IA tidak pernah berniat untuk berzina. Perbuatan intim dengan perempuan yang telah memberinya satu anak itu, baginya, adalah hubungan yang sah. Mereka menikah dalam sebuah prosesi agama yang khusyuk di sebuah kelenteng dengan dilindungi oleh dewa-dewa yang memandang mereka dengan takzim.
Tapi, di sebuah negara yang belum sepenuhnya melindungi hak sipil, perkawinan Budy Wijaya dan Lany Guito itu seperti sia-sia. Ketika hendak mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil Surabaya, pasangan Konghucu itu ditolak. Soalnya, dalam pandangan petugas kantor itu, agama yang menaungi perkawinan mereka bukan agama resmi. Perkawinan itu dianggap sebagai perkawinan yang liar.
Kejadian hampir empat tahun lalu itu sempat bikin gempar. Di pengadilan, kedua pasangan itu bahkan sampai mendatangkan Ketua Umum Nahdlatul Ulama K.H. Abdurrahman Wahid sebagai saksi ahli. Tapi, setelah empat tahun berselang, kasus tersebut seperti kandas. "Sampai sekarang, kasasi Budy dan Lany di Mahkamah Agung tidak jelas," kata Chandra Setiawan, Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin). Lembaga yang dipimpin Chandra ini, Jumat pekan lalu, merayakan ulang tahunnya yang ke-44.
Sebagai lembaga yang sudah cukup umur, Matakin tampaknya belum bisa berbuat banyak untuk mengusahakan kesejajaran antara agama Konghucu dan agama resmi lainnya di Indonesia. Pembelaan mereka terhadap absahnya perkawinan Budy-Lany hanyalah satu kasus yang kemudian kandas karena tekanan pemerintah. Selebihnya, Matakin lebih banyak kedodoran.
Padahal persoalan agama dan penganut Konghucu ini bukanlah persoalan kecil. Saat ini, agama dengan umat sekitar 1,7 juta orang itu boleh dibilang seperti anak ayam kehilangan induk: mereka ada, tapi kehadirannya tak diakui pemerintah. Akibatnya, ya, muncul kasus seperti Budy dan Lany tadi. Dan masih ada satu-dua kasus lainnya yang tak mencuat ke masyarakat.
Sebelumnya, pemerintah berdasarkan UU Nomor 1/PNPS/1965 dan UU Nomor 5 Tahun 1969 telah mengakui Konghucu sebagai agama resmi bersama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Namun, dalam perkembangannya, atas rekomendasi badan intelijen militer, Konghucu dilarang di Indonesia. Pada 1967, melalui Instruksi Presiden Nomor 14 mengenai agama dan adat istiadat Cina, umat Konghucu tidak boleh melakukan ibadah di tempat umum.
Penolakan terhadap Konghucu itu erat terkait dengan trauma politik pada 1965. Kalangan keturunan Cina, mayoritas penganut Konghucu, dianggap punya keterkaitan dengan RRC—poros Partai Komunis Indonesia, yang kandas dalam pergulatan politik ketika itu. Tapi hal itu tentu saja ditolak Chandra, "Ini sangat tidak relevan. Buktinya, di Cina, dalam Revolusi Kebudayaan, orang Konghucu justru dibantai."
Di mata Dr. Komaruddin Hidayat, persoalan Konghucu di Indonesia itu mestilah dipandang secara lebih luas. Soalnya, menurut pengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta ini, pluralitas etnis dan agama adalah desain dari Tuhan. Dengan kata lain, kehadiran pelbagai agama mestilah dipandang sebagai sunatullah. "Kenyataan inilah yang belum banyak dipahami pemerintah dan masyarakat," kata Komaruddin.
Meski Konghucu tidaklah termasuk agama wahyu—yang didatangkan dari langit dengan membawa kitab suci melalui perantara nabi seperti Islam, Kristen, dan Yahudi—bagi Komaruddin, itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak menerima kehadiran Konghucu. Soalnya, pencerahan yang diperoleh dari Tuhan melalui kitab suci dan melalui guru—seperti tampak dalam agama Buddha dan Konghucu—punya tempatnya sendiri-sendiri. "Dalam filsafat, seseorang dapat memperoleh kebenaran melalui hati nurani dan pengalaman, meskipun tanpa kitab suci," katanya.
Bagi Djohan Effendi, pengajar di Universitas Deakin Australia, kategorisasi agama langit (agama wahyu) dan agama bumi tidak lagi relevan dalam diskursus agama saat ini. Islam, misalnya, papar Djohan, yang kini menjadi Kepala Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama, mengakui ada banyak nabi yang diturunkan sebelum Muhammad. Jadi, bukan tidak mungkin Buddha atau Nabi Konghucu adalah nabi-nabi yang diturunkan Tuhan tapi tidak disebut dalam kitab suci seperti Alquran atau Injil.
Dengan cara pandang seperti ini, mestinya kehadiran Konghucu—atau agama apa pun—di bumi pertiwi ini bukan sesuatu yang harus diperdebatkan. Cuma, masalahnya, di Indonesia, agama masih dipandang dengan kacamata politik. Dalam kasus Konghucu, bobot politik itu tampak jelas. Karena itu, bagi Komar, yang harus dibuka adalah perdebatan di kalangan masyarakat sendiri. Tak usahlah menuntut pengakuan pemerintah. Apalagi Menteri Agama Malik Fadjar enggan berkomentar. "Ini masalah penting yang rawan," katanya.
Arif Zulkifli, Ardi Bramantyo, Ali Nur Yasin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini