Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para penggemar merawat kenangan terhadap Koes Plus dengan berbagai cara.
Ada yang mengoleksi kaset dan cendera mata, ada juga yang mendirikan komunitas.
Grup pelestari Koes Plus juga rajin berkonser membawakan lagu-lagu grup legendaris itu.
POSTER besar bergambar empat personel Koes Plus terpasang pada dinding ruang tamu Edy Kuncoro, penggemar grup musik legendaris Indonesia itu. Di poster itu ada sosok Koesyono “Yon” Koeswoyo, Koesroyo “Yok” Koeswoyo, Kasmuri alias Murry, dan Koestono “Tonny” Koeswoyo yang bergaya dengan kemeja dan celana jins cutbrai, tren busana 1970-an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah beralamat di Jalan Kuwiran 1 Nomor 2, Desa Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, itu menjadi salah satu markas penggemar Koes Plus. Edy, 63 tahun, adalah penasihat dan salah satu pendiri Koes Plus Fans Surakarta (KPFS), komunitas pencinta Koes Plus dan Koes Bersaudara di Surakarta dan sekitarnya di Jawa Tengah. Rumah Edy sering menjadi tempat berkumpul para penggemar grup itu untuk bersilaturahmi, berdiskusi, hingga berkoordinasi menyiapkan konser.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain Edy, anggota komunitas itu antara lain adalah Angwyn Aribawa, 62 tahun; Endang Alia (63); dan Jajang Pribadi (35). KPFS termasuk komunitas yang cukup dekat dengan Koes Plus. “Kalau Koes Plus manggung di Solo, kami-kami ini yang biasanya dicari para personelnya,” kata Edy pada Selasa, 31 Desember 2024.
Jajang Pribadi adalah anggota KPFS dari generasi muda. Pemuda asal Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, ini menjadi pencinta Koes Plus secara alami. “Kalau saya menggemari lagu-lagu Koes Plus itu murni hidayah. Sukanya bukan dari warisan orang tua dan sebagainya, tapi karena memang pilihan hati,” ucapnya.
Jajang mengungkapkan, dia mengenal Koes Plus saat masih kecil, ketika orang tuanya sering memutar lagu pop lawas yang dibawakan penyanyi seperti Dian Piesesha, Obbie Messakh, dan Tommy J. Pisa, juga Koes Plus. “Setiap kali lagu Koes Plus diputar, saya pasti mendekat,” tuturnya. “Saya lihat sampul kasetnya, saya lihat ini grup apa, dan ternyata Koes Plus. Sejak itu terpatri di hati saya karena inilah yang paling bisa saya terima di hati.”
Jajang lalu mulai mencari informasi mengenai grup musik itu. Saat mencari buku Koes Plus: Dari Pagi yang Indah hingga Menjelang Senja yang ditulis Jacky Chauzaky, Nandang Suherlan, dan Hannoeng M. Noer pada 2007, Jajang bertemu dan berkenalan dengan Edy Kuncoro hingga menjadi teman. Dari pertemanan itu, dia bisa mengenal dan bertemu dengan idola-idolanya di Koes Plus dalam beberapa kesempatan saat grup tersebut menggelar konser di Solo atau kota lain. “Dari sinilah saya juga sering mendapat keistimewaan tersendiri, di antaranya bisa bertemu dengan para personel Koes Plus.”
Edy Kuncoro, salah seorang penggemar Koes Plus (Koes Bersaudara), memutar piringan hitam salah satu album Koes Plus (Koes Bersaudara) di rumahnya di Sukoharjo, Jawa Tengah, 31 Desember 2024/Tempo/Septhia Ryanthie
Edy adalah bekas penata musik di sebuah stasiun radio di Surakarta. Dia mengoleksi beragam benda yang berhubungan dengan Koes Plus. Koleksinya mencapai 100 lebih kaset serta puluhan piringan hitam dan video cakram padat. Dia juga mengoleksi foto berbagai aktivitas personel Koes Plus, kalender, prangko, dan aneka cendera mata, seperti gantungan kunci dan pembatas buku. Bahkan brosur iklan mobil yang pernah dibintangi Koes Plus masih ia simpan dan dalam kondisi terawat. Koleksinya juga termasuk buku Koes Plus: Dari Pagi yang Indah hingga Menjelang Senja serta Koes Bersaudara & Koes Plus: Mencintai Nusantara Lewat Musik Pop karya Wasis Susilo. Menurut Edy, buku Wasis itu langka karena hanya dicetak 10 eksemplar di Indonesia.
Edy menggemari Koes Plus sejak kecil, ketika grup asal Tuban, Jawa Timur, itu masih mengusung nama Koes Bersaudara. “Saya waktu itu masih di taman kanak-kanak. Saya menggemari Koes Plus karena awalnya, istilahnya ‘dicekoki’, sama kakak saya, yang kalau pagi pasti memutar lagu-lagu Koes Plus atau Koes Bersaudara. Itu tahun 1960-an, 1965 atau 1966,” ujar Edy.
Selera musik Edy pernah berubah ketika muncul musikus-musikus baru di Indonesia. Tapi pada akhirnya ia kembali ke Koes Plus sejak sekitar 1996. Bersama rekan-rekannya sesama penggemar Koes Plus, Edy kemudian membentuk band Nusantara yang khusus memainkan lagu-lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara. Pada 11 Maret 2004, Edy bersama para pencinta Koes Plus di wilayah eks Karesidenan Surakarta membentuk KPFS. Anggotanya bervariasi, dari penikmat musik hingga kolektor. “Kebetulan pada 22 Maret Koes Plus bermain di Taman Hiburan Rakyat (THR) Sriwedari, Solo. Kami waktu itu minta piagam (untuk KPFS) dan tanda tangan dari Koes Plus,” katanya.
Tak jarang anggota KPFS beramai-ramai menonton konser Koes Plus di kota-kota lain. Edy juga pernah mengupayakan pelestarian karya Koes Plus melalui sebuah program siaran di stasiun radio di kotanya.
Menurut Edy, banyak orang menyukai lagu Koes Plus karena liriknya yang sederhana tapi memiliki makna yang dalam. “Mereka menciptakan lagu dari hati ke hati. Makna lirik-lirik lagunya saya rasakan meresap di hati,” ucapnya. Lagu mereka, Edy menambahkan, selalu enak didengarkan dan abadi. Di antaranya “Andai Kau Datang Kembali” dan “Why Do You Love Me”. Uniknya, jenis musik Koes Plus membentang dari pop Indonesia, pop Jawa, kasidah, Melayu, hingga keroncong.
Angwyn Aribawa, pengurus KPFS, menggemari Koes Plus sejak kecil. “Sekitar 1962. Bapak saya kebetulan punya koleksi piringan hitam dan sering memutar lagu-lagu Barat dan Indonesia. Atmosfer Indonesia 1970-an itu ya Koes Plus, dipenuhi lagu Koes Plus, diputar di mana-mana, jadi saya enggak bisa lari. Saya mendengarkan lagu-lagu itu dan saya pun jadi senang,” tutur Angwyn.
Angwyn dulu sering mengumpulkan uang sakunya untuk membeli kaset atau piringan hitam Koes Plus atau Koes Bersaudara. Ia mengaku pernah pula menggemari musik band lain seperti The Rolling Stones yang populer pada masanya. Tapi pada 1998 dia kembali ke Koes Plus. “Waktu itu anak saya yang senang main mandi bola saya ajak berkunjung ke THR Sriwedari dan di sana saya dengar ada lagu-lagu Koes Plus. Itu malah membuat saya teringat Koes Plus yang pernah saya sukai dan akhirnya kembali saya gemari,” katanya.
Di THR Sriwedari itulah Angwyn kemudian berkenalan dengan Edy Kuncoro dan penggemar Koes Plus lain. Dari situ pula akhirnya dia bisa bertemu dan mengenal para personel Koes Plus. Bagi Angwyn, personel Koes Plus adalah pribadi yang dekat dengan fan. “Dengan fans-nya, Koes Plus ini bisa dekat, seperti saudara,” ujarnya. Berbagai ceritanya bersama Koes Plus, menurut Angwyn, adalah pengalaman berharga yang bahkan tidak ternilai dengan uang.
Lain lagi pengalaman Endang, perempuan asal Madiun, Jawa Timur. “Awalnya saya sering mendengarkan lagu-lagu lama di RRI (Radio Republik Indonesia), tapi yang paling mengena Koes Plus. Saking senangnya pada lagu-lagu Koes Plus itu, kalau ke sawah untuk nunggu manuk (menghalau burung-burung pemakan padi), saya selalu membawa radio buat mendengarkan Koes Plus,” tuturnya.
Saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas, Endang pernah nekat pergi ke Jakarta demi bertemu dengan grup musik idolanya itu. Sayangnya, saat itu ia belum bisa menemui mereka. Pada 1980, dia kembali ke Jakarta dan akhirnya bisa berjumpa dengan salah satu personel Koes Plus, yakni Tonny Koeswoyo. “Ketika itu ada wartawan dan akhirnya saya bareng masuk. Di situ saya ketemu dengan Mas Tonny Koeswoyo,” ujarnya. Saking senangnya bisa bertemu dengan sang idola, Endang justru sama sekali tidak bisa bersuara ketika diminta menyanyikan lagu Koes Plus.
Band Voorman, salah satu band pelestari lagu-lagu Koes Plus di Bandung/Dok.Voorman
Salah satu hal yang mengesankan bagi Endang adalah pesan Tonny Koeswoyo. Saat itu Endang tidak lagi peduli pada sekolah dan hampir gagal kuliah. “Waktu itu saya dapat pesan dari Mas Tonny, ‘Wong wedok iku kudu iso neng ngarep yo iso neng mburi’ (perempuan itu harus bisa mengambil peran di depan, juga di belakang)’,” kata Endang. “Akhirnya saya kuliah lagi karena semangat dari Mas Tonny itu.”
Di Surakarta bermunculan band pelestari Koes Plus yang hingga kini masih rajin menyuguhkan lagu-lagu mereka. Sejak 1990-an, THR Sriwedari menjadi tempat berpentas band pelestari Koes Plus, termasuk bentukan anggota KPFS. Konser mereka tak pernah sepi penonton. Jumlah penontonnya bahkan bertambah, yang semula hanya 30-40 kini mencapai 1.500 orang.
Edy Kuncoro menuturkan, antusiasme masyarakat terhadap Koes Plus sangat tinggi. KPFS bekerja sama dengan THR Sriwedari menggelar parade band pelestari Koes Plus yang diikuti puluhan grup dari seluruh Indonesia. Program itu pada awalnya digelar setahun sekali. Tapi, karena tingginya antusiasme masyarakat, parade lantas diadakan setahun dua kali pada Januari dan Juli. Grup-grup itu juga rutin berpentas di sana setiap Senin dan Kamis.
Pada 2017, THR Sriwedari dibongkar karena masa sewa operatornya berakhir dan ada rencana pembangunan masjid oleh Pemerintah Kota Surakarta di kawasan itu. Grup-grup musik itu kini akhirnya harus bermain di tempat lain, seperti kafe dan hotel.
“Sebenarnya di Surakarta masih banyak sekali pencinta Koes Plus. Bahkan sehari ada dua-enam band pelestari Koes Plus yang tampil di berbagai tempat dan penontonnya cukup banyak,” tutur Angwyn Aribawa.
•••
DICKY Zakaria, 37 tahun, memilih menjadi anggota grup musik pelestari Koes Plus di Bandung. Band pelestari harus membawakan tembang-tembang Koes Plus sesuai dengan aslinya, termasuk dalam hal jumlah personel dan peran anggota saat berpentas. Dicky berperan sebagai Tonny Koeswoyo yang memegang kibor dan gitar. “Yang paling saya suka itu Koes Plus memainkan banyak genre musik, seperti Melayu, pop, rock and roll, dan keroncong,” kata Dicky.
Dicky mengenal lagu-lagu Koes Plus melalui kaset yang diputar ayahnya di rumah saat ia berusia 6-7 tahun dan makin tertarik saat mempelajari musik di usia remaja. Dicky makin kepincut setelah diajak ayahnya mendatangi Koes Plus Bandung Community, komunitas penggemar Koes Plus di Bandung, dan bergabung pada 2008.
Dicky membentuk band pelestari Koes Plus dengan anggota berusia 25-38 tahun. “Gampang-gampang susah mencari teman band yang seumur,” ucapnya.
Band itu rutin tampil setiap Kamis malam di Summarecon Bandung. Mereka tampil hingga tiga jam tanpa rehat sejak pukul 19.00 sampai 22.00. Kostum para personelnya disesuaikan dengan penonton yang berusia muda, seperti jas atau rompi. Kegiatan itu pun bisa memberikan penghasilan tambahan bagi para penggemar Koes Plus. Beberapa personel bahkan menjadikannya pekerjaan utama. Band Dicky kini lebih sering tampil di Jakarta dan Bekasi, Jawa Barat.
Dicky juga tertarik pada karakter vokal Yok Koeswoyo yang cenderung nge-rock. Salah satu tembang Koes Plus favoritnya adalah “Ku Jemu” ciptaan Yok yang terdengar energetik dengan musik semipop bercampur funk.
Di Bandung, salah satu sesepuh komunitas penggemar Koes Plus adalah Duddy Zein. Pria 65 tahun ini juga membentuk grup musik pelestari Koes Plus dengan peran sebagai Yok Koeswoyo sehingga harus hafal lagu-lagunya, termasuk nada suara kedua dalam tembang-tembang mereka.
Duddy awalnya mengenal lagu-lagu Koes Bersaudara, yang dibentuk pada 1958, saat berusia 4 tahun dari siaran RRI. Tumbuh di tengah keluarga yang menyukai musik dan membuat band bocah, Duddy kecil bermain gitar dan kesengsem pada karya keluarga Koeswoyo. “Harmonisasi vokal Yon dan Yok itu sangat bagus. Irama musiknya mengalir dan mudah ditangkap untuk dinyanyikan dan dimainkan,” tutur pensiunan dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat, itu. Duddy menyebutkan beberapa contoh lagu mereka, yakni “Di Pantai Bali”, “Senja”, dan “Harapanku”.
Kesempatan pertama menonton konser Koes Plus datang sewaktu keluarga Duddy tinggal di Ambon dan dia masih berseragam sekolah menengah pertama. Di depan markas tentara, ia melihat langsung para personel band idolanya yang gondrong, kontras dengan penampilan tentara berambut cepak yang menonton mereka. Duddy ingat momen itu sejak tahap persiapan, seperti kontrol suara yang teliti. “Dari tribun saya lihat Tonny Koeswoyo berkonsultasi dengan sound engineer. Waktu itu album mereka baru sampai Volume 3,” ujarnya.
Ketika Koes Bersaudara berganti nama menjadi Koes Plus pada 1969, Duddy masih mengikuti album mereka hingga Volume 14. Koleksinya yang berupa kaset dan piringan hitam kebanyakan telah hilang saat dia pindah rumah dan sebagian rusak.
Duddy Zein (kiri) bersama teman-temannya/Dok. Pribadi
Lingkungan pergaulan semasa remaja di Bandung pernah mempengaruhi Duddy hingga ia menjadi gandrung pada musik band seperti The Beatles, The Rolling Stones, Led Zeppelin, dan Black Sabbath. Saat itu, “Penggemar Koes Plus dianggap kampungan,” kata Duddy.
Setelah tembang “Andai Kau Datang Kembali” dipopulerkan kembali oleh Ruth Sahanaya pada 2004, ingatan dan kenangannya mengenai Koes Plus bangkit. Dia lantas berburu lagi kaset-kaset album lawas grup itu.
Duddy juga membentuk band pelestari, yang merupakan salah satu aktivitas Jiwa Nasional Pengurus Wilayah Barat, komunitas penggemar Koes Plus di kawasan Jawa Barat. Duddy memimpin komunitas itu sejak 2016. Anggota komunitasnya, yang tersebar dari Bogor, Depok, Cirebon, Bekasi, hingga Bandung, berjumlah sekitar 500.
Sebelumnya, komunitas penggemar Koes Plus di Jawa Barat didirikan pada 2004. Setelah terjadi konflik internal, pada 2012 anggota komunitas itu membentuk wadah baru dengan nama Jiwa Nusantara. Nama itu diberikan Yok Koeswoyo, yang membuatkan lagu marsnya.
Duddy mengungkapkan, Yok menugasi penggemarnya menyebarkan karya Koes Plus dan membina masyarakat agar mengenal musik serta mendirikan koperasi untuk menggerakkan ekonomi anggotanya. “Dengan catatan jangan menebeng ke penguasa, harus mandiri,” ujarnya. Caranya antara lain menjual kaus dan stiker Koes Plus. Aktivitas lain kelompok itu adalah menghadiri undangan komunitas di kota sendiri ataupun di daerah lain.
Pada 2022, pecah konflik antara komunitas Jiwa Nusantara dan anak-anak personel Koes Plus yang hingga kini belum terselesaikan. Akibatnya, Duddy menjelaskan, kegiatan organisasinya terganggu. Aktivitas penggemar menjadi terbatas di lingkungan pengurus daerah tanpa nama komunitas hingga dibayang-bayangi desakan pembubaran. Meski demikian, band pelestari Koes Plus terus tampil membawakan lagu-lagu Koes Plus di berbagai tempat.
Edy Kuncoro berharap musik Koes Plus dapat terus dimainkan atau dilestarikan oleh anak-anak personel band tersebut agar tetap eksis. “Sebab, kalau tidak, akan hilang,” katanya. Dia juga berharap para penggemar Koes Plus, khususnya dari kalangan generasi muda, turut melestarikannya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Septhya Ryantie berkontribusi di dalam artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cara Penggemar Merawat Sang Idola".