GEREJA Kemetiran inilah kantor saya sejak 40 tahun lalu, gereja yang penuh dengan ribuan buku tua. Ini kantor merangkap perpustakaan. Setiap hari saya mulai bekerja pukul 9 pagi hingga pukul 12 siang, pulang pergi naik taksi. Petrus Josephus Zoetmulder, itulah nama lengkap saya semenjak dilahirkan di Utrecht, Belanda, pada 29 Januari 1906. Zoetmulder berasal dari kata zoet yang berarti manis. Saya punya beberapa nama samaran. Nama Artati, kata Jawayang artinya juga manis, saya pakai untuk tulisantulisan saya ketika saya di Leiden untuk mengambil program doktor. Pernah juga saya memakai nama Resi Ciptoning, nama Arjuna ketika bertapa. Yaitu sewaktu menyelesaikan studi Teologi di Maastricht, usai menempuh pendidikan doktor. Nama ini juga saya gunakan ketika mengikuti sayembara terjemahan Serat Wedatama yang diselenggarakan oleh KGPAA Mangkunegara VII. Dalam sayembara itu setiap peserta memang diharuskan memakai nama samaran, agar juri bisa obyektif menilai tanpa terpengaruh oleh nama peserta yang sebenarnya. Karya itu memperoleh hadiah pertama. Dan kemudian diterbitkan dalam majalah Jawa, tahun 1941, dengan judul Prijsvraag Bekroonde Vertaling Serat Wedatama. Sejak itu saya tak pernah lagi menggunakan nama samaran Indonesia lagi, soalnya nama aseli saya sudah terkenal. Ha...ha...ha... Bila sedang istirahat sore hari, saya suka menggesek biola yang saya bawa dari Belanda. Biola adalah alat musik yang paling saya sukai. Saya memang penggemar musik klasik. Lingkungan keluarga saya pun akrab dengan dunia seni musik. Ibu saya pemain piano, sedangkan kakak perempuan saya pemain piano dan vokalis. Ibu dan kakak saya itulah yang mengajari saya main piano, waktu saya masih sekolah Lagere di Nijmegen. Krena itu di selasela waktu belajar yang padat, saya masih menyempatkan diri bermain musik. Sewaktu kuliah di Leiden, selain sibuk dengan bukubuku tebal, saya juga main di grup kwartet yang waktu itu terkenal di Belanda, yakni Kwartet Hobo. Saya juga bergabung dalam Kwartet Flute. Kesempatan bermusik makin bertambah sewaktu belajar teologi di Maastricht. Sejak bertugas di Indonesia, saya sering tampil dalam pesta musik, memainkan gubahan Beethoven dan Mozart, dua komponis yang saya sukai. Pada tahun 1954 hingga 1968, saya bergabung dengan grup orkes Exultate yang dipimpin oleh F. Smits Van Waesberghe, seorang dosen Akademi Musik Indonesia di Yogya. Selain menggesek biola, sudah tentu kegemaran saya adalah membaca buku. Tidak cuma buku ilmiah novel dan puisi pun sering saya baca. Saya bisa menikmati puisi. Sedangkan untuk novel, yang saya sukai adalah cerita detektif. Paling tidak seribu judul koleksi cerita detektif ada di kamar saya. Tapi, saya tidak suka cerita detektif yang mengetengahkan kekerasan, melainkan cerita detektif yang mengetengahkan keintelektualan. Kata orang, memang banyak sarjana yang menyukai cerita detektif. Detektif kan ingin menyingkap masalah sampai tuntas. Saya juga ingin bekerja sampai tuntas dalam penyelidikan naskahnaskah Jawa Kuno hingga saya menyerah karena tidak menemukan jawaban. Pengarang detektif favorit saya adalah Ngayo Marsh, seorang pengarang asal Selandia Baru yang bermukim di Inggris. Sebenarnya, boleh dikatakan saya teman dekat pengarang detektif terkenal John Le Carre. Dia pernah secara khusus menghadiahi saya bukunya yang menjadi best seller: The Spy Who Came in From The Cold. Saat ini saya cuma menulis yang ringanringan saja. Saya sudah tidak kuat lagi pergi ke manamana. Beberapa waktu lalu saya diundang mengikuti Kongres Bahasa Jawa di Semarang, terpaksa saya tolak. Begitu juga sarasehan untuk menyambut cetak ulang buku saya. Sebab, selain saya tidak ingin mendengar pujian pada acara itu, jantung saya pun sudah tidak kuat. Dokter memang tidak melarang saya mengerjakan apa saja, kecuali yang dapat menimbulkan stres. Makanya, saya tidak pernah menulis buku lagi, me mberi ceramah, atau pergi ke manamana. Tapi, saya masih kuat merokok, walaupun dokter sudah berulang kali melarang. Soalnya, kalau tidak merokok, saya malah jadi stres. Dokter saya pernah bilang, kalau saya merokok terus akan memperpendek usia saya. Saya mulai merokok sejak masih remaja. Biasanya saya merokok pipa, tapi pernah juga saya suka rokok kretek. Kalau sekarang saya lebih suka rokok putih, karena lebih ringan. Ternyata saya masih bisa bekerja hingga usia yang ke85 tahun ini. Jadi, bagi saya, merokok justeru memperpanjang usia, ha...ha...ha. Ah, saya merokok hanya ketika bekerja saja. Sebab, kalau tidak merokok, saya tidak bisa bekerja. BELAJAR DAN MENGAJAR SEJAK kecil saya memang sudah bercitacita menjadi seorang imam. Keluarga kami patuh pada ajaran Katolik. Tak heran bila banyak dari keluarga kami yang akhirnya mengabdikan diri sebagai imam, menyebarkan ajaran Yesus Kristus. Dua orang adik lelaki ayah saya menjadi pastor. Seorang bertugas di Belanda dan seorang lagi menjadi pastor di Kongo, Afrika. Dua adik perempuan ayah saya menjadi suster di Belanda. Sedangkan seorang adik perempuan ibu saya juga menjadi suster di Suriname. Anak lakilaki KAkak sulung saya Gertruide pun menjadi pastor. Saya sendiri berasal dari lingkungan keluarga menengah atas. Ayah saya, Jan Zoetmulder, yang lahir tahun 1861, seorang insinyur dari Delft dan bekerja sebagai inspektur kesehatan umum. Ia memberi kebebasan memilih dan menentukan pekerjaan yang disukai anakanaknya, sesuai dengan bakat dan kemampuan masingmasing. Sebelum masuk sekolah, saya sudah rajin belajar membaca dengan cara mengeja. Sejak kecil tak bosanbosannya saya membolakbalikkan buku bacaan yang disediakan orang tua saya di rumah. Ibu sayalah, Chatarine Nolet, yang menjadi guru yang paling rajin membimbing saya seharihari. Maka begitu saya masuk SD, Lagere School, tahun 1912, saya sudah cukup lancar membaca buku. Di situ hanya setahun, kemudian saya pindah ke Lagere School di Nijmegen. Pelajaran dari guru saya ikuti dengan baik. Saya sangat senang dengan pelajaran Bahasa, Ilmu Tatanegara, Sejarah, dan Agama. Sudah tentu pelajaran Agama Katolik sangat tekun saya pelajari. Citacita menjadi imam yang semula masih samarsamar menjadi semakin kuat sewaktu melanjutkan pendidikan ke Gymnasium Kanisius College. Di gimnasium ini ada dua jurusan: jurusan A mengenai Sastra & Budaya, dan jurusan B mengenai Ilmu Pasti. Sayang, menjelang kelas III, ayah dimutasikan ke Heerlen, dan saya terpaksa mengikutinya. Di Heerlen tidak ada gimnasium, padahal saya sangat ingin menyelesaikan sekolah itu. Akhirnya orang tua menyetujui saya berpisah untuk menyelesaikan pelajaran di gimnasium di kota Rolduc. Ayah setuju saja, soalnya dia juga pernah belajar di sana. Pelajaran di jurusan B saya tamatkan dengan baik pada tahun 1924, lalu saya mengikuti ujian jurusan A. Jadi, saya punya dua ijazah gimnasium. Kemudian saya masuk ke Novisiat Serikat Yesus, pendidikan awal untuk calon imam Yesuit. Di sini rohani saya dibimbing oleh Pater P. Willekens. Setelah melihat bakat dan kemampuan saya, Pater Willekens mengusulkan agar saya bekerja untuk Misi di Jawa. Maka, berangkatlah saya ke Jawa. Sesampai di Jawa, tahun 1925, saya masuk ke pendidikan novisiat Yogyakarta. Ketika itulah, untuk pertama kalinya, saya belajar Bahasa Jawa dari temanteman di novisiat, seperti Martowerdoyo dan Pusposuparto. Martowerdoyo sudah meninggal dunia. Sedangkan Pusposuparto kini tinggal di Ordo Trappis, Rowoseneng, Temanggung, Jawa Tengah. Dialah pastor Katolik tertua di Indonesia. Selain belajar Bahasa Jawa dari temanteman, saya juga suka memraktekkannya dengan penduduk desa yang sering saya datangi. Memang benar, saya tidak melulu berkutat dengan pelajaran di kolese. Selaku mahasiswa filsafat, saya juga harus mengajar agama ke desadesa di sekitar Yogya, antara lain di daerah Sleman, dengan mengendarai sepeda. Saya mengajarkan agama sambil duduk di lembaran tikar dikitari penduduk desa. Dalam pertemuan seperti ini saya manfaatkan untuk belajar tembang Jawa. Karena sedikit banyak saya tahu musik, maka saya memberi notasi pada tembangtembang itu. Selain berkeliling ke desadesa, saya juga ditugasi mengajar Bahasa Latin dan Yunani selama dua tahun di Sekolah Menengah Seminari Kotabaru, Yogyakarta. Kala itulah, tahun 1928, Pater Willekens datang ke Jawa sebagai penilik untuk melihat perkembangan pendidikan itu. Ia juga mengajarkan pendidikan filsafat. Suatu saat, sebelum pelajaran dimulai, saya dipanggil Pater Willekens. Ternyata ia memerintahkan agar selama belajar filsafat, saya juga harus belajar dan mempersiapkan diri untuk studi Kebudayaan Jawa. Untuk itu, Pater Willekens sudah meminta Dr. C.C. Berg, yang waktu itu menetap di Solo, agar membimbing saya dalam studi Kebudayaan Jawa. Baru kali itulkah saya tahu kenapa Pater Willekens memilih saya bertugas di Jawa. Yakni untuk mempelajari Kebudayaan Jawa itu. Jadi Pater Willekens ikut menentukan jalan hidup saya. Saya berterima kasih untuk itu. Studi Kebudayaan Jawa saya terima sebagai tugas perutusan seorang Yesuit. Dan saya bahagia menjalankannya, karena tugas ini saya anggap meluaskan kerajaan Allah di dunia. Pada tahun 1934, Pater Willekens diangkat menjadi Vikaris Apostolik dan Uskup di Batavia, sehingga guru dan murid berpisah lagi. Tapi, ia masih sering menanyakan perkembangan studi saya. Selama belajar filsafat di Kolese Ignatius Yogyakarta, saya tekun mempelajari Jawa Kuno. Sementara itu tugas mengajar sebagai pamong di sem inari terpaksa saya tinggalkan, lantaran saya juga ingin mendalami Bahasa Arab dan Bahasa Sansekerta. Dua bahasa itu saya pelajari sendiri. Saya juga terus meminta nasihat Dr. Berg, bukubuku apa yang harus saya pelajari. Bahkan sesudah Dr. Berg diangkat sebagai Profesor di Universitas Leiden pun, setiap tahun saya masih melaporkan hasil studi saya lewat surat, sekaligus minta buku baru yang harus saya baca untuk tahun berikutnya. Akhirny a saya lulus dengan predikat cumlaude, pada tahun 1931. Berbarengan dengan itu, saya menerima pentasbihan rendah, pentasbihan sebagai calon pastor, di Girisanta, Ungaran, Semarang. Tapi, yang patut saya syukuri adalah saya sudah memiliki ijazah gimnasium jurusan A. Sehingga saya kemudian bisa diterima di Universitas Leiden. Di sana, saya diasuh oleh ahli Bahasa Melayu Ph.S.Van Ronkel, ahli Bahasa Sanekerta Vogel, ahli Bahasa Jawa C.C. Berg, ahli Sejarah Jawa dan Purbakala N.J. Keom, serta seorang orientalis terkenal Snouck Hurgronye. Karena Bahasa Sanskerta dan Arab sudah saya kuasai, maka kalau biasanya perlu waktu tiga tahun untuk menempuh sarjana muda, saya hanya butuh satu tahun. Tingkat sarjana pun saya tempuh hanya dalam waktu setahun, dan lulus dengan predikat cumlaude pada 7 Desember 1933. Selesai sarjana saya meneruskan pendidikan doktor. Prof. C.C. Berg, yang selalu mengikuti perkembangan studi saya, menjadi pembimbing saya dalam penulisan disertasi. Disertasi yang berjudul Pantheisme en Monisme in de Javaansche SoeloekLitteratuur saya pertahankan pada tanggal 30 Oktober 1935. Di tahun yang sama, disertasi itu diterbitkan. Meskipun selalu mendapatkan predikat cumlaude setiap lulus pendidikan tinggi, tapi pernah juga saya tidak lulus dalam suatu ujian di Yogya. Yakni ketika saya mengikuti ujian rijbewes, sekitar tahun 1953, saya gagal menyusuri putaran angka delapan dengan bromfit saya. Jadi, saya harus mengikuti ujian ulang. Dua hari kemudian saya diuji ulang dan saya berhasil. Ternyata ada seorang wartawan Kedaulatan Rakyat yang menyaksikan ujian rijbewes pertama yang gagal itu. Lalu dia menulis di rubrik kecil "SungguhSungguh Terjadi", bahwa ada seorang gurubesar yang selalu lulus dengan predikat cumlaude, namun tidak lulus ujian rijbewes. Setelah mendapat rijbewes atau SIM itu, selama 20 tahun saya memakai bromfit tersebut untuk keperluan transportasi di sekitar Yogya, dan juga untuk mengajar. Memang ada disediakan mobil jemputan, tapi saya pikir lebih merdeka menggunakan kendaraan sendiri. Ketika menjalani masa tertiat (periode terakhir seorang calon pastor memantapkan sumpahnya Red) di Belgia, pada Mei 1940, Jerman menduduki negara itu. Harusnya setahun saya di sana. Tapi akibat pendudukan itu, tertiat saya terganggu. Lalu saya meninggalkan Belgia untuk menyelamatkan diri ke Prancis. Tapi bulan Juni 1940, Prancis juga diserbu dan diduduki Jerman. Dalam suasana gawat itu, buruburu saya menghubungi Konsulat Belanda. Berdasarkan penjelasan yang saya terima, bahwa ada kapal dari Belanda yang akan mengangkut orang Belanda keluar dari Prancis, saya mengusulkan kepada petugas agar orang yang akan pulang supaya didaftar dan diberi nomor urut, sehingga nanti tak terjadi saling berebut. Usul saya itu disetujui, dan saya memperoleh nomor urut 117. Sementara itu, dua rekan saya yang akan berangkat ke Indonesia, Hein de Groot dan Adriaan de Kort, juga telah sampai di Prancis. Karena datang belakangan, mereka mendapat nomor urut 135 dan 136. Kapal pertama hanya bisa menampung 100 orang, sehingga saya terpaksa menunggu lagi. Tapi, beberapa jam kemudian datang berita dari konsulat bahwa ada kapal yang akan menyeberang ke negeri lain. Akhirnya, Juni 1940, berangkatlah saya dengan kapal itu, dilepas oleh lambaian tangan dua teman saya. Saya berharap bisa berkumpul lagi dengan mereka di Indonesia. Sebenarnya saya tidak tahu tujuan kapal yang saya tumpangi itu mau kemana. Hari itu adalah peringatan Santo Aloysius. Tapi, tak diduga Jerman melepaskan terpedonya dan menghantam satu dari lima kapal Belanda yang berangkat dari Prancis itu. Belakangan, setelah tiba di Inggris, saya baru tahu kalau di dalam kapal yang kena terpedo itulah dua teman saya tadi naik. Saya dengar kabar bahwa kapal itu hancur berantakan dan dua teman saya itu tewas. Skenario Illahi memang tidak dapat diduga. Tampaknya Tuhan menghendaki saya akhirnya bahagia di tanah Jawa. Namun ketika itu saya belum bisa pulang ke Jawa, karena situasi perang mengakibatkan tidak setiap saat tersedia kapal keluar dari Inggris. Apalagi saya juga masih mengurus izin keluar. Ketika ada kesempatan pulang ke Jawa, saya dianjurkan untuk menunda keberangkatan, karena situasi Perang Dunia II masih kacau. Tapi saya tetap bersikeras berangkat secepatnya. Waktu itu saya bertemu dengan seorang gadis Yahudi yang meminta nasihat kepada saya. Dan saya menganjurkan agar ia berangkat saja ke Indonesia. Tapi dia masih menunda perjalanannya, sedangkan saya mengambil kesempatan pertama, pada bulan Juli 1940. Setiba di Indonesia, saya mendengar kabar bahwa gadis Yahudi itu jadi juga berangkat, sebulan setelah keberangkatan saya. Kapal yang ditumpanginya sempat diserang Jerman, tapi untung gadis Yahudi itu bisa selamat setelah berenang matimatian ke pantai. Jika saya menunda keberangkatan itu, tak tahulah apa jadinya. Tuhanlah yang menaruh saya di Indonesia. Papanku sudah ditentukan di sini. MENULIS DI INTERNIRAN JEPANG masuk ke Indonesia pada tahun 1942. Saya, waktu itu bekerja di Seminari Kotabaru Yogya, termasuk orang Belanda yang terdaftar selaku orang yang harus diinternir. Pada bulan September 1943, saya ditahan di dalam Benteng Vredenburg Yogya. Saat itu tentara Jepang masih memperlakukan tahanan secara lunak. Mereka masih membolehkan tahanan membawa buku, tikar, dan bantal sendiri. Pada tahun 1944, saya bersama tahanan lain dipindahkan ke Cimahi, Jawa Barat, dengan kereta api. Meskipun dalam peraturan pemindahan tahanan itu kami dilarang membawa peralatan, saya sempat menyelundupkan buku Adiparwa saat operasi pemindahan berlangsung. Setiba di Cimahi, barulah saya merasakan sekali keganasan tentara Jepang. Jangankan daging sepotong, telur sebutir pun tak pernah kami makan. Orang hukuman hanya diberi makan ubi. Tak hanya masalah makanan yang buruk, juga masalah sandang. Pakaian yang saya pakai selama di penjara Cimahi adalah pakaian yang saya kenakan saat dipindahkan dari Yogya. Belum pernah kami diberi pakaian pengganti. Akibatnya, hampir semua Romo yang diinternir mengidap penyakit beriberi, kecuali saya. Kami juga dilarang mengirim surat kepada keluarga, dan juga tidak boleh ditengok keluarga. Namun, walau situasi kesehatan di penjara memprihatinkan, suatu keberuntungan bagi kami orang hukuman bisa setiap saat memperoleh pemeriksaan dokter. Saya harus sering diperiksa dokter karena sejak di Yogya sudah dalam keadaan sakit. Kemudian saya dipindahkan ke Baros, tempat interniran yang letaknya tak jauh dari Cimahi. Bersama saya dipindah pula 1.800 tahanan lainnya. Untung ada hiburan bagi saya di interniran karena saya bisa membaca buku Adiparwa yang ditulis oleh Dr. H.H. Joynboll. Selama dalam interniran itu saya mengumpulkan bahan yang belakangan, di Yogya, saya tulis menjadi sebuah buku berjudul De Tall Van Het Adiparwa. Buku setebal 267 halaman ini kemudian diterbitkan di Bandung tahun 1950. Dengan bantuan Poedjawiatna, buku itu kemudian disadur ke dalam Bahasa Indonesia menjadi dua jilid, diberi judul Bahasa Purwa. Sebenarnya, sudah sejak lama saya tertarik untuk mempelajari buku Adiparwa itu, tapi belum ada waktu dan kesempatan. Studi saya tentang Adiparwa ini tujuannya untuk memberikan pegangan bagi yang hendak mempelajari Bahasa Jawa Kuno. Bahasa Purwa diharapkan tidak hanya memberi pertolongan pada siswa dan mahasiswa saja, tapi juga memberi dorongan pada peminat lainnya untuk menyelidiki buku kuno yang terdapat di negeri ini. Buku Adiparwa saya anggap tepat bagi pemula untuk dipakai belajar Bahasa Jawa Kuno. Dalam interniran Baros, kami sering mengadakan diskusi dan sarasehan. Kebetulan Ph. Van Akkeren, yang senasib dengan saya di interniran Baros, membawa buku Oudjavaansch Nederlandsch Woordenlijst. Berdasarkan kedua buku itu, ditambah modal pengetahuan saya sendiri, kemudian saya juga menyusun Tata Bahasa Jawa Kuno. Saya dibolehkan pindah ke Yogya pada bulan September 1945. Tapi tak bisa langsung kembali ke seminari karena saya masih harus ditahan di Sekolah Netral, bekas sekolah HIS di Malioboro. Sebulan kemudian saya memeriksakan kesehatan saya ke dokter. Ternyata, menurut dokter, saya mengalami serangan jantung. Waktu itu saya yakin akan dikeluarkan dari tahanan di Sekolah Netral itu, karena tahanan yang berusia lanjut atau sakit biasanya dibebaskan oleh tentara Jepang. Dan waktu itu sebenarnya saya sudah akan dibebaskan, tapi tidak jadi. Sebaliknya, dari Sekolah Netral justru saya dipindahkan ke Bintaran, dan selanjutnya dipindah lagi ke Pundong di daerah Bantul. Di sana saya ditahan selama dua minggu. Akhirnya, karena kondisi kesehatan saya yang terus menurun, saya dibebaskan. KAMUS DAN KALANGWAN Kesenangan membaca Bahasa Jawa Kuno telah saya mulai sejak belajar di Leiden. Saya menyukainya karena eposepos Bahasa Jawa Kuno itu mengandung nilai yang tinggi. Keinginan saya itu semakin dipacu semenjak saya mengajar di Fakultas Sastra UGM. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, & Kebudayaan tahun 1950, saya diangkat sebagai gurubesar luarbiasa pada Fakultas Sastra, Pedagogik, Filsafat UGM. Selain di UGM, bulan Februari 1951, saya diangkat sebagai dosen Kursus BI Indonesia dan Jawa di Yogya. Di kursus ini saya memberi kuliah Bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta. Selain itu, saya juga masih mengajar di Kursus BII Sejarah di Jakarta, untuk matakuliah Filsafat Timur. Dua kali sebulan, selama sepuluh tahun, saya pulang balik YogyaJakarta. Padahal, tidak lama kemudian, bulan November 1952, saya diangkat sebagai sekretaris fakultas. Dengan demikian, waktu saya benarbenar tercurah untuk kemajuan fakultas. Tugas itu cukup berat karena Prof. Dr. R.M.Ng. Poerbatjaraka, ketua fakultas, lebih banyak berada di Jakarta daripada hadir di fakultas. Pada tahun 1955, saya dikukuhkan menjadi gurubesar tetap Fakultas Sastra UGM, setelah sebelumnya saya menanggalkan kewarganegaraan Belanda. Memang, agar bisa menjadi gurubesar tetap syaratnya haruslah menjadi warga negara Indonesia. Kalau masih warga negara asing, saya hanya menjadi gurubesar luar biasa. Maka saya putuskan saja untuk menjadi warga negara Indonesia. Saya tak menyesal mengubah status kewarganegaraan saya menjadi warga negara Indonesia. Toh dari dulu saya sudah tinggal di Indonesia. Bagi saya, sebenarnya menjadi warga negara Belanda atau warga negara Indonesia sama saja. Saya juga tak pernah merasa rindu dengan negeri Belanda. Sebab orang tua dan saudara saya semua sudah meninggal. Begitu juga halnya temanteman saya. Selain itu, dalam kurun waktu tahun 1954 hingga 1980, saya sering ke Belanda. Bahkan saya pernah tinggal selama setahun di sana. Saya justeru sering rindu Yogya bila sedang berada di Belanda. Bahkan kalau Tuhan mencabut nyawa saya, saya ingin itu terjadi di Jawa. Di Fakultas Sastra, saya memberi pelajaran Bahasa Jawa Kuno dan Sumber Sejarah pada Jurusan Sastra Sejarah. Dalam menyampaikan materi kuliah pada mulanya saya menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, karena asumsi saya ketika itu Fakultas Sastra baru berdiri, jadi mahasiswa saya semuanya dari Jawa. Tapi kemudian setelah mahasiswa saya datang dari berbagai macam suku, saya menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kuliah. Untuk memudahkan mahasiswa memahami Bahasa Jawa Kuno, saya mengarang buku yang merupakan bunga rampai yang ditulis dalam bentuk prosa. Judulnya Sekar Sumawur. Setiap mahasiswa saya anjurkan memiliki buku itu agar dapat lulus dengan baik. Tapi tak berarti dengan hanya memiliki buku itu merupakan jaminan lulus tanpa belajar sebaikbaiknya. Pernah terlontar suatu pernyataan dari seorang mahasiswa, ketika sedang berlangsung ujian Bahasa Jawa Kuno. Mahasiswa itu mengatakan bahwa Bahasa Jawa Kuno merupakan pelajaran yang sulit baginya, karena dia bukan orang Jawa. Hal itu kemudian saya jawab, bahwa saya sendiri berasal dari Belanda tapi dapat belajar Bahasa Jawa Kuno. Artinya, pada prinsipnya, semua ilmu itu dapat dipelajari oleh siapa pun. Misalnya, ketika saya mengajar Bahasa Jawa Kuno di Kursus BI, justru murid saya yang berasal dari Kalimantan Selatan yang menguasai pelajaran Bahasa Jawa Kuno. Saya juga sering mengoreksi penggunaan bahasa. Tapi dalam mengoreksi saya selalu menggunakan bahasa yang halus, sehingga tak menyinggung orang yang saya koreksi. Dan ternyata, mereka memang tidak merasa tersinggung. Mempelajari Bahasa Jawa Kuno itu penting bagi orang yang ingin mengetahui kebudayaan Indonesia kuno. Soalnya, dulu memang belum terbentuk Kebudayaan Indonesia. Sedangkan yang ada hanyalah Kebudayaan Jawa Kuno, Bali, dan lainlain. Sehingga, bagi orang yang ingin mempelajari Kebudayaan Indonesia Kuno, ya, mau tak mau harus belajar Bahasa Jawa Kuno. Kamus Bahasa Jawa Kuno yang terbit belakangan ini sebetulnya sudah mulai saya tulis sejak 1950. Saya perkirakan, untuk menyelesaikan kamus itu akan memerlukan waktu 10 tahun saja. Praktis, penyusunan kamus Bahasa Jawa Kuno itu merupakan tugas saya yang pokok, karena saya merasa kamus yang baik mengenai Bahasa Jawa Kuno sangat diperlukan. Apalagi tak ada orang yang mau membuat kamus itu. Setiap setengah bulan selama setahun, tatkala mahasiswa sedang libur, saya meneliti naskah Jawa Kuno di Bali, khususnya di Gedung Kirtya di Singaraja. Di sanalah saya membolakbalik lontar berisi sastra Jawa Kuno, yang masih terawat dengan baik. Tapi ternyata penyusunan kamus itu memerlukan waktu sampai 30 tahun. Dan sambil menyusun Kamus Bahasa Jawa Kuno, saya juga menulis buku yang kemudian diterbitkan dengan judul Kalangwan. Buku ini saya tulis selama empat tahun, jadi lebih cepat daripada menyusun kamus. Karena penyusunan kamus itu tidak bisa ditunda, tidak bisa menunggu hingga semua teks kuno diterbitkan, maka saya mulai mengumpulkan teks yang belum terbit dan salinan naskah dalam bentuk mikrofilm dan transliterasi dari Perpustakaan Universitas Leiden dan Kirtya Singaraja. Kemudian saya membuat register (daftar kata) dari teks yang saya miliki. Saya dibantu Kibat alias Natawihardja, yang sejak itu menjadi pembantu setia saya. Tapi, sayang, dia dipanggil Tuhan pada bnulan Juni 1981, sehingga tak sempat menyaksikan terbitnya kamus baru itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini