Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mewaspadai Krisis Eropa

30 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perry Warjiyo*

Setelah mengikuti pertemuan Bank for International Settlements di Basel, Swiss, dua pekan lalu, saya menangkap kesan penyelesaian krisis Eropa masih berat dan perlu waktu. Sejumlah langkah memang telah dilakukan, tapi belum akan mampu membalikkan keadaan dalam jangka pendek.

Sumber krisis Eropa adalah defisit fiskal dan penerbitan utang pemerintah yang tidak terkendali di masa lalu. Pada 2011, misalnya, rerata defisit fiskal dan utang pemerintah Portugal, Italia, Irlandia, Yunani, dan Spanyol sekitar 7,1 persen dan 111,2 persen dari produk domestik bruto. Permasalahan semakin berat karena sebagian besar utang pemerintah itu dimiliki oleh perbankan negara Uni Eropa lainnya, khususnya Prancis dan Jerman, sehingga menyebabkan keketatan likuiditas dan kemampuan perbankan dalam pembiayaan ekonomi. Walhasil, krisis Eropa yang bermula dari krisis fiskal telah merambah ke krisis utang, krisis sektor keuangan, dan krisis ekonomi.

Sejumlah langkah penyelesaian sedang dilakukan. Pertama, Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa 9 Desember tahun lalu menyepakati pembatasan fiskal dengan mengharuskan tercapainya keseimbangan primer (penerimaan dikurangi pengeluaran di luar pembayaran pokok dan bunga utang) untuk semua negara anggota Uni Eropa. Minggu lalu, Kanselir Merkel dari Jerman dan Presiden Sarkozy dari Prancis sepakat untuk meminta ratifikasi kesepakatan itu oleh semua negara Uni Eropa paling lambat Maret tahun ini.

Kedua, dana untuk bailout sektor keuangan atau Emergency Financial Sector Facility (EFSF) telah dinaikkan dari 440 miliar euro menjadi 700 miliar euro. Dana ini disediakan bersama pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF) untuk pembiayaan program negara yang mengalami krisis. Ini satu kemajuan, meskipun pasar memandang jumlahnya belum akan mencukupi. Beberapa hari lalu, S & P juga menurunkan rating obligasi untuk dana EFSF itu dari AAA menjadi AA+, sehingga biaya bunganya akan meningkat.

Ketiga, untuk mengatasi keketatan likuiditas dan menstabilkan pasar keuangan, bank sentral Eropa telah menginjeksi likuiditas ke perbankan dengan membeli kembali obligasi negara Uni Eropa yang mereka miliki. Keketatan likuiditas telah berangsur reda, terbukti perbankan mulai menyimpan sebagian injeksi likuiditas tersebut di bank sentral Eropa. Tapi persepsi risiko di pasar keuangan masih tinggi, seperti tampak pada penurunan rating di sejumlah negara dan perbankan Eropa.

Dampak ke Indonesia

Krisis Eropa dapat berdampak ke Indonesia melalui dua jalur, yaitu perdagangan dan keuangan. Dari jalur perdagangan, krisis Eropa dan belum pulihnya ekonomi Amerika Serikat akan menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan ekspor negara-negara Emerging Markets, termasuk Indonesia. Baik karena volume perdagangan dunia yang lebih rendah maupun karena kenaikan harga komoditas yang tidak setinggi selama ini.

Untuk Indonesia, tidak dapat dimungkiri, pertumbuhan ekspor tahun 2012 diperkirakan tidak akan setinggi tahun 2011, yang mencapai 26,8 persen untuk nonmigas dan 34,5 persen untuk migas. Tapi saya yakin ekspor kita masih akan tumbuh tinggi, karena umumnya komoditas sumber daya alam dan negara tujuannya lebih banyak ke Asia (termasuk Cina dan India).

Dengan pertumbuhan ekspor yang lebih rendah, pertumbuhan ekonomi kita tidak akan setinggi perkiraan sebelumnya. Setelah diperkirakan tumbuh sekitar 6,5 persen pada 2011, ekonomi kita diperkirakan akan tumbuh 6,3-6,7 persen pada 2012. Di sisi lain, dengan pertumbuhan dan harga komoditas yang lebih rendah, inflasi kita juga akan lebih rendah dan, karena itu, target inflasi 4,5 persen ± 1 persen pada 2012 akan dapat dicapai. Bahkan bila memperhitungkan pula dampak dari rencana kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif listrik dan membatasi subsidi bahan bakar minyak.

Dari jalur keuangan, saya yakin arus masuk modal asing ke Indonesia akan berlanjut. Kenaikan rating menjadi layak investasi oleh Fitch and Moody’s merupakan bukti vote of confidence internasional terhadap kuatnya fundamental ekonomi, keberhasilan kebijakan makroekonomi, dan rendahnya risiko utang Indonesia. Daya tarik ekonomi kita terhadap arus modal asing semakin kuat. Terutama arus masuk PMA, yang diperkirakan akan semakin besar.

Sedangkan investasi portofolio memang akan cenderung berfluktuasi, meskipun trennya untuk tetap masuk secara neto relatif besar. Karena itu, nilai tukar rupiah akan cenderung menguat, meskipun kadang mendapat tekanan, khususnya apabila terjadi berita negatif di pasar keuangan global.

Stabilisasi Pasar Keuangan

Penyelesaian krisis Eropa perlu terus diwaspadai dan disiapkan langkah antisipasinya. Yang perlu mendapat perhatian dalam jangka pendek adalah dampak pada pasar keuangan. Apa yang terjadi di Eropa dapat menjadi berita positif atau negatif yang mempengaruhi persepsi investor global dalam menanamkan dananya di Indonesia. Risiko pembalikan modal asing, meskipun dalam intensitas yang relatif kecil dibanding September-Desember 2011, dapat menimbulkan tekanan pada nilai tukar rupiah ataupun harga saham dan obligasi, khususnya dalam triwulan pertama 2012.

Kebijakan stabilisasi pasar keuangan yang selama ini ditempuh Bank Indonesia dan pemerintah perlu terus dilakukan. Dari sisi BI, intervensi valuta asing untuk stabilisasi rupiah merupakan langkah penting. Jumlah cadangan devisa US$ 110,1 miliar lebih dari cukup untuk mendukung kebijakan ini.

Pembelian Surat Berharga Negara di pasar sekunder oleh BI juga membantu stabilisasi pasar keuangan, di samping pemanfaatannya sebagai pengganti instrumen moneter Sertifikat BI. Dari sisi pemerintah, manajemen penerbitan SBN dengan tingkat imbal hasil yang masih menarik dan, apabila diperlukan, strategi buyback SBN juga memberikan kepercayaan bagi pasar dalam investasi portofolionya di Indonesia.

Reposisi Kebijakan Makro

Dari sisi makro, perlu ditempuh langkah antisipatif dengan reorientasi strategi dan kebijakan ekonomi kita. Kekuatan nasional perlu dimaksimalkan, dengan tetap mengoptimalkan peluang yang ada di internasional. Dengan ekonomi dunia yang akan melambat, pertumbuhan ekonomi dari sisi domestik (investasi dan konsumsi) perlu lebih ditingkatkan dengan tetap mendorong ekspor. Ini perlu kebijakan moneter, fiskal, dan struktural yang saling mendukung.

BI telah mengantisipasi hal ini dengan menurunkan suku bunga acuan BI Rate dari 0,75 persen menjadi 0,6 persen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan dengan tetap mengutamakan pencapaian target inflasi 4,5 persen ± 1 persen pada 2012.

Koridor bawah suku bunga operasi moneter juga baru saja diturunkan dari 4,5 persen menjadi 4 persen, buat mendorong perbankan mengelola ekses likuiditasnya untuk pengembangan pasar keuangan dan penyaluran kredit ke sektor riil. Suku bunga kredit juga diharapkan dapat segera turun sehingga kredit dapat dipacu dengan suku bunga yang lebih rendah. Saat ini suku bunga dana sudah lebih rendah. Berikutnya, selisih antara suku bunga kredit dan dana yang masih tertinggi di kawasan Asia (sekitar 6 persen) perlu diturunkan. Semua itu merupakan bagian integral dari kebijakan counter-cyclical untuk mengantisipasi dampak penurunan kinerja ekonomi global terhadap kinerja ekonomi nasional ke depan.

Pemerintah juga diharapkan menempuh langkah antisipatif, baik dari sisi fiskal maupun struktural. Dari sisi fiskal, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 telah disediakan anggaran stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar target pertumbuhan ekonomi 6,7 persen pada 2012 tetap dapat dicapai. Kuncinya adalah percepatan dan peningkatan penyerapan anggaran dan stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan.

Dorongan pertumbuhan juga diharapkan melalui percepatan pembangunan infrastruktur dan kebijakan investasi lainnya. Sejumlah kebijakan telah digariskan di bidang ini, termasuk program MP3EI. Telah berlakunya Undang-Undang Pembebasan Lahan merupakan satu kemajuan. Semakin menguatnya persepsi positif dan minat investor asing pasca-kenaikan rating Indonesia merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan secara maksimal.

Walhasil, krisis Eropa dan menurunnya kinerja ekonomi global memang akan berlanjut. Tapi kekuatan fundamental ekonomi Indonesia dengan kebijakan makroekonomi yang sehat serta percepatan kebijakan investasi dan infrastruktur memberikan optimisme atas kinerja ekonomi kita ke depan.

*) Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus