Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Kerajaan ini Harus Kembali Jadi Republik"

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepuluh tahun silam, sebuah buku diterbitkan untuk menghormati seorang tokoh yang berhari jadi ke-70. Judulnya tidak luar biasa: Menuju Masyarakat Adil Makmur. Namun, "Buku ini unik dan mengandung nilai lebih," tulis Dr. Sjahrir, sang penyunting dalam pengantarnya. Keunikannya, antara lain, terletak pada cara menulis di luar "stereotip buku-buku ulang tahun". Ia tidak semata-mata memuat kumpulan tulisan tentang sang tokoh dari rekan dan kenalan dekat. Bagian terpenting justru membahas karangan-karangan sang tokoh dalam rentang waktu 35 tahun, antara 1953 dan 1988.

Disengaja atau tidak, penulisan buku itu akan mencerminkan kepribadian sang tokoh, yang tidak terkungkung dalam stereotip arus zaman. Ia belajar ekonomi tapi lebih merasa sebagai politisi. Ide-idenya tentang model "ekonomi kerakyatan" tidak dipedulikan Orde Baru. Toh sampai hari ini ia bersikukuh, cara itu akan lebih membawa rakyat pada kemakmuran: memperkuat mereka dengan alat-alat produksi yang lebih modern ketimbang menerapkan model ekonomi yang semata-mata mengejar pertumbuhan.

Ia bukan doktor ekonomi gilang-gemilang. Studinya di Harvard (1954) hanya mencapai master. Bahkan ia masuk ke perguruan elite Amerika itu berkat keberanian yang naif karena "saya tidak tahu apa sesungguhnya Harvard". Ia juga orang Indonesia pertama yang memimpin Biro Pusat Statistik (1955-1965) tanpa pengetahuan berarti tentang statistik. Dan ia menolak tawaran Soeharto menjadi duta besar Indonesia untuk Amerika Serikat karena merasa "tidak percaya lagi pada rezim, sejak jauh di awal pemerintahan Soeharto."

Ia mengaku, hidupnya "menjadi lengkap" dengan dua tahun ia bermukim di rumah tahanan tanpa peradilan karena dituduh menjadi dalang Peristiwa Malari 1974. "Di sana saya tahu, ada satu hal yang tak bisa dirampas dari manusia: kebebasan," ujarnya. Di sana ia juga bergaul dengan para gembong PKI, yang menurut pendapatnya "ternyata tidak lebih dari kaum priayi Jawa yang tidak paham apa sesungguhnya komunisme".

Tokoh ini memuja Sutan Sjahrir, yang disebutnya sebagai "my political guru". Namun, sosialisme tak bisa memupus kebiasaannya naik mobil Eropa dan berdiam di Jalan Brawijaya, sebuah kawasan elite di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sela-sela waktu ia mendengarkan Eine Kleine Nacht Music dari Mozart, Symphony No.9 Beethoven, dan nomor-nomor jazz klasik. Sesekali ia bermain biola dan kecapi.

Ia bukan tipe orang tua sakit-sakitan. Rambutnya seperti disepuh perak, tapi gerak-geriknya lincah, hasil olah raga rutin jalan kaki dan golf. Nada suaranya mengentak keras, seperti umumnya orang Jawa Timur. Secara kultural?berdarah Sunda asli?dia memang merasa sebagai orang Jawa. Ia lahir?12 Agustus 1917?dan dibesarkan di Madiun.

Banyak temannya "menyesali" betapa ia kerap melepaskan berbagai kesempatan baik dalam hidup. Namun ia menegaskan, tidak pernah menyesal.

Kamis pekan silam, tokoh itu, Sarbini Sumawinata, menerima wartawan TEMPO Agus Hidayat, Wicaksono, dan Hermien Y. Kleden untuk sebuah wawancara. Percakapan berlangsung di ruang kerjanya yang sempit dan tua, di Business News, Jalan Abdul Muis, Jakarta Pusat. Petikannya.


Sejak sebelum 1970 Anda sudah menolak bekerja pada pemerintahan Soeharto, menentang eksistensi rezimnya. Kini, apa rasanya menyaksikan semua keruntuhan itu?

Wait a minute! Orde Baru itu belum selesai. Soeharto pergi, tapi orde itu masih ada. Salah satu kesalahan besar reformasi ini menganggap yang dihadapi adalah Soeharto. Sumber malapetaka ini adalah Orde Baru bikinan dan pimpinan Soeharto. Ia sudah pergi, tapi sumber masalah masih ada di Orde Baru ini.

Itu sebabnya Anda pernah mengatakan "Habibie harus pergi"?

Kebetulan Habibie yang jadi presiden. Kalau bukan Habibie?entah Akbar, entah Wiranto?juga harus pergi karena mereka semua itu Orde Baru. Yang menghadapi krisis ini haruslah orang yang mampu, punya kredibilitas dan integritas, dan itu bukan Orde Baru.
Yang saya maksudkan, pergi secara politik, tidak lagi berada dalam kekuasaan. Di luar politik, sih, kita enggak peduli.

Kritik Anda terhadap Soeharto dan Orde Baru sangat tajam, tapi kenapa Anda pernah bersedia menjadi asisten Soeharto?asisten ahli bidang politik?pada awal kekuasaannya (1966-1968)?

Saya masuk sebelum Orde Baru, ketika kita mengira bisa berharap pada Pak Harto. Saya mengenalnya lewat pembantu kepercayaannya, Soedjono Hoemardani. Ketika itu saya menyampaikan makalah berisi konsep pembangunan ekonomi kepada Soeharto pertengahan Oktober 1965. Lalu, dalam Seminar Angkatan Darat II di Bandung, 25 Agustus 1966, saya berbicara, mewakili sindikat politik, Widjojo (Nitisastro) mewakili sindikat ekonomi. Pemikiran yang saya kemukakan: bahaya militerisme, kerja sama yang sederajat sipil-militer, dan kebebaan pers. Tapi mereka tidak menerima pemikiran itu.

Sebetulnya apa saja tugas Anda sebagai penasihat politik presiden?

Apa, ya? Kita menulis nota-nota usulan bagaimana mesti mengubah keadaan politik masa Soekarno ke arah yang lebih demokratis. Langkah pertama, paling tidak, menghidupkan kembali partai-partai yang dimatikan Soekarno. Terutama PSI dan Masyumi. Di situ langsung kelihatan mereka (Soeharto dan kelompoknya) tidak setuju.

Apa alasannya?

Militer kan tidak perlu alasan segala macam. Dan bagi saya tiba-tiba semuanya jelas: kita tidak bisa bekerja sama dengan orang ini.

Apakah Anda pernah merasa ikut bertanggung jawab terhadap sikap politik Soeharto?

Politik saya pada permulaan tidak bisa dikatakan ikut Soeharto. Saya memperjuangkan sesuatu lewat kesempatan dengan Soeharto. Tapi saya sama sekali tidak ikut membina dan membesarkannya. Saya toh sudah tidak ada pada waktu Orde Baru lahir, 1971.

Dan Soeharto kemudian berkuasa selama 30 tahun lebih. Anda sakit? Kecewa barangkali?

Kecewa enggak, sakit juga enggak. Hanya benci akan segala kebusukan yang dia lakukan. Memang kedengarannya emosional, tapi Soeharto memang tidak jujur pada perjuangan di Indonesia, pada perjuangan, pada usaha mengangkat derajat rakyat. Kepentingan dia adalah kekuasaan, kehausan akan kekayaan.

Tentu Anda menderita, memendam perasaan, karena selama 30 tahun tidak bisa bicara seperti ini?

Well, ya, tapi tidak sejelek itu, karena Soeharto sesungguhnya menguasai segala sesuatu. Tapi ada satu hal yang tidak bisa dia?atau Soekarno?kuasai, yaitu segala aspek kehidupan Anda. Hidup itu sangat kaya. Apalagi di Indonesia, Anda bisa melakukan apa saja.

Apa saja yang Anda lakukan?

Mengajar, menulis, "menjual kecap". Gelandangan, sih, tapi banyak juga yang bisa dilakukan.

Anda seharusnya mencoba jadi elite birokat. Pada waktu-waktu awal mestinya banyak kesempatan. Kabarnya, Anda menolak jadi duta besar?

Waktu itu Widjojo, yang dulu ketua sindikat ekonomi, sudah jadi menteri. Nah, si Sarbini mau diapain? Lalu datang Soedjono Hoemardani. Dia bilang, bagaimana kalau saya jadi duta besar di Amerika Serikat. Saya jawab, "Mas Djono, saya enggak butuh permen. Perjuangan saya itu dalam negeri, kalau disuruh ke luar negeri, mau apa?" Dia sangat terpukul dan meyakinkan tawaran itu tidak ada hubungannya dengan "permen".

Setelah itu Anda memimpin buletin ekonomi Business News dan mengajar ekonomi di Universitas Indonesia?

Antara lain. Saya orang Harvard pertama di UI. Prof. Sumitro Djojohadikusumo meminta saya mengajar di sana.

Tahun 1974, saat ditangkap menyusul Peristiwa Malari, Anda masih mengajar di sana?

Ketika peristiwa itu terjadi, saya sedang berbicara dengan para mahasiswa di ruang kuliah. Biasa, "jual kecap". Topiknya selalu sama, menentang rezim yang korup dan menuntut clean government.

Anda ditangkap dengan tuduhan menghasut para mahasiswa. Apa benar begitu?

Benar. Tapi waktu itu mana kita ngaku. Tuduhannya, saya ini aktor intelektual dari demo-demo mahasiswa. Padahal semua itu kan diatur si Ali Moertopo. Hariman (Siregar) dan kawan-kawannya berdemonstrasi teratur dari Salemba. Sementara itu Moertopo mengerahkan massa, bajingan, dan sebagainya, untuk bikin rusuh.

Siapa yang membebaskan Anda?

Tidak siapa-siapa. Undang-undang mengatakan, kalau orang ditangkap dan tidak diadili, paling lama satu tahun ditahan. Surat tangkapan itu kemudian diperpanjang satu tahun. Setelah dua tahun, Ali Said?waktu itu Jaksa Agung?mengeluarkan keputusan tidak menemukan kesalahan apa pun. Saya dibebaskan.

Anda tidak menuntut rehabilitasi nama?

Untuk apa? Saya toh sudah tidak percaya pada seluruh rezim Orde Baru.

Apa saja yang Anda lakukan di penjara?

Bergaul dengan orang-orang PKI. Ada Syam Kamaruzaman. Ada tokoh-tokoh yang lebih rendah, tapi tetap punya posisi, misalnya Ketua PKI Jakarta. Ini pengalaman yang sangat menarik karena saya baru tahu bahwa secara kultural mereka adalah priayi Jawa yang tidak paham apa itu komunisme.

Apa menariknya pengalaman seperti ini?

Sangat. Pengalaman penjara buat saya sangat rohaniah. Di situ saya tahu, manusia ternyata tidak bisa dikurung. Kebebasan itu menyatu dengan manusia, tidak bisa diambil dengan cara apa pun. Setelah dipenjara, saya merasa, yang nomor satu dalam hidup bukan lagi kesehatan, tapi kebebasan.

Omong-omong, apakah Anda ikut menentang dominasi kapitalisme Jepang di Indonesia, seperti yang diperjuangkan mahasiswa dalam demonstrasi Malari?

Bukan investasinya yang kita tentang. Tuntutan Malari itu kan "pemerintahan yang bersih". Tapi lalu dianggap anti-Jepang. Waktunya memang bertepatan. Saat itu kita marah sama Jepang, yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada kekuatan-kekuatan korup Soeharto. Mereka memberi proyek berikut segala patgulipat.

Yang membuat Anda berang apakah karena investasi asing ini sangat menekankan pertumbuhan, sementara Anda percaya betul pada model ekonomi kerakyatan?

Tidak persis seperti itu. Yang kita tentang adalah model investasi Jepang yang sangat merangsang pemerintahan korup. Sejak awal kelihatan betul para investor Jepang?berbeda dengan Amerika dan Eropa yang lebih konservatif memegang etika bisnis?merintis hubungan lewat keluarga dan kroni. Keterlaluan betul.

Apa, misalnya, yang keterlaluan?

Ketika kita mau membangun dan butuh investasi asing, apa yang didanai Jepang? Ajinomoto. Come on, bagaimana mungkin membangun negeri ini dengan Ajinomoto? Ini kan keterlaluan. Bahwa mereka mementingkan profit, oke. Kita bisa menerima itu sebagai bagian dari kapitalisme. Tapi, jangan Ajinomoto.

Sedikit tentang ide ekonomi kerakyatan. Bisa tolong dirumuskan secara singkat dan sederhana?

Ekonomi kerakyatan itu sesungguhnya strategi pembangunan untuk Indonesia dengan dasar sosialisme kerakyatan. Jadi, memihak rakyat, mementingkan rakyat, memberdayakan kemampuan rakyat dengan menyediakan alat-alat produksi yang lebih baik dari alat-alat yang selama ini mereka pakai.

Apakah ide ini membawa konsekuensi menolak investasi dari luar, misalnya?

Tidak ada soal dengan investasi. Justru investasi itu bisa menyediakan alat-alat ini.

Pernah mendengar kritik ini: ide Anda hebat, tapi sulit diterapkan?

Ya, bahkan dari Sadli (Prof. Dr. Sadli), ha-ha-ha.... Sadli itu paling kurang ajar, paling dekat dengan saya, karena itu dia anggap boleh kurang ajar, sekurang-kurang ajarnya. Dia pernah saya kasih makalah tentang ekonomi kerakyatan. Eh, tulisan itu direken sampah sama Sadli. Barangkali sekarang jadi lain karena ekonomi kerakyatan diucapkan Adi Sasono, bukan Sarbini.

Tapi yang mengkritik kan bukan hanya Prof. Sadli. Ada juga profesor lain yang....

Oh, yang itu. Kalau itu, sih, sudah tidak bisa lepas dari soal-soal personal. Ya, semacam ada kecemburuan, persaingan intelektual yang sangat kuat pada waktu itu.

Kenapa?

Saya tidak tahu. Saya belum pernah mendiskusikan hal ini dengan dia. Tapi kalau boleh sedikit bercongkak cara PSI, saya rasa, kurang lebih karena dia menemukan dalam diri saya seorang "lawan berbahaya".

Berbahaya? Ucapan Anda kedengarannya, kok, seperti politisi saja?

Saya memang jauh lebih merasa sebagai politisi ketimbang ekonom. Saya ini PSI sejati, sosialis demokrat. Dan Sjahrir, he is my political guru.
Saya tumbuh dalam pengarahannya.

Bagaimana dengan Bung Karno?

Begini, kan Sarbini ada macam-macam. Sarbini 80 tahun, 40 tahun, 20 tahun. Sarbini yang mengagumi Soekarno adalah Sarbini yang belasan tahun.

Pikiran-pikiran sosialis tampak banyak dipengaruhi Sjahrir. Juga gaya Anda yang populis. Tapi substansi gaya hidup Anda itu, kok, sangat elitis.

Anda benar. Well, itu selera pribadi. Tapi saya rasa itu tidak ada hubungannya dengan sosialisme atau semangat humanismenya Sjahrir dan PSI.

Omong-omong soal PSI, apakah kejayaan PSI di masa lalu bisa kembali nanti?

Mengapa tidak? Saya berusaha untuk itu.

Berusaha untuk masuk lagi ke dalam kekuasaan?

Kita hanya ingin mengembalikan bentuk negara yang sudah diciptakan Soeharto selama puluhan tahun. Kerajaan ini harus kembali ke dalam bentuk republik yang demokratis dan berdaulat seperti yang dicita-citakan Soekarno dan Sjahrir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus