Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senin, 22 April 2008. Pertemuan di Istana Merdeka itu berlangsung singkat. Bersama kawan-kawan saya dari Lembaga Kajian Konstitusi, saya bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kami menyerahkan hasil kajian soal perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang kelima.
Tanggapan Presiden sangat bagus. Presiden bahkan sempat menyampaikan unek-uneknya terhadap empat kali hasil amendemen konstitusi. Ternyata, dengan amendemen itu, posisi beliau sebagai Presiden seolah terbelenggu oleh legislatif. Ibarat disuruh berjalan tapi kaki dan tangannya terikat. Akibatnya, banyak program tak berjalan efektif.
Saya memahami keluhan Presiden. Hasil amendemen keempat membuat kebijakan politik yang dijalankan saat ini lebih mengarah ke sistem parlementer. Sebentar-sebentar interpelasi. Padahal kita menganut sistem presidensial.
Itu sebabnya kami merekomendasi-kan amendemen kelima konstitusi. Kami menilai, sejumlah pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen keempat ambigu dan mengakibatkan multiinterpretasi. Bahkan kekakuan struktur konstitusi menyebabkan ketidakseimbangan hubungan antarlembaga tinggi negara, terutama antara legislatif dan eksekutif.
Sebagai forum mantan anggota Komisi Konstitusi, kami sangat mengikuti perkembangan yang terjadi akibat proses amendemen yang dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2002-2004. Komisi Konstitusi adalah lembaga yang dibentuk Majelis untuk mengkaji hasil amendemen keempat Undang-Undang Dasar 1945.
Waktu itu saya ditunjuk sebagai Ketua Komisi. Di dalamnya, antara lain, ada Albert Hasibuan, M. Isnaeni Ramadhan, Hasudungan Tampubolon, Hasyim Djalal, Krishna Harahap, dan Bun Yamin Ramto. Mereka profesor dari beragam ilmu, dan mengkaji hukum tata negara.
Tatkala tugas kami berakhir pada 2004, kami sudah menyampaikan ke pimpinan Majelis saat itu, Amien Rais, bahwa akan terjadi kekacauan hubungan antarlembaga tinggi negara jika hasil amendemen itu diterapkan. Namun suara kami tak didengar. Ketika saya memprotes, ada satu di antara pimpinan Majelis mengatakan, saya terlalu idealis. ”Sudahlah, Pak Sri, inilah Indonesia yang sesungguhnya,” kata dia.
Proses amendemen sarat kepentingan politik kelompok jangka pendek. Padahal, dalam menyusun atau mengubah fondasi suatu negara, mereka harus berpikir berabad ke depan. Situasinya amat berbeda dengan saat Konstituante pada 1956-1959, yang menyusun rumusan konstitusi baru. Ketika itu terjadi perdebatan yang panjang tapi begitu mendasar, penuh semangat memajukan negeri ini.
Saya tak pernah bisa melupakan hari-hari selama dua tahun di Konstituante.
Saat itu semangat kemerdekaan 1945 masih terasa. Sikap kenegarawanan dijunjung tinggi. Voting bukan sesuatu yang tabu, demi menjaga prinsip. Berbeda sekali dengan era sekarang, di mana konstitusi menjadi alat kompromi.
Hampir tiap hari, di mimbar sidang yang terletak di gedung tua itu, terjadi adu argumentasi. Para tokoh berdiri silih berganti, menyampaikan pendapatnya. Tutur katanya halus, penuh sopan santun politik. Tapi isinya begitu dalam.
Meski saling menyerang dengan argumentasi hukum, pidato mereka kaya dengan metafora. Bacalah risalah Konstituante. Misalnya saja, pidato Ketua Umum Partai Masyumi yang juga mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir, 13 November 1957, yang mengatakan, ”Singkap daun, tampak buah” untuk menyindir niat PKI yang getol menyokong Pancasila.
Simak pula Buya Hamka, yang me-ngecam keras Soekarno karena getol berkampanye kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan mengatakan, ”Membuat Undang-Undang Dasar bukan seperti pekerjaan menggosok lampu Aladin,” pada sidang April 1959. Belum lagi bila tokoh dari Murba, Soedijono Djojoprajitno, menyoal substansi. Tampak betul kedalaman logika berpikirnya.
Selain Natsir dan Hamka, ada Ketua Konstituante dan tokoh Partai Nasional Indonesia Wilopo, tokoh Masyumi yang keras seperti Isa Anshari, Ketua Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit. Bahkan Profesor Utrecht dari Belanda yang juga menjadi anggota Konstituante.
Usia saya waktu itu masih 29 tahun. Pemilu Desember 1955 menjadikan saya anggota Konstituante mewakili Partai Nasional Indonesia dari daerah pemilihan Jawa Timur. Nomor urut saya 339 dari 520 kursi Konstituante. Persis di atas saya ada Mr. Soebagio Reksodipoera, intelektual Partai Nasional Indonesia yang juga salah satu pendiri Jong Indonesia di Bandung.
Saya menjadi anggota Konstituante termuda waktu itu. Kolega saya umumnya sudah mapan secara politik dan pengetahuan. Banyak dari mereka bergelar meester in de rechten alias master hukum lulusan Leiden, Belanda. Dibanding mereka, saya terhitung anak bawang.
Beruntung, banyak kenalan lama saya juga menjadi anggota Konstituante. Di antaranya guru sejarah saya di Taman Siswa, Soedijono Djojoprajitno dari Partai Murba. Mentor politik saya di Pasuruan yang juga membuat saya menyukai hukum tata negara, Mr. Praktito Sastro Hadikusumo dari Partai Nasional Indonesia. Dan bekas induk semang yang hampir menjadi mertua, Nyonya S.D. Soesanto, yang mewakili Partai Komunis Indonesia.
Sejak pelantikan anggota, 10 November 1956, Presiden Soekarno dalam pidatonya sudah mewanti-wanti agar Konstituante tak bertele-tele dalam menyusun konstitusi baru. Ia juga mengingatkan kalau perlu kembali saja ke Undang-Undang Dasar 1945. Sikap Soekarno ini memicu perdebatan para politikus.
Agar lebih efisien, Badan Konstituante saat itu membentuk tim kecil yang disebut Panitia Persiapan Konstitusi. Tim ini memperlancar tugas penyusunan Undang-Undang Dasar. Jumlah anggotanya tak besar dan mencerminkan keterwakilan dalam Konstituante.
Panitia itu dibagi dalam empat komisi yang membahas dasar negara, hak asasi manusia, bentuk pemerintahan, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Jika materi sudah disepakati di komisi, baru semua anggota diundang ke Bandung untuk rapat paripurna Konstituante. Bandung sendiri dipilih karena hawanya yang sejuk, juga gedung yang ditempati dianggap bersejarah untuk melahirkan konstitusi.
Dari sekian materi, perdebatan paling sengit soal dasar negara. Setidaknya ada dua polarisasi pendapat, Blok Pancasila terdiri dari Partai Nasional Indonesia, Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Murba, Partindo, dan Partai Katolik. Satunya lagi kutub Islam dengan Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Sarekat Islam Indonesia, dan partai berasaskan Islam lainnya. Mereka menuntut masuknya Piagam Jakarta dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Awalnya, Partai Murba tidak masuk Blok Pancasila. Mereka mengusulkan Sosial Ekonomi menjadi dasar negara. Koalisi Murba terdiri atas empat suara, Buruh lima suara, dan angkatan komunis muda, satu suara. Semula Partai Sosialis Indonesia juga berada dalam koalisi ini. Tapi kemudian beralih bergabung dengan koalisi Pancasila.
Uniknya, Partai Komunis Indonesia tidak bergabung dengan koalisi sosial ekonomi yang secara ideologis lebih dekat. Ini tak lepas dari pengaruh D.N. Aidit yang berhasil menggeser tokoh tua seperti Alimin dan Tang Ling Djie pada 1952. Dalam pemikiran Aidit, hanya Partai Nasional Indonesia yang bisa bekerja sama dengan partainya tanpa harus mengkompromikan ideologi secara berlebihan.
Kendati koalisi sosial ekonomi memiliki suara kecil, tapi militan. Mereka tak mau menjadi pelanduk yang mati di tengah, ketika dua pemikiran besar antara Pancasila dan Islam bertarung. Apalagi pemikiran mereka juga sebenarnya masuk dalam ideologi Pancasila ataupun Islam.
Pertarungan ideologi ini sungguh panas. Namun, yang menarik, para tokoh itu menyampaikan materinya dengan sopan santun politik yang tinggi. Masing-masing menyampaikan dalam mimbar yang disediakan. Tak ada celetukan seperti sidang-sidang di Gedung Senayan sekarang ini.
Dulu, ketika lawan politik berbicara, panjang lebar, kami diam menyimak. Banyak juga interupsi, tapi semua teratur. Tak ada saling tunjuk atau sabotase. Sesekali saja gebrak meja, ketika tensi sudah meninggi.
Begitu jeda sidang, semua peserta bercengkerama, seperti tak ada apa-apa. Padahal, ketika di ruang sidang, mereka berani berkelahi seperti mau mati demi membela prinsip masing-masing.
Di Cafe Konstituante yang terletak di gedung itu, para tokoh itu berbincang intim. Sering saya menemukan, tokoh Masyumi Isa Anshari yang terkenal suka ”mengaum” keras di podium dan dikenal antikomunis, ngopi bersama D.N. Aidit. Tak sedikit pula kawan menceritakan, mereka habis jalan bersama makan sate di Braga.
Sopan santun politik di era itu amat berbeda dengan zaman sekarang. Waktu itu, kami merasa pekerjaan politik adalah sebuah pekerjaan terhormat. Jadi harus dilakukan dengan terhormat pula.
Dua tahun bersidang, dua kutub di Konstituante tetap susah dipertemukan. Sementara itu Presiden Soekarno makin gencar menggulirkan keinginan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Situasi panas ini merembet ke gedung Konstituante. Sedemikian alotnya perdebatan, akhirnya pemungutan suara dilakukan tiga kali: 29 Mei, 1 Juni, dan 2 Juni 1959.
Voting hari pertama, pilihan yang menghendaki kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 tanpa perubahan menghasilkan 269 suara. Sedangkan perubahan pembukaan dengan menambahkan tujuh kata Piagam Jakarta mendapat 199 suara dari 474 yang hadir. Voting hari kedua, hasilnya 263 menerima utuh, 203 menerima dengan perubahan.
Pemungutan suara ketiga, hasilnya 264 berbanding 204. Artinya, mayoritas anggota menerima keinginan pemerintah untuk memberlakukan Undang-Undang Dasar 1945 tanpa perubahan. Sayangnya, putusan itu dianggap tak mencapai kuorum dua pertiga seperti ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Sesuai dengan tata tertib, Konstituante dapat melakukan pemungutan suara dua kali lagi. Tapi dalam pemungutan suara terakhir pun tak tercapai kuorum. Banyak anggota menolak menghadiri sidang-sidang berikutnya. Ketua Konstituante Wilopo menawarkan jalan tengah, mengulur keputusan setelah reses.
Seluruh anggota setuju. Tapi itulah sidang terakhir kami sebagai anggota Konstituante. Setelah itu, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution mengeluarkan larangan kegiatan berpolitik. Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 sekaligus membubarkan Konstituante.
Tak ada pertemuan resmi lagi. Kami belum sempat saling memberi salam perpisahan. Setelah itu honor anggota disetop. Mungkin pemerintah marah karena Konstituante dianggap tak menghasilkan apa-apa.
Sebenarnya, pada saat dibubarkan, Konstituante sudah menyepakati sejumlah materi perubahan konstitusi, di luar materi dasar negara dan sistem pemerintahan. Beberapa materi yang sudah rampung, misalnya bentuk negara, sistem pemerintahan, sistem perwakilan, bahkan juga tentang hak asasi manusia.
Kebetulan saya memimpin Sub-Komisi Hak Asasi Manusia. Kami berhasil mencapai kesepakatan menjadikan pasal hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1950 sebagai acuan utama di samping Universal Declaration of Human Rights. Undang-Undang Dasar 1950 dianggap sebagai konstitusi yang lebih lengkap mengatur dibanding Undang-Undang Dasar 1945.
Terus terang, hampir tak ada kesulitan di sub-komisi ini. Hampir semua fraksi memiliki apresiasi tinggi terhadap masalah hak asasi manusia. Termasuk hak suaka yang saya usulkan, hak hidup, berbeda pendapat dan keyakinan politik. Bahkan, ketika kekuatan politik itu berhasil memegang pemerintahan, ia tak boleh mengurangi hak orang lain untuk beroposisi.
Sempat juga terjadi perdebatan. Fraksi Islam mengacu pada Al-Quran dan Hadis. Adapun fraksi lainnya mendasarkan diri pada paham liberal dan sosialis, serta pengalaman Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan. Namun semua mencapai kesepakatan, menggunakan bahasa redaksional yang sifatnya umum. Uniknya, yang disepakati termasuk soal kebebasan beragama.
Salah satu hal paling berkesan ketika membahas lambang negara, Garuda Pancasila. Semua materi di komisi bendera dan lambang negara tak menemui masalah. Kecuali Partai Murba yang minta sedikit perubahan dalam lambang negara Garuda Pancasila. Mereka ingin, burung garudanya dibuat menoleh ke kiri.
Saya bilang, sesuatu yang baik harus mulai dari kanan. Kiri adalah sesuatu yang jorok. Akhirnya saya bilang, kalau ke kiri itu dalam bahasa Jawa artinya pakiwan (WC) dan bukan pakenen. Masak, yang jorok-jorok jadi lambang, kan nggak mungkin? Lucunya, argumen itu berhasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo