Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menipu, buron, eh bebas

Seorang buron yang diadili secara in absentia dibebaskan hakim. Padahal, wajahnya sudah ditayangkan di televisi. tepatkah vonis hakim?

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIEM Joe Tik memang hokki. Setelah berkali-kali lolos dari sergapan polisi dan menghilang, Senin pekan lalu, ia lepas lagi dari jerat hukuman penjara. Dalam sidang in absentia di Pengadilan Negeri Semarang, Ketua Majelis Hakim Soenarto membebaskannya dari tuduhan korupsi. "Perbuatan terdakwa bukan tindak pidana korupsi, melainkan persoalan perdata, maka terdakwa harus lepas dari tuntutan hukum," kata hakim Soenarto. Liem, lelaki 57 tahun, kelahiran Moy, Tiongkok, oleh Jaksa Kadir Sitanggang dituduh melakukan tindak pidana korupsi dengan cara memanipulasi kredit sebesar Rp 4,8 milyar dari tiga bank di Semarang (Bank Niaga, Bapindo, dan Bank Exim). "Terdakwa dengan cerdik memanfaatkan sertifikat ekspor yang diberikan pemerintah," ujar Sitanggang. Menurut jaksa, aksi kejahatannya itu dimulai pada awal 1985. Selaku pimpinan PT Sinar Cahaya, ia mengajukan kredit ekspor sebesar Rp 915 juta mulamula ke Bank Niaga, dan diterima. Sebagai agunan, ia menyerahkan 82 sertifikat tanah milik 63 petani singkong asal Kendal, Demak, Jepara, Batang, dan Semarang. Selain itu ia menjaminkan pula stok gaplek miliknya senilai Rp 218 juta, dan, letter of credit (L/C). Tahun 1987 dan 1989, Liem minta kredit lagi. Kali ini ke bank-bank pemerintah. Dari Bapindo ia mendapat Rp 2,5 milyar dan dari Bank Exim Rp 1,5 milyar. Agunan di Bapindo 81 sertifikat tanah, sementara di Bank Exim 109 sertifikat. Semuanya milik petani dari lima kabupaten tadi. Liem hanya membayar angsuran beberapa kali, dan pada akhir tahun 1989, ia kabur. Beberapa tempat persembunyiannya digrebek polisi, tapi Liem lolos. Pada 1990-1991, potret Liem sempat ditayangkan di televisi sampai empat kali, tapi hingga kini ia belum tertangkap. Karena itu, Liem disidangkan secara in absentia. Di persidangan terungkap bahwa perusahaan yang didirikannya fiktif. Nama Supreh, yang dipasang sebagai komisaris (Liem sebagai direktur utama), ternyata pembantu rumah tangga yang tak tamat sekolah dasar, yang bekerja di rumah Liem di kampung Brumbung, Semarang. Sertifikat tanah diperolehnya dari petani yang dipinjaminya uang. Para petani yang tampil sebagai saksi mengemukakan bahwa mereka memberikan sertifikat karena tergiur janji Liem, akan memberi keuntungan berlipat jika bersedia menanam singkong dan menjual hasil panenan kepadanya. Modal disediakan Liem. Dengan bujukan itu Liem berhasil memperoleh 272 lembar sertifikat milik 239 petani. Para petani yang lugu bahkan menurut saja ketika Liem menyuruh mereka membubuhkan tanda tangan atau cap jempol pada akta notaris sebagai syarat keluarnya uang pinjaman (dituliskan sebagai "memberikan kuasa pada Liem Joe Tik, menjual atau menjaminkan pada bank".) Jaksa Sitanggang menuntut Liem 10 tahun penjara dan denda Rp 3,5 milyar. Barang bukti, sertifikat tanah agar dikembalikan kepada para petani. Alasannya, sertifikat itu diperoleh terdakwa dalam upaya melakukan kejahatan. Terdakwa dinilai jaksa merugikan perekonomian dan keuangan negara, dengan cara menyelewengkan kredit ekspor yang diperoleh dari bank-bank pemerintah. Menurut Hakim Soenarto tuduhan jaksa memang terbukti, tapi perbuatan terdakwa semata hubungan perdata antara bank dengan terdakwa yang ingkar janji (wanprestasi) karena tak bisa melunasi pinjaman. Jadi, terdakwa tidak melakukan perbuatan pidana. "Seharusnya pihak bank mengajukan gugatan perdata karena wanprestasi," kata Soenarto. Hakim tak melihat keganjilan dalam proses pengajuan kredit. Sertifikat agunan terdakwa sah, karena diperkuat akta notaris. Karena itu, permintaan jaksa agar sertifikat dikembalikan kepada para petani ditolak hakim. "Sertifikat tetap harus dikembalikan pada bank, karena para petani juga belum melunasi utangnya kepada terdakwa." Sebagai kosekuensi keputusan pembebasan terdakwa, hakim memerintahkan jaksa merehabilitasi harkat dan martabat terdakwa. Namanya tercoreng karena tampangnya sempat "ditelevisikan". Jaksa langsung kasasi, dan para para petani menyatakan putusan itu tak adil. Ahli hukum pidana, Prof. Muladi, pun menyesalkan vonis hakim membebaskan terdakwa. "Putusan itu bisa menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi," kata Muladi, yang ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia. Perbuatan terdakwa, kata Muladi tegas, tak bisa dikategorikan wanprestasi. Uang yang diperoleh dari bank pemerintah -- berarti milik negara -- jelas diselewengkan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk ekspor seperti yang dijanjikan. "Baru bisa disebut wanprestasi kalau uang itu digunakan untuk ekspor, kemudian ia bangkrut," ujar ahli hukum itu. Buntut lain perkara ini, permintaan hakim memulihkan nama baik terdakwa. Bagaimana sikap Kejaksaan Agung, yang terlanjur menayangkan wajah terdakwa di televisi? "Kalau putusannya begitu, kejaksaan akan konsekuen. Tapi jaksa kan masih kasasi, jadi tunggu saja hasilnya," komentar Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Murni Rauf. Murni Rauf menegaskan bahwa penayangan para buron (pelaku tindak pidana khusus) di televisi akan terus dilakukan. Idenya dicetuskan almarhum Jaksa Agung Soekarton pada 1989, antara lain, untuk membuat jera para koruptor dan penyeleweng di bidang ekonom. Rauf mengutarakan, dari segi hukum usaha ini tak menyalahi undang-undang. "Sesuai UU Kejaksaan, jaksa bisa bertindak atas dasar dugaan. Soal pembuktian salah dan benar itu urusan pengadilan," katanya. Muladi sependapat dengan Rauf. Penayangan itu tak menyalahi hukum. Sebab, penayangan sifatnya semacam pemberitaan, jadi bukan hukuman. "Di luar negeri kita sering menjumpai poster wanted bagi para pelarian. Pengumuman mencari buronan ini di mana pun dibenarkan secara hukum," tegas Muladi. Aries Margono, Bambang Sujatmoko (Jakarta), dan Heddy Lugito (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus