Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Terjerat Suap Massal Monsanto

PELUANG Soleh Solahuddin lolos dari kursi terdakwa Kejaksaan Agung kian tertutup. Setumpuk bukti aliran suap dari Monsanto Company kepadanya membuat Menteri Pertanian di era pemerintahan B.J. Habibie ini sulit berkelit. Haruskah ia menanggung sendiri skandal suap massal yang melibatkan perusahaan pemasok kapas transgenik asal Amerika Serikat ini? Meski jumlahnya hanya sekitar Rp 7 miliar, penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Biro Investigasi Federal Amerika (FBI) mengindikasikan ”upeti” Monsanto dinikmati puluhan pejabat pemerintah.

28 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA sangka, kesenangan Soleh Solahuddin bermain golf di Danau Bogor Raya pada sebuah akhir pekan, November 1998, kini berujung getir. Ditemani Johannes Adrianus Biljmer, Presiden Direktur PT Monagro Kimia, Soleh yang waktu itu menjabat Menteri Pertanian asyik menjajal lapangan golf 18 holes itu.

Tempo mendapatkan cerita dari sejumlah sumber bahwa di situlah rupanya sebuah deal penting terjadi. Biljmer sepakat memberikan kaveling tanah 1.500-an meter persegi di perumahan Danau Bogor Raya—sekitar 1,5 kilometer dari tempat mereka main golf—kepada Soleh.

Tak ada makan siang gratis, begitu bunyi pepatah Inggris. ”Upeti” itu dipersembahkan Biljmer untuk melicinkan izin penjualan bibit kapas transgenik buatan Monsanto Company di Indonesia. Monsanto adalah induk Monagro yang berbasis di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat.

Gara-gara urusan kaveling pelicin inilah, Soleh kini ketanggor perkara suap dan harus berurusan dengan Kejaksaan Agung—sebelumnya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, M. Salim, status kasus ini siap ditingkatkan ke penyidikan. ”Sudah 95 persen,” ujarnya, dua pekan lalu.

Inilah kasus suap massal yang melibatkan puluhan pejabat pemerintah dan para ”petualang bisnis” dari negeri adikuasa Amerika Serikat. Meski kasus ini ”cuma” menyangkut duit Rp 6,75 miliar, alirannya menjalar ke lebih dari seratus saluran. Berlangsung pada 1998–2002, penyuapan itu terbagi dalam dua fase.

Fase suap pertama terjadi di Departemen Pertanian ketika Menteri Pertanian dijabat Soleh. Dalam daftar aliran dana yang dilihat Tempo, penyuapan terjadi hingga kepala-kepala dinas. Suap juga mampir ke Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, DPR, dan DPRD. Menurut beberapa sumber, operasi ini dikendalikan langsung oleh Biljmer dari kantor Monagro.

Fase penyuapan kedua berlangsung sejak 1999 hingga 2003 kepada pejabat di Departemen Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup. Pada fase ini, operasi penyuapan dikendalikan oleh Charles Michael Martin, Direktur Government Affairs untuk Asia (lihat ”Ada Wayang, Siapa Dalang”).

Bau busuk skandal suap kapas transgenik pertama kali tercium di markas Monsanto pada Maret 2001. Pemeriksaan internal Monsanto menemukan ada transaksi tak jelas juntrungannya senilai US$ 700 ribu. Eh, setahun berikutnya, ditemukan lagi transaksi aneh di anak usahanya itu. Nilainya US$ 50 ribu.

Duit-duit itu kemudian terbukti sebagai uang pelicin. Jika ketahuan pemerintah, Monsanto bisa terkena sanksi berat. Soalnya, Foreign Corrupt Practices Act jelas-jelas mengharamkan praktek suap oleh semua perusahaan Amerika di luar negeri ke pejabat negara tempat mereka beroperasi. Cuma ada satu cara untuk meringankan hukuman: melaporkannya ke Departemen Kehakiman (Department of Justice) dan lembaga pengawas pasar modal (Securities and Exchange Commission, SEC) Amerika Serikat.

Tak ada pilihan, Monsanto akhirnya melaporkan praktek curang ini. Meskipun begitu, pada Januari 2005, SEC dan DOJ tetap mendenda raksasa bioteknologi ini masing-masing US$ 500 ribu (sekitar Rp 4,5 miliar) dan US$ 1 juta (Rp 9 miliar). Giliran Martin tiba pada Maret 2007, SEC mendendanya US$ 30 ribu.

Ketika persidangan Monsanto berlangsung pada 2004–2005, terkuaklah ke mana uang pelicin itu mengalir. Pengadilan setempat mengungkapkan, ada 140 aliran dana dari Monsanto ke para pejabat Indonesia. Siapa saja mereka, Pengadilan Distrik Columbia tak menyebutkan.

Jalan mulai terang ketika Komisi Pemberantasan Korupsi ikut menelisik kasus ini. Sebuah kerja sama diam-diam dijalin KPK dengan Biro Investigasi Federal (FBI) di Amerika Serikat.

Sebagai sebuah lembaga yang belum lama berdiri, KPK jelas bukan tandingan FBI. Pernah suatu kali, sumber Tempo menceritakan, koordinasi antarlembaga lewat konferensi jarak jauh harus dilakukan dengan sarana superminim.

”Bayangkan,” katanya, ”wakil dari sejumlah lembaga di Indonesia, seperti KPK, Badan Pengawas Pasar Modal, dan praktisi hukum harus berjubel di depan sebuah telepon seluler.” Sementara di Amerika sana, wakil-wakil dari FBI, Departemen Kehakiman, dan SEC saling berkomunikasi lewat saluran telekomunikasi yang terhubung satu dengan lainnya meski berjauhan. ”Salah seorang bahkan telekonferensi dari dalam mobil,” kata sumber tadi terbahak.

Meski begitu, kerja keras KPK tak sia-sia. Lembaga antikorupsi ini berhasil mendapatkan isi perut komputer jinjing Michael A. Villareal, salah satu saksi kunci dalam kasus suap US$ 50 ribu ke Departemen Lingkungan Hidup. Karena data ini berguna bagi penyelidikan di Amerika, pihak FBI pun kemudian membarternya dengan daftar aliran uang Monsanto ke puluhan pejabat Departemen Pertanian dan lembaga lainnya.

Data itu akur dengan hasil pemeriksaan Inspektorat Jenderal Departemen Pertanian: 45 orang—mereka terdiri dari pegawai negeri eselon I-IV dan pihak ketiga—diduga menerima suap dari perusahaan bioteknologi terbesar di dunia itu. Pemeriksaan yang dirampungkan pada Maret 2005 itu juga, kata Inspektur Jenderal A. Hidayat Rahadian, menemukan, ”Pelepasan kapas transgenik belum memenuhi standar prosedur pelepasan varietas.”

l l l

KISAH suap massal ini bermula pada 1998. Ketika itu, Monagro mendapat barang baru dari Monsanto untuk dijual di Indonesia: tanaman transgenik. Ada kapas Bt/Roundup Ready, jagung Bt/Roundup Ready, hingga kedelai Roundup Ready.

Itu bukan sembarang tetumbuhan. Ke dalam tubuhnya sudah disisipkan gen dari makhluk lain, agar memiliki khasiat yang dimiliki makhluk itu. Kapas Bt, misalnya, memiliki gen penghasil kristal protein bernama Cry yang dimiliki bakteri tanah Bacillus thuringiensis. Walhasil, kapas itu menghasilkan Cry. Protein ini berkhasiat laiknya insektisida: membunuh Helicoverpa armigera, serangga yang menjadi musuh utama para petani kapas.

Potensi pasar tanaman ini sungguh besar. Untuk kapas Bt, misalnya, ada lahan lebih dari setengah juta hektare. Beberapa sumber Tempo mengungkapkan, Monsanto juga punya agenda lain dengan kapas ini. Indonesia akan dijadikan pintu masuk Monsanto untuk menjual bibit kapas transgenik di Asia, terutama Cina dan India. Kapas Bt juga hanya batu loncatan untuk memasarkan jagung transgenik dengan potensi lahan dua juta hektare, dan kedelai transgenik dengan potensi satu juta hektare.

Masalahnya, tak mudah mendapatkan izin untuk menjual bibit tanaman transgenik di Indonesia. Ada berbagai pengujian yang harus dilakukan sebelum Departemen Pertanian bisa melepaskan tanaman tersebut di Indonesia. Belum lagi halangan akibat perundang-undangan yang belum lengkap dan tentangan dari para penggiat lingkungan. ”Karena itulah Monagro menyuap,” ujar sumber Tempo.

Menurut orang dalam Monsanto, suap itu tidak hanya dimaksudkan untuk kapas transgenik. ”Tapi juga untuk mengamankan bisnis pestisida,” ujarnya. ”Come on, kapas belum menguntungkan.” Monagro kala itu hidup dari jualan pestisida di Indonesia dengan nilai penjualan sekitar Rp 2 triliun. Perusahaan ini menguasai 30 persen pangsa pasar pestisida di sini.

Biljmer, menurut penelusuran Tempo, yang diduga kuat mengendalikan operasi suap itu. Pada periode 1998–2001, ia diketahui memerintahkan pengumpulan dana taktis untuk ”Biaya Pemasaran”. Ini adalah dana yang dimaksudkan untuk ”melumasi” usaha Monagro. Dari sinilah diperoleh dana untuk pemberian hadiah, uang saku perjalanan dinas, kado pernikahan anak pejabat, dan—itu tadi—biaya pembelian kaveling tanah untuk Soleh di Danau Bogor Raya.

Dana-dana itu diperoleh, antara lain, dengan meninggikan tagihan kepada distributor sehingga harga jual ke petani lebih mahal dari yang seharusnya. Sayang, Biljmer dan Martin tak bisa dimintai konfirmasi. Upaya mencari alamat keduanya ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi tak membuahkan hasil.

Surat Tempo kepada Monsanto juga hanya dibalas pendek. ”Karena terikat perjanjian hukum dengan pengadilan, kami tidak bisa berbicara soal ini,” kata Shanti Shamdasani, juru bicara Monsanto Asia Tenggara, melalui jawaban tertulis.

Peran sentral Biljmer dalam operasi kapas ini dibenarkan orang dalam Monagro. ”Di Monagro, semua pengeluaran uang, yang sah dan tidak, harus atas persetujuan presiden direktur,” ujarnya.

Dalam mengelola uang itu, ia, kabarnya, dibantu oleh Widjaya Harahap, Manajer Marketing Monagro Kimia. Tapi, setali tiga uang, Widjaya pun enggan melayani Tempo. Ketika dihubungi, Selasa pekan lalu, ia mengaku sedang di Bali dan menjanjikan wawancara per telepon malamnya. Namun, itulah percakapan terakhir dengannya. Teleponnya sejak itu mati.

Selain Biljmer, Widjayalah orang nomor dua yang bisa menjadi tokoh kunci membuka rahasia suap di Monagro. Ia pula yang menandatangani seluruh pembayaran kaveling untuk Soleh di Danau Bogor Raya.

Jejak pembayaran Monagro terlacak sejak awal Desember 1998. Saat itu, Monagro memesan kaveling di Blok N 27-28 kepada perusahaan pengembang Danau Bogor Raya, PT Sarana Kilap Mas, dengan uang tanda jadi Rp 25 juta. Berselang sepekan, Monagro membayar kepada Kilap Mas sebesar Rp 361,428 juta dengan cek BRI.

Pembayaran berikutnya pada akhir Januari, berupa cek Citibank (Rp 650 juta), cek Bank Universal (Rp 101,665 juta), dan cek BRI (Rp 150 juta). Awal Februari, kaveling di Blok N 27-28 itu pun telah dilunasi. Tercatat sebagai pembeli kaveling itu adalah Widjaya. Anehnya, pada 15 Januari, sertifikat HGB nomor 2524 untuk kaveling itu sudah berpindah ke tangan istri Soleh, Siti Sianah.

Soleh tidak menampik menerima tanah itu. Pada kuitansi jelas-jelas tercetak nama istrinya yang diteken oleh Widjaya dan diantarkan oleh Andi Abdussalam Tabusalla. ”Saya siap bertanggung jawab,” katanya. Soleh menerima pemberian itu karena Andi sudah lama ia kenal. Orang ini selalu memposisikan diri sebagai anak Soleh, tapi Soleh merasa jadi korban dari ”sebuah permainan bisnis” yang tak ia sadari. Tercatat semua kuitansi ”upeti” itu berasal dari PT Branita Sandhini yang, menurut dia, tak ada kaitan kepemilikan dengan Monsanto atau Monagro. ”Saham perusahaan ini baru dijual ke Monsanto pada 2004,” katanya (lihat ”Saya Cuma Kambing Hitam”). Karena itu, ia merasa dijebak.

Soleh mungkin tak teliti, karena Branita tak lain adalah distributor lokal produk Monsanto. Sadar bahwa pemberian ini bakal bermasalah, menurut pengakuannya, ia lantas mengembalikan semua pemberian itu kepada Andi dengan mencicil sepanjang 2003–2004. Total uang yang dikembalikan mencapai Rp 1 miliar, tapi hanya Rp 850 juta yang tercatat di kuitansi.

Ketika diperiksa KPK, Andi membuat keterangan tertulis telah menerima pengembalian ini, tapi mencabutnya sewaktu kasus ini dilempar ke Kejaksaan Agung. Sumber Tempo membenarkan pencabutan keterangan itu, tapi tak bersedia menjelaskan alasannya. Yang pasti, pencabutan ini tak mempengaruhi fakta yang ada. ”Formalnya sudah dikembalikan, tapi kan pernah dia miliki?” katanya.

Soleh juga mengaku, selama menjabat menteri, tak sekali pun ia mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan izin transgenik. Satu-satunya surat yang ia terbitkan adalah Surat Keputusan Bersama empat menteri tentang keamanan hayati dan pangan produk-produk pertanian transgenik. ”Pelepasan varietas milik Monsanto terjadi ketika saya sudah tidak jadi menteri,” katanya.

Jika itu yang dimaksud, bola panas tampaknya bergulir ke Bungaran Saragih, penggantinya. ”Anda sebaiknya bertanya kepada Pak Bungaran yang menjabat Menteri Pertanian pada 2001–2003,” kata Soleh.

Bungaran menolak disebut mengizinkan kapas transgenik masuk Indonesia. ”Justru Monsanto rugi besar karena saya,” katanya. Alasannya, pertama, ia hanya mengizinkan kapas transgenik dilepas dengan syarat, sedangkan Monsanto ingin tanpa syarat. Kedua, ia menolak melepas benih jagung transgenik. ”Dan ketiga, saya menderegulasi monopoli herbisida mereka sejak Orde Baru,” ujarnya.

Lantas, bagaimana dengan jejaring suap Monsanto di Kementerian Lingkungan Hidup? Cerita di lini ini tak kalah seru. Semua berawal dari langkah Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf pada 22 Mei 2001 yang membikin Monsanto mati kutu.

Sonny menerbitkan surat keputusan yang menyatakan produk pertanian transgenik harus menjalani Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Monsanto tak tinggal diam. Mereka menyewa pelobi dari PT Harvest International Indonesia untuk menggagalkan dekrit itu. Tapi Sonny, waktu itu, tak tersentuh.

Harapan muncul ketika Sonny digantikan Nabiel Makarim pada Agustus 2002. Nabiel kebetulan kawan lama Michael A. Villareal, Wakil Presiden Harvest. Berkat kedekatannya itulah, Nabiel kemudian dituding telah menerima percikan dana suap dari Monsanto.

Sinyalemen itu kian kuat, setelah Pengadilan Distrik Columbia menyatakan telah ditemukan bukti-bukti terjadinya penyuapan kepada seorang pejabat senior di Kementerian Lingkungan Hidup—di masa Nabiel menjadi nakhodanya. Adapun otak penyuapan itu adalah Charles Martin, Direktur Hubungan Pemerintah Monsanto di Asia. Dia disebut-sebut telah merekayasa tagihan sebesar US$ 66 ribu ke Monsanto untuk penyuapan itu.

Menurut dokumen SEC, duit sogokan itu diserahkan seorang pegawai Harvest dalam bentuk 500 lembar uang pecahan US$ 100 kepada seorang pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup pada 5 Februari 2002. Siapa kurir itu? Sayang, SEC tak menyebut nama.

Petunjuk diperoleh dari sumber Tempo yang dekat dengan Harvey Goldstein. Presiden Direktur Harvest ini pernah bercerita, dirinya menerima telepon saat sedang di Florida dari Villareal, yang minta persetujuan pencairan US$ 50 ribu pada awal 2002 untuk ”biaya operasional”. Untuk apa persisnya, Villareal mengatakan penjelasan akan disampaikan ketika Martin sudah di Jakarta. Tiba di Jakarta, setelah mendengar laporan penggunaan uang dari Villareal, Harvey langsung meradang. Villareal dia pecat.

Tak happy dengan keputusan itu, salah seorang sumber menuturkan, Villareal langsung ”bernyanyi” ke SEC. Namun, ketika dimintai konfirmasinya, Villareal menyangkal soal keterlibatannya dalam aksi penyuapan tersebut. ”Apa buktinya?” ujarnya via telepon.

Goldstein juga tak bisa dimintai konfirmasi soal kebenaran kisah ini. Panggilan ke telepon selulernya selalu diteruskan ke Singapura. Namun, ia pernah menegaskan bahwa Harvest tidak pernah terlibat kasus suap apa pun. ”Saya tidak pernah memberikan uang (kepada Villareal),” ujarnya setelah dimintai keterangan oleh KPK, Januari 2005. ”Jadi, siapa yang disuap?”

Penolakan keras juga datang dari Nabiel. ”Saya tegaskan, saya tidak pernah menerima apa pun dari Monsanto,” katanya. ”Begini saja. Kalau mereka menyuap saya, lalu apa yang sudah saya buat untuk mereka?” tantangnya.

Sampai di sini, banyak hal memang masih gelap gulita. Nah, agar membuatnya benderang, Kejaksaan perlu kiranya meminta Pengadilan Distrik Columbia untuk segera membuka berbagai dokumen dan hasil pemeriksaan skandal massal ini selama di persidangan. Karena, toh, perjanjian kerahasiaan dokumen yang disepakati Monsanto di pengadilan tiga tahun lalu berakhir bulan ini.


Jalur Lobi Dua Menteri

Kapas transgenik cuma bertahan tiga kali musim tanam di Sulawesi Sela­tan. Lolos berkat lobi gencar ke De­par­temen Per­tanian dan Kemen­terian Lingkungan Hidup.

1 Agustus 1998 PT Monagro Kimia mengajukan permohonan pengujian kapas transgenik buatan Monsanto kepada Menteri Pertanian Soleh Solahuddin.

27 November 1998 Istri Menteri Pertanian, Siti Sianah Soleh, meminta kaveling dan rumah di Danau Bogor Raya kepada Monagro. Presiden Direktur Monagro Johannes Biljmer setuju.

Desember 1998-Maret 1999 Komisi Keamanan Hayati melakukan uji kapas Monsanto di Kabupaten Takalar, Jeneponto, dan Bantaeng, Sulawesi Selatan.

17 Mei 1999 Komisi menyatakan kapas Monsanto aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati, tapi pengujian belum mencakup soal keamanan pangan dan pelepasan varietas.

29 September 1999 Keluar surat keputusan bersama empat menteri tentang Keamanan Hayati Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. Kementerian Lingkungan Hidup tidak dilibatkan.

Oktober 1999 Menteri Soleh digantikan M. Prakoso

15 Januari 2000 Istri Menteri Soleh mengantongi sertifikat hak guna bangunan nomor 2524 di Danau Bogor Raya.

25 Mei 2000 Dalam rapat Komisi Keamanan Hayati, terungkap Monagro melakukan pelanggaran karena genotipe kapas yang diuji lebih banyak dari yang dimintakan izinnya.

Mei-Oktober 2000 Monagro melakukan uji multilokasi dan adaptasi kapas transgenik di 20 lokasi percobaan, mencakup tujuh kabupaten dan melibatkan 868 petani.

23 Agustus 2000 Menteri M. Prakoso digantikan Bungaran Saragih.

29 September 2000 Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengirim surat kepada Menteri Bungaran, menyatakan Monagro melanggar ketentuan analisis dampak lingkungan.

7 Februari 2001 Bungaran mengeluarkan surat keputusan tentang pelepasan terbatas kapas transgenik di tujuh kabupaten di Sulawesi Selatan.

15 Maret 2001 Monagro mengimpor 39 ribu kilogram benih kapas transgenik dari Afrika Selatan.

22 Mei 2001 Sonny menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 17 tentang perlunya usaha tanaman transgenik dilengkapi amdal.

9 Agustus 2001 Sonny digantikan Nabiel Makarim. Monsanto meminta konsultannya di Indonesia, Harvest International, melobi Nabiel agar mencabut Keputusan Nomor 17.

31 Agustus 2001 Nabiel membalas surat Bungaran dengan mengatakan amdal kapas transgenik tidak perlu jika kegiatan budi daya dilakukan petani.

Desember 2001 Charles Martin, Direktur Government Affair Monsanto Asia, memerintahkan Michael Villareal menyuap pejabat senior Kementerian Lingkungan Hidup US$ 50 ribu.

11 Januari 2002 Menteri Bungaran menerbitkan surat keputusan diteruskannya pelepasan terbatas kapas transgenik.

5 Februari 2002 Dokumen Pengadilan Amerika menyebutkan pada sekitar tanggal inilah Villareal menyerahkan US$ 50 ribu kepada pejabat Kementerian Lingkungan Hidup.

18 Februari 2002 Branita Sandhini mengimpor benih kapas transgenik dari Afrika Selatan 45 ton dari izin 80 ton.

4 Februari 2003 Bungaran kembali menerbitkan SK pelepasan terbatas kapas transgenik untuk 2003.

Maret 2003 Monsanto gagal menyediakan benih kapas transgenik.

Desember 2003 Pemerintah menyatakan komersialisasi kapas transgenik dihentikan.

Maret 2004 Departemen Kehakiman Amerika Serikat mulai menyidangkan kasus suap Monsanto kepada pejabat Indonesia.


  • Monsanto

    Monsanto didirikan pada 1901 di St. Louis, Missouri, Amerika Serikat. John Francis Queeny menamai perusahaan barunya ini dari nama tengah istrinya, Olga Monsanto Queeny. Produk pertamanya adalah pemanis buatan sakarin, yang dijual ke Coca-Cola Company.

    Pada 1940, Monsanto mulai membuat plastik dan masuk daftar 10 besar perusahaan kimia di Amerika. Ia lalu berkongsi dengan perusahaan raksasa Jerman, Bayer, memasarkan polyurethanes di Amerika.

    Baru pada 1960, Monsanto mendirikan divisi pertanian untuk mengembangkan program penelitian biologi sel. Pada 1982, para ilmuwan Monsanto-lah yang pertama memodifikasi sel tanaman secara genetik. Lima tahun kemudian, Monsanto melakukan tes lapangan tanaman transgenik.

    Perusahaan ini kemudian beralih dari bidang biokimia ke bioteknologi. Pada akhir 1999, Monsanto melakukan merger dengan Pharmacia & Upjohn Inc., yang menjadikannya salah satu perusahaan farmasi dan bioteknologi terbesar di dunia dengan nilai pasar US$ 50 miliar atau sekitar Rp 470 triliun. Belakangan, Monsanto melepaskan diri dan Pharmacia menjadi anak perusahaan Pfizer.

    Monsanto makin berkibar tatkala meluncurkan produk pertanian pertama yang membawa sifat generasi kedua, yaitu kapas Bollgard II. Monsanto bahkan dianugerahi gelar Best Multinational Company dalam ajang Penghargaan Bisnis Internasional 2004 di Kota New York, Amerika. Monsanto dianggap sukses secara teknologi dan tanggung jawab sosial kepada masyarakat.

  • Harvest International Indonesia

    Perusahaan konsultan investasi yang berbasis di Jakarta ini berperan penting meloloskan kapas transgenik ke Indonesia. Monagro Kimia mengontraknya dengan bayaran sekitar US$ 30 ribu per bulan, plus biaya pengeluaran lain yang bisa diklaim ke Monagro. Monagro punya sejumlah varietas lain, di samping kapas, yang direncanakan masuk ke Indonesia.

    Harvest dipimpin Harvey Goldstein. Selain menjabat Presiden dan Direktur Utama Harvest, pria berkewarganegaraan Amerika ini menjadi Konsul Honorer Negara Gambia di Indonesia. Ada juga Michael Villareal sebagai wakil presiden dan wakil direktur utama. Villareal-lah tangan kanan Goldstein yang wira-wiri melobi pejabat Indonesia.

    Goldstein juga mendirikan PT Panen Buah Emas. Perusahaan ini adalah penasihat teknis dari Harvest. Komisaris Panen adalah Rosita Goldstein, istri Harvey, sedangkan direktur pelaksana hariannya adalah Sumarsito, yang juga menjadi salah satu Direktur Harvest International.

  • Monagro Kimia

    Monagro Kimia adalah perusahaan patungan Monsanto dan PT Mitra Kreasidharma (Salim Group). Monsanto menguasai 85 persen saham dan Salim sisanya. Didirikan pada 1988, Monagro menghasilkan produk-produk pelindung makanan, bioteknologi, dan kimia.

    Perusahaan multinasional ini bermarkas di Kuningan, Jakarta Selatan, dengan pabrik di Kawasan Industri Manis, Desa Jatake, Jatiuwung, Tangerang. Kapasitas produksi herbisidanya, yang di masa awal beroperasi di Indonesia hanya 5 juta liter per tahun, meningkat menjadi 50 juta pada 1997.

    Bisnis Monagro makin kinclong karena permintaan produk herbisida—yang dapat membuat lahan tidak produktif menjadi subur—terus meningkat di Indonesia. Sebanyak 70 persen produk Monagro untuk pasar dalam negeri. Sisanya diekspor ke Thailand, Cina, dan Korea Selatan.

  • Branita Sandhini

    Branita Sandhini adalah perusahaan pemasok benih kapas jenis Bollgard yang diproduksi Monsanto. Berdiri pada 1990 di Jakarta, Branita dikontrol sepenuhnya oleh manajemen regional Monsanto Asia Pasifik yang bermarkas di Singapura.

    Branita dan Monagro Kimia bertugas mengkoordinasi dan mengawasi tugas-tugas Harvest International, perusahaan konsultan yang dikontrak untuk melobi pemerintah supaya kapas transgenik bisa masuk Indonesia dengan mulus.

    Branita Sandhinilah yang berhubungan dengan para petani. Perusahaan ini menjual bibit kapas itu secara kredit kepada petani seharga Rp 40 ribu per kilogram, lengkap dengan pestisida, herbisida, dan penyuburnya. Selain mendapat harga lebih mahal dari kapas biasa, para petani dijerat kontrak: Branita akan membeli panen kapas mereka jika petani membeli benih dari Branita seharga dua kali lipat pada tahun berikutnya.


    Ada Wayang, Siapa Dalang

    Monsanto mengucurkan US$ 750 ribu atau sekitar Rp 7 miliar untuk memuluskan bisnisnya di Indonesia, termasuk memperoleh izin menjual benih tanaman transgenik. Uang itu ditengarai dipakai ”sang dalang” untuk ”membeli” pejabat di Departemen Pertanian, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Berikut ini pohon suap Monsanto di Indonesia berdasarkan daftar penerima suap yang dilihat Tempo.

    Tanggal*PeruntukanJumlah
    14/01Tidak diketahuiRp 12,87 juta
    25/01Pembayaran tanah Danau Bogor RayaRp 901,7 juta
    02/02Kepentingan keluargaRp 21 juta
    08/02 Kepentingan keluargaRp 26 juta
    08/04Kepentingan keluargaRp 300 juta
    08/04 Kunjungan istri Soleh ke HanoiRp 100 juta
    06/07Pemberian untuk istri SolehRp 20 juta
    30/08Uang muka gambar rumah Danau Bogor RayaRp 80 juta
    30/08Pinjaman untuk bisnis keluargaRp 20 juta
    TOTALRp 1,482 miliar

    Empat Punggawa Monsanto

    Charles M. Martin, 63 Tahun Dia pernah lama bekerja untuk Departemen Pertahanan Amerika Serikat bidang Asia. Karena itu, di Monsanto, ia didapuk menjadi Direktur Hubungan Masyarakat dan Pemerintah untuk Kawasan Asia. Ketika bertemu dengan Bungaran Saragih, Menteri Pertanian 2001-2004, membicarakan bisnis kapas, ia berkata, ”Jika pemerintah Indonesia main musik klasik, kami juga musik klasik; jika musik jazz, kami main jazz; jika mau suap, kami siapkan suap; jika main bersih, itu yang kami senangi.” Martin disebut-sebut memerintahkan Michael Villareal membawa US$ 50 ribu untuk Menteri Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, awal 2002. Ia juga merancang pemalsuan tagihan US$ 66 ribu kepada Monsanto untuk mendanai penyuap­an tersebut.

    Johannes Adrianus Biljmer Warga Belanda ini Presdir PT Monagro Kimia (unit bisnis Monsanto) dan Komisaris Utama PT Branita Sandhini. Ia diduga otak penyuapan Monsanto kepada pejabat Departemen Pertanian dan Bappenas, dengan menciptakan ”biaya pemasaran” di perusahaannya. Caranya, ia memerintahkan stafnya meninggikan tagihan kepada distributor dan biaya konsultasi, serta mengambil selisih dana yang disetor ke bank. ”Biaya pemasaran” itulah yang dipakai untuk ”upeti” kepada pejabat Indonesia.

    Michael A. Villareal, 38 Tahun Ia seorang pelobi ulung. Pertamina pernah menyewanya untuk melobi Karaha Bodas Company dari Amerika Serikat agar membatalkan denda Rp 2,3 triliun. Bahasa Indonesia warga Amerika ini sempurna. Untuk Monsanto, Wakil Presiden PT Harvest International Indonesia ini bertugas melobi Nabiel Makarim, Menteri Lingkungan Hidup 2001-2004, yang sudah lama dikenalnya. Lewat Villareal, Nabiel disebut-sebut menerima US$ 50 ribu.

    Harvey Goldstein, 68 Tahun Pendiri sekaligus Presdir PT Harvest International Indonesia sejak 1990. Ia juga konselor bisnis Republik Gambia. Tugasnya menjembatani bisnis negara di pantai barat Afrika itu dengan Indonesia. Sebagai pelobi ulung, Harvey disebut-sebut ikut mengatur suap ke para pejabat Indonesia agar misi bisnis kliennya, Monsanto, melepas kapas transgenik terwujud. Ia membantah, meski mengaku pada awal 2002 pernah diminta persetujuan oleh Michael Villareal untuk mencairkan US$ 50 ribu buat operasionalisasi kantor. Dana itulah yang diduga dipakai Michael menyuap pejabat Kementerian Lingkungan Hidup.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus