Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kapal besar bernama Pertamina itu kembali mendapat nakhoda baru. Setelah sempat tertunda beberapa kali, 17 September lalu, pemerintah akhirnya mencopot Baihaki Hakim, 61 tahun, dari kursi Direktur Utama Pertamina. Ariffi Nawawi, yang sebelumnya menjadi Direktur Pengolahan Pertamina, ditunjuk pemerintah menempati posisi direktur utama badan usaha milik negara (BUMN) basah tersebut.
Baihaki mengaku tak terkejut. Pria kalem berdarah Minang ini mengatakan telah empat kali diusulkan Dewan Komisaris Pertamina Pusat untuk diberhentikan dari kursi panas tersebut. Bahkan, "Draf surat keputusan pencopotannya sudah dibuat Kantor Menteri Negara BUMN," ujar Baihaki.
Persoalan segera meruap. Soalnya, meski telah diberi sinyal sebelumnya, Baihaki mengaku tak mengetahui waktu pencopotannya dengan persis. Saat pemerintah mengumumkan penggantiannya, Baihaki tengah menggodok rencana obligasi Pertamina Tongkang, di Jakarta. Waktu penggantian itu seolah hanya diketahui Menteri Laksamana semata. Direktur Utama Pertamina yang baru, Ariffi Nawawi, mengaku juga diberi tahu secara mendadak. "Saya baru ditelepon pagi harinya," ujar Nawawi.
Pertamina memang selalu menjadi perhatian publik. Maklumlah, BUMN dengan total aset Rp 138 triliun ini kerap diidentikkan sebagai "sapi perah" bagi para penguasa. Apalagi kinerja keuangannya makin kinclong. Pada tahun 2002, Pertamina berhasil meraup laba bersih Rp 14 triliun. Tak aneh, banyak kalangan menghubung-hubungkan penggantian Direktur Utama Pertamina dengan Pemilu 2004 yang akan datang.
Untuk mengetahui pelbagai persoalan yang membekap Pertamina, Setiyardi, I G.G. Maha Adi, dan Arif Zulkifli dari TEMPO pekan lalu mewawancarai Baihaki Hakim di rumahnya yang lengang di kawasan Menteng, Jakarta.
Selepas dari Pertamina, Baihaki memang banyak menghabiskan waktu di rumah, mengelola lembaga swadaya masyarakat, dan mengunjungi anak-cucu (satu anaknya kini bermukim di AS). Tapi, Desember nanti, ia akan bekerja kembali di sebuah perusahaan minyak yang namanya masih ia rahasiakan.
Ditemani teh hangat, selama lebih dari dua jam, Baihaki berbicara tentang berbagai hal mengenai Pertamina. Berikut ini petikannya.
Apa yang sesungguhnya terjadi dengan pencopotan Anda?
Sejak saya masuk Pertamina pada Februari 2000, saya selalu diterpa isu akan diberhentikan. Itu terjadi baik dalam era pemerintahan Gus Dur maupun Megawati. Tapi, dibandingkan dengan beberapa Direktur Utama Pertamina sebelumnya, saya relatif lebih bertahan lama.
Mengapa Anda bisa bertahan?
Entahlah. Mungkin karena Presiden Megawati memang bukan tipe orang yang suka gonta-ganti pejabat. Setahu saya, Dewan Komisaris Pertamina Pusat (DKPP) sudah empat kali hendak mencopot saya. Kantor Menteri Negara BUMN bahkan telah membuat draf surat keputusan penggantian tersebut.
Mengapa DKPP ngotot mengganti Anda?
Saya tidak tahu. Tapi saya mendengar ada beberapa alasan: dari usia saya yang dianggap terlalu tua hingga tudingan saya sebagai Direktur Utama Pertamina pilihan Gus Dur. Tapi mereka tahu bahwa saya adalah profesional yang lurus. Saya tak bisa dibengkok-bengkokkan. Sejak awal saya sudah bilang bahwa Pertamina tak akan memberikan sumbangan untuk partai politik.
Kapan Anda mendapat informasi soal rencana pencopotan tersebut?
Empat bulan lalu, saya dipanggil Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi. Beliau bilang akan ada penggantian direksi. Saya tak bertanya alasan penggantian tersebut. Saya cuma diminta menyiapkan cetak biru Pertamina untuk menjadi persero. Tapi, soal jadwal persis penggantiannya, saya tak tahu secara pasti. I don't care. Mungkin ini sudah menjadi tradisi BUMN. Orang bisa dicopot sewaktu-waktu. Ha-ha-ha....
Selama ini, Pertamina selalu menjadi "sapi perah" penguasa. Apakah Anda merasa pencopotan Anda berhubungan dengan Pemilu 2004?
Secara formal, penggantian ini karena perubahan Pertamina menjadi persero. Secara informal, saya tidak tahu.
Anda yakin pengganti Anda, Ariffi Nawawi, juga bisa menolak intervensi penguasa terhadap Pertamina?
Dia pernah menjadi bagian dari tim saya. Rasanya tak ada masalah. Lagi pula Pertamina saat ini sangat transparan. Jadi, kita lihat saja nanti.
Pertamina adalah tempat yang sangat basah. Anda sering mendapat "titipan" selama menjadi direktur utama?
Harus saya akui bahwa banyak katebelece yang datang ke meja saya. Persoalannya beragam, dari orang tua yang ingin anaknya bekerja di Pertamina hingga mereka yang meminta saya membantu mendapatkan proyek. Sebagai orang Timur, saya selalu menjawabnya dengan sopan. Soal penerimaan pegawai, misalnya, saya selalu bilang silakan ikut proses penerimaan di bagian sumber daya manusia Pertamina. Ada orang tua yang ingin anaknya bekerja di Pertamina dan mengirimi saya surat berkop lembaga yang ia pimpin. Tapi ada juga beberapa orang yang diterima karena memang lolos seleksi. Soal permintaan proyek, saya selalu bilang silakan ikut tender yang memang terbuka.
Budaya korupsi di Pertamina begitu kuat. Apa yang Anda lakukan untuk mengatasinya?
Saya membuat Pertamina menjadi lebih transparan dan bersih. Saya lakukan restrukturisasi besar-besaran. Perubahan yang terjadi sebenarnya sangat terukur.
Bagaimana dengan monopoli Pertamina?
Sejak awal, saya mendorong Pertamina agar tak lagi monopolistik. Dua fungsi Pertamina, sebagai regulator dan pemain, seperti tercantum dalam UU No. 8/1971 tentang Pertamina, merupakan fungsi yang berbenturan. Itu tak akan membuat Pertamina jadi maju. Karena itu, saya mendukung program pemerintah untuk mengubahnya. Selain itu, monopoli Pertamina sebenarnya justru berakibat buruk pada keuangan negara. Kalau produksi dalam negeri cukup dan kita tak mengimpor bahan bakar minyak (BBM), sih, tak masalah. Tapi kondisi sekarang justru membuat subsidi membobol keuangan negara.
Bagaimana perkembangan penghapusan monopoli Pertamina?
Monopoli Pertamina tinggal di sektor pemasaran BBM. Di sektor hulu, kilang, produk pelumas, dan aspal sudah terbuka.
Apa yang salah dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina?
Pejabat Pertamina dahulu hanya akan mengambil yang enaknya. Pertamina cenderung memilih menjadi regulator. Hanya dengan berperan sebagai mandor, Pertamina sudah mendapat uang yang banyak. Tapi ini justru berakibat buruk. Pertamina jadi tak memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan eksplorasi ladang-ladang minyak. Padahal itulah bisnis inti perusahaan minyak yang sesungguhnya. Itu yang dilakukan oleh Petronas di Malaysia. Mereka tak meninggalkan eksplorasi.
Anda bisa memberikan contoh?
Ada ladang gas yang ditemukan di Jawa Barat. Tapi, alih-alih mengelolanya sendiri, Pertamina mensubkontrakkan pengembangannya kepada pihak ketiga. Prosesnya bahkan tanpa melalui tender. Bisa dipastikan ini ada korupsi. Apalagi nilai kontraknya mencapai US$ 30 juta. Setelah saya cek, perusahaan tersebut milik bekas pejabat Pertamina. Para pejabat itu menganggap Pertamina sebagai perusahaan milik nenek moyang mereka.
Persoalannya, apakah Pertamina mampu mengeksplorasi minyak dan gas sendiri?
Pertamina punya sumber daya manusia yang sangat memadai jika ingin melakukan pekerjaan sendiri. Soal modal, kita bisa mendapatkannya dengan mudah. Obligasi Pertamina dijamin akan sangat laku.
Toh, tradisi subkontrak itu masih berlangsung bahkan ketika Pertamina Anda pimpin?
Ini akibat mental mandor dan budaya korupsi masa lalu. Yang saya lakukan adalah memangkas persoalan tersebut. Dalam pengadaan minyak mentah, misalnya, Pertamina selama ini menggunakan jasa pihak ketiga. Saya meminta agar itu dihentikan. Buntutnya luar biasa, Pertamina bisa menghemat hingga Rp 20 triliun.
Siapa pejabat Pertamina dengan mental mandor itu?
Yang menolak perubahan adalah para pejabat yang sudah merasa nyaman dengan kondisi Pertamina selama ini. Umumnya di level asisten manajer ke atas. Mereka diuntungkan oleh keadaan karena bisa mengkomersialkan jabatan. Sejak zaman Soeharto, Pertamina telah menjadi ladang korupsi. Tapi kalangan grass roots justru mendukung terjadinya perubahan. Soalnya, efisiensi di Pertamina akan membuat kinerja keuangan Pertamina membaik. Buntutnya, para karyawan bisa mendapat bonus.
Lalu apa yang Anda lakukan?
Selama menjadi direktur utama, saya mencopot sekitar 300 pejabat dan memecat sekitar 20 orang. Saya memelototi pejabat yang sudah memasuki masa persiapan pensiun. Selain itu, saya menindaklanjuti temuan dari internal audit. Dulu, budaya ewuh pakewuh membuat korupsi makin merajalela.
Kembali ke soal eksplorasi ladang minyak Indonesia oleh pihak ketiga. Dalam kasus perpanjangan kontrak Exxon di Cepu, mengapa kita terkesan mengalah?
Dua minggu lalu memang sudah ada pembicaraan soal bentuk kontrak kerja sama. Dulu, Pak Kwik Kian Gie (Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) memang menentang perpanjangan kontrak dengan Exxon tersebut. Tapi Presiden Megawati akhirnya mengeluarkan keputusan soal perpanjangan kontrak Exxon di Cepu. Kami diminta melakukan perundingan selama menguntungkan bagi Pertamina dan negara. Jadi, Pertamina hanya mengikuti keputusan tersebut.
Mengapa Pertamina tak mengambil alih ladang Cepu?
Pertamina sebenarnya mampu mengeksplorasi ladang minyak tersebut. Saat ini kita bahkan berusaha mencari minyak di Irak dan Vietnam. Secara teknis tak ada persoalan. Hanya, sesuai dengan kontrak, kita harus menunggu hingga 2010. Nah, di situlah kerugian kita karena selama tujuh tahun mendatang kita tak punya kegiatan apa-apa.
Benarkah ada tekanan dari Exxon?
Memang, bila kontrak tak diperpanjang, Exxon akan menganggap Indonesia tak fair. Exxon merasa sudah berinvestasi tapi tak diberi kesempatan untuk menikmatinya.
Sebetulnya berapa cadangan minyak di ladang Cepu?
Pertamina memakai data Lemigas, yang menyebut cadangan minyak Cepu 300 juta-600 juta barel. Tapi, nanti setelah dikembangkan, angka tersebut bisa berbeda. Itu sudah cukup komersial untuk diangkat karena bisa mencapai kapasitas produksi 100 ribu barel per hari. Exxon sengaja menyebut jumlah yang dibesar-besarkan untuk mengatrol harga saham mereka. Tapi kita tak mau dibodoh-bodohin Exxon. Ha-ha-ha....
Anda katakan Pertamina memiliki proyek eksplorasi di Vietnam dan Irak. Apakah proyek ini visibel?
Di Vietnam, tahun depan eksplorasi diharapkan sudah bisa jalan. Di Bagdad, Irak, saat ini kita bahkan sudah membuka kantor. Kami sedang memproses data seismik di ladang Irak dengan memakai kontraktor dari Yordania. Pertamina menargetkan dalam tiga tahun sudah mengeksplorasi minyak di Irak.
Dengan keamanan yang tak stabil, Anda yakin proyek ini menguntungkan?
Kami sudah berbicara dengan Kementerian Perminyakan Irak. Lagi pula itu proyek eksplorasi yang menggunakan uang Pertamina sendiri. Orang-orang Amerika cuma berminat pada ladang minyak yang sudah jalan.
Ini soal lain. Banyak sekali kasus korupsi di Pertamina yang kini mentok di kejaksaan. Apa yang sesungguhnya terjadi?
Dulu ada 159 kasus Pertamina yang masuk ke kejaksaan. Memang hanya ada sekitar 9 yang ditindaklanjuti. Tentu saja yang bisa menjawabnya adalah pihak kejaksaan. Persoalannya, ada beberapa kasus yang hingga kini menyangkut keuangan Pertamina. Misalnya kasus Ustraindo Petrogas di Palembang, yang masih berutang puluhan juta dolar AS kepada Pertamina. Begitu pula PT Perta milik Grup Humpuss, yang punya sangkutan utang beberapa juta dolar AS dengan Pertamina.
Saat ini Pertamina masih menjalankan tugas sebagai pemasok BBM di dalam negeri. Sampai kapan?
Pemerintah telah mematok November 2005 sebagai tenggat akhir. Saat ini kita menjalani masa transisi. Tapi saya sadar bahwa ini merupakan persoalan yang sangat politis. Awalnya, DPR mendukung proses liberalisasi. Semangat tersebut sudah tertuang dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas). Menjelang pemilu, semua partai ingin mengubah Propenas. Mereka tak mau mengambil risiko tak populis di mata rakyat.
Pasca-November 2005, siapa yang akan menjamin ketersediaan suplai BBM?
Dalam UU Migas yang baru, Pertamina tak lagi bertanggung jawab pada suplai BBM. Semua akan diserahkan kepada mekanisme pasar. Sekarang pemerintah sedang merumuskan peraturan pemerintah yang akan mengaturnya.
Apakah mekanisme pasar dipastikan akan berjalan?
Agar mekanisme pasar jalan, harga BBM harus menarik para investor untuk masuk. Mana mungkin investor mau jual rugi? Ini pertanyaan besar yang harus dijawab secara nasional. Apakah November 2005 harga BBM bisa sesuai dengan harga pasar (dinaikkan—Red.)? Sampai sekarang, masalah ini masih dilematis. Masalah ini telah merambah ke wilayah politik yang sangat sensitif.
Negara mana yang kita jadikan bench mark untuk proses liberalisasi?
Saya menawarkan agar kita meniru India. Secara historis, persoalannya sangat mirip. India hanya memiliki perusahaan minyak yang dikelola negara. India juga adalah negeri multipartai yang sangat mengedepankan kebijakan populis. Nah, saya bisa menunjukkan bahwa kebijakan seperti itu membuat industri BBM India tertatih-tatih. Kita harus mengambil pelajaran dari mereka.
Bank Dunia sempat meminta pemerintah segera membuka keran monopoli Pertamina. Apa tanggapan Anda?
Secara prinsip saya mendukung mekanisme pasar dan gerakan antimonopoli. Tapi saya kok merasa usul Bank Dunia tidak fair. Bank Dunia membuat pemain asing masuk tanpa melakukan investasi. Soal depo BBM, misalnya, asing hanya akan nebeng pada kita. Mereka hanya akan lenggang-kangkung. Jelaslah bahwa Bank Dunia hanya menjadi perpanjangan kepentingan pemain asing. Seharusnya, kalau masuk ke Indonesia, pemain asing membangun storage sendiri. Tapi mereka enggan melakukannya karena masih surplus kilang di Singapura dan Thailand hingga 70 persen.
Ada usul agar Pertamina melepas aset-aset di anak perusahaan supaya lebih berkonsentrasi ke bisnis inti. Bagaimana?
Mengapa harus dilepas? Saya khawatir, kalau dibuatkan BUMN baru, justru akan bermasalah. Tak ada jaminan, bila lepas dari Pertamina, anak perusahaan seperti Pelita Air Service dan Patra Jasa akan lebih baik. Saat ini mereka sudah punya captive market di Pertamina. Dari 14 anak perusahaan, cuma Patra Dok Dumai yang merugi.
Siapa yang paling berkepentingan dengan pemisahan anak perusahaan Pertamina?
Saya curiga rencana pelepasan itu hanya agar orang-orang pemerintah bisa bermain. Banyaknya BUMN baru akan membuat banyak jabatan. Jadi, ini persoalan kapling-kapling saja. Saya mendapat informasi ini adalah permainan dari teman-teman di Departemen Keuangan. Lagi pula perusahaan-perusahaan itu dibuat dan dibesarkan pakai uang Pertamina. Tak ada sepeser pun uang dari Departemen Keuangan. Apakah fair kalau sekarang mereka mau mencaploknya?
Tak semua bisnis Pertamina menguntungkan. Soal liquid petroleum gas (LPG), misalnya, mengapa masih terus merugi?
Persoalannya, harga jual ke masyarakat masih lebih rendah dari ongkos produksinya. Tapi, ke depan, LPG bisa menjadi profit center bagi Pertamina. Soalnya, potensi pasar LPG dalam negeri mencapai sekitar 4 juta ton per tahun, sedangkan volume produksinya baru mencapai 1 juta ton per tahun. n
Ir. Baihaki Hakim
Tempat dan tanggal lahir:
Pendidikan:
Pengalaman kerja:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo