Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bahasa Sebagai Tolok Ukur Mentalitas Bangsa

29 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soenjono Dardjowidjojo

  • Guru besar linguistik Unika Atma Jaya, Jakarta

    Dalam bandingannya dengan negara-negara tetangga, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Selatan dan Tenggara yang berhasil dalam mengembangkan bahasa nasionalnya. Sejak 1893, India telah mencanangkan bahasa Hindi sebagai bahasa nasional, tetapi gagal pada saat mereka menyatakan kemerdekaannya. Pelopor perjuangan Filipina, Emilio Aguinaldo, telah menyatakan bahasa Tagalog sebagai bahasa resmi pada 1897, tetapi juga gagal menjadikan bahasa ini menjadi bahasa nasional. Begitu juga Malaya: pada Kongres Persatuan Melayu tahun 1940, justru bahasa Inggris yang diputuskan untuk digalakkan. Kegagalan-kegagalan ini disebabkan antara lain oleh filosofi penjajah Inggris. Pada 1935, Direktur Pendidikan Inggris di India, Thomas B. Macaully, menjabarkan filosofi penjajahannya dengan mengatakan, ”My duty is to form a class…. Indian in blood and colour, but English in tastes, in opinions, in morals, and in intellect.”

    Dengan tipe penjajahan Belanda yang hanya tertarik pada penyedotan kekayaan alam dari mereka yang dijajah, Indonesia mendapatkan keuntungan yang terselubung. Ditambah dengan semangat juang para pelopor kita, Indonesia berani melepaskan diri dari hegemoni linguistik sang penjajah. Kini bahasa nasional kita telah mencapai tahap di mana kita dapat dengan mudah mengungkapkan apa saja dari yang informal sampai kepada hal yang ilmiah.

    Namun, di balik itu, ada gejala-gejala pemakaian bahasa yang nyleneh dan yang dapat menunjukkan mentalitas bangsa. Pertama adalah gejala kontradiksi. Kita sering menemukan perilaku yang tidak sejalan antara yang dikatakan dan yang dilakukan.

    Ungkapan linguistik seperti sumbangan wajib menunjukkan gejala mental tersebut: sumbangan yang berfitur semantik [+sukarela] ini dikolokasikan dengan wajib yang fiturnya [-sukarela]. Penggabungan ini memunculkan kontradiksi—sesuatu yang sifatnya sukarela menjadi diwajibkan.

    Gejala kedua adalah keraguan. Kalau kita kesasar dan bertanya kepada orang di warung apa dia tahu rumah Pak Anu, dan dia tidak tahu, jawaban dia bukannya ”tidak tahu” tetapi ”kurang tahu”. Dalam bahasa memang ada kata-kata yang bergradasi seperti ”(kurang) manis” dan ”kurang makan” tetapi ada pula yang tak bergradasi. Orang tidak bisa ”kurang mati” atau ”kurang tahu”. Tampaknya dalam masyarakat kita banyak orang yang tidak mau berada di area hitam atau putih dan menempatkan dirinya pada posisi tengah—ngalor (utara) nggak, ngidul (selatan) juga nggak. Alias ragu-ragu.

    Gejala ketiga adalah anomali. Ungkapan seperti mengejar ketinggalan menunjukkan suatu keganjilan dalam pola berpikir. Seseorang mengejar sesuatu untuk ditangkapnya. Kalau yang dikejar itu ayam, dia mendapatkan ayam. Kalau yang dikejar itu ketinggalan, pada saat dia berhasil, yang dia peroleh, ya, ketinggalan itu sendiri. Pantas saja kalau kita tidak mudah maju!

    Gejala keempat adalah ”sesuka gue”. Ungkapan seperti kopi banget mencerminkan mentalitas kita yang tidak peduli dengan aturan—persis seperti sopir Ibu Kota yang sering bikin jalur tambahan sendiri! Banget adalah adverbia. Di bahasa mana pun adverbia menjelaskan adjektiva; tetapi bangsa Indonesia yang selalu ingin berbeda dengan bangsa lain tidak peduli dengan aturan universal ini. Banyak yang menjadi penganut Mbah Maridjan—Pokoke (rosa)! Gejala loncat kategori sintaktik ini kita temukan pula pada kata seperti perhatian, suatu bentuk nomina yang sering dipakai sebagai verba—Dia nggak perhatian sama aku. Ada pula nomina perbuatan yang dipakai sebagai nomina pelaku—pengangguran yang dipakai secara keliru dengan makna ”orang yang nganggur”.

    Dari gambaran di atas tampak bahwa dalam keberhasilan kita memiliki dan mengembangkan bahasa nasional, ada gejala-gejala nyleneh yang muncul di luar jalur kelaziman yang sedikit-banyak mencerminkan pola berpikir serta mentalitas bangsa. Gejala kontradiksi dapat dengan mudah bergeser ke pemaksaan atau kemunafikan; gejala keraguan ke ketidakjujuran; gejala anomali ke keliru-sasaran; dan gejala sesuka gue ke kesemena-menaan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus