Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bumbu masak dan bahan pangan untuk membuat nasi tumpeng masih tersimpan di dapur sebuah apartemen di kota Heidelberg, Jerman. Sang pemilik rumah bersiap-siap membuat hidangan itu untuk merayakan keberhasilan anggota timnya menemukan planet ekstrasolar yang mengelilingi bintang TW Hydrae. ”Tak ada perayaan khusus, cuma tumpengan,” kata Johny Setiawan kepada Tempo, Senin pekan lalu.
Johny memang menjadi ketua tim yang bekerja di Institut Astronomi Max Planck atau Max-Planck-Insitute for Astronomy (MPIA) di Heidelberg, Jerman. Bersama mentor dan anggota timnya, dia menulis temuannya tersebut di Nature, jurnal ilmiah bergengsi yang terbit di Inggris, pada edisi 3 Januari 2008. Setelah itu media besar lain mewawancarai Johny seperti National Geographic, BBC News, Der Spiegel, New Scientist, The New York Times.
Bisa dipahami jika media massa terkenal memberitakan temuan itu. Maklum, dari 250 planet di luar tata surya yang ditemukan astronom dua belas tahun terakhir, tak satu pun yang muncul dari bintang berusia muda. Dari hitungan Johny dan timnya, TW Hydrae berusia 8 juta-10 juta tahun atau 1/500 umur Matahari kita yang 4,5 miliar tahun.
Bintang muda ini memiliki planet yang ditemukan Johny dan kawan-kawan yang kemudian diberi nama TW Hydrae b. Menurut Johny, sesuai aturan International Astronomical Union, nama planet diberikan menurut nama bintang induknya. Sekali dalam tempo 3,56 hari, planet ini mengelilingi TW Hydrae. Bandingkan planet itu dengan Bumi yang perlu satu tahun atau 365 hari untuk menyelesaikan satu revolusi mengelilingi Matahari.
Terang saja temuan tim yang dipimpin Johny ini makin menambah informasi para peneliti soal proses pembentukan dan arsitektur planet. Selama ini para ahli percaya planet terbentuk dari gas dan debu dalam sebuah cakram yang berputar pendek setelah kelahiran sebuah bintang. Dari data statistik, Johny memperkirakan butuh waktu 10-30 juta tahun agar sebuah planet terbentuk.
Dari ukuran itu, TW Hydrae b jelas berusia bayi karena masih diselimuti gas dan debu. Thomas Henning, direktur Planet and Star Formation Departemen di MPIA, mengakui temuan ini spektakuler dalam studi planet di luar tata surya. ”Untuk pertama kali kita menemukan langsung bahwa planet-planet terbentuk dalam lingkaran cakram,” katanya. Temuan TW Hydrae b, tuturnya, membuka jalan mengaitkan evaluasi lingkaran cakram dengan proses pembentukan dan migrasi planet.
Sebenarnya TW Hydrae b bukan planet yang pertama kali ditemukan Johny. Sejak bekerja di MPIA pada 2003, ada enam planet di luar tata surya yang ditemukan pria kelahiran Jakarta, 34 tahun lalu ini. Untuk mengamati alam semesta, lembaganya menggunakan teleskop 2,2 meter milik Perhimpunan Max Planck dan Observatorium Selatan Eropa di La Silla, Cile.
Secara bergantian Johny dan anggota timnya terbang ke Cile. Ketika jadwal pengamatan tiba, selama dua minggu mereka harus begadang. Mulai pukul 18.00 sampai 07.00 keesokan paginya, Johny yang sejak kecil bercita-cita menjadi astronom, harus memelototi teleskop tersebut. TW Hydrae b itu sendiri pertama kali berhasil diamati pada akhir Februari 2007.
Johny ingat ketika itu pukul 05.00 waktu Cile. Suhu udara di La Silla, yang berada di daerah pegunungan sekitar 12 derajat Celcius. ”Tiba-tiba kami melihat sinyal setelah empat hari pengamatan,” kata Johny menceritakan saat menegangkan. Ketika itu dia ditemani André Müller, mahasiswa bimbingannya yang kuliah di Universitas Jena.
Karena temuan itu sangat penting menyangkut bintang berusia muda, mereka merahasiakannya. Ketegangan kembali memuncak saat atasan Johny memberi presentasi temuan itu pada simposium Nobel di Swedia, Juni 2007. ”Beliau tak menyangka responsnya seperti ’bom jatuh’ karena pentingnya temuan planet muda tersebut,” kata Johny. Mereka akhirnya mempublikasikan secara lengkap soal TW Hydrae b pada jurnal Nature bulan ini.
Prestasi yang diraih Johny saat ini tak begitu saja jatuh dari langit. Ketika menempuh program master di Keipenheuer Institute for Solar Physics di Freiburg, pada 1997-1999, dia harus bekerja untuk membiayai hidup. Dia menjadi koki di Warsteiner Keller, sebuah restoran Jerman yang menyediakan berbagai makanan regional.
Sepulang kuliah, pukul 17.30 dia sudah berada di restoran yang membayarnya DM 7 per jam. Ketika itu kurs 1 DM sama dengan Rp 2.500. Baru jam 00.30 dia kembali ke apartemennya. Bayaran ini cukup menopang kebutuhan hidup sehari-hari. ”Apalagi makan tinggal mengambil di dapur restoran,” ujarnya tertawa.
Pengalamannya di restoran dan hobinya memasak kini menguntungkannya. Maklum, Max-Planck-Insitute for Astronomy juga mempercayainya sebagai pengelola katering dalam setiap pertemuan. Seminggu sekali dia membuat buffet untuk 40-50 orang dengan aneka menu, termasuk masakan khas Indonesia.
Bahkan jika ada acara khusus, Johny sanggup menyiapkan untuk 170 orang. Johny mengklaim sejak empat tahun ini astronom internasional sudah kenal dengan masakan tradisional Indonesia. ”Jadi pengalaman saya di bidang gastronomi sama lamanya dengan karier saya sebagai astronom,” ujar Johny yang ayahnya pensiunan pegawai Bank Pembangunan Daerah Maluku.
Ketika menempuh program doktor, Johny mendapat beasiswa dari European Southern Obsevatory. Pada usianya yang ke-28 tahun, gelar doktor diraih dengan predikat summa cum laude. Kemudian dia melamar ke UNESCO untuk Asia-Pasifik yang berkedudukan di Jakarta. ”Agar dapat berkarya di Indonesia dan membantu di bidang pendidikan,” katanya. Dua kali dia melamar kerja ke UNESCO, namun lembaga PBB ini terus menolak.
Ternyata lamarannya ke MPIA langsung diterima. Dalam kontrak kerja, Johny yang kini masih lajang, dibebani sejumlah target. Pertama, mencari planet ekstrasolar yang berusia muda untuk memahami proses pembentukan planet. Kedua, menyusun target untuk pencarian planet-planet lain dengan teknik terbaru (astrometri). Ketiga, membimbing mahasiswa yang akan ikut penelitian di bidang tersebut.
Gaji yang diperoleh di lembaga ini sama dengan standar penghasilan pegawai negeri Jerman. Kalau dirupiahkan, katanya, tak jauh beda dengan penghasilan anggota DPR sekitar Rp 50 juta sebulan. ”Namun saya tak memiliki waktu berbelanja barang mewah seperti yang dilakukan anggota DPR ketika studi banding ke luar negeri,” ujar Johny yang ibunya kini berjualan air mineral di kawasan Bintaro, Tangerang, Banten.
Untung Widyanto
Johny Setiawan
Lahir:
- Jakarta, 16 Agustus 1974
Pendidikan:
- SD St Fransiskus I, Jakarta
- SMP Immaculata, Marsudirini, Jakarta, lulus tahun 1989
- SMA Fons Viate I Marsudirini, Jakarta lulus tahun 1992
- Pre-university: Studienkolleg Heidelberg, Jerman, 1992-1993
- S1 Fisika dari Albert-Ludwigs Universitat, Freiburg, Jerman, 1993-1999
- PhD dari Kiepenhaeur-Institute for Solar Physics, Freiburg, Jerman, 1999
- 2003. Judul disertasi: Radial Velocity Variation of G and K Giants.
Proyek:
- ESPRI (Exoplanet Search with PRIMA/Phase-Referenced Imaging and Micro-arcsecond Astrometry)
- SERAM (Search for Exoplanet with Radial-velocity at MPIA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo