ALL Heil, Liberia, Heil. Nyanyian itu deras terdengar. Dan mayat bergelimpangan. Darah membasahi tanah air mereka. Inilah perang saudara sesama hitam. Liberia, yang dalam sejarah merupakan negeri pertama di Afrika merdeka pada 1847 dari Amerika Serikat, pekan ini kian porakporanda. Pekan lalu, 30 serdadu pendukung Presiden Samuel K. Doe menyerbu Gereja St. Peter. Gereja di luar ibu kota Monrovia ini dihuni sekitar 2.000 pengungsi dari suku Gioan Mano. Ternyata, peluru telah dibidikkan ke arah anak negeri sendiri. Sedikitnya 600 nyawa perempuan serta anak-anak melayang sia-sia. Pertempuran panjang sejak menjelang Natal, 24 Desember tahun silam, mendekati klimaksnya kini. Beberapa pengamat meramalkan, kekuasaan Doe cuma tinggal hitungan hari saja. Toh, dia masih membusungkan dada. "Kami terus bertarung. Dan saya akan bertahan dengan tentara yang penghabisan mati," ujarnya. Bersamanya, tinggal 500 tentara dari dua suku minoritas Krahn dan Mandingo. Sedangkan gelombang pemberontak yang dipimpin Charles Taylor (bekas pembantu Doe) terus mengepung dan merangsek Monrovia. Negeri yang terletak di pantai barat Afrika dan berpenduduk 2,6 juta itu, agaknya, segera dikuasai penyempal, untuk mengakhiri 10 tahun kekuasaan Doe. Bekas sersan ini naik ke tahta politik setelah menggulingkan rezim militer William R. Tolbert, Jr., yang tewas saat kudeta pada 1980. Kekuasaan sipil Doe rupanya tak menjamin kesejahteraan rakyat. Pemerintahannya korup. Liberia, yang dikenal banyak menyewakan benderanya (seperti Panama) untuk kapal tanker dan peti kemas, makin dibelit utang dan tak mampu membayarnya. Kelaparan serta kemelaratan melanda, hingga amuk rakyat bukan cuma berteriak, bahkan kemudian memuntahkan peluru untuk merenggut Doe dari singgasananya. Dan perang saudara itu belum kunjung usai. Jalanan sepi, toko serta kantor hampir semuanya ditutup. Ekonomi bertambah hubar-habir. Sementara itu, Minggu pekan lalu, Amerika Serikat mengerahkan dua ribu lebih marinir ke sana, dengan empat kapal perang. Setelah 200 marinir turun menerobos Monrovia, langsung mengamankan kedubesnya. Sebelumnya, Prince Johnson, seorang pemimpin pemberontak yang lain, mengancam akan menyandera warga asing. Inilah cara khas memancing campur tangan asing di Liberia. Didik Budiarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini