Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu hari pada 1933. Umur saya baru genap 7 tahun. Ibu membawa saya bertemu dengan Meneer de Groot. Kendati perempuan sederhana, ibu saya memiliki kemauan tinggi. Tanpa kemampuan berbahasa Belanda, bahkan bahasa Indonesia sekalipun, beliau nekat menemui Kepala Sekolah Hollands Inlandsche School, yang setara dengan sekolah dasar.
Berbahasa Jawa, Ibu minta agar saya bisa sekolah di sana. Padahal, di masa penjajahan Belanda, sekolah itu hanya diperuntukkan bagi kalangan terbatas. Mereka yang bersekolah di sini memperoleh pendidikan setara dengan pendidikan di Eropa, dengan menggunakan pengantar bahasa Belanda.
Entah kenapa, Meneer de Groot tersenyum melihat saya. Dengan bahasa isyarat, ia menyuruh saya mengikuti tes. Berdiri tegap, saya memegang kuping sebelah kiri dengan jari lengan kanan melalui kepala. Jika kuping kiri bisa disentuh jari lengan kanan, artinya saya cukup umur untuk bersekolah. Saya lolos tes supercepat itu. Ibu saya tersenyum lebar melihat satu dari tujuh anaknya bisa bersekolah di Hollands Inlandsche School.
Terus terang, saya tak paham mengapa Artini, ibu saya itu, ngotot agar saya bersekolah di Hollands Inlandsche School. Satu-satunya penjelasan yang saya terima adalah, ”Ibu bermimpi bertemu dengan harimau ketika mengandung kamu.” Konon, itu pertanda bayi dalam kandungan akan jadi orang besar. Saya sendiri tak begitu percaya.
Boleh jadi saya beruntung terlahir dalam keluarga yang berpikiran maju. Ayah saya, Isbandi Martosoewignjo, punya karier bagus sebagai schatter alias juru taksir di pandhuis atau rumah gadai di Campur Darat—sebuah kota kecamatan di Tulung Agung, Jawa Timur.
Ayah saya merintis kariernya dari pegawai rendah. Karena disiplin, kariernya meningkat menjadi schatter dan beberapa tahun kemudian hoofd schatter alias kepala penilai. Sehari-hari Ayah dipanggil Ndoro Hoofds. Jarang orang pribumi bisa mencapai posisi itu.
Sekolah saya terletak di Tulung Agung, sekitar 14 kilometer dari kampung saya, Campur Darat. Agar saya tak letih, orang tua saya berlangganan dokar untuk antar-jemput. Namun, beberapa tahun kemudian Ayah dipindahkan ke Ngadiluwih, Kediri. Saya lalu dititipkan ke salah satu rumah mantri guru dan digembleng berbahasa Belanda.
Ayah kemudian dipindahkan lagi ke Surabaya. Waktu itu saya duduk di kelas V. Saya pindah sekolah di Jalan Sruni, Surabaya. Begitu lulus Hollands Inlandsche School, saya dikirim ke Yogyakarta, belajar di Taman Dewasa. Sekolah menengah ini dipimpin langsung tokoh pendidikan kebangsaan yang disegani, Ki Hadjar Dewantoro.
Saya banyak belajar selama di Yogya. Di kota itu pula saya berinteraksi dengan sejumlah tokoh yang kelak saya temui sebagai sesama pejuang di konstituante. Salah satunya guru favorit saya, Soedijono Djojoprajitno. Dia guru sejarah yang sukses menanamkan rasa kebangsaan dan membentuk logika berpikir para muridnya. Caranya menjelaskan praktek kultur stelsels yang menindas rakyat membuat banyak kawan sekelas, termasuk saya, terbakar emosi. Sepuluh tahun kemudian saya bertemu dengan beliau yang sudah menjadi wakil Partai Murba di konstituante.
Hobi saya membaca dan mendengarkan pidato juga berkembang selama di Yogya. Ada empat orang yang saya gandrungi bila sedang berpidato atau menulis di koran: Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Mas Mansjur, dan Ki Hajar Dewantoro. Saya datangi tempat mereka berpidato selama masih di Yogya. Jika tidak, saya menyimak dari radio.
Sayang, saya hanya setahun di Taman Dewasa. Perguruan itu ditutup Jepang pada 1943. Murid-muridnya dipindah ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Yogyakarta. Setamat sekolah menengah pertama, saya berencana masuk Nogyo Semon Gakko atau sekolah menengah pertanian di Bogor. Itu satu-satunya sekolah pertanian di Indonesia. Tapi orang tua meminta saya pulang. Akhirnya saya meneruskan di sekolah menengah tinggi di Celaket, Malang.
Pada masa itu, saya sempat berganti nama. Sejak lahir, nama saya hanya Soemantri. Kemudian saya tambahi Sri, atas inisiatif sendiri, biar gagah. Maka jadilah Sri Soemantri. Pada masa itu lazim bagi para priyayi menggunakan dua kata sebagai nama.
Periode sekolah di Malang merupakan masa revolusi fisik. Saya sudah cukup umur untuk ikut bertempur di garis depan. Bersama sejumlah kawan, saya mendaftar menjadi anggota Special Troep alias pasukan khusus. Dipimpin Inspektur Harsono, kami dilatih tiga bulan. Pasukan yang terdiri atas pelajar dengan kekuatan seratus orang ini menjadi cikal bakal kesatuan brigade mobil polisi.
Pada 11 November 1945, sehari setelah pertempuran puncak di Surabaya yang menewaskan Brigadir Jenderal Malaby, perwira tinggi Inggris, kami dikirim ke front pertempuran di Surabaya. Tugas kami mengangkut berpeti-peti peluru di antara serbuan tembakan pasukan Gurkha.
Malam itu, komandan kami, M. Jasin, memberi briefing. Setelah meminta kami semua minum air putih sesendok, dengan nada keras ia mewanti-wanti kami agar tidak melakukan penjarahan. ”Pokoke ora selamet,” katanya. Dan memang beberapa dari anggota kami yang ”nakal” tertembak.
Pasukan kami tak hanya bertempur di Surabaya. Kami juga ke kantong gerilya di Jawa Timur. Apalagi setelah Clash II, pasukan Netherlands Indies Civil Administration, Belanda, makin agresif masuk ke pelosok. Bahkan Malang pun diduduki.
Saya dan kawan-kawan minggir ke Blitar dan sekitarnya, bergabung dengan pos komando Tentara Rakyat Pelajar di Gabru, pimpinan Mas Isman, ayah mantan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Hayono Isman. Di tengah kondisi itu, ayah saya meninggal karena sakit di Pasuruan. Kabar itu saya terima beberapa hari kemudian saat jenazah Ayah sudah dikuburkan.
Pada masa seperti itu kami sudah tidak ingat sekolah. Baru setelah perang usai, saya merampungkan sekolah menengah tinggi di Yogyakarta. Kendati tak sempat mengikuti ujian akhir, saya diberi ijazah darurat. Kemudian saya kembali ke Pasuruan.
Di kota ini, selain menjadi guru, saya melakukan apa saja untuk perjuangan. Salah satunya mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia. Peristiwa itu terjadi pada 1949. Di masa itu, situasi politik Indonesia ramai dengan wacana pembentukan negara federal oleh Netherlands Indies Civil Administration.
Angkatan menjadi panggung buat saya. Kegiatan di sana membuat saya bersinggungan dengan tokoh politik lokal, seperti Ketua Pengadilan Negeri Pasuruan Mr Pratikto Sastro Hadikusumo. Beberapa kali kami beradu pendapat soal gagasan Netherlands Indies Civil Administration membentuk negara federal. Juga konsistensi pendiri negeri ini dalam melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945.
Diskusi itu membuat saya dekat dengan tokoh Partai Nasional Indonesia tersebut. Bahkan saya ditawari melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum di Surabaya, yang merupakan cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Mr Pratikto memberi saya kado, kitab perundangan di zaman itu karangan W.A. Engelbrecht, yang menjadi pegangan mahasiswa hukum se-Indonesia.
Di Surabaya, bersama sejumlah kawan, saya mendirikan Gerakan Mahasiswa Marhaenis. Belakangan organisasi itu membesar dan menjadi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang akhirnya menjadi onderbouw Partai Nasional Indonesia.
Kawan-kawan menunjuk saya sebagai ketua dan menyarankan pindah ke Jakarta. Saya menolak karena kuliah belum rampung. Namun, sejumlah kawan meminta saya pindah kuliah ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Urusan pindah tak gampang buat saya karena harus mengongkosi diri sendiri selama di Jakarta.
Beruntung, Soekardji, kawan seperjuangan, minta saya menggantikan dia mengajar hukum tata negara di Sekolah Menengah Atas 1 Budi Utomo, Jakarta. Jadilah saya hijrah ke Jakarta, hingga akhirnya bertemu jodoh.
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia saat itu tak sepopuler Gerakan Mahasiswa Djakarta. Semata karena Gerakan Mahasiswa Djakarta suka bikin kegiatan dansa yang disukai mahasiswa. Organisasi kami yang serius sepi peminat di Universitas Indonesia karena dianggap kampungan.
Lantaran merasa perlu jurus dansa untuk mempopulerkan organisasi, saya datang ke bekas Menteri Pendidikan Sarmidi Mangunsarkoro. Saya minta dia mengajari saya dansa. Eh, saya malah ditertawakan. Kata dia, ”Boleh saja, asalkan jangan kelon sambil ngadek.” Demi politik, semua jenis dansa saya pelajari. Dari cha-cha, tango, rumba, hingga jive. Jurus itu berhasil. Organisasi bukan hanya tambah besar, saya juga mendapat julukan baru: Soemantri si jago dansa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo