Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Alun-alun Tahrir, juga ketika malam musim dingin turun di Kairo, mereka berhimpun lagi, setahun persis setelah 24 Januari 2011. Tempat itu jadi hangat karena deretan bendera Mesir dan optimisme. Bersama itu: nostalgia. Seorang perempuan muda, menyebut diri Nia, yang ikut dalam gerakan protes yang telah menggulingkan Presiden Mubarak tahun lalu, berkata dalam bahasa Inggris: "Kami begitu penuh harap."
Kalimatnya dalam bentuk past tense: dulu. Tahun lalu.
Kini tak jelas masih penuhkah harapan itu. Seperti ribuan aktivis 2011 yang lain, Nia melihat keadaan belum banyak berubah: militer masih berkuasa; harga pangan dan bensin masih tinggi—seakan-akan kedua hal itu berhubungan. Memang bagi banyak orang, ada jalan terang yang mulai terbuka: berlangsungnya sebuah pemilihan umum yang bebas, yang pertama dalam 60 tahun. Siapa pun yang menang adalah suara rakyat banyak yang sah.
Tapi setelah itu?
Seorang Indonesia yang lebih tua ketimbang Nia akan menjawab dengan kearifan yang sedikit murung: Nak, harapan mudah jadi kenangan. Perubahan besar dalam politik biasanya dibuka dengan kebebasan yang luas untuk perbaikan hidup (di Indonesia: 1945, 1958, 1966, 1998…), namun kemudian yang tersisa adalah nostalgia—seperti yang kalian rasakan di Mesir hari ini. Dan harapan yang tanggal.
Ada sebuah film Lewat Jam Malam karya Usmar Ismail dari tahun 1954. Ini kisah Iskandar (diperankan dengan bagus oleh A.N. Alcaff), seorang bekas gerilyawan dalam perang kemerdekaan. Di awal 1950-an, setelah perang selesai, dari hutan ia masuk ke kehidupan kota. Ia bekerja di sebuah kantor yang dipimpin temannya dari masa gerilya. Tapi ternyata ia tak siap dengan jam-jam yang rutin dan hambar, tanpa suasana tegang dengan senjata dan cita-cita—tanpa 24 jam keberanian untuk mengorbankan diri yang bertali-temali dengan keasyikan bertindak. Ia jemu dan frustrasi. Pada saat itu pula, ia lihat teman seperjuangannya jadi gemuk dan korup. Di satu saat dengan marah ia desak teman itu untuk mengakui dosanya—tapi tanpa sengaja pistolnya meletus dan teman itu mati. Iskandar melarikan diri ketika Bandung dalam keadaan jam malam.
Ia akhirnya tewas—dan kita bertanya: apa arti revolusi? Baginya? Bagi banyak orang lain?
Tiap tahun ada peringatan hari kemerdekaan 1945. Di tiap peringatan itu ada simtom Lewat Jam Malam dalam versi yang tak sedramatis film itu: orang bicara seperti hendak menegaskan bahwa perjuangan masa lalu punya kedahsyatan yang tak terlupakan dan hidup hari ini hanya pengingkaran terhadap kedahsyatan itu. Maka yang dimuat di koran atau dilihat di TV di tiap 17 Agustus adalah sebuah ritual keluhan, nostalgia, dan melankoli.
Hanya begitukah revolusi? Kita buka arsip akhir 1960-an: ada sebuah perdebatan politik yang tajam. Sebagian pemimpin mengatakan "revolusi belum selesai". Sebagian lain mengatakan "revolusi tak bisa permanen". Yang pertama disuarakan Bung Karno. Yang kedua oleh Bung Hatta.
Jika dilihat hari ini, kedua-duanya keliru. Bung Karno mengatakan "revolusi belum selesai" seakan-akan ujung jalan itu akan terjelang; tapi ternyata revolusi tak pernah selesai. Bung Hatta mengatakan "revolusi tak bisa permanen", tapi—sebagai sebuah kejadian, event, yang mampu menggugah dan mengubah sebuah dunia—revolusi adalah saat-saat yang, meskipun tak permanen, bisa jadi inspirasi selama-lamanya.
Inspirasi itu bukan datang dari arwah kaum revolusioner yang sudah mati; inspirasi itu datang karena keadaan di suatu hari, di suatu tempat, membutuhkannya. Dan keadaan berulang kali membutuhkannya karena sejauh ini tuntutan untuk keadilan tak kunjung terpenuhi. Keadilan belum pernah punya formula. Keadilan bukan dari dunia ide yang sudah siap.
Tapi kemudian tuntutan untuk keadilan itu—melalui revolusi atau reformasi—akhirnya membuat formula, organisasi, sistem, agar keadilan bisa dipenuhi. Dan demokrasi pun lahir.
Tak berarti tuntutan untuk keadilan akan selesai, seperti yang terbukti di Indonesia setelah Revolusi 1945 dan Reformasi 1998—dan mungkin kelak akan juga terbukti di Mesir beberapa tahun setelah kemenangan di Alun-alun Tahrir.
Sebab demokrasi punya dua makna dan dua gerak.
Demokrasi sering diterjemahkan sebagai lembaga dan prosedur. Partai-partai politik. Majelis perwakilan rakyat. Perundangan-undangan. Lembaga hukum. Pemilihan umum untuk menyeleksi wakil-wakil.
Dalam proses itu, Negara terjadi. Tapi Negara, seperti kata Stuart Hall, adalah "the instance of the performance of a condensation". Pelbagai kepentingan, aliran, dan kekuatan sosial tak akan bisa tertampung dan tersalur sekaligus. "Peringkasan", condensation, pun tak terelakkan. Tak terelakkan pula di satu saat dan satu kasus tertentu ada elemen yang "masuk" dan ada yang "tak masuk" hitungan. Lalu tiba masa ketika kaum yang "masuk" mampu mengawetkan posisinya dengan daya dan dana yang mereka peroleh. Sebuah oligarki pun terbangun. Di masa itulah ketaksetaraan, yang sering berarti ketidakadilan, terjadi. Terutama dirasakan oleh mereka yang disebut Rancire "les incompts".
Dengan mengidentifikasi mereka yang "tak masuk hitungan" itu Rancire menunjukkan makna lain dari demokrasi. Demokrasi bukan bentuk, melainkan laku. Lebih tepat lagi, "tindakan yang terus-menerus merebut monopoli atas kehidupan publik dari pemerintahan yang oligarkis".
Kata "terus-menerus" itu memang dicatat sejarah sampai dengan hari ini. Bila kita ingat itu, kita tak akan terkejut ketika kelak bendera di Alun-alun Tahrir berkibar lagi: bukan tanda optimisme yang sudah didapat, tapi inspirasi revolusi yang diimbau datang kembali.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo