Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Hengkang Berwaris Utang

Periode menanam kapas transgenik dikenang petani Sulawesi Selatan dengan berbagai perasaan. Menunggu bibit hibrida dari Cina.

28 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARSYAD, petani di Gantarang Keke, Bantaeng, Sulawesi Selatan, adalah satu dari sedikit orang yang punya kenangan manis terhadap Monsanto Company. Pada 2000-2002, dia menanam Bollgard, kapas transgenik produksi raksasa bioteknologi dunia asal Amerika itu, dengan sistem tumpang sari: empat baris kapas, sebaris jagung. Panennya selalu berlambak.

Rata-rata setahun Arsyad menuai dua ton kapas dan setengah ton jagung per hektare. Pada harga kapas Rp 2.500 per kilogram, dia mengantongi hingga Rp 3,7 juta per hektare. Sebelumnya, dengan bibit Kanesia, paling dia cuma memanen 1,5 ton kapas per hektare.

Terpukullah lelaki 38 tahun itu ketika Monsanto tiba-tiba ”cabut”, pada 2003. ”Perkembangan kapas langsung menurun,” katanya. Untuk ukuran orang sedesa, rumah tembok Arsyad yang lapang serta kijang pick-up yang parkir di halaman merupakan lambang kejayaan.

Tak semua petani, tentu, bernasib sebaik Arsyad. Periode Bollgard di Sulawesi Selatan, dari masa uji coba pada 2000 hingga pelepasan terbatas di tujuh kabupaten pada 2001 dan 2002, ternyata tidak se-”dahsyat” yang didengungkan. Data hasil panen 2001 dari Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan, misalnya, menunjukkan rata-rata produktivitas Bollgard di 4.634,2 hektare lahan tak lebih dari 987,5 kg per hektare.

Hanya sepuluh persen yang panennya seperti di lahan Arsyad, lebih dari dua ton per hektare. Orang pun tak banyak tahu, produksi kapas di 39 persen lahan bahkan tak sampai setengah ton per hektare. Jangankan untung, membayar utang modal usaha kepada Monsanto, sebesar Rp 1,2 juta, pun petaninya terampun-ampun.

Satu di antara petani apes itu adalah Santi Sudarti dari Kecamatan Ujung Loe, Bulukumba. Santi mengaku dibujuk petugas kantor pertanian setempat untuk menanam Bollgard di lahan 25 hektarenya, pada 2001. Tergoda panen yang bisa mencapai empat ton per hektare, dia setuju.

Hasilnya? Dia cuma mendapatkan 70-120 kg per hektare. Bukannya turun membantu, orang-orang Monsanto dan petugas pemerintah malah memojokkan dia. Mereka bilang itu salah Santi sendiri: kurang telaten. Di saat bersamaan, perusahaan yang mewakili Monsanto di sana, PT Branita Sandhini, tiba-tiba menaikkan harga benih dan pupuk. Sebaliknya, harga beli kapas mereka turunkan. Santi terkulai.

Alasan Branita: harga benih Rp 40 ribu per kg saat pelepasan pertama pada 2000 itu promosi. Supaya tidak ”rugi” terus, mereka harus menaikkan harga menjadi Rp 80 ribu, dan akan naik lagi menjadi Rp 120 ribu. Turunnya harga beli, dari Rp 2.500—sesuai dengan perjanjian—menjadi Rp 2.000, menurut mereka, karena fluktuasi nilai kapas di pasaran.

Dalih itu sulit diterima. Merasa tertekan, Santi bersama anggota kelompok tani wanitanya membakar kapas mereka sebagai protes. Aksi itu mendapat liputan luas media. Santi pun menjadi figur perlawanan petani kapas Sulawesi Selatan. ”Mereka menjebak kami dalam lingkaran utang, merenggut kebebasan kami, dan menjadikan kami budak selamanya,” katanya bersaksi dalam sebuah diskusi yang digelar Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia di Nusa Dua, Bali, pada 2002.

Baiknya, setelah enam tahun, semua itu kini tinggal cerita. Kehidupan para petani kapas di Sulawesi Selatan menggelinding terus. Ketika Tempo berkunjung ke Bantaeng dan Bulukumba dua pekan lalu, pohonan jagung menghijau di kebun-kebun.

April nanti, mereka kembali akan menanam kapas. Beberapa petani masih akan menggunakan benih transgenik, cucu-buyut Bollgard yang dulu mereka banggakan. Sebagian menanti bibit hibrida baru dari Cina, yang kabarnya bisa menghasilkan hingga empat ton kapas per hektare. Tapi kebanyakan akan kembali menanam Kanesia, yang bibitnya bisa mereka peroleh dengan harga murah, Rp 5.000 per kg.

Monsanto, akhirnya, memang hengkang dari Sulawesi Selatan, pada 2003. Tapi ia meninggalkan sekitar 70 persen dari 4.438 petani terlunta dengan utang yang harus tetap mereka bayar.

Produktivitas Bollgard di Sulawesi Selatan
DaerahTanam (ha)Panen (ha)Produksi (kg)Produktivitas (kg/ha)
Bantaeng1.750,001.547,302.006.8031.296
Bulukumba1.584,001.347,501.507.7861.118
Bone141,00104,75112.9101.077
Soppeng334,15302,00222.405736
Wajo509,20504,75398.168788
Gewa14,7512,2028.3142.358
Takalar29,1021,3731.0311.452
*Data dari Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan**Secara keseluruhan, cuma 10 persen lahan yang produktivitasnya di atas 2 ton; 39 persen hanya menghasilkan kurang dari 0,5 ton per hektare. Sisanya antara 0,5 ton dan 2 ton.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus