Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Pada Waktunya Nanti, Saya Akan Non-Aktif..."

18 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ciganjur membuka tirai 1999 dengan dua tangan yang terbuka, dan pintu yang terbuka lebar itu meraih sekitar 1.500 orang yang semuanya memiliki persoalan sendiri-sendiri, kemudian ramai-ramai menumpahkannya kepada penghuni Ciganjur itu, seolah-olah sosok Abdurrahman Wahid bisa menyangga seluruh persoalan alam semesta. Namun, Gus Dur, demikian nama populernya, dengan tenang menjawab pertanyaan para pengunjung acara "open house" di rumahnya, tanpa pretensi bahwa ia bisa menyelesaikan semua persoalan umat di muka bumi ini. Simaklah adegan ini: Seorang lelaki bernama Srihadi, berusia 30 tahun, asal Tulungagung, berkisah tentang tragedi hidupnya. Ia mengaku seorang yang baru masuk agama Islam dua tahun silam. Penderitaan dimulai antara lain ketika rumah kakaknya—yang kebetulan setia kepada PDI Soerjadi—dibakar massa. Kakak iparnya diperkosa. Sementara itu, ia sendiri, setelah menikah sebulan, istrinya meninggal dunia akibat kanker paru-paru. Setelah ia menikah lagi, anaknya divonis menderita kanker mata. "Saya tak tahu lagi harus bagaimana, Gus. Saya minta kekuatan," kata Srihadi dengan nada lirih. Gus Dur, kali ini bagai seorang kawan, memegang tangan Srihadi. "Kapan-kapan datang ke sini lagi dan kita pecahkan bersama persoalan Anda," tuturnya dengan suara bergetar. Ia kemudian bercerita tentang bagaimana penderitaan para pengikut Nabi yang disiksa terik matahari. Dengar lagi suara pengunjung lain: "Saya adalah utusan Sunan Kalijaga dan saya minta diantar pada Menteri Agama dan Presiden Habibie, dan saya siap bersedia untuk menyelamatkan segala kekacauan yang timbul di negara ini," demikian Triyono, asal Boyolali, Jawa Tengah. Pernyataan mantap itu disambut dengan gaya simpatik, meski Gus Dur juga tak mengumbar janji. "Selama ini tidak gampang diterima oleh Presiden. Biasanya mereka menanyakan dari lembaga mana. Tetapi nanti saya sampaikan." Gus Dur tidak berpretensi akan bisa menyelesaikan semua persoalan yang diajukan kepadanya. Maklum, pertanyaan dan permintaan para pengunjung itu beragam. Mulai soal meminta jodoh, meminta didoakan agar pernikahannya sukses, mencoblos partai apa dalam pemilu nanti, hingga kritik terhadap sikap Gus Dur yang juga ikut membela umat non-Islam. Semua tanya jawab itu direkam, dicatat. "Nanti dari transkskripnya itu akan disarikan, dan pokok-pokok itu kami sampaikan kepada Habibie, Wiranto, dan lain-lainnya," tutur Gus Dur kepada TEMPO yang mengikutinya untuk beberapa hari. Dan sebuah "dialog lokal" telah berlangsung di "Republik Ciganjur", demikian sebutan bagi kawasan rumah sang kiai, saking sentralnya sosok ini. Sebuah sosok yang tampak sederhana, tapi tingkah polah politiknya membingungkan banyak orang. Siapakah dia sesungguhnya? Seorang kiai dengan 40 juta massa? Seorang "politikus" yang memilih sepak terjang yang mencengangkan? Lahir di Jombang, 4 Agustus 1940, Abdurrahman Wahid adalah putra sulung Kiai H.Wahid Hasyim—bekas Menteri Agama—Abdurrahman Wahid . "Kontroversi" adalah cap yang lekat dengan dirinya, jauh sebelum ia terpilih sebagai Ketua Umum Tanfiziah Pengurus Besar NU (PBNU) dalam Munas ke-27 di Situbondo, 1984. Inilah muktamar yang memutuskan NU kembali ke Khitah 1926: sebagai organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, sosial, dakwah, dan melepaskan diri dari percaturan politik (TEMPO 12-18 Januari). Ia dituding "mengkhianati" Islam ketika mengajak warga NU keluar dari lapangan politik karena ajakan itu diterjemahkan sebagai upaya menggembosi PPP sebagai "rumah politik" warga NU, sejak partai NU berfusi pada 1973. Gagasan lain yang juga mengundang kontroversi adalah ketika Gus Dur mengatakan "assalamualaikum" bisa diganti dengan "selamat pagi" atau "apa kabar". gagasan untuk pribumisasi Islam ini tentu saja membuat geger umat Islam, bahkan di kalangan NU sendiri. Buntutnya, sekitar 200 kiai berkumpul di Pondok Darul Al-Tauhid, Cirebon, untuk "mengadili" Gus Dur, yang kemudian dihadapinya dengan tenang, tapi tetap tangkas. Ia mengaku bahwa wawancaranya dengan sebuah majalah yang memuat gagasannya itu tak lengkap. Sikap Gus Dur yang tidak konvensional di mata banyak kiai NU itu membuat dia dijauhi beberapa tokoh kalangannya sendiri, antara lain Kiai As'ad yang menyatakan mufar-raqah alias memisahkan diri dari kepemimpinan Gus Dur. Kiai As'ad (yang kini almarhum) mengatakan ia tak perlu lagi menjadi makmum terhadap imam yang kentut, yang tak layak lagi memimpin NU. Namun, entah bagaimana, mungkin sikapnya yang nyeleneh itu atau kecerdasannya itu yang malah semakin membuat Gus Dur populer, hingga ia mampu meraih suara terbanyak dari para muktamirin. Gerakannya yang lain yang kemudian memicu polemik adalah ketika ia menandatangani surat permohonan bantuan dana kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS), pengelola sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB). Wakil Rais Am Syuriah NU saat itu, K.H. Ali Yafie, sempat mengancam akan mengundurkan diri jika Gus Dur dan Sekjen PBNU Gaffar Rahman tak dipecat. Gus Dur pun mengaku khilaf dan meminta maaf. Dia mendapat peringatan keras, dan Gaffar dipecat. Tahun 1994, Gus Dur membuat langkah yang membuat rekan-rekannya gelagapan. Ia mengunjungi Israel. "Kunjungan itu melawan aspirasi umat Islam," ujar Ketua MUI K.H. Hasan Basri (kini almarhum), tetapi menurut Pelaksana Wakil Rais AM NU, K.H. Sahal Mahfud, "Kepergian itu atas nama pribadinya." Perkawanan Gus Dur dengan Menhankam/Panglima ABRI saat itu, Jenderal L.B. Moerdani—yang di kalangan umat Islam kurang disukai—ditambah dengan kemesraan hubungan Gus Dur dengan Golkar, membuat sosok ini menjadi semakin kontroversial. Keramaian kembali pecah ketika Gus Dur menolak bergabung dengan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 1990. "Saya tidak masuk ICMI justru karena saya tidak mau ikut berebut pangkat. Sebab, di sana sangat banyak orang yang begitu," demikian tutur Gus Dur kepada TEMPO saat itu. Ia menganggap saat itu ICMI mengarah pada sektarianisme, dan menjelaskan bahwa dia akan "di luar saja mengurusi muslim kaki lima." Setahun kemudian ia malah ikut membentuk Forum Demokrasi, yang disebutnya sebagai "urusan pribadi", bukan bagian dari NU. "Menegakkan demokrasi itu salah satu prinsip Islam," kata Gus Dur menjelaskan langkahnya. Pada akhir 1998, Gus Dur kembali mengejutkan khalayak Indonesia dengan safarinya ke Pangab Wiranto, Presiden B.J. Habibie, Benny Moerdani, dan Soeharto dengan alasan: mencegah revolusi sosial. Ia percaya bahwa masih banyak pengikut Soeharto yang disebutnya sebagai "Soehartoisme", yang tak puas dengan keadaan, dan hanya Pak Harto yang bisa "mbilangin mereka". Dan maksud kunjungan Gus Dur itu adalah untuk mengajukan usul sebuah dialog nasional atau rekonsiliasi nasional. Ia menyebut-nyebut nama Pangab Wiranto, Presiden Habibie, bekas presiden Soeharto, dan beberapa menteri sebagai orang-orang yang perlu diajak dalam dialog nasional ini. Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais adalah salah satu tokoh yang menentang upaya Gus Dur. "Itu seperti mencampurkan aktor-aktor dalam satu kubu yang pro-status quo, dan pasti akan ditentang sebagian besar rakyat Indonesia," tutur Amien kepada TEMPO (TEMPO 11 Januari 1999). Gus Dur yang menganggap Amien Rais sebagai "saudara saya" itu tak ambil pusing dengan komentar-komentar negatif terhadap gerakannya. Bahkan ia pernah bertanya balik kepada TEMPO, "Tanya dia, apakah PAN itu dapat sambutan enggak dari rakyat." Untung, ejek-mengejek antara kedua pimpinan umat itu selesai dengan diselenggarakannya dialog antara kedua tokoh di Hotel Indonesia, pekan silam. Gus Dur dan Amien Rais, yang mengaku memiliki perbedaan dalam beberapa hal, bersetuju dalam beberapa hal yang prinsipil, yakni menjaga kestabilan negara dan menentang perbedaan, pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil, dan supremasi hukum. Setelah hari "open house" yang panjang itu, Gus Dur kemudian dituntun untuk beristirahat di kamarnya. Pada saat istirahat itulah, Nuriyah, sang istri, yang duduk di kursi roda, ikut masuk ke kamar. Tepat pukul 15.20, bel kamar Gus Dur yang berbunyi bagai alunan lagu segera mengingatkan Munib, sang "ajudan" untuk segera memulai tugasnya. Ia menyiapkan peralatan mandi Gus Dur dan segera menuntun sang kiai ke kamar mandi yang terletak bersebelahan dengan kamar tidurnya. Munib menantinya di muka kamar mandi, kalau-kalau sewaktu-waktu Gus Dur membutuhkan sesuatu. Sembari menanti, Munib segera menyiapkan pakaian dan celana yang akan dikenakan Gus Dur. Menurut Munib, biasanya Gus Dur yang akan menentukan warna baju yang akan dikenakannya. Untuk urusan mengenakan baju, celana, dan mengaitkan ikat pinggang maupun menyisir rambut, sang kiai bisa melakukannya sendiri. Sedangkan fungsi Munib adalah untuk menggosokkan Rexona Roll-on pada kedua ketiak Gus Dur. Pukul 16.00, Gus Dur kemudian membuka sesi kedua. Dua jam kemudian, menjelang magrib, Gus Dur duduk di ruang makan bersama istrinya dan ibunya yang datang dari Pati, Jawa Tengah. Di depannya sudah terhidang nasi, kolak, dua gelas panjang berisi air putih dan jus wortel. Jus wortel selalu ada saat buka dan sahur. Sejak terserang stroke, Gus Dur harus menjalani serangkaian diet ketat. "Saya tidak boleh makan durian dan daging kambing kesukaan saya," ujarnya tertawa. Nuriyah-lah yang mengawasi diet Gus Dur agar ia betul-betul mematuhinya. Saat azan magrib berkumandang melalui televisi, Gus Dur meraba-raba makanan di depan wajahnya. Sepasang matanya, yang praktis hampir tak dapat melihat itu, mencari semangkuk kolak yang sudah disediakan untuk dia. Sambil mendengarkan cerita keluarga ibunya yang datang dari Pati, ia melahap kolak itu hingga tandas. Tinggal sedikit kuah kolak, maka sepasang bibirnya ditempelkan ke bibir mangkuk. Sruput, sruput...,Gus Dur menguras tandas isi kolak tersebut. Setelah upacara makan kolak selesai, barulah ia membiarkan dirinya dimanfaatkan sebagai "selebriti" oleh pengunjung yang ingin berpotret bersamanya. Bak seorang bintang film, mereka meminta Gus Dur berfoto bersama mereka dan menandatangani kopiah mereka. Kemudian, seorang ibu meminta agar kepala anaknya disuwuk (ditiup dan didoakan—Red.), kemudian ada yang meminta..., kemudian.... Itu semua dilayaninya dengan sabar. Dan ia memang kemudian tak hanya tampak seperti seorang kiai biasa. "Pada waktunya nanti, saya akan non-aktif dari Ketua Umum PBNU dan jadi jurkam PKB..., " tuturnya menghela napas. Entah kapan "non-aktif" itu akan terjadi. Yang jelas, Ciganjur akan tetap ramai dikunjungi orang-orang yang telanjur mengenalnya sebagai seorang pemimpin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus