakit di Belanda. Katanya saya tak tahan dingin. Selain itu, kata dia, mahasiswa di Belanda nakal-nakal. "Nanti kau sedang belajar baik-baik ada orang ketok-ketok pintu, mengajak kau pergi," kata kontrolir itu. Mungkin semua itu supaya saya jangan terlibat kegiatan politik. Belanda mestinya tidak senang saya pergi ke negerinya. Tapi benar, saya di Belanda sakit ketika musim dingin. Dokter bilang, berbahaya kalau saya mengalami musim dingin sekali lagi. Saya kenal beberapa orang yang nantinya jadi tokoh di Indonesia. Misalnya Maria Ulfah dan Ahmad Subardjo. Mereka lebih tua daripada saya. Tapi di Belanda saya tak aktif ikut kegiatan politik. Saya memang jadi anggota Perhimpunan Indonesia. Tapi anggota yang tidak aktif sekali. Soalnya begini. Di Belanda ternyata ada juga yang disebut pengawas politik. Nah, yang berurusan dengan saya itu pengawas politik bekas gubernur Aceh. Dia yang bilang saya tak boleh campur politik. Saya memang takut, sebab kata dia, meski biaya sekolah dan hidup saya di Belanda dari kas negara di tempat ayah saya bekerja, yang urus Belanda. Kata dia, yang mengirim itu residen, residen Sigli. Jadi, saya hati-hati kalau ikut berpolitik. Saya bukan cuma ikut Perhimpunan Indonesia, tapi juga masuk jadi anggota organisasi Uni Soviet yang pro-Indonesia. Namanya FVSU, Frieden Van Soviet Uni, persahabatan dari Uni Soviet. Soalnya, saya kepingin tahu apa yang dilakukan organisasi ini. Agar tak diketahui Belanda, saya mendaftar dengan nama Abdul Gafar. Yang penting, saya diundang kalau ada pertemuan. Tampaknya pertemuannya memang jarang, atau saya memang sekali-sekali saja diundang. Sekali pernah saya hadir di rapat umum. Ada ratusan orang. Ada spanduk dengan motto komunis. Lalu ada pidato, menjelek-jelekkan Ratu Belanda, bahwa dia punya saham di semua perusahaan Belanda. Selain itu, ia pun mencaci maki agama. Sementara itu, di Perhimpunan Indonesia, meski saya anggota yang tak terlalu aktif, saya sering diajak pergi oleh pengurusnya. Saya lupa nama pengurus itu, tapi ada satu yang saya ingat, yaitu dr. Samsi. Karena saya diajak ke Rotterdam ketika ia diwisuda jadi dokter. Di Rotterdam ketemu Bung Hatta, yang waktu itu sudah lulus dari fakultas ekonomi, dan kayaknya mau pulang ke Indonesia. Waktu itu tahun 1932. Saya juga pernah diajak ke Amsterdam, menghadiri pertemuan liga internasional yang antikolonial. Semasa sekolah, saya tidak mempunyai kesempatan untuk ikut dalam perkumpulan membicarakan semangat antikolonialisme. Kedudukan orangtua saya sebagai pangrehpraja membuat saya tidak bebas bergerak. Gerak-gerik saya selalu diawasi. Saya kira itu berlaku bagi semua anak muda yang mempunyai orangtua dengan status sama seperti saya. Bahkan pengawalan terhadap saya itu terus berlangsung sampai saya kuliah di Negeri Belanda. Ini erat kaitannya dengan politik Belanda, yang mengikat kaum priayi Indonesia dalam organisasi Hindia Belanda. Itu sebabnya sejak muda saya dikenal sebagai tokoh "nonkooperatif". Saya semakin menentang pemerintah kolonial Belanda, meskipun waktu itu saya menuntut ilmu di Negeri Belanda. Saya bisa mengenyam pendidikan karena jabatan bapak saya sebagai uleebalang. Masa itu para uleebalang Aceh golongan elite dalam masyarakat yang menguasai perdagangan dan berperan penting dalam peperangan. Kaum saya adalah kaum feodal yang tidak menciptakan ikatan feodalisme dengan rakyat. Kami tidak menarik upeti atau pajak dari para kawula dan juga tidak berhak atas tenaga kerja yang disebut rakyat. Itu sebabnya kedudukan saya dalam masyarakat Aceh, eksistensinya tetap terjaga hingga berakhirnya penjajahan. Dan Belanda memberikan toleransi itu kepada kaum uleebalang Aceh. Mulai Dicurigai Belanda Di Negeri Belanda, dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI) saya hanya ikut sebagai simpatisan. Itu karena saya selalu diawasi dan dilarang turut dalam kegiatan politik. Awal pengawasan terhadap diri saya bermula dari surat Asisten Residen Sigli, Jongejans, yang menghendaki saya agar tidak turut campur urusan politik. "Mari kita bekerja sama demi kepentingan Indonesia," tulis Jongejans. Kalimat itulah yang membuat saya naik pitam. Saya jawab surat asisten residen Sigli itu "Kerja sama antara penjajah dan rakyat jajahan tidaklah mungkin, ibarat persatuan uleebalang dengan penjual ikan." Surat balasan saya itu menjadi bahan dokumen pemerintah kolonial Belanda di Kotaraja. Itu sebabnya saya masuk dalam daftar hitam pemerintah kolonial Belanda. Pikiran-pikiran saya sempat diilhami oleh pemikiran Marxis-Leninisme dan sosialis. Itu membuat saya masuk menjadi anggota Partai Komunis Belanda. Meski pada akhirnya saya tidak punya ikatan dengan paham itu. Saya menyadari, jika gerak-gerik saya itu diperlihatkan lebih terbuka, bisa membahayakan. Untung, saya ada akal dengan mengganti nama saya menjadi Abdul Gafur untuk kegiatan itu. Usai meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Rijks, Leiden, saya kembali ke tanah air melalui Kairo, Mesir. Kedatangan saya kembali di tanah Aceh lebih membuka mata saya, bahwa Belanda benar-benar bertindak ekstra-ketat terhadap diri saya. Buku yang saya bawa dari Negeri Belanda semua diperiksa di pelabuhan Ulee Lheue, Aceh. Bahkan ada perintah agar buku-buku itu ditahan dan hanya sebagian yang dikembalikan. Itu pun jauh-jauh hari setelah kepulangan saya. Saya sempat menganggur sepulang dari Negeri Belanda. Tidak ada pekerjaan yang bisa menampung sesuai dengan keahlian saya. Untuk mengisi waktu senggang, saya mengadakan hubungan dengan para ulama, bangsawan daerah, para saudagar, dan kaum tani. Kegiatan saya itu membuat Belanda makin curiga pada gerak-gerik saya. Tampaknya mereka khawatir kalau-kalau tindakan saya bisa menimbulkan pemberontakan. Akhirnya saya diminta pergi ke Batavia menjadi pegawai instansi pendidikan dan kebudayaan. Itu dimaksudkan agar hubungan saya dengan orang-orang di atas terputus. Usul untuk mempekerjakan saya menjadi pegawai Hindia Belanda datang dari Van Aken Gubernur Aceh. Van Aken sendiri yang datang ke Batavia khusus untuk mencarikan pekerjaan buat saya. Tapi saya menolak untuk bekerja pada bagian itu. Rupanya Aken tidak kehilangan akal, untuk mencegah saya berkeliaran di kampung halaman. Meski ia harus mengeluarkan uang tambahan dari kas Landschaps Pidie. Aken menjanjikan saya gaji 150 gulden, dan saya terima. Saya menyeberang ke Batavia pada 1935 untuk memenuhi kehendak Aken. Setelah tiga tahun di Betawi, saya dipindahkan ke kantor Gubernur A.I. Spits, Medan, dengan gaji 275 gulden. Di Medan pun saya tetap diawasi. Dalam hati, saya ingin sekali mendirikan "Soea" dengan tujuan untuk mencerdaskan masyarakat. Maksud saya itu saya sampaikan kepada Jongejans, yang menjabat residen Aceh, agar saya tidak dicurigai lagi. Pada 1939 terbentuklah pengurus Soea dan saya duduk sebagai ketua. Selain itu, saya juga menganjurkan untuk mendirikan "Ikhwanus Safa Indonesia" (ISI) agar diperoleh hubungan baik antara para ulama dan kaum intelektual di Medan. Di ISI saya juga diminta untuk menjabat sebagai ketua. Awal 1940-an, sebelum Jepang masuk ke Aceh, rakyat Sigli melakukan pemberontakan. Dan sayalah yang dituduh menjadi tokoh dalam pemberontakan itu. Tidak heran jika polisi Belanda mencari saya dalam hubungan dengan kejadian itu. Saya terus berdomisili di Medan sewaktu Jepang masuk ke Sumatera. Kerja macam-macam dengan mereka. Mulai dari penasihat sampai ketua koperasi. Terakhir saya diangkat sebagai kepala kantor oleh Jenderal Nakashima dengan gaji sekitar 430 rupiah -- sebelum terpilih menjadi anggota PPKI. Penguasa Sumatera Gelar Meester in de Rechten dari Fakultas Hukum Universitas Rijks, Belanda, membuat saya menjadi salah satu tokoh cendekiawan terkemuka di Andalas. Mungkin itu sebabnya Bung Karno mengangkat saya sebagai wakil pemimpin besar bangsa Indonesia untuk seluruh Sumatera pada 22 Agustus 1945. Berdasarkan surat pengangkatan itu saya mulai leluasa bergerak di seluruh Sumatera. Sebulan setelah pengangkatan, tepatnya 24 September, saya bersama Dokter Mohamad Amir berangkat menuju Palembang. Di sana saya memberi penjelasan tentang Proklamasi bagi bangsa Indonesia. Di samping itu, saya juga menganjurkan agar mereka membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI). Penjelasan serupa saya sampaikan juga di kota-kota lain di Sumatera, seperti Jambi, Bukittinggi, Tarutung, Pematangsiantar, dan Medan. Perjuangan saya mempersatukan bangsa se-Sumatera memang tidak percuma. Pada 2 Oktober 1945, saya menerima kawat dari Jakarta, tertanggal 29 September, yang isinya perihal pengangkatan saya sebagai gubernur Sumatera sekaligus wakil pemerintah pusat. Saya diberi wewenang penuh untuk melakukan segala sesuatu yang berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Langkah pertama yang saya lakukan selaku gubernur ialah mengangkat residen dan wali kota untuk seluruh Sumatera. Dilanjutkan dengan instruksi kepada para pejabat itu, agar mulai 4 Oktober di setiap kantor RI serta rumah-rumah penduduk, dikibarkan bendera merah putih sebagai lambang kemerdekaan. Saya menyadari, tugas sebagai gubernur dan wakil pemerintah pusat tidaklah enteng. Apalagi saya harus menyusun pemerintahan di seluruh provinsi, menetapkan jawatan-jawatan, dan mengangkat pegawai pemerintahan. Selain itu, saya juga harus mengusahakan biaya perjuangan dan pembelian semua peralatan persenjataan untuk tentara dan laskar. Belum lagi tugas untuk mengatur perekonomian dan keuangan serta membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera. Bahkan saya pula yang menetapkan berapa besar gaji pegawai negeri di Sumatera (PNS), termasuk gaji saya sendiri. Di samping itu, mencetak Uang Republik Indonesia Sumatera (URIPS). Untuk itu, saya keluarkan peraturan tentang gaji pegawai negeri Sumatera pada 1946. Dengan sendirinya saya berkuasa penuh di Sumatera. Boleh dibilang, saya presiden, saya menteri, dan saya juga gubernur. Standar gaji pegawai negeri saya tetapkan berdasarkan perbandingan dengan gaji pegawai Belanda. Misalnya gaji gubernur Belanda yang pegang provinsi waktu itu 1.800 rupiah, maka untuk gaji saya sebagai gubernur saya tetapkan sebesar dua pertiga dari gaji gubernur Belanda, yaitu 1.200 rupiah. Begitu juga untuk gaji residen bawahan saya, yang besarnya dua pertiga dari jumlah yang saya peroleh. Sementara gaji terendah pegawai Belanda 10 rupiah, untuk pegawai negri Sumatera besar itu saya naikkan tiga kali, menjadi 30 rupiah. Sehingga perbandingan gaji tertinggi dengan yang terendah adalah 40:1. Besarnya gaji yang saya tetapkan itu sempat bertentangan dengan Peraturan Gaji Pegawai Negeri (PGPN) yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, tahun 1948. Dalam peraturan PGPN itu ditetapkan bahwa gaji presiden dan wakilnya besarnya 1.000 rupiah, menteri 750 rupiah, dan gubernur hanya 650 rupiah. Jumlah itu jauh berbeda dibandingkan dengan gaji PNS. Saya tidak merasa bersalah karena peraturan itu dibuat sesuai dengan kekuasaan yang diberikan kepada saya. Lagi pula, tugas saya sebagai gubernur dituntut untuk lebih mempunyai inisiatif dan keberanian yang disesuaikan dengan kemampuan daerah masing-masing. Pada 1 Juni 1948, saya diberhentikan dari jabatan gubernur karena provinsi di Sumatera dibagi menjadi tiga, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Namun, tugas lain sudah menanti. Saya menyandang tugas baru sebagai "Komisaris Negara Urusan Umum" merangkap "Ketua Komisariat Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia" di Sumatera. Suasana waktu itu masih belum menentu, Belanda masih enggan meninggalkan Indonesia. Pada 19 Desember 1948, Belanda kembali melakukan agresi militer kedua dan menawan pemimpin RI. Namun, Bung Karno dan Bung Hatta tidak kehilangan akal. Mereka mengirimkan kawat ke Mr. Syarifuddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Rakyat, yang sedang berkunjung ke Sumatera, agar membentuk pemerintahan darurat yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera. Saya ditunjuk sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan, serta mewakili Urusan Dalam Negeri dan Agama. Tugas saya waktu itu cukup berat. Karena harus berjalan kaki untuk memberi penerangan kepada rakyat. Pada 13 September 1949, dengan bantuan Komisi Tiga Negara saya terbang ke Jakarta. Berdasarkan SK Presiden saya diangkat menjadi anggota delegasi yang diketuai oleh Mohamad Natsir. Dalam rangka pembentukan Repoeblik Indonesia Serikat, KNIP di Yogyakarta memilih saya dan Mr. Soemanang sebagai wakil Indonesia dalam senat RIS. Saya mulai memperhatikan soal-soal ekonomi dan kemakmuran rakyat. Saya jadi tahu ekonomi Indonesia sebagian bes-ar dikuasai Belanda dan orang asing lain, terutama Cina. Waktu saya diangkat menjadi anggota DPR RI, 15 Agustus 1950, saya terpilih sebagai Ketua Seksi A, seksi ekonomi. Dari sinilah saya tahu bahwa Indonesia sangat sedikit menerima cukai dari minyak mentah yang diekspor. Setelah saya teliti, ternyata peraturan pajak atas ekspor sangat lunak, lebih menguntungkan maskapai minyak Belanda. Ketika pulang dari Medan ke Aceh suatu hari, saya melihat kompleks tambang minyak Sumatera Utara di Pangkalan Brandan yang telah dibumihanguskan Belanda, Sekutu, dan pejuang RI. Saya menduga, kandungan minyak tambang itu masih banyak. Dulu satu tahun dihasilkan satu juta ton minyak. Maka, saya usulkan kepada DPR agar pemerintah mengelola tambang itu untuk menambah devisa negara. Saya hitung, kalau ekspor tambang ini mencapai 1 juta ton setahun, akan diperoleh 500 juga dolar setahun. Saya usulkan segera dibentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan. Diterima. Maka dibentuklah Panitia itu, dan saya ditunjuk sebagai sekretarisnya. Inilah cikal bakal Pertambangan Minyak Negara. Usul saya yang juga disetujui adalah pembelian pesawat penumpang. Saya masih Gubernur Sumatera ketika saya usul pada Bung Karno agar kita punya pesawat penumpang sendiri. Disetujui, tapi dengan uang apa kita beli pesawat? Lewat pinjaman dari rakyat Aceh, antara lain, pada 1948 dibelilah pesawat dari India. Pesawat itu diberi nama RI 001 Seulawah, untuk menghargai putra Aceh. Kini pesawat itu dipajang di Taman Mini Indonesia. Persiapan Proklamasi Saya tidak menduga bakal ikut dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Mendadak saya terima telegram yang isinya agar berangkat secepat mungkin ke Jakarta, untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia. Tokoh-tokoh pergerakan di Sumatera lainnya yang menerima telegram seperti itu ialah Mr. Abas dan Dokter Mohamad Amir, seorang dokter ahli jiwa. Maka, berangkatlah kami bertiga ke Jakarta. Bagi saya, kabar itu sangat , mendadak. Saya lihat beslitnya dibuat pada 7 Agustus 1945. Mengingat pentingnya isi telegram itu, mau tidak mau saya harus datang tepat pada waktunya. Tapi sebelumnya saya minta izin terlebih dahulu untuk pulang ke Aceh, pamit kepada orangtua. Untuk mengejar waktu, saya menyewa mobil. Padahal, waktu itu saya tidak mempunyai duit. Sebenarnya, kalau dihitung-hitung, gaji saya di Medan mencapai 430 ORI. Itu bisa untuk dibelikan mobil dengan cara mengangsur. Apalagi harga mobil ketika itu hanya 1.300 ORI (angsuran mobil 100 perak). Kebutuhan hidup saya sehari-hari terpenuhi lebih dari cukup. Namun, ayah saya sudah memiliki mobil yang bisa saya gunakan kalau pulang. Jadi, buat apa lagi? Alasan lain, saya takut kalau terjadi perang, mobil saya diambil. Sialnya, sewaktu kembali ke Medan, mobil yang saya sewa itu rusak di tengah jalan, di dekat Bireun. Ada bagian kendaraan yang harus diganti agar mobil bisa melanjutkan perjalanan ke Medan. Bersama sopir saya menumpang mobil lain untuk mencari onderdil di kota terdekat Sigli dan Lhokseumawe -- yang banyak dihuni tentara Jepang. Sekembalinya dari mencari onderdil, saya dicari oleh tentara Jepang dengan menggunakan jip. Rupanya mereka mengkhawatirkan keselamatan saya, mengingat telegram di atas. Malam hari saya sudah bisa melanjutkan sisa perjalanan untuk mengejar pesawat terbang. Akhirnya saya tiba di Medan pada 11 Agustus 1945. Pada 12 Agustus saya dan dua teman lainnya diantar oleh Jenderal Nakashima ke lapangan terbang Polonia, untuk berangkat ke Jakarta. Saya mempergunakan pesawat kecil milik Jepang, yang kalau parkir mesti di bawah pohon. Tidak seperti sekarang, kalau mau ke Jakarta, bisa tembak langsung. Dulu, pesawat yang saya tumpangi harus melalui dan bermalam di Singapura. Saya pikir, bisa celaka nih, mengingat pesawat itu milik Jepang. Kalau bertemu dengan pesawat Sekutu, pesawat kami bisa menjadi sasaran peluru. Untungnya, dalam perjalanan aman-aman saja. Secara tak diduga, di penginapan saya bertemu dengan Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka baru kembali dari Saigon, Vietnam, bersama Jenderal Terauchi, dalam rangka membicarakan kemerdekaan Indonesia dengan pemimpin balatentara Nippon di sana. Saya tidak ingat secara pasti nama hotel di Singapura. Yang jelas, hotelnya bagus dan yang datang calon-calon pemimpin bangsa Indonesia. Demikianlah kemudian saya bisa bersama-sama dengan rombongan Bung Karno menuju ke Jakarta. Kedatangan saya bersama para pemimpin bangsa itu, di lapangan terbang Kemayoran, disambut masyarakat ramai. Selama di Jakarta saya menginap di Hotel Des Indes, di daerah Harmoni, yang kemudian setelah kemerdekaan berubah menjadi Hotel Merdeka. Di hotel itulah saya berkenalan dengan anggota PPKI lainnya, yang jumlahnya sekitar 21 orang. Sore harinya, pada 16 Agustus 1945, bersama anggota PPKI lainnya saya diundang rapat di Jalan Pejambon. Sayangnya, rapat dibatalkan karena ketua dan wakilnya, Bung Karno dan Bung Hatta, belum juga muncul. Bersama anggota lainnya saya hanya bisa menunggu sembari duduk berbincang-bincang soal nasionalisme dan perjuangan. Belakangan baru saya sadari, ketidakhadiran ketua dan wakil itu karena mereka dibawa oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Pada tengah malam, kami anggota PPKI yang masih menunggu di Pejambon diminta datang ke Nassau Boulevaard -- sekarang Jalan Imam Bonjol -- ke rumah Laksamana Maeda, Kepala Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Ternyata Bung Karno dan Bung Hatta juga hadir di sana. Saat itu saya dan teman-teman lainnya belum mengetahui bahwa Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Apalagi kami tidak memiliki radio semua disita oleh Jepang. Saya dengar kabar itu dari seorang mahasiswa Aceh yang kuliah di Jakarta. Akhirnya Bung Karno sendiri yang menjelaskan kepada kami. Menurut Bung Karno, para pemuda mendesak agar Indonesia harus cepat-cepat memproklamasikan diri. Dan semua anggota, termasuk saya, setuju. Itu sebabnya rapat anggota PPKI dilakukan malam itu juga hingga pukul 4.30 pagi. Dan di tempat itu pula teks proklamasi dirumuskan. Masih ada persoalan yang harus diselesaikan pagi itu juga. Setelah konsep teks proklamasi disetujui, timbul masalah siapa yang akan menandatangani. Ada sekitar tiga usul waktu itu: anggota yang hadir dibagi dalam kelompok, agar yang menandatangani sedikit. Belum selesai usul itu dikemukakan, sudah muncul usul lain yang kemudian disetujui. Yaitu, mengapa bukan ketua dan wakilnya, Bung Karno dan Bung Hatta, saja yang menandatangani naskah itu. Tanpa berpikir panjang, semua anggota setuju, apalagi hari sudah menjelang fajar. Dan ditetapkan pula pula proklamasi akan diumumkan pada 17 Agustus jam 10.00 di Jalan Pegangsaan 56. Saya dat-ang terlambat untuk menghadiri upacara bersejarah itu. Penengah Pembentukan UUD Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sudah dikumandangkan. Tapi persiapan untuk berdirinya suatu negara yang merdeka terus dilakukan. Pada 18 Agustus, sekitar pukul 09.00, saya bersama anggota lainnya diundang rapat untuk memilih presiden dan wakil presiden serta membicarakan rancangan undang-undang dasar negara. Saya sendiri sudah menerima rancangan itu pada 16 Agustus. Begitu sampai di Pejambon, saya sudah ditunggu oleh Bung Hatta di pintu ruang rapat. Tampaknya mereka mengalami kesulitan mengenai rancangan UUD yang diajukan karena ada sebagian kelompok yang tidak setuju. Ada batu sandungan, yaitu pada Pembukaan dan Pasal 29 Ayat 1. Ada ketidakcocokan atas tujuh kata "... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Bung Hatta menjelaskan kepada saya tentang kekukuhan Ki Bagus Hadikusumo untuk mempertahankan tujuh kata di atas dalam Pembukaan maupun dalam Pasal 29 Ayat 1. Kemudian saya diajak membicarakan hal ini dengan Bung Karno selama lima menit. "Anda kan dari Aceh, Serambi Mekah, lebih mendalami masalah agama, kalau kita orang tidak saleh. Jadi, kalau Saudara yang berbicara, pasti lain hasilnya," kata Bung Hatta kepada saya. Saya sanggupi permintaan mereka untuk meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo- agar sedikit lunak -- mau menghilangkan tujuh kata itu. Dengan alasan bahwa agama lain juga tidak disebutkan. Jadi, cukup Ketuhanan Yang Maha Esa saja. Saya pikir-pikir, bagi Islam, Maha Esa juga bisa, Belanda Eropa bisa, Kristen bisa. Jadi, tidak ada masalah jika dihilangkan. Lalu saya mengajak Pak Hadikusumo bicara sekitar 10 menit. Saya katakan kepada beliau, kita perlu kemerdekaan, kalau lama-lama terus begini, bisa-bisa orang Kristen dipersenjatai oleh Belanda. Padahal, kita kan maunya merdeka, bukan berperang. Lebih lanjut saya jelaskan, kan konsepnya sudah ada bagaimana kalau tujuh kata itu dihilangkan. Nanti kalau itu dicantumkan, yang lain juga minta. Saya katakan juga lebih baik kita cepat merdeka. Ini kan semua masih sementara. UUD ini pun juga sementara. Coba lihat di pasal peralihan yang mengatakan dalam tempo 10 tahun akan ditinjau kembali. Jadi, itulah alasan saya untuk bisa meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo. Saya jelaskan juga, orang Islam tidak perlu takut, jumlah kita kan 90 persen. Yang penting merdeka dulu. Setelah itu terserah kita, mau dibawa ke mana negara ini. Kalau kita sedikit tidak perlu keluarkan sekarang. Kalau kita banyak, kita tidak perlu takut. Rupanya kata-kata saya itu bisa mengena di hati beliau. Saya segera melaporkan hasil pembicaraan itu kepada pimpinan. Dan rapat pun bisa segera dimulai. Ternyata, dalam pertemuan, semuanya bisa berjalan dengan lancar. Hanya saja dalam pembahasan pasal 17, tentang pengangkatan menteri-menteri, saya mengusulkan agar ditambah sedikit kata-katanya, sehingga dalam pengangkatan menteri unsur orang daerah juga dilibatkan. Saya tidak minta diubah, hanya ditambah sedikit. Saya memikirkan agar orang daerah ada kaitannya sedikit dengan UUD, supaya kita bersatu betul. Apa jawab Bung Karno? "Tidak pandang bulu, semua sama saja, siapa yang pinter dan jempolan dialah yang dipilih." Saya pun tidak protes lagi. Saya diam dan tak mau debat lagi. Untuk selanjutnya, pembahasan mengenai Batang Tubuh UUD berjalan tidak begitu alot. Begitu selesai membahas Batang Tubuh, Bung Karno bilang wartawan sedang menunggu di luar. Lebih baik kita angkat dahulu presiden dan wakil presiden. Saya bersama anggota PPKI lainnya memutuskan untuk menerima usul tersebut. Pemilihan langsung saat itu juga. Caranya juga sangat sederhana. Saya sebagai anggota juga ikut memilih. Mulanya Dokter Iskandar mengusulkan, bagaimana kalau Bung Karno sebagai presiden dan Bung Hatta wakil presiden. Semua setuju? Setujuuuu . . . ! Dok ...! Suara palu diketokkan. Selesai sudah acara pemilihan presiden dan wakilnya. Saya merasa bersyukur, ternyata saya masih mendapat perhatian dari kaum intelektual, yang mengerti makna dari sebuah perjuangan. Berdasarkan jasa-jasa saya dalam pergerakan kemerdekaan, saya menerima gelar kehormatan, "Doktor Honoris Causa", dalam bidang ilmu hukum tata negara dari Universitas Sumatera Utara (USU), 28 Juli 1990. Saya gembira bahwa salah satu hasil kemerdekaan adalah lahir dan hadirnya manusia-manusia Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Saya kira, manusia-manusia terpelajarlah yang akan berperan besar dalam menentukan corak dan kualitas Indonesia di masa depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus