Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Film dokumenter Koesroyo: The Last Man Standing merekam kisah Yok Koeswoyo.
Dia anggota grup musik legendaris Koes Plus terakhir yang masih hidup.
Rekaman penting tentang legenda terakhir grup ini.
KOMPLEKS rumah keluarga Koeswoyo di Jalan Haji Nawi Raya, Gandaria Utara, Jakarta Selatan, masih terlihat teduh oleh rindangnya pepohonan. Mural empat wajah anggota grup musik kondang legendaris Koes Bersaudara di tembok terlihat memudar digerogoti masa. Dari gerbang hijaunya, terlihat sebuah rumah bercat putih yang terlihat kosong dan terbengkalai. Di salah satu sudut halaman, arca Ganesha duduk setinggi sekitar 1 meter tampak di antara pohon dan bunga. Sebuah saung dengan beberapa kursi serta foto personel Koes Bersaudara, Yesus, dan Sukarno terpampang di latar saung yang bergambar hamparan padi menguning.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa mobil terparkir di halaman kompleks yang berisi tujuh rumah keluarga Koeswoyo. Salah satunya mobil bertulisan “Koesroyo: The Last Man Standing” di halaman rumah Louisa Herning Hapsari alias Sari Koeswoyo, putri sulung Koesroyo. Di samping kiri rumah Sari itulah rumah Koesroyo, yang lebih dikenal sebagai Yok Koeswoyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di teras kecil yang teduh, terdapat empat kursi kayu dan bantal serta sebuah meja kayu bertaplak merah dengan kombinasi putih di pojok dekat pintu. Sekotak rokok dan sebotol cairan pembasmi nyamuk berada di atasnya. Di pojok lain, ada sebuah meja kayu memanjang dengan beberapa hiasan kayu, korek api, dan pernak-pernik lain.
Yok Koeswoyo (kanan) didampingi putrinya, Sari Koeswoyo, saat acara pemutaran film dokumenter Koesroyo: The Last Man Standing di CGV FX Sudirman, Jakarta, 25 November 2024. Tim Dokumenter Koesroyo
Foto-foto anggota Koes Plus dan Koes Bersaudara yang mulai menguning terpajang di dinding. Ada foto Yok dan Koesyono “Yon” Koeswoyo serta Kasmuri alias Murry. Dalam salah satu foto terlihat Yok bertopi koboi di depan hamparan padi. Di bidang dinding lain, ada kolase foto Yok bersama beberapa orang menikmati suasana di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, bertarikh 2014.
Rumah itu sepi. Penghuninya sedang beristirahat. Michelle Beguin, istri Yok, tengah pulang kampung ke Prancis. “Biasanya Bapak siang-sore istirahat, nanti baru bangun menjelang pukul 18.00,” kata Warti, asisten rumah tangga Sari Koeswoyo. “Pagi keluar, ngopi pahit dan merokok, sarapan juga. Nanti setelah itu istirahat sampai siang, lalu makan siang. Begitu saja,” ucapnya pada Selasa, 7 Januari 2025.
Pada 81 tahun usianya, Yok juga sudah mulai sering lupa. Menurut Sari, suasana hati Yok sangat terpengaruh peristiwa meninggalnya saudara-saudaranya dan Murry. “Dia merasa sudah tua, sudah waktunya pergi, sudah antre,” tuturnya pada Jumat, 20 Desember 2024.
Yok Koeswoyo adalah satu-satunya personel Koes Plus dan Koes Bersaudara yang masih hidup. Koestono alias Tonny Koeswoyo meninggal pada usia 51 tahun di Jakarta, 27 Maret 1987. Murry meninggal pada usia 64 tahun di Bekasi, Jawa Barat, 1 Februari 2014. Yon Koeswoyo mengembuskan napas terakhir pada usia 77 tahun di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, 5 Januari 2018. Koesdjono alias John Koeswoyo wafat pada usia 90 tahun di Surabaya, 2 Desember 2022. Koesnomo alias Nomo Koeswoyo meninggal pada usia 85 tahun di Magelang, Jawa Tengah, 15 Maret 2023.
Yok Koeswoyo adalah pemain gitar dan bas di grup musiknya. Dia kini seperti menjauh dari keriuhan hidup dan lebih banyak menikmati masa tuanya di kompleks rumah keluarga besarnya.
Film dokumenter Koesroyo: The Last Man Standing besutan sutradara Linda Ochy merekam kehidupan Yok. Film ini terpilih sebagai unggulan dalam Festival Film Indonesia 2024 kategori Film Dokumenter Terbaik. Koesroyo juga menjadi film pilihan di LA Femme International Film Festival 2024 di Los Angeles, Amerika Serikat. “Mungkin karena produser atau sutradara dan pemainnya perempuan meski obyek ceritanya seorang laki-laki,” kata Linda.
Film sepanjang 61 menit itu dibuka dengan adegan Yok Koeswoyo berjalan di seputar rumahnya. Berpeci hitam dengan pin Garuda Pancasila, dia bertutur, “Saya anggota Koes Plus dan Koes Bersaudara yang masih hidup sampai saat ini.”
Yok lahir di Tuban, Jawa Timur, 3 September 1943. Dia putra ketujuh dari sembilan bersaudara pasangan Raden Koeswoyo dan Raden Roro Atmini. Sebagai keluarga ningrat dan berkecukupan, Yok dan saudara-saudaranya punya kemewahan untuk memainkan berbagai alat musik, termasuk gamelan. Meskipun sang ayah tak setuju, Tonny, Nomo, dan Yon tetap senang bermusik. Setelah pindah ke Jakarta, mereka lebih intens bermusik.
Pada 17 Februari 1958, berdiri grup musik Koes Bersaudara dengan formasi awal yang terdiri atas John (bas), Tonny (gitar utama, kibor, dan vokal), Yon (vokal dan gitar pengiring), Yok (gitar pengiring dan vokal), serta Nomo (drum dan vokal). Formasi ini hanya bertahan sampai 1963. Setelah album pertama dirilis, John mengundurkan diri. Tapi Koes Bersaudara berlanjut dengan empat anggota.
Murry kemudian direkrut sebagai penabuh drum dan grup itu berganti nama menjadi Koes Plus pada 1969. Konflik mewarnai kelompok ini ketika Murry masuk. Yok bahkan memutuskan keluar, tapi lantas kembali setelah dibujuk saudara-saudaranya. Setelah itu, hadirlah legenda. Koes Plus menjadi salah satu grup musik Indonesia yang paling terkenal sejak kemunculannya hingga kini.
Film ini menggambarkan secara ringkas perjalanan Yok bersama Koes Bersaudara dan Koes Plus. Di antaranya konser mereka di berbagai daerah, lagu-lagu mereka, dan pemberitaan media massa. Ada pula cerita tentang para personel bersama keluarga masing-masing.
Yok dan saudara-saudaranya pernah dipenjara di masa Orde Lama selama tiga bulan. Saat itu Presiden Sukarno menyatakan musik The Beatles, grup dari Liverpool, Inggris, sebagai wujud imperialisme budaya dan menyebutnya sebagai irama “ngak-ngik-ngok”. Sukarno lantas menerbitkan surat penetapan presiden yang melarang musik berbau Barat.
Anggota band Koes Plus Murry, (kiri) Yok Koeswoyo, dan Yon Koeswoyo dalam konser 'Koes Plus Live Reuni in Acoustic Exclusive' di Balai Kartini, Jakarta, 27 September 2013/Dok.Tempo/Nurdiansah
Pada Maret 1965, Koes Plus membawakan tembang The Beatles di sebuah restoran di Jakarta. Mereka dipanggil polisi, tapi dibebaskan setelah berjanji tidak memainkan lagu The Beatles lagi. Namun mereka kemudian ditahan setelah membawakan lagu-lagu The Beatles dalam sebuah acara di Jakarta pada Juni 1965. Mereka lantas dibui dan baru dilepaskan sehari sebelum pecah peristiwa Gerakan 30 September.
Film ini bukan tentang perjalanan Koes Plus dan Koes Bersaudara, melainkan kisah Yok yang nyentrik dan agak meledak-ledak tapi juga romantis dan melankolis. Hal itu tampak dari beberapa adegan dalam film ini, seperti ketika Yok menyanyi bersama Sari dengan ceria dan ekspresif.
Yok juga bersemangat ketika menuturkan cerita di balik kelahiran lagu-lagu ciptaannya. Tapi dia hanya terdiam dan matanya berkaca-kaca ketika ditanyai tentang “Sonya” dan “Maria”, dua lagu yang ia persembahkan untuk istri pertamanya, Maria Sonya Tulaar. Lagu yang pertama lahir setelah mereka menikah dan yang kedua sesudah Sonya meninggal karena kecelakaan.
Yok kemudian menikahi Michelle Beguin. Ia juga menciptakan beberapa lagu untuk Michelle sebagai ungkapan cinta. Percakapan pasangan ini direkam dengan apik. Michelle mengatakan bahwa mereka kini mengusahakan hidup yang tenang dan sedikit agak gila. “Memang kita gila, kok,” ujar Yok, tersenyum lebar.
Dalam adegan lain, Yok terlihat bersemangat ketika mengisahkan lagu “Nusantara 1” sampai “Nusantara 9” dan lainnya. “Kami ingin menanamkan rasa memiliki dan mencintai negara ini,” ucap Yok tentang lagu-lagu itu.
David Tarigan, salah satu pendiri lembaga pengarsip musik Irama Nusantara, mengatakan lagu-lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara, termasuk karya Yok, sangat unik dan menggelitik. David terpesona pada lagu-lagu grup ini sejak remaja. David juga menjadi salah satu narasumber dalam film ini. Irama Nusantara telah menyimpan dan mendata sejumlah arsip tentang Koes Plus dan Koes Bersaudara.
David menilai lagu-lagu mereka membawa pesan yang mudah dicerna. Ia paling menyukai lagu ciptaan Yok Koeswoyo, “Pencuri Hati”, dalam album Koes Plus Volume 2. Tembang itu dibuka dengan teriakan melengking Yok dalam irama musik rock. “Mana ada teriakan seperti itu di zaman itu? Gokil, sih,” ujar David. “Dari anggota yang ada, kalau diajak nongkrong, pilihannya satu, ya Yok Koeswoyo, kayaknya asyik.”
Ada beberapa penggemar Koes Plus yang menjadi narasumber dalam film tersebut, seperti Hilmar Farid, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Ais Suhana, penulis buku Kisah dari Hati: Koes Plus Tonggak Industri Musik Indonesia; Wasis Susilo, pembina komunitas Koes Plus Jiwa Nusantara; dan Edy Kuncoro, pendiri Koes Plus Fans Surakarta (KPFS) di Solo, Jawa Tengah.
Personel grup musik Koes Plus: Yon Koeswoyo (kiri), Yok Koeswoyo (kedua kiri), dan Nomo Koeswoyo (kanan) saat konser di Purwokerto, Jawa Tengah, 17 September 2011/Tempo/Aris Andrianto
Edy Kuncoro, yang lama berhubungan dengan personel Koes Plus, terutama ketika grup itu berpentas di Solo, mengingat personel Koes Plus sebagai orang-orang yang punya beragam karakter. Dia mencontohkan, Yon Koeswoyo rendah hati, Murry humoris, dan Yok cenderung moody. “Memang paling sukar kalau menceritakan sosok Yok Koeswoyo, yang eksentrik, cenderung angin-anginan. Kalau sedang mood ya mau ketemu dan kalau memang sudah kenal bisa diajak ngobrol,” tuturnya.
Yok, Edy melanjutkan, juga suka meminum kopi pahit. “Dia paling suka kopi pahit. Setiap konser harus ada kopi dan ada yang khusus membuatkan,” kata Edy. “Dan Mas Yok paling tidak suka ditanya umur.”
Edy menceritakan kejadian lucu ketika Yok “mengakali” penggemarnya. “Waktu itu dia mengeluh, `Wah aku disalami terus, kesel.´ Akhirnya tangannya dibalut perban. Nah, melihat (tangan Yok diperban), tidak ada yang menyalami, kan. Dia bilang, `Aman´,” ucapnya, lalu tertawa.
Edy juga pernah dimarahi Yok. Edy saat itu mengasuh acara musik di sebuah stasiun radio di Solo dengan bintang tamu Koes Plus. Yok tiba-tiba gusar ketika Edy memutar lagu “Cingciripit”. “Dia menunjuk saya dan kemudian ke luar ruangan. Belakangan baru saya tahu lagu `Cingciripit´ saat itu belum resmi dirilis Koes Plus,” tuturnya.
Angwyn Aribawa, pengurus KPFS, khawatir Yok tak mau tampil dalam konser. Dia pun segera membujuk Yok. “Tapi setelah itu justru Mas Yok meminta maaf kepada saya,” katanya.
•••
TAK mudah bagi Sari Koeswoyo, sutradara Linda Ochy, co-executive producer Ria Pinasthia, dan penulis naskah Astri Apriyani untuk menghadirkan sebuah film tentang Yok Koeswoyo. Film Koesroyo adalah “perasan” materi syuting selama hampir setahun masa produksi. Linda dan timnya nyaris “lempar handuk” ketika harus memangkas materi yang panjang menjadi empat jam, lalu diedit lagi menjadi 120 menit, dan akhirnya 90 menit. Berkat Andhy Pulung, Linda membereskan penyuntingan akhir menjadi 61 menit. Andhy adalah editor beberapa film, seperti Opera Jawa (2006), Denias (2006), King (2009), Tanah Air Beta (2010), dan Hari untuk Amanda (2010), serta sutradara film Keumala (2011).
Linda-lah yang menyodorkan tawaran membuat film dokumenter ini kepada Sari. Linda adalah produser Membicarakan Kejujuran Diana, film dokumenter pendek yang disutradarai Angkasa Ramadhan dan memenangi Piala Maya 2021 serta Film Cerita Pendek Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Dia juga penulis naskah tiga film dokumenter, yakni Nada-nada Penting, Mena Musik Amboina, dan Musik Bhumi Sambhara Budhara, yang semuanya dirilis pada 2022.
Sari pada awalnya berkeinginan membuatkan konser untuk sang ayah. Tapi konser tentu membutuhkan dana dan usaha yang besar. “Aku ingin mempersembahkan sesuatu untuk Papa sebagai satu-satunya anggota grup musik yang dulu jaya, melegenda di seantero Nusantara. Orang bisa mengingat dia dan kebesaran grupnya,” ucap Sari di studio milik Linda di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada Jumat, 20 Desember 2024.
Kalimat senada disampaikan Sari dalam film itu. Dengan suara tertahan dan mata berkaca-kaca, Sari menyebutkan betapa para musikus perlu melihat Koes Plus yang telah berkarya beberapa dekade dan menghibur jutaan orang. Ia juga mengungkapkan soal royalti dan nasib para musikus legendaris anggota grup itu, yang tidak sejahtera di masa tua.
Mereka kemudian segera merencanakan pembuatan film dan menemui sang sahibulhikayat, Yok Koeswoyo, untuk meminta izin sekaligus mewawancarainya. Tapi ternyata upaya itu tak mudah karena Yok sudah kadung pasrah menjalani hidup di hari tua. Linda dan timnya mendekati Yok. Suasana hati Yok yang sering tak tertebak membuat Linda harus sangat bersabar menghadapinya.
Linda Ochy, sutradara film Koesroyo: The Last Man Standing. Tim Dokumenter Koesroyo
Berbekal kue mandarin, bika ambon, dan kue lumpur kesukaan Yok, Linda pun maju. “Waktu itu niatnya baru mau ngobrol awal dulu dan sudah disiapkan beberapa pertanyaan awal. Tapi Om Yok malah bilang, `Kalau begitu sekarang saja, besok saya belum tentu masih ada´,” tutur Linda.
Linda langsung menyiapkan “alat perang” yang untungnya sudah dibawa meski belum lengkap. Setidaknya ia telah mendapatkan lampu hijau dari si empunya cerita. “Hari itu juga (wawancara). Baru setelah itu lanjut di hari-hari lain. Tapi itu juga tidak mudah,” ujarnya.
Linda dan Sari menyiapkan pertanyaan-pertanyaan untuk menggali cerita dan ingatan Yok. Ada bagian ketika Yok enggan menjawab pertanyaan di hadapan kamera yang masih merekam. Tapi, ketika kamera dimatikan, ia malah asyik bercerita. Linda lantas bersiasat. Ia memerintahkan juru kamera menghentikan perekaman, tapi telah menyiapkan kamera lain yang masih menyala untuk mendapatkan cerita Yok.
Linda menuturkan, saat merekam wawancara Yok, ia menyiapkan empat kamera yang ditempatkan secara terpisah dan tersembunyi. Hasilnya, ketika film itu diputar dan dilihat pertama kali, Yok cukup terkejut. “Om Yok sepertinya merasa ditelanjangi,” ucapnya.
Menurut Sari, bagian-bagian itu memperlihatkan sisi lain ayahnya. Dia mengatakan ayahnya bukan tipe orang yang dengan mudah memperlihatkan kelemahan pribadi. Sang ayah harus tampak sebagai lelaki yang kuat dan tegar.
Ketika Yok enggan bercerita tentang sesuatu, tim mencari kisah itu dari orang lain yang mengetahuinya, biasanya para penggemar. Tapi Sari menilai ayahnya akhirnya senang terhadap film itu.
Biasanya, saat hendak membuat film dokumenter, produser dan tim produksi melakukan riset panjang serta mengumpulkan materi pendukungnya dulu. Tapi Linda dan timnya bekerja agak berbeda karena mempertimbangkan kondisi Yok. Data dan materi pendukung dicari sembari syuting berjalan dan setelah wawancara, lalu dimintakan konfirmasi. Mereka juga mengumpulkan foto, kliping koran, dan arsip musik dari berbagai pihak, termasuk para penggemar serta komunitas pencinta Koes Plus dan Koes Bersaudara.
Sari, produser sekaligus aktor dalam film ini, berusaha memancing dan menggali kisah dari ayahnya. Di matanya, sang ayah bukanlah sang musikus legendaris. Dia adalah seorang ayah dan manusia biasa yang punya kelemahan serta kekurangan. Ada kalanya Sari merasa sebal sebagai anak, apalagi saat ia masih kecil. Dia mencontohkan, ketika ia ingin menyanyi seperti sepupunya serta berkonser dan membuat album, ayahnya bersikap sangat keras. “Boleh kalau jadi juara I, rapor bagus,” kata Sari, menirukan jawaban sang ayah. “Jadi ya kejar itu dan, ketika berhasil, izin pun didapatkan. Tapi lama-lama kan capek.”
Personel grup musik Koes Plus, Yok Koeswoyo, dalam konser "Hiburan Rakyat Nusantara" di Taman Mini Indonesia Indah , Jakarta, 23 Juni 2012/Dok.Tempo/Dasril Roszandi
Ayahnya juga sangat keras kepada keluarga dalam hal aktivitas musik Koes Plus. Sari bercerita, ayahnya dan anggota lain Koes Plus tak membolehkan anak dan istri mengikuti tur ke luar kota atau menonton konser mereka, bahkan datang ke studio rekaman. Ibu tirinya, Michelle Beguin, hanya menyiapkan kostum, tak pernah menyaksikan konser mereka.
Personel Koes Plus bekerja secara spartan. Sari mengungkapkan, suatu hari Tonny Koeswoyo mengunci studio agar perekaman berjalan serius. Pintu baru dibuka ketika ada yang akan ke kamar kecil. Adik-adik Tonny merasa bekerja seperti kuda: menjalani perekaman, mengikuti tur, lalu masuk studio lagi. “Om Yon sampai ngumpet di balik gorden, sementara yang lain berlagak sakit perut tapi kabur pulang. Dari itulah akhirnya lahir lagu `Jemu´,” tuturnya. Grup ini memang sukses besar dan bahkan pernah menghasilkan 22 album dalam setahun.
Ketika menginjak usia remaja, Sari pernah berupaya menonton konser Koes Plus. Yok pun marah-marah. Bagi ayahnya, panggung dan studio rekaman adalah “kantor” yang tak boleh diganggu-gugat keluarga. Sari dan sepupunya juga pernah nekat menyaksikan pentas ayah mereka di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Ia menonton tak jauh dari pagar. Tangannya tersangkut pagar dan berdarah. Yok panik dan terpaksa turun panggung. “Jadi pas jaya-jayanya mereka ya saya tidak pernah tahu aksi mereka di panggung,” ucap Sari sambil memperlihatkan bekas luka di tangannya. Setelah dewasa, barulah Sari dan saudara-saudaranya bisa membeli tiket dan menonton penampilan mereka diam-diam. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Septhya Ryantie berkontribusi dalam artikel ini. Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judu "Legenda Terakhir Koes Plus".