Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Jusuf Kalla:</font><br />Ada Dua Masalah dalam Perselisihan Aceh

30 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUSUF Kalla sekeluarga tengah berlibur di London tatkala penembakan pecah di Aceh Utara pada awal Januari lalu. Walhasil, suasana libur nan santai mendadak beralih menjadi "kantor": telepon berdering-dering dari Tanah Air serta beberapa belahan dunia lain. Rata-rata meminta advis, pikiran, dan bantuannya. Teror sporadis yang mengguncang Nanggroe Aceh Darussalam selama sebulan terakhir telah memakan 10 nyawa dan melukai 13 orang. Dan orang tetap mengingat JK saban kali terjadi letupan panas di provinsi tersebut. Dia memang punya rekam jejak kuat dalam ihwal perdamaian Aceh.

JK adalah sosok penting di balik Nota Kesepahaman Helsinki 2005. Kesepakatan ini meredakan konflik puluhan tahun yang melibatkan Gerakan Aceh Merdeka. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengundang bekas wakilnya itu ke Istana Negara pada 16 Januari lalu. Keduanya membahas, antara lain, gangguan keamanan di Aceh menjelang pemilihan kepala daerah bulan depan.

Toh, hubungan JK-Aceh tak selalu "berbalas setimpal". Pada pemilihan presiden 2009, Aceh hanya memberi Jusuf Kalla empat persen suara. Kata Kalla, "Tujuan saya bukan mendapat suara atau Hadiah Nobel, tapi melihat Aceh yang damai." Dia juga berperan menghentikan konflik berdarah di Poso dan Ambon—dalam waktu relatif singkat. "Pelajari asal-usul masalahnya, baru selesaikan," JK menegaskan.

Nama Jusuf Kalla mulai kembali disebut-sebut dalam bursa calon presiden 2014. Komentarnya kepada Tempo, "Saya sekarang tak punya kanal untuk maju." Maka dia memilih berkonsentrasi sebagai Ketua Palang Merah Indonesia. Dia juga sibuk berkeliling dalam dan luar negeri, memberi ceramah dan kuliah umum. Empat hari dalam sepekan praktis dia habiskan di Jakarta dengan antrean tamu yang tak putus-putus.

Pekan lalu wartawan Tempo Andari Karina Anom, Purwani D. Prabandari, Qaris Tajudin, dan Hermien Y. Kleden menemuinya untuk satu wawancara khusus. Perbincangan selama dua jam di kantor pusat PMI, di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, itu lebih mirip "reuni" penuh gelak tawa—yang tetap disertai sejumlah informasi off the record.

Boleh tahu isi pembicaraan Anda dengan SBY—saat Presiden memanggil Anda ke Istana pada 16 Januari lalu?

Kami hanya saling konsultasi. Sejak berhenti jadi wakil presiden, saya rutin ketemu SBY. Ada semacam kesepakatan (di antara kami) untuk tetap saling membantu—sejak awal kami berpisah (sebagai presiden dan wakil presiden). Saya memberi masukan yang baik ataupun yang kritis.

Yang kritis misalnya soal apa?

Saya tidak dapat bicara detail kepada Anda soal ini. Yang jelas, dengan atau tanpa kewenangan, saya mencoba menyampaikan masukan kepada Pak SBY.

Dalam hal Aceh, bantuan apa yang diminta pemerintah dari Anda?

Ada peran pemerintah pusat, Komisi Pemilihan Umum, Mahkamah Konstitusi, dan banyak lagi. Bahwa saya memberi masukan dan berkomunikasi dengan banyak pihak, itu sesuai dengan janji saya pribadi menjaga perdamaian di Aceh. Saya merasa bertanggung jawab secara moral dalam soal Aceh.

Jadi ada semacam "kontrak pribadi" Anda dengan Presiden SBY?

Kalau ada masalah Aceh, di mana pun saya berada, semuanya pasti menelepon. Waktu itu (saat terjadi penembakan di Aceh) saya sedang liburan tahun baru di London. Ya, saya turun tangan lagi.

Apa yang paling Anda khawatirkan?

Saya takut bila Aceh jadi seperti Mindanao. Dulu Mindanao sudah damai, tapi karena tak sanggup memelihara perdamaian dengan baik, akhirnya pecah dan tambah kacau. Jadi jangan sampai mantan GAM pecah. Berbahaya untuk mereka sendiri dan masyarakat.

Jadi apa solusi yang Anda usulkan?

Ya, harus fair, dong. Kita tidak bicara soal penundaan (pilkada), tapi bicara tentang demokrasi. Bahwa terjadi penundaan, ya. Tapi itu hanya efek, jadi tidak apa-apa. Yang penting semua aman.

Menurut Anda, sudah tepatkah kebijakan Jakarta soal Aceh kali ini?

Setelah berlaku otonomi khusus, pemerintah pusat memang tak bisa ikut campur tangan lagi karena semua sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Pusat tidak bisa begitu saja ambil alih masalah. Berbeda dengan ketika terjadi tsunami. Pemerintah pusat bisa mengambil alih karena pemda lumpuh. Tapi kalau konflik dalam hal politik kan pemda tidak lumpuh. Konflik politik macam ini tak hanya terjadi di Aceh, tapi juga di Kalimantan dan beberapa daerah lain.

Dari informasi yang Anda dapat, bagaimana awal perselisihan pilkada Aceh?

Ada dua masalah. Pertama, secara psikologis, kepemimpinan di Aceh sampai pada tahap tak saling menghormati. Yang muda tidak menghormati dan yang tua tidak mengayomi. Kedua, setelah MK menyetujui permintaan beberapa orang di Aceh untuk merevisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh, yaitu diperbolehkannya calon independen ikut pilkada. Penutup UU Pemerintahan Aceh mengatakan, apabila undang-undang ini mau diubah, harus ada persetujuan DPR Aceh. Ini tidak dilakukan. MK langsung saja mengubah undang-undang tanpa konsultasi. Jadi serasa ada kejanggalan. Tapi, karena putusan MK sifatnya final, kita tidak bisa bikin apa-apa.

Oke, jadi di sinilah orang berdebat.

Akibatnya, Partai Aceh tak mau ikut pilkada. Mereka meminta (ketentuan soal calon independen itu) diubah. Ketika akhirnya mereka dengan berat hati menerima putusan MK , pendaftaran sudah ditutup. Pada waktu diberi kesempatan kedua, Partai Aceh tetap ngambek dan tidak mau ikut, karena merasa ada perlakuan yang tak sesuai dengan undang-undang. Baru kemudian, setelah melalui banyak pembicaraan, Partai Aceh bisa menerima.

Anda ikut melobi Partai Aceh agar bisa menerima?

Semua pihak ikut berbicara. Menteri Dalam Negeri lewat Dirjen Otonomi Daerah, Pak Djohermansyah Djohan, juga saya. Saya bilang, kalau kita ingin demokratis, semua harus terlibat. Kalau 40 persen suara di Aceh tidak ikut pilkada, nanti ada masalah baru lagi.

Apa komentar Anda tentang masih adanya kekerasan dan peredaran senjata di Aceh setelah Kesepakatan Helsinki?

Selama lima tahun, pada 2005-2010, tidak ada apa-apa. Ini hanya karena (mau) masuk tahap kekuasaan (pilkada). Timbul masalah psikologis dan emosional karena pihak-pihak (yang berselisih) tak saling menghormati. Eks GAM dari hutan yang sudah masuk ke kota tak ada lagi keinginan kembali ke hutan.

Anda masih berhubungan dengan bekas anggota GAM?

Ya, tak cuma dengan bekas GAM, tapi juga semua pihak. Beberapa bulan lalu ke Aceh, saya bertemu dengan Irwandi Yusuf, Muhammad Nazar, Malik Mahmud, pihak universitas, dan lain-lain. Saya berteman dengan mereka semua. Intinya, mereka semua mau damai, tidak mau perang.

Siapa tokoh eks GAM yang didengar dan berpengaruh hingga kini?

Yang senior tetap saja Malik Mahmud. Yang muda Muzakir Manaf. Keduanya pasti didengar oleh eks GAM. Tapi, jangan lupa, GAM itu resminya hanya 4.000 orang, sementara total penduduk Aceh 4 juta orang. Artinya, tak berarti dia (eks pemimpin GAM) itu berpengaruh ke seluruh penduduk Aceh.

Sejumlah eks petinggi GAM hidup makmur, sementara eks kombatannya miskin dan susah. Apa komentar Anda?

Ini bisa terjadi di mana-mana akibat adanya ekspektasi yang tak tercapai, juga ketidakpuasan akibat ketidakadilan. Tapi kan tak semuanya mendapat kesejahteraan yang sama.

Selain soal Aceh, daerah mana lagi yang perlu penanganan khusus?

Kalau penyebabnya masalah ekonomi, ada banyak. Tapi, kalau karena konflik, tentu Papua. Banyak yang mempertanyakan kenapa otonomi khusus (di Papua) tak menghasilkan kesejahteraan. Padahal kewenangan dan dana otsus (otonomi khusus) di Papua begitu besar, kekayaan alamnya juga besar. Maka itu, lain daerah, lain treatment-nya.

Bagaimana Anda mengambil benang merah dalam menyelesaikan berbagai konflik kronis di sejumlah daerah?

Pelajari asal-usul persoalannya. Misalnya, di Ambon itu bukan masalah agama, melainkan rasa termarginalisasi. Di Poso, awalnya masalah ekonomi antara orang setempat dan pendatang, tiba-tiba muncul solidaritas agama. Jadi saya selesaikan dulu soal agamanya. Saya kumpulkan kedua belah pihak. Saya bilang, "Kalian semua masuk neraka." Mereka kaget. Bagaimana bisa orang masuk surga karena membunuh orang dan membakar rumah atas nama agama?

Kecewakah Anda hanya mendapat suara 4 persen di Aceh pada pemilu presiden 2009?

Saya selesaikan masalah Aceh bukan karena ingin dapat suara atau Nobel, tapi karena ingin melihat damai di Aceh. Bahwa kemudian saya tidak terpilih, wallahualam, saya tak ingin lagi meributkan. Kalau tujuan saya hanya mendapat suara supaya terpilih, saya sudah berhenti urus Aceh. Bahwa saya sempat kecewa tidak terpilih, itu manusiawi. Tapi berhasil menghentikan perang di Aceh adalah kesenangan luar biasa buat saya.

Apakah faktor usia dapat menjadi halangan orang menjadi presiden?

Secara hukum justru halangannya jika terlalu muda. Menurut undang-undang, usia minimum capres dan wapres itu 35 tahun. Justru batas atasnya tidak ada. Selain itu, umur bukan hanya soal angka, tapi juga kesehatan. Bisa saja orang berumur 40 tahun sakit-sakitan dan 60 tahun tapi sehat. Ronald Reagan menjadi Presiden Amerika di usia 70 tahun, dan dia adalah salah satu dari tiga presiden terbaik Amerika—bersama George ­Washington dan Roosevelt.

Kalau Anda tidak maju pada 2014, adakah yang akan Anda restui menjadi calon presiden?

Salah satu syarat menjadi calon presiden adalah harus percaya diri. Saya tidak tepat memberi restu karena, kalau saya tidak merestui, toh mereka tetap maju. Mungkin akan ada yang meminta dukungan karena saya dianggap mewakili Indonesia timur. Tapi ini semua masih berandai-andai. Toh, sampai sekarang yang mendeklarasikan akan maju (sebagai calon presiden) baru Hatta Rajasa dan Prabowo. Saya tidak bisa bilang mendukung atau tidak mendukung mereka.

Bagaimana dengan Ketua Partai Golkar Aburizal Bakrie?

Saya tak bisa mengatakan begitu karena di Indonesia ini ada dua hal penting bagi calon pemimpin: punya kemampuan dan kesempatan. Sebagai Ketua Golkar, Ical punya kemampuan dan kesempatan. Bahwa orang suka atau tidak, itu soal lain.

Pentingkah kekayaan seorang calon presiden?

Dibanding lima tahun lalu, biaya kampanye kini naik 10 kali lipat. Waktu saya maju, biayanya sekitar Rp 100 miliar. Sekarang, kalau disuruh mengeluarkan Rp 1 triliun, berat juga. Semua harga naik, semua butuh biaya besar. Kalau calon-calon yang tak mampu, eksesnya bisa dibicarakan banyak orang (soal sumber dananya).

Anda sendiri masih aktif di perusahaan?

Semua sudah diserahkan kepada anak saya. Saya mengerti prinsipnya, tapi tidak tahu teknisnya. Yang penting, kalau saya mau pergi, ada ongkos, ha-ha-ha….

Muhammad Jusuf Kalla
Tempat dan tanggal lahir: Watampone, Sulawesi Selatan, 15 Mei 1942 Pendidikan: Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar, 1967, The European Institute of Business Administration Fontainebleau, Prancis, 1977 Karier: Ketua Palang Merah Indonesia (2010-2015) l Wakil Presiden RI (2004-2009) l Ketua Umum Partai Golkar (2004-2009) l Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI (1999-2000) l Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI (2001-2004)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus