Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Perkara hidung bangir

Seorang dokter dipidanakan karena menyebabkan hidung pasien cacat. untuk pertama kali kelalaian dokter disidangkan.

20 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK sedikit orang mengagumi penampilan Sieny Tanjung. Tubuhnya jangkung, kulitnya putih bersih, dan wajahnya menarik. Penampilan wanita berusia 38 tahun ini pun selalu modis. Maklum, ia pemilik salon kecantikan di kawasan elit Darmo Permai, Surabaya. Namun, pesona itu belum cukup buat Sieny. Ia penasaran, hidungnya yang bangir bisa sempurna. Bedah plastik menjanjikan kemungkinan ini. Malang, hidungnya malah membesar dan terus-menerus infeksi. Kerusakan hidung Sieny itu kini menjadi kasus hukum. Sieny melaporkan dr. Lee Kai Seng, yang mengoperasi hidungnya, ke polisi. Pekan ini Lee diajukan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Surabaya dengan tuduhan melakukan tindak pidana, malpraktek yang menyebabkan kerusakan fisik. Persidangan Lee bisa dibilang istimewa. Inilah pertama kalinya dokter berhasil disidangkan sebagai perkara pidana. Biasanya, dokter yang dituduh malpraktek digugat secara perdata. Umumnya dokter menang, karena malpraktek sulit dibuktikan sebelum sampai di pengadilan. Dalam kasus Sieny, malpraktek Lee sulit disangkal. Lee bukan dokter bedah plastik, izin praktek yang dipegangnya, dokter umum. Namun, persoalannya dengan Sieny tidak sederhana. Bukan hanya soal pelanggaran izin praktek. Sieny sudah tiga tahun menjadi pasien Lee, dan Lee sejak Agustus 1990 sudah empat kali mengoperasi hidung Sieny. Dan Sieny tahu Lee adalah dokter umum. Si Bangir mengaku tergiur karena promosi Lee. Niatnya mantap karena Lee mengaku mengambil keahlian bedah plastik di Taiwan. Lee menunjukkan foto-foto wanita yang telah dioperasinya. "Saya percaya dia lulusan Taiwan," ujar Sieny. " Selain itu, tidak ada dokter lain yang mau mengoperasi saya." Memang, sebelumnya Sieny sudah menghubungi ahli bedah plastik terkenal Djohansyah Marzoeki. Ketika Sieny mengutarakan niatnya, Djohansyah langsung menolak. "Buat apa dioperasi wong hidungmu sudah mancung," kata Sieny menirukan ucapan Djohansyah. Ketika Sieny datang ke Djohansyah, hidungnya sebenarnya sudah tidak asli lagi. "Sekitar dua puluh tahun yang lalu hidung saya sudah pernah disuntik silikon," ujar si Bangir. Karena bentuk hidungnya tak bisa permanen, beberapa tahun kemudian, hidungnya dioperasi lagi oleh seorang dokter di Jakarta. Sebelum menjadi pasien Lee, Sieny menjajaki pula ahli reparasi hidung di Ujungpandang. Itu sebabnya pengacara Lee, Soetedja Djajasasmita berdalih bahwa riwayat pembedahan hidung Sieny sudah panjang. "Sebelumnya ia ditangani dokter lain. Lee bukan penyebab rusaknya hidung Sieny," ujar pengacara ini. Menurut Soetedja, Lee hanya membantu mengeluarkan silikon cair yang dikeluhkan Sieny merembes ke hidungnya. Keterangan itu tentu dibantah Sieny, "Saya bolakbalik dioperasi karena hidung saya membengkak dan infeksi setelah operasi pertama." Operasi bertubi-tubi ini bahkan membuat cuping hidungnya sobek. Sieny mengaku sampai mengeluarkan Rp 1,9 juta untuk operasi yang gagal ini. "Saya tetap membayar mahal, padahal hidung saya semakin rusak," katanya. Hidung Sieny baru beres setelah akhirnya Djohansyah mau mengoperasinya. Pemidanaan dokter, menurut Prof. J.E. Sahetapi, bisa saja terjadi. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga ini, kelalaian dr. Lee cukup jelas. Sebagai dokter umum ia tak berhak melakukan operasi. "Ia telah melakukan malpraktek. Bagaimanapun dokter itu tidak bisa berkilah hidung pasiennya sudah rusak ketika datang padanya. Seharusnya ia menolak, sebab ia bukan ahlinya," kata Sahetapy. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr. Kartono Muhamad, sependapat dengan Sahetapy. Ia menjelaskan Seorang dokter umum ditolerir melakukan mengoperasi bila menghadapi keadaan gawat darurat. Operasi plastik yang dilakukan dr. Lee Kai Seng, jelas bukan keadaan darurat, bahkan tidak termasuk kategori pengobatan. "Pasien kan tidak akan menjadi sakit atau gila garagara tidak berhidung mancung," ujar Kartono. Sayang, meski banyak dipojokkan, Lee enggan dimintai konfirmasi. "Sudahlah. Toh korbannya tidak sampai cacat atau mati. Kita tunggu saja klimaksnya di persidangan," kata Lee ketika ditemui TEMPO saat ia meninggalkan tempat prakteknya. Persidangan Lee yang mendapat perhatian masyarakat layak ditunggu, apakah sampai ke keputusan atau mentah. Sejauh ini belum pernah ada kasus malpraktek bedah plastik yang berhasil dituntaskan di pengadilan. Menurut catatan TEMPO, dua kasus malpraktek sejenis yang sempat ramai di media massa, tak terdengar kabarnya lagi setelah diproses polisi. Kasus yang satu, yang sangat ramai diberitakan, menyangkut kematian istri seorang ketua pengadilan di Jakarta. Wanita setengah baya ini menjalani operasi plastik vagina, atau vaginoplasty. Dokter yang mengoperasinya -- dokter umum juga -- hanya dicabut izin prakteknya selama beberapa bulan oleh Departemen Kesehatan. Kasus lainnya menimpa seorang penyanyi Taiwan yang meninggal karena penyuntikan. Kesalahannya jelas, karena penyuntikan dilakukan seorang perawat. Kasus terakhir ini, meski berhasil disidangkan, akhirnya mentok di pengadilan tingkat pertama. Dakwaan jaksa ditolak hakim. Sugrahetty Dyan K. dan Andi Reza Rohadian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus