Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan mendorong pembahasan kembali dengan melibatkan masyarakat sipil.
Rancangan beleid itu dinilai masih dipenuhi sejumlah pasal bermasalah. Seperti bab tentang Tindak Pidana Berat terhadap HAM Pasal 680 hingga 683 sesuai draft RKUHP per 2 Februari 2018. Pemerintah juga kembali memunculkan pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan kebencian terhadap pemerintah. Aturan itu tertera dalam Pasal 238, 239, 259, dan 260 RKUHP. Padahal pada 2006, aturan yang sama telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi.
Kepala Bidang Advokasi Putri Kanesia menilai aturan itu semakin bermasalah karena diubah menjadi delik umum dari sebelumnya delik aduan. Artinya, siapapun yang menghina presiden dapat diproses hukum tanpa menunggu aduan korban
KontraS juga menyoroti masih adanya pidana hukuman mati dalam RKUHP. Pidana mati dalam rancangan beleid itu diatur sebagai pidana alternatif. Artinya, setiap terpidana mati harus menjalani masa tunggu selama 10 tahun dalam tahanan sebelum pemerintah mengevaluasi sikap terpidana.
Berkaca dari masalah-masalah tersebut, KontraS mendesak DPR untuk mengkaji ulang RKUHP yang saat ini dirancang dengan mengundang masyarakat sipil untuk menghindari pertentangan aturan dengan konstitusi, prinsip demokrasi, dan HAM.
Jurnalis video: Vindry Florentin
Editor/Narator: Ryan Maulana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini