Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya sebenarnya lumayan mentereng, Badan Pengawas Pemilu. Lembaga ini berdiri berdasarkan amanat Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Mestinya, mereka punya kuasa besar.
Namun, Ketua Badan Pengawas Nur Hidayat Sardini, 40 tahun, malah merasa, ibarat bermain sepak bola, mereka hanya beroperasi di pinggir lapangan. ”Orang sering bilang Badan Pengawas ini laksana wasit. Padahal sama sekali bukan,” kata Hidayat, Jumat pekan lalu, di kantornya. ”Kami ini hanyalah hakim garis.”
Dalam penanganan kasus dugaan kampanye di luar jadwal oleh tim pasangan calon presiden-wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, Badan Pengawas memang tampak loyo. Menurut Hidayat, mereka sudah bekerja keras mengumpulkan bukti kasus tersebut sebelum menyampaikannya ke penyidik kepolisian.
Pada 19 Juni lalu, polisi malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Penyidik kepolisian menyatakan acara temu partai koalisi pendukung SBY-Boediono di arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, pada 30 Mei lalu itu bukan tindak pidana pemilu.
Kepada Tempo, Hidayat memaparkan apa saja aral yang menjegal langkah Badan Pengawas.
Kasus dugaan kampanye di luar jadwal oleh tim SBY-Boediono dihentikan polisi. Apa masalahnya?
Waktu mengajukan kasus ini, kami tak mungkin main-main. Kami sangat berhati-hati saat memeriksa apakah kegiatan itu bisa dikategorikan kampanye di luar jadwal atau tidak, dan apakah didukung alat bukti yang jelas. Kami biasanya tak puas dengan dua langkah itu, sehingga perlu ditambah klarifikasi.
Apakah buktinya cukup kuat?
Kami berprinsip, kalau memang ada pelanggaran, ya, tidak ditiadakan. Tapi jika tidak ada, ya, tidak lantas diada-adakan. Kami tak mungkin memaksakan diri, karena ini menyangkut reputasi. Alat bukti kami sangat kuat, ada 18 alat bukti. Ada rekaman tiga stasiun televisi. Kami telah mengklarifikasi ke Direktur Program dan Pemberitaan TVRI, serta Pemimpin Redaksi MetroTV dan Trans7. Semua mendukung dugaan itu. Kami juga sudah berusaha meminta klarifikasi kepada yang bersangkutan, tapi mereka tak datang saat kami panggil. Terlapor utamanya adalah calon presiden SBY, kedua ketua tim kampanye Hatta Rajasa, dan ketiga Direktur Program dan Berita TVRI serta Pemimpin Redaksi MetroTV.
Padahal kami juga punya kasus serupa di Blora, Jawa Tengah. Di sana pelakunya sudah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Blora. Bahkan putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Tengah.
Tim kampanye SBY berdalih acara itu pertemuan internal.
Mereka mengaku itu pertemuan internal, tapi kok tak ada keberatan mereka saat acara itu ditayangkan penuh oleh TVRI. Kalau misal itu pertemuan tertutup, mestinya ada peringatan, misalnya, ”Bagi para wartawan, silakan mengabadikan. Selanjutnya, karena ini pertemuan tertutup, dipersilakan keluar.”
Apakah tak ada jalur lain untuk tetap meneruskan kasus ini kendati sudah dihentikan polisi?
Kami sedang menelisik segala kemungkinan. Kami masih mencari informasi sejauh mana kasus ini sudah ditangani. Apakah terlapor utama sudah dipanggil atau belum. Walaupun kami tetap menghormati kewenangan kepolisian, kami jelas kecewa.
Apakah surat penghentian penyidikan bisa dicabut?
Undang-undang hanya mengatur batas waktu penanganan perkara. Dugaan pelanggaran pemilu dilaporkan maksimal tiga hari setelah kejadian. Lebih dari itu, batal demi hukum. Badan Pengawas punya waktu tiga hari, dan bisa diperpanjang dua hari. Penyidik punya waktu 14 hari untuk memeriksa dan melengkapi bukti. Mestinya penyidik kepolisian punya cukup waktu, karena kasus pidana pemilu ini tak serumit pidana lain. Polisi kan punya kemampuan hebat. Mereka bisa menelisik dan menemukan pelaku bom Bali. Kasus pidana pemilu lebih sederhana. Pelakunya biasanya terbatas peserta pemilu atau pasangan calon. Modusnya juga itu-itu saja, gampang diketahui.
Tim kampanye SBY beralasan mereka tak mengundang wartawan.
Tapi nyatanya disiarkan penuh tanpa ada keinginan mereka melarang wartawan meliput. Artinya, forum itu dibiarkan terbuka. Dari transkrip siaran, malah ada pernyataan mereka membiarkan materi acara itu disebarkan kepada publik.
Artinya, tim kampanye sadar acaranya diliput?
Ya. Makanya kami maju terus.
Badan Pengawas hanya punya waktu lima hari menangani kasus. Apakah memadai?
Di undang-undang, tanggung jawab kami hanya mengumpulkan bukti permulaan. Tak ada keharusan mengumpulkan bukti sekomplet-kompletnya. Kami hanya menjalankan fungsi pra-penyidikan. Yang akan melengkapi dan memprosesnya adalah penyidik. Kami tak punya kewenangan penyidikan. Kami juga tak punya kewenangan memanggil paksa. Sejauh-jauhnya hanya klarifikasi. Apalagi, dilihat dari alokasi waktu penyidik 14 hari, kami hanya punya lima hari.
Sudah ada berapa kasus pidana pemilu yang masuk pengadilan selama pemilihan presiden?
Di daerah, banyak. Ada yang sudah diputus, ada yang baru masuk pengadilan. Di Jakarta, hanya kasus SBY dan kasus pejabat perusahaan negara. Mudah-mudahan yang perusahaan negara tak dihentikan penyidikannya. Saat ini kami juga sedang mengklarifikasi dugaan Menteri Kehutanan mengumpulkan orang di rumahnya untuk kampanye.
Pejabat perusahaan negara berkelit tak tahu masuk tim kampanye. Apakah berarti kasusnya gugur?
Dia boleh merasa tak tahu namanya masuk daftar tim kampanye, tapi yang mencatut nama dia tetap dikenai dugaan pidana pemilu. Undang-undang jelas menyatakan pelaksana kampanye dilarang melibatkan pejabat perusahaan negara maupun perusahaan daerah. Mencantumkan nama kan termasuk pelibatan. Yang kena pidana: mereka yang tanda tangan atau ketua tim kampanye yang melibatkan. Terserah pejabat itu sudah kampanye atau belum.
Proses hukum pidana pemilu sepertinya sangat tergantung kepolisian?
Memang tergantung komitmen mereka. Lembaga pengawas pemilu hanya memegang mandat yang sangat terbatas. Orang sering bilang, Badan Pengawas ini laksana wasit. Sebenarnya sama sekali bukan. Saya katakan ke DPR, kami ini hanyalah hakim garis. Yang memegang peluit itu Komisi Pemilihan Umum untuk pelanggaran administrasi pemilu dan penyidik kepolisian untuk kasus pidana pemilu.
Sebagai hakim garis, kalau kami mengangkat bendera tapi pemegang peluit tak tahu atau tak mau tahu, mendengar atau tak mau mendengar, ya, sulit. Indikator kesuksesan kami sangat bergantung pada pemegang peluit. Tapi undang-undang mengatur seperti itu, kami harus tunduk.
Bawaslu seperti macan tanpa kuku dan taring?
Kalau kami diberi wewenang satu saja, misal hak eksekusi pelanggaran administrasi pemilu, akan besar sekali artinya. Saya berani jamin. Kasus berlanjut atau tidak, sebagian bermuara dari masalah ini. Mestinya membuat undang-undang jangan nanggung, seharusnya Badan Pengawas diberi power lebih. Kalau soal komitmen tak setara, itu persoalan lain.
Jadi, Anda melihat ada persoalan komitmen dalam penindakan pidana pemilu?
Ya. Misal dalam hal Dewan Kehormatan yang dibentuk berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan, anggotanya tiga orang dari Komisi Pemilihan dan dua orang lagi dari luar. Kami pernah melaporkan tiga anggota Komisi Pemilihan ke Dewan Kehormatan. Tapi mereka menjawab, berdasarkan klarifikasi internal, tak ada persoalan. Ini kan dagelan. Bagaimana mungkin temannya sendiri yang memeriksa. Mestinya komposisi anggota Dewan Kehormatan dibalik, tiga anggota dari luar, dua orang dari Komisi Pemilihan.
Apakah Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu perlu diamendemen?
Perlu. Badan pengawas jangan sekadar sebagai hakim garis, tapi harus pegang peluit. Walaupun kewenangan terbatas, anggota Panitia Pengawas Pemilu di daerah mengalami banyak tekanan. Di Simalungun, Sumatera Utara, ada yang mati. Di Wonosobo, Jawa Tengah, dikejar-kejar karena menindaklanjuti dugaan pemalsuan ijazah. Walaupun kami banyak bergantung pada polisi dan Komisi Pemilihan, kami harus punya peran. Perkara rekomendasi kami didengar atau diabaikan, kami jalan terus.
Apakah rekomendasi Panitia Pengawas banyak yang diabaikan?
Jumlah kasus di Mahkamah Konstitusi yang meledak, sebagian akibat Komisi Pemilihan di daerah mengabaikan rekomendasi Panitia Pengawas. Orang mengatakan pemilu kali ini paling karut-marut sepanjang sejarah. Kami harus membuktikan tudingan itu. Dengan adanya penanganan pelanggaran, berarti ada clearing house, sehingga pemilu diakui legitimasinya. Ketidakpuasan peserta pemilu harus dilembagakan.
Hubungan Badan Pengawas dan Komisi Pemilihan sepertinya kurang mesra?
Secara informal, tak ada masalah. Dalam setiap acara, kami selalu diundang. Kami juga sering mengingatkan mereka. Dalam kasus tertukarnya surat suara, tiga bulan menjelang pemungutan suara, kami sudah mengingatkan. Kami ulangi lagi pada dua bulan dan tiga minggu sebelum pemungutan. Bahkan tiga hari sebelum hari H, kami sudah membuat pemetaan tujuh persoalan yang bakal dihadapi penyelenggara pemilu. Kami kemudian membuat panduan ke Panitia Pengawas, kalau masalahnya seperti ini, penanganannya seperti ini. Dan semua persoalan itu memang benar-benar terjadi di lapangan.
Soal daftar pemilih tetap, apakah Badan Pengawas juga memberi peringatan?
Kami sudah mengingatkan soal masalah itu.
Saat peresmian Jembatan Suramadu, bertebaran spanduk kampanye. Siapa yang mesti bertanggung jawab?
Panitia Pengawas tugasnya memantau dan menindak. Kami sudah meminta semua bendera dicabut. Kami juga sudah memperingatkan, semua pejabat negara, dari presiden sampai wali kota dan bupati, tak boleh menganakemaskan, menguntungkan, atau merugikan salah satu pasangan calon.
Apakah dalam kasus Jembatan Suramadu tak ada pelanggaran kampanye?
Dalam kasus ini harus dilihat inisiatif pemasangan bendera itu dari mana. Pada dasarnya, selama memenuhi definisi undang-undang, acara apa pun bisa dikategorikan sebagai kampanye.
Kalau dilihat dari inisiatif, bukankah pembuktiannya sulit?
Memang berat, dan untuk mengumpulkan alat buktinya juga sulit.
Dibandingkan dengan pemilihan legislatif, bagaimana pelanggaran dalam pemilihan presiden?
Ada lima kasus pidana pemilu yang akan marak di pemilihan presiden, yakni pemutakhiran data pemilih, laporan dana kampanye, politik uang, penyalahgunaan jabatan, dan manipulasi suara.
Apakah pemutakhiran daftar pemilih tetap sudah beres?
Belum. Hampir tak ada perubahan.
Nur Hidayat Sardini Lahir: Pekalongan, 10 Oktober 1969 Pendidikan: S-1, Ilmu Pemerintahan, Universitas Diponegoro (1996) | S-2, Ilmu Politik, Universitas Indonesia (2004) Pekerjaan: Dosen Ilmu Pemerintahan, Universitas Diponegoro (1997) | Ketua Panitia Pengawas Pemilu, Jawa Tengah (2004) | Ketua Badan Pengawas Pemilu (2008)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo