Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=brown><b>Hashim Djojohadikusumo:</b></font><br /> Sudah Lama Harta Keraton Dijual ke Luar Negeri

28 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI pengusaha, sudah agak lama nama Hashim Djojohadikusumo tak terdengar di pentas bisnis nasional. Maklum, 10 tahun terakhir ini putra almarhum ekonom Sumitro Djojohadikusumo itu sibuk menekuni bisnis di luar negeri. Setelah menjual ladang minyak di Kazakhstan, dia masih memiliki sumur emas hitam di Azerbaijan dan Amerika Serikat. Sesekali saja ia pulang ke Tanah Air menengok ibunya, Dora Sigar Djojohadikusumo yang terbaring sakit.

Belakangan namanya kembali melambung justru gara-gara arca. Hashim dituding menjadi ”penadah” arca curian. Ihwalnya lantaran arca-arca Agastya, Siwa Mahadewa, Mahakala, dan Durga Mahesa Suramadini yang hilang dari Museum Radya Pustaka, Solo, Jawa Tengah, ditemukan di rumahnya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Semua sengkarut itu tak lepas dari kegemaran Hashim mengoleksi benda-benda bersejarah peninggalan nenek moyang. Lantaran kegemaran itu pula ia menerima permintaan pemerintah untuk membantu mengembalikan Prasasti Sangguran yang dikenal sebagai Batu Minto ke Tanah Air.

Kamis pekan lalu di sebuah ruangan di Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, Hashim tampil bersama Direktur Jenderal Sejarah Purbakala Hari Untoro Drajat menjelaskan langkah-langkah untuk mengembalikan prasasti tersebut. Prasasti tahun 928 itu berasal dari Malang, Jawa Timur, dan dipersembahkan Raffles kepada atasannya, Gubernur Jenderal Lord Minto, sebagai upeti pada 1814.

Konon, prasasti itu membawa kutukan. Ahli waris Lord Minto sendiri kerap mengalami kecelakaan, bencana, dan yang paling nyata: kemakmuran keluarga makin menyusut sejak kedatangan batu seberat 3,8 ton itu. Apakah Hashim tak khawatir mala itu mendatanginya? ”Saya tidak percaya hal-hal seperti itu. Lagi pula, saya akan cepat-cepat serahkan prasasti itu ke Museum Nasional ha-ha-ha,” ujarnya.

Setelah acara di Departemen Pendidikan Nasional, Hashim menerima Nugroho Dewanto dan Dimas Adityo dari Tempo di kantornya di lantai 6 Mid Plaza, Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, untuk wawancara khusus. Berikut petikannya.

Bagaimana perkembangan terakhir kasus arca Radya Pustaka?

Saya masih akan diperiksa sebagai saksi.

Anda berkukuh Hugo Kreijger memperoleh arca-arca itu secara sah dari Paku Buwono XIII Hangabehi?

Iya, Hugo juga punya buku kenang-kenangan dari Hangabehi.

Mengapa belakangan Hangabehi membantah?

Anda harus tanya sama beliau. Saya juga heran kenapa dibantah. Masyarakat Jawa sudah lama tahu kok.

Mungkin beliau takut?

Apakah beliau bisa disalahkan? Beliau kan tidak dapat tunjangan dari pemerintah. Mereka dapat penghasilan dari mana? Ini obyektif saja. Kalau kita lihat di Eropa, India, dan tempat-tempat lain, keluarga bangsawan yang sudah tak punya uang terpaksa menjual hartanya: lukisan, mebel, rumah, bahkan kastil. Mengapa tidak? Itu penghasilan yang halal, dan mereka harus menunjang hidup para abdi dalem. Itu sebuah dilema.

Kabarnya sudah lama keluarga Keraton Solo menjuali benda-benda peninggalan yang bersejarah?

Menurut orang Christie’s, sudah lama peninggalan keraton dijual ke luar negeri.

Menurut Hugo, orang keraton merasa berhak menjual. Saya baca juga artikel di majalah Orientation, arca-arca yang dipajang di Museum Radya Pustaka adalah milik keraton, bukan milik negara. Kalau saya menjadi Paku Buwono XIII, saya akan katakan dengan tegas bahwa ini milik keluarga raja, milik keraton.

Sejak kapan Anda kenal Hugo Kreijger?

Sudah lama, sejak dia masih bekerja di Christie’s. Dengan Christie’s saya sudah berhubungan selama 12 tahun. Saya pertama kali kenal Kreijger di Amsterdam. Waktu itu saya membeli lukisan dan cangkir-cangkir perunggu dan emas asal Majapahit. Hugo tahu minat saya dan tahu saya hendak membuat museum.

Setahu Anda, apakah Hugo Kreijger punya reputasi yang baik?

Dia orang terhormat. Dia pernah menjadi konsultan untuk pemerintah Belanda. Dia juga ahli budaya Thailand, Tibet, dan India.

Di mana biasanya Anda bertransaksi dengannya?

Biasanya di London, tapi dua-tiga kali saya ketemu dia juga di Indonesia.

Setelah memiliki arca-arca itu apa yang Anda lakukan?

Arca-arca itu tadinya disimpan di sini (kantor Hashim di Mid Plaza, Jakarta Selatan—Red.) Kemudian saya memanggil Collin Bowles. Dia ahli restorasi benda purbakala dan menjadi konsultan Ratu Elizabeth untuk merawat benda-benda bersejarah di Istana Buckingham.

Apa yang dilakukan Bowles?

Dia sarankan melakukan restorasi. Karena menggunakan bahan kimia, dia anjurkan untuk melakukannya di tempat lain. Akhirnya arca-arca itu dipindahkan ke rumah yang sudah lama tidak saya tempati di Kemang, Jakarta Selatan. Bowles pergi mencari bahan-bahan kimia yang dibutuhkan, tapi sebelum dia kembali arca-arca itu sudah diambil polisi. Saya sempat cemas waktu polisi datang jangan-jangan Bowles ada di sana, nanti dia ikut ditangkap. Itu bisa bikin malu.

Dalam penggerebekan di rumah Kemang, koleksi Anda yang lain tidak disentuh polisi?

Tidak disentuh; termasuk fosil gading gajah purba. Cuma lima arca yang dibawa. Kemudian dua minggu lalu baru ketahuan ada satu lagi arca Siwa Nandi, yang sebetulnya favorit saya, ternyata berasal dari Museum Radya Pustaka. Jadi saya kembalikan juga.

Dari mana Anda memperoleh fosil gading gajah purba?

Saya beli dari Ibu Ipung di Pondok Gede, Jakarta Timur. Saya punya sepasang fosil gading gajah purba yang besar, panjangnya 4,5 meter. Fosil-fosil seperti itu sering dibeli oleh orang Jepang dan Korea. Minat masyarakat lokal masih kurang. Padahal, kalau bisa, benda-benda itu tak dibawa keluar dari Indonesia.

Bila dikembalikan ke Radya Pustaka, tapi di sana tak ada perbaikan. Bukankah arca-arca itu bisa hilang lagi?

Terus terang saya membeli karena di luar negeri arca-arca itu sudah ditawarkan untuk dijual. Saya ingin benda-benda bersejarah itu tetap di Indonesia.

Sudah tercantum di katalog lelang?

Bukan untuk lelang, tapi private dealer. Hugo Kreijger adalah salah satu private dealer yang ditawari.

Banyakkah benda-benda bersejarah kita yang ditawarkan di luar negeri seperti itu?

Bulan Maret dan Agustus tahun lalu waktu ke New York, saya sudah bernegosiasi dengan seorang kolektor wanita yang memiliki perhiasan emas dari zaman Syailendra abad ke-7, 8, 10. Saya ada bukunya di London. Dia punya satu ruangan isinya emas semua. Perhiasan itu berupa kalung, gelang, cincin, binggel, dan mahkota. Dia tawarkan semua ke saya.

Apakah semua benda purbakala yang Anda miliki sudah dilaporkan ke Dinas Purbakala?

Sesuai dengan undang-undang, yang perlu dilaporkan adalah benda cagar budaya. Sertifikat yang saya peroleh menyebut arca-arca itu bukan benda cagar budaya. Jadi, saya tidak melaporkan.

Anda pernah bertemu dengan Heru Suryanto yang membuat sertifikat itu?

Saya belum pernah bertemu dia. Dia pernah hubungi saya melalui telepon karena mau menjual satu set gamelan kuno Kiai Sidamukti milik Paku Buwono X buatan 1877. Dia juga tawarkan gelar bangsawan, tapi saya tolak karena saya sudah punya gelar. Walaupun hanya Raden Mas, tapi asli ha-ha-ha. Kami ini keturunan Hamengku Buwono II yang dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta.

Apakah Anda bersedia membeli gamelan itu?

Karena yang menawarkan Heru, saya pikir-pikir lagi ha-ha-ha.

Anda tidak kapok mengoleksi benda-benda purbakala?

Saya akan tetap mengoleksi, tapi dengan ekstrahati-hati. Seperti tawaran perhiasan emas dari kolektor Amerika itu, saya perlu pastikan bukan barang curian. Kalau perlu saya bawa polisi untuk cap bahwa itu barang legal ha-ha-ha.

Apa yang membuat Anda tertarik pada benda-benda kuno itu?

Sejak dulu saya suka dan tertarik. Saya mulai mengoleksi pada 1995 dengan membeli dari lelang-lelang di luar negeri. Saya membeli arca-arca di New York dari orang Belanda, Amerika, dan lain-lain.

Sebelum 1995?

Belum mampu, kendati minat sudah ada.

Lelang di mana saja?

Saya lebih banyak ikut lelang Christie’s. Sotheby belum pernah. Sejak itu saya sudah kumpulkan hingga 40 benda bersejarah. Arca-arca itu berupa patung batu Hindu dan Buddha. Ada pula wadah-wadah dari emas dan perunggu. Yang paling besar berbentuk arca dari zaman Singasari abad ke-10. Termasuk pula enam arca dari Museum Radya Pustaka itu.

Menurut Anda, bagaimana kondisi museum di Indonesia?

Saya lihat museum-museum di Indonesia kurang dukungan. Minat masyarakat besar, tapi pendanaan kurang.

Contohnya Radya Pustaka?

Betul. Saya ke sana dua tahun lalu bersama anak-anak. Kami lihat bukan cuma arca, tapi juga naskah-naskah kuno berbahasa Jawa yang sudah berusia ratusan tahun, kondisinya mengenaskan. Lapuk karena ruangannya tidak pakai AC. Jadi, kami sumbangkan AC, scanner, komputer, printer, dan tunjangan gaji untuk petugas di sana. Petugas di sana gajinya minim sekali, cuma Rp 100 ribu sebulan.

Kapan Anda dihubungi pemerintah untuk membantu mengembalikan Prasasti Sangguran alias Batu Minto?

Pada 12 April 2007. Waktu itu sekalian saya laporkan bahwa saya mau bangun museum untuk menampung benda-benda purbakala yang saya koleksi, renovasi makam Imogiri, sekolah, dan lain-lain.

Renovasi Candi Prambanan juga?

Saya sudah lihat Prambanan. Itu katanya ada bantuan dari UNESCO dan Jepang, tapi ternyata UNESCO tidak janji membantu dana. Mereka cuma koordinator rapat-rapat, undang ini-itu yang bersedia menjadi donatur. Jepang bantu, tapi cuma sedikit. Kemudian ada ide bagaimana kalau kita kumpulkan dana dari sejumlah pengusaha.

Setelah diminta pemerintah, kapan Anda mulai menghubungi pihak Lord Minto untuk membawa kembali prasasti itu?

Mei 2008 saya menghubungi Lord Minto melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia. Saya jelaskan kepada Pak Marty Natalegawa sebagai duta besar bahwa saya diminta membawa kembali prasasti itu. Kemudian staf Pak Marty menghubungi pihak Lord Minto. Setelah itu kami bertemu, makan siang bersama dan berkenalan.

Apa yang dibicarakan?

Lord Minto tahu bahwa pemerintah Indonesia punya kebijakan tak akan memberikan apa-apa atas pengembalian prasasti itu, tapi dari pihak saya mungkin bisa memberi tanda terima kasih. Mereka kan sudah menjaga prasasti itu selama 200 tahun lebih. Juga, biaya mengangkut prasasti seberat 3,8 ton itu ke Indonesia yang tidak murah.

Berapa kompensasi yang mereka inginkan?

Bulan Juli kami bertemu lagi membicarakan berapa harga prasasti itu. Saya juga ingin tahu berapa sih harganya? Profesor Hitchcock yang ikut dalam pertemuan mengatakan susah menentukan harga karena tak ada pembanding. Harganya bisa Rp 10, tapi juga bisa Rp 1 miliar, tergantung siapa yang melihat. Saya katakan bagi bangsa Indonesia prasasti itu tak ternilai harganya.

Mereka pernah menetapkan harga?

Belum pernah.

Mereka orang kaya lama, mestinya duit tak terlalu jadi masalah….

Arrgh…. Mereka old money tapi seperti bangsawan di mana-mana, mereka harus kerja. Saya bertemu di kantornya. Dia punya toko retail yang cukup besar. Dia punya saham tapi sekaligus bekerja juga di sana. Dia jelaskan, kalaupun menerima uang, bukan untuk dirinya, tapi untuk para keturunan dan ahli waris Lord Minto.

Jadi, akhirnya Anda yang menawar?

Saya tanya saja berapa harganya? Dia balik tanya, you mau beli dengan harga berapa? Waduh, dalam hati saya bilang ini seperti orang Jawa juga. Dia mau duit, tapi tak mau ngomong. Pakai basa-basi. Saya juga Jawa, tapi Manadonya mungkin lebih kuat ha-ha-ha.

Kapan negosiasi terakhir dilakukan?

Terakhir saya ketemu dia di kantornya di London tanggal 20 November, satu hari sebelum muncul masalah arca di Solo. Setelah bertemu dia, saya ke New York. Di sana, pagi-pagi saya dibangunkan dan diberi tahu ada masalah dengan arca. Katanya, arca diambil polisi. Saya bilang, ”Oh, God, ada masalah apa ini?”

Apa yang dibicarakan dalam pertemuan ketiga itu?

Dia katakan bahwa tanggal 11 Desember 2007 ada pertemuan Minto Trust. Mereka memang ketemu tiap tiga bulan. Tapi ketika itu saya tak bisa datang karena sudah ada masalah arca di Indonesia. Mungkin Februari atau Maret ketika mereka buat pertemuan lagi saya akan ajukan harga.

Berapa kira-kira harga yang akan Anda ajukan?

Saya tidak bisa katakan.

Apakah benar prasasti itu membawa kutukan?

Katanya ada bencana, malapetaka, dan keluarga mereka makin miskin.

Apakah Anda tidak takut terkena kutukan itu?

Saya orang beriman. Saya Kristen. Saya tidak percaya hal-hal seperti itu. Lagi pula, saya akan cepat-cepat serahkan prasasti itu ke Museum Nasional, ha-ha-ha.

Bagaimana rencana membangun Institut Sumitro Djojohadikusumo di Universitas Indonesia?

Kami masih negosiasi dengan UI karena itu kan tanah negara. Ide kami adalah membeli sebagian tanah di situ, lalu kami bangun perpustakaan, auditorium, dan galeri yang bisa dinikmati publik, terutama mahasiswa dan dosen seluruh Indonesia. Kalau tidak bisa beli, mungkin kami akan sewa. Kami usulkan sewa selama 100 tahun.

Mengapa institut itu harus Anda miliki? Bukankah bisa saja Anda membangun dan kemudian menyerahkan ke pihak kampus?

Saya realistis saja. Kalau kita kelola sendiri, gaji pegawai bisa ikut standar swasta. Sedangkan UI kan harus gaji pegawai negeri. Maaf, dengan segala hormat, kami lebih yakin bisa mengelola sendiri secara profesional. Kami tidak ingin tergantung anggaran pemerintah.

Apa yang mendasari semua kegiatan sosial yang Anda lakukan?

Singkatnya, saya ini seorang nasionalis. Saya sedih kalau lihat barang-barang peninggalan sejarah tidak terurus, tidak dipelihara.

Siapa yang menanamkan rasa nasionalisme itu?

Eyang Kakung Margono, juga papi saya, Sumitro Djojohadikusumo. Papi sangat nasionalis. Dia sosialis-nasionalis, kalau saya kapitalis-nasionalis, ha-ha-ha.

Untuk membiayai kegiatan sosial, berapa uang yang Anda anggarkan?

Tergantung. Seperti renovasi Prambanan, kan kita belum tahu berapa dana yang diperlukan. Tapi tentu saja ada batas anggarannya. Selain soal budaya, saya juga berminat soal lingkungan hidup. Kami ada program perlindungan orangutan, beruang madu, gajah, dan lain-lain.

Kegiatan sosial Anda belakangan terasa kencang, apakah karena sekarang lebih makmur?

Of course, dong. Gimana sih? Dulu kan dililit utang, ha-ha-ha.

Hashim Djojohadikusumo

Tempat dan Tanggal Lahir:

  • Jakarta, 5 Juni 1954

Pendidikan:

  • 1976, BA dalam bidang politik dan ekonomi dari Pomona College, California, Amerika Serikat

Pekerjaan:

  • 1977, Trainee Merger and Acquisition di Lazard Freres & Co, Paris, Prancis
  • 1978–sekarang, pengusaha
  • 2006–sekarang, Ketua Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus