Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAMU itu disambut istimewa. Di ruang tamu rumah Mohammad Halil di kampung nelayan Desa Penyabangan, Kabupaten Buleleng, Bali, ia didatangi belasan nelayan. Semua memandangnya dengan kagum, sebagian memotretnya. Si tamu tak peduli, berseliweran di bak penampungan, seolah memamerkan kulitnya yang berwarna cantik kuning dan biru.
Namanya Pomacanthus navarchus. Warga Buleleng menyebutnya ikan piama, seperti warnanya yang berselang-seling. Si piama memang tamu yang ditunggu. Sudah tujuh tahun tak ada nelayan yang berhasil menangkapnya. Ia menghilang seiring dengan rusaknya terumbu karang tempat hidupnya. Setelah berbagai usaha pemulihan, pada 10 Oktober tahun lalu ia tertangkap. ”Ini pertanda berkah. Upaya kami berhasil dan kini 70 persen terumbu karang sudah mulai hidup,” kata Putu Sukadania, seorang warga desa.
Karena itu, peristiwa 10 Oktober tersebut—saat nelayan Ahmad Suhaeri berhasil menangkap ikan piama di pantai Buleleng dan menyerahkannya kepada Halil, pengumpul ikan hias—dikenang sebagai kebangkitan kembali Desa Penyabangan. Agar si piama bisa terus ada, penduduk kemudian membuat rambu penjaga bernama peraturan desa. Ketentuan yang bertujuan melindungi ekosistem laut itu melarang warga menangkap ikan menggunakan bahan kimia beracun, dengan sanksi adat. Aturan ini diberlakukan mulai Selasa dua pekan lalu, disaksikan Bupati Buleleng Putu Bagiada, yang sekaligus meresmikan pantai itu sebagai daerah perlindungan laut dan pesisir.
Warga menyambut aturan ini dengan sukacita. Menghilangnya piama dan sejumlah ikan lain memang sempat menjadi mimpi buruk bagi penduduk di sentra penghasil ikan hias itu. Kawasan di sepanjang pantai Buleleng sepanjang 200 kilometer sebagai daerah penghasil ikan hias sepertinya bakal tinggal sejarah. Padahal, menurut catatan Dinas Kelautan Buleleng, kawasan ini memiliki kekayaan 338 jenis ikan, antara lain ikan piama, dakocan, badut, dan napoleon.
Keserakahan telah membuat nelayan membabi-buta dalam mencari ikan. Maklum saja, sebagian besar ikan itu laku keras di pasar ekspor dengan harga mahal pula. Harga ikan napoleon, misalnya, di tingkat pengepul pertama Rp 75 ribu per ekor.
Segala cara dipakai untuk kepentingan sesaat. Selama bertahun-tahun, pemburu ikan untuk ekspor ini biasa menggunakan potasium sianida atau bom buat menangkap makhluk laut itu.
Bahan kimia yang disemprotkan ke dalam terumbu karang bertujuan membuat ikan mabuk sehingga mudah ditangkap. Ketut Baktiyasa, Ketua Kelompok Nelayan Sinar Baru, mengaku sebagai salah satu pemakai potasium. Rekan-rekannya pernah mengingatkan dampak negatif zat kimia tersebut, tapi dia tidak peduli. ”Yang penting saya mendapat ikan. Soal akibatnya tak terlalu saya pikirkan,” ujarnya mengenang kegiatan sepuluh tahun lalu itu.
Putu Sukadania dan Mohammad Halil, 41 tahun, punya cerita serupa. Betapa kerasnya dampak potasium ini terlihat dari cerita Halil tentang kecelakaan yang hampir merenggut nyawa Yusuf, temannya. Lima tahun silam, mereka menyelam di perairan Buleleng. Yusuf kebagian tugas menyemprotkan potasium ke dalam terumbu karang. ”Posisi dia di bawah arus air sehingga menghirup potasium,” ujar Halil. Yusuf kontan pingsan dan segera diangkat ke permukaan air.
Ribuan warga lain di pesisir utara Bali juga biasa menggunakan bahan kimia dan bom ketika menangkap ikan. Banyak pula warga yang menggunakan karang untuk membangun rumah dan membuat jalan raya. Akibatnya, terumbu karang di wilayah ini hancur.
Mereka tak peduli. Rasa peduli baru muncul saat ikan piama, napoleon, dan beberapa jenis ikan lain menghilang dari perairan dengan begitu cepat. Mereka terperangah. Hidup mereka terancam karena dari penangkapan ikan hias itulah mereka hidup. Dan ancaman itu tidaklah sebentar. Perlu waktu bertahun-tahun untuk mengembalikan kondisi lingkungan yang sudah telanjur hancur.
Perjuangan itu dimulai pada 2005, ketika beberapa lembaga swadaya masyarakat masuk ke permukiman nelayan di Buleleng, di antaranya LEAD, Lembaga Pilang, Marine Aquarium Council, Yayasan Reef Check, Bahtera Nusantara, dan Darwin Initiative. Mereka mengadakan pelatihan dan lokakarya serta mengajak warga meninggalkan bahan kimia dan peledak ketika menangkap ikan. Selain itu, terumbu karang yang rusak mereka rawat kembali. Mereka mencangkok terumbu karang dari wilayah lain yang masih bagus untuk ditanam di Desa Penyabangan.
Yang paling sulit adalah mengajak nelayan meninggalkan potasium dan bom ikan. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil karena zat racun itu menyerang mereka juga. ”Setiap malam kepala saya juga pusing karena sering menghirup potasium,” kata Halil. Dia pun mulai tertarik ajakan Lembaga Pilang. Ketut Baktiyasa dan Putu Sukadania juga meninggalkan barang haram tersebut.
Ketiga warga desa itu kini menjadi mitra lembaga swadaya masyarakat. Terumbu karang di wilayah itu mulai bersemi kembali. Seorang nelayan lain, Gede Rupawan, warga Desa Bondalem, bahkan menjadi pemantau dan pemelihara terumbu karang. Bersama lima rekannya, Gede Rupawan mengantongi sertifikat menyelam dari Marine Aquarium Council.
Hasilnya segera terlihat. Dari survei lembaga ini, terjadi kenaikan jenis spesies ikan hias. Pada 2005, jumlah spesies ikan hias di Desa Penyabangan hanya 41, tapi dua tahun kemudian naik menjadi 101.
Dukungan untuk upaya ini juga datang dari Dinas Kelautan dan Perikanan Buleleng, yang memberikan alat tangkap ikan ramah lingkungan. ”Sudah kami berikan kepada kelompok nelayan yang mendapat pembinaan dari lembaga swadaya masyarakat,” ujar Wayan Suradnya, kepala dinas itu.
Upaya pelestarian yang sudah berjalan baik ini, menurut Mohammad Halil, sebaiknya juga dibantu pemerintah daerah dalam pemasaran agar harganya naik. Halil khawatir, jika harganya masih murah, para nelayan bakal kembali menggunakan bahan kimia karena bisa menghasilkan ikan lebih banyak. ”Idealisme nelayan lama-lama akan semakin surut,” ujarnya. Harapan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Pilang, Ni Made Indrawati. Pemerintah, kata dia, harus berpihak pada nelayan melalui pengaturan yang lebih adil.
Usul lain soal pengendalian harga ikan ini datang dari Gayatri, Direktur Marine Aquarium Council. Sebaiknya, ujar dia, nelayan memperkuat barisan guna menghadapi eksportir. Jika bersatu, nelayan bisa menegosiasikan harga yang menguntungkan.
Bupati Putu Bagiada paham. Ia berjanji akan melindungi nelayan. Bagiada juga gembira dengan inisiatif warga membuat peraturan desa. ”Selama ini, salah satu kendala adalah rendahnya kesadaran masyarakat menjaga kelestarian lingkungan,” katanya. Dia berharap wilayah lain membuat peraturan desa seperti di Bondalem.
Nyatanya, ada wilayah lain yang punya kepedulian seperti Buleleng. Peraturan desa yang melindungi ekosistem laut tengah digodok di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Sejumlah desa di empat kecamatan, Biduk-biduk, Batu Putih, Pulau Derawan, dan Maratua, sepakat membuat aturan yang difasilitasi The Nature Conservancy dan World Wide Fund for Nature. ”Tinggal tahap akhir,” kata Elis Nurhayati, Manajer Humas The Nature Conservancy Indonesia.
Dalam peraturan desa itu ada larangan menggunakan bom, potasium, dan kompresor untuk menangkap ikan. Menurut Elis, sejumlah sanksi akan dijatuhkan kepada para pelanggar, dari diberi surat peringatan sampai diseret ke aparat penegak hukum. Tujuannya melindungi terumbu karang agar ikan piama, napoleon, dan ikan langka lain beranak-pinak.
Untung Widyanto, Made Mustika (Buleleng)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo