Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ahmad Sumargono "Kalau Status Quo Ini Menguntungkan Islam, Mengapa Tidak?"

16 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dunia di mata Ahmad Sumargono terdiri dari "mereka" dan "kami". "Mereka" adalah yang memerangi perjuangan Islam, dan "kami" adalah umat Islam, meski tidak semua umat Islam belum tentu merasa diwakili olehnya. Sepak terjang Ahmad Sumargono terbaca dengan mudah dan selalu meninggalkan jejak yang jelas. Pada saat Soeharto berhenti sebagai presiden dan Habibie naik menggantikannya, serta-merta ia dan kelompoknya unjuk rasa menunjukkan dukungannya terhadap Habibie, yang dianggap sebagai simbol Islam. Belum lagi protes-protesnya terhadap berbagai pihak, mulai dari majalah Jakarta-Jakarta, harian Kompas, dan CSIS. Tak mengherankan jika Ahmad Sumargono dan KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) dianggap banyak pihak sebagai kelompok yang garang.

Kelompok warga sipil yang tampil mendadak ini dibentuk dan digerakkan oleh berbagai organisasi, salah satunya adalah KISDI. "Kami bergerak karena kepentingan umat Islam terancam," kata Ahmad Sumargono, yang menjabat Wakil Ketua KISDI. Dan bukan kali ini saja Gogon, demikian ia biasa disapa, mengerahkan massa. Salah seorang ketua Partai Bulan Bintang itu tidak mengelak dari anggapan ini. Bahkan ia sendiri menyebut anak buahnya sebagai demomaniak. Beberapa kali, Ahmad Sumargono dengan bendera Islam menjadi motor KISDI dalam unjuk rasa protes terhadap berbagai kasus.

Rumah berlantai tiga miliknya yang nyaman di kawasan Ciracas, Jakarta Selatan, adalah tempat berkumpul para pengunjuk rasa sebelum bergerak. Rumah ini tampak cukup terbuka. Bekas Pangkostrad Letjen Prabowo dan Mayjen Kivlan Zein pernah berkunjung ke rumah ini.

Saat TEMPO berkunjung ke sana, salah satu papan tulis di lantai dua menyajikan syair lagu yang berisi hujatan terhadap salah satu tokoh politik.

Bapak lima anak ini mengaku cukup dekat dengan pimpinan militer saat ini. Alasannya, Sumargono melihat wajah militer yang lebih bersahabat ketimbang era sebelumnya.

Tumbuh dari keluarga yang menganut kejawen, Sumargono, yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 1 Februari 1943, tidak mengira bahwa ia akan tampil seperti sekarang. Di samping mengaji, Sumargono remaja lantas belajar kanuragan seperti ilmu tidak mempan dibacok. Setelah ia belajar agama secara lebih mendalam dari Buya Malik Achmad, segala ilmu kebal bacok itu dibuangnya, karena ia menganggap itu termasuk syirik. Ia juga mulai berdakwah ketika duduk di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sumargono mengaku bahwa banyak yang menganggapnya garang. Padahal, menurut dia, ia hanya bersikap tegas. "Saya ini orang moderat," ujar Sumargono. Ia mencontohkan bahwa selama bekerja pada Jan Darmadi maupun Bambang Yoga Soegomo, ia tidak serta-merta mencela apa yang dilakukan rekan kerjanya. "Saya bukannya tak pernah tergoda untuk main wanita bila tugas luar, tapi bila sesudah bermaksiat, pesawat saya jatuh bagaimana?" kata Sumargono.

Ia menerima Arif Zulkifli, Darmawan Sepriyossa, Wahyu Muryadi, dan Yusi A. Pareanom dari TEMPO saat hari pertama Sidang Istimewa MPR berjalan, dan menjawab semua pertanyaan dengan blak-blakan dan tuntas. Berikut petikannya.


Kenapa pada sidang istimewa ini Anda dan organisasi Anda menjadi salah satu kelompok penggerak massa dalam wujud pasukan Pam Swakarsa?

Begini, ada semacam analisis yang menyebutkan adanya gerakan yang selalu memandang apriori terhadap Habibie. Bahkan ini terjadi sebelum gerakan reformasi berlangsung. Nah, gerakan ini dianggap oleh umat Islam sebagai gerakan anti-Islam. Kasarnya, ada yang pro dan anti-Islam. Kelompok yang anti ini selalu curiga dan suudzon (bersangka buruk) terhadap umat Islam. Sejak Soeharto lengser dan pemerintahan beralih ke Habibie sesuai dengan Pasal 8 UUD 45, ada sekelompok mahasiswa yang apriori menolak. Timbullah pro-kontra tentang legitimasi Habibie. Kebetulan kelompok-kelompok ini disinyalemen dilatarbelakangi beberapa kelompok. Inilah yang menjadi daya panggil bagi umat Islam yang ikut ke DPR pada tanggal 22 Mei silam. Saat pemerintah Orde Baru, kelompok yang anti-Islam ini sudah pernah berkuasa selama 24 tahun, tepatnya tahun 1966-1990. Saat itu, umat (Islam) termarginalkan dan dianggap fasis. Kami tahu siapa yang ada di dalam dapurnya. Soeharto juga saat itu anti-Islam karena terkooptasi beberapa tokoh. Dulu, orang takut mengaku muslim, takut mengucap assalamualaikum, dan membuat baitul mal (sistem asuransi dalam Islam) dicurigai. Ahmad Tirtosudiro mengumpulkan sarjana Islam karena ingin membentuk Himpunan Sarjana Muslim, tapi tidak jadi. Pokoknya, bila mau membuat sesuatu dengan nama-nama Islam selalu dihindari karena takut digusur. Soeharto akhirnya berubah. Mulai 1993, suasana berubah kondusif bagi umat Islam, ada Bank Muamalat, ICMI lahir, kabinet dan parlemen menjadi ijo royo-royo. Namun Soeharto berubah sebetulnya bukan untuk Islam, tapi lebih untuk kepentingan politiknya. Nah, kelompok yang dahulu berkuasa itu sekarang giliran termarginalkan, maka wajarlah bila mereka kecewa.

Jadi, menurut Anda, persoalannya bukan pada sosok Habibie?

Bukan, tetapi pada simbolnya. Bagi kami, Habibie itu simbol Islam. Kabinet Soeharto itu sejak 1993 kan ijo royo-royo. Kelompok mereka mengharapkan pada periode berikutnya kabinet akan berubah warna. Tetapi ternyata tetap saja, bukan? Jadi wajar saja mereka cemburu karena tidak terakomodasi. Dan karena itu mereka bareng-bareng menggoyang.

Kami juga menganggap Habibie punya banyak kelemahan yang tak mengakomodasi keperluan kami.

Apa saja kelemahan Habibie di mata Anda?

Tahanan politik kelompok Islam tidak dibebaskan. Dewan Dakwah minta Masyumi direhabilitasi, tetapi tidak dipenuhi. Soal penganugerahan gelar pahlawan bagi Pak Natsir juga diberikan belakangan. Namun Habibie tetaplah simbol kami. Waktu kami dulu ke DPR, kami diisukan membela Soeharto, padahal yang kami lihat adalah Habibie sebagai simbol Islam. Kami berjuang untuk ideologi Islam, dan kalau sudah begitu tidak ada cerita lagi untuk kompromi. Asal Anda tahu, saya sampai sekarang saja belum pernah menginjak Istana.

Jadi, menurut Anda, anti-Habibie adalah anti-Islam?

Ya, dia sekarang menjadi simbol, meskipun masih banyak kekecewaan. Kami melihat Habibie cukup berhasil dalam waktu yang singkat walau digoyang terus. Tidak ada orang kelaparan kan? Itu hanya isu.

Sepertinya Anda menginginkan status quo?

Kalau status quo ini menguntungkan Islam, mengapa tidak? Kami merasakan trauma selama 24 tahun ini.

Contohnya menguntungkan Islam itu seperti apa?

Sewaktu ABRI dikuasai mereka, ceramah saja diamati intel. Saya masuk penjara selama enam bulan pada tahun 1980 juga hanya karena ceramah. Ini hasil kerja orang-orang tertentu yang sekarang getol omong demokrasi. Kalau mereka berkuasa lagi, ya, akan begitu, dengan membentengi diri dengan isu hak asasi.

Bukankah tidak ada yang berubah dari ABRI?

Lain, dong. Karakter militer di bawah Benny Moerdani dengan militer sekarang jauh berbeda. Kita harus jujur, dalam sejarah, mana pernah Cijantung (markas Kopassus) itu dibanjiri umat Islam seperti rapat akbar di Al Azhar? Prabowo bahkan teriak Allahu Akbar berkali-kali. Dulu kegiatan kita dipetakan sebagai gerakan ekstrem kanan.

Bagaimana sebetulnya hubungan Anda dengan Prabowo?

Biasa-biasa saja. Banyak yang lebih dekat dengan Prabowo. Namun saya memang pernah memberi nasihat padanya. Saya katakan bahwa bagi sebagian umat, komitmen Prabowo masih diragukan karena ayahnya seorang sosialis sedangkan ibunya seorang (beragama) Kristen. Saya juga memberi nasihat yang sifatnya pribadi. Ia menanggapi dengan baik.

Kabarnya, Prabowo mendekati Anda karena ingin memoderatkan KISDI?

Ya, bisa saja. Tapi bisa terbalik, kan? Ha-ha-ha. Sekarang hubungan kami sudah tak terlalu intim lagi. Sebetulnya saya berkenalan dengan dia kurang dari satu tahun. Pak Sjafrie Sjamsudin (bekas Pangdam Jaya) yang memperkenalkan saya dengan Prabowo.

Bagi Anda tampaknya ada perang besar di Indonesia antara Islam dan non-Islam, sementara di sisi lain ada tokoh semacam Gus Dur yang bergandengan tangan dengan kelompok yang, katakanlah, tidak berbendera Islam.

Islam itu majemuk. Ada Islam nasionalis, ada lagi yang kaffah (bulat), yang ideologis. Taruhlah anggota PDI yang banyak itu, mereka kan juga Islam? Namun pemahamannya sebatas religi, tidak sampai pada ideologi

Kelompok mana yang Anda wakili?

Tentu saja yang kaffah, yang sempurna. Karena itu, kami paling depan kalau soal kepedulian Islam. Ini tanpa bermaksud menafikan mereka. Misalnya tentang Megawati, tidak semua umat Islam bersikap seperti Gus Dur yang bergandengan dengan Megawati. Ini Islam yang mana dulu? Gus Dur dari dulu supertoleran, sampai sering mengorbankan akidah.

Memangnya salah, bergandengan dengan Megawati?

Bagi saya, itu tidak bisa dilakukan. Apalagi memilih Megawati menjadi pemimpin, secara akidah itu tidak bisa dibenarkan. Itu harga mati.

Bagaimana kalau Megawati yang menang dalam pemilu nanti?

Ya, jangan sampai dia menang. Kami akan menghormati hasil pemilu, tetapi sebelumnya kita akan membuat agar itu tak terjadi. Pikiran kami saat ini belum sampai pada kemungkinan bekerja sama dengan Megawati bila dia menang. Pokoknya, kita halangi Mega supaya tidak menang.

Sebetulnya siapa yang Anda musuhi?

Di Quran ada yang namanya assida’u alal Kuffar, ruhama’u bainahum. Kata yang dipakai kuffar (orang kafir yang memerangi Islam). Itu yang kita musuhi. Pada zaman Nabi Muhammad, prototipe kuffar ini ada pada Abu Jahal dan Abu Lahab. Abu Sofyan saja tidak termasuk. Abu Thalib kafir, tetapi bukan kuffar. Kalau sudah kuffar, mereka itu muncul dengan rencana dan strategi untuk memusuhi Islam. Maka terhadap mereka kami (bersikap) tegas dan tanpa kompromi.

Apa perbuatan mereka yang Anda lihat sebagai bentuk permusuhan?

Lihat saja yang mereka lakukan di Tanjungpriok. Dan saya yakin mereka juga di belakang peristiwa Banyuwangi. Buktinya belum ada, tapi indikasinya kok ke sana. Selama ini siapa, sih, yang terkenal sebagai "tegawan"? Soal indikasi, dua media cetak menulis tentang kerusuhan Mei lalu itu tanpa tedeng aling-aling menyebut nama Benny Moerdani, kenapa tidak disentuh TGPF? Saya juga sudah meminta agar tim ini, selain memeriksa Sjafrie, juga memeriksa Benny. Namun tanggapan mereka justru kurang simpatik. Wajar bila saya berpikir ada sesuatu dengan TGPF.

Apa memang Benny Moerdani masih punya kuku?

Masih kuat, kadernya masih banyak.

Tuduhan Anda kepada Benny ini kan sama halnya dengan tuduhan orang kepada Prabowo?

Sekarang kita buktikan saja, tuduhan kepada Prabowo kan tidak benar. Meskipun soal penculikan sebagian benar, soal penembakan ia sampai bersumpah dengan mengangkat Quran bahwa itu bukan perintahnya. Bukankah penculikan ini sebenarnya adalah strategi intelijen saat Soeharto berkuasa? Harap diingat, yang diculik Prabowo itu tak satu pun yang lecet. Bandingkan dengan yang dilakukan Sintong Pandjaitan. Berapa yang mati? Puluhan. Namun tetap saja ia menyandang pangkat letjen. Hanya karena Habibie ingin dianggap berada di atas semua golongan, ia diangkat kembali.

Apa konsesi untuk Anda sendiri yang Anda dapatkan dari Habibie?

Oh, itu tidak ada sama sekali. Kami tak menuntut itu. Malah Habibie pernah bicara kepada salah satu pakar dari Bandung setelah kami kritik habis-habisan. Lewat pakar tersebut ia meminta saya agar jangan salah paham. Ya, akhirnya kami bisa mengerti. Misalnya tentang tidak dibebaskannya napol Islam. Soalnya, untuk itu ia harus terlebih dahulu membebaskan Budiman Sudjatmiko dkk. Ini yang tidak diinginkannya.

Anda tidak dijanjikan menjadi menteri, misalnya?

Tidak. Namun bila dipercaya, itu amanah yang harus diterima. Bagaimanapun, orang seperti saya tidak tidak bisa jadi pemimpin nasional. Warnanya terlalu jelas.

Ada keinginan masuk struktur?

Antara Islam dan negara kan ada konsep berbeda. Ada yang bilang Islam hanya sebagai gerakan moral, jangan struktural. Namun saya ingin yang utuh. Bagaimana mungkin kita mencegah kemungkaran kalau tak punya kekuatan? Kita tidak ngoyo, cukup kepanjangan tangan saja di pemerintahan demi kepentingan umat.

Apakah warna keislaman Anda yang garang ini bukannya justru pencerminan rasa kurang percaya diri?

Saya justru percaya diri dengan ini. Kalau saya akomodatif, saya akan dipermainkan. Lihat kasus Pak A.M. Saefuddin. Terus terang ia mau berhenti. KISDI-lah yang menyuarakan pembelaan untuknya. Tidak ada persoalan apakah dia dari PPP atau saya dari Partai Bulan Bintang. Ini soal Islam.

Anda melihat Habibie sampai saat ini masih berada di jalur yang benar?

Yes, for the time being (untuk sementara). Kita mendukung sidang istimewa ini karena ini yang konstitusional. Namun, bila waktu itu yang diangkat sebagai presiden adalah Try Sutrisno atau Edi Sudradjat, saya akan melawan. Ini politik kepentingan, Bung! Namun, bila sidang istimewa ini tidak aspiratif, ya akan kami tentang. Terutama ketentuan adanya asas tunggal itu harus dicabut.

Jadi Anda dan kawan-kawan memandang pemerintahan Habibie sah, bukannya sekadar transisional?

Sah dan otomatis transisional. Kan akan ada pemilu setelah ini?

Setelah pemilu?

Tergantung pilihan rakyat. Kalau rakyat menghendaki setelah ini Habibie terpilih lagi, kenapa tidak?

Ada alternatif lain selain Habibie?

Kalau ada yang lebih baik, ya, mungkin saja. Yusril Ihza Mahendra bisa, namun selain masih muda, ia juga perlu waktu untuk menghapus citra sebagai orang dalam lingkaran Sekretariat Negara, karena bekerja di sana. Kalau Amien Rais kan tidak bisa diterima militer. Yang pasti, kelompok anti-Islam tidak menginginkan orang Islam yang duduk. Dalam versi mereka, ada kecemasan bahwa mereka harus disunat, kafe dan bioskop ditutup, ha-ha-ha.... Sedangkan kami juga punya kecemasan, kalau orang sekular yang berkuasa, kami akan ditekan lagi seperti yang sudah dialami. Makanya untuk itu kami pasang harga mati.

Apakah kalau kelompok Islam Anda menang, Anda akan melakukan apa yang ditakutkan kelompok lain?

Nggak, dong. Sekarang ini kita masuk periode Madinah. Rahmatan lil alamin. Anda kan tahu, bagaimana Madinah. Di sana orang-orang nonmuslim aman.

Periode Madinah itu sarat dengan turunnya surat-surat berkonteks Madaniyah yang kental dengan muatan muamalat (sosiologis). Kira-kira wajah negara Islam seperti apa yang Anda inginkan di Indonesia?

Kami tidak bisa seperti Arab Saudi, Pakistan, Malaysia, ataupun Sudan. Kami juga menyadari adanya pluralisme di negara ini. Idealnya, kami menginginkan agar kalau demokrasi, harus proporsional. Dan ini artinya yang menjadi pemimpin adalah orang yang (beragama) Islam. Dan kalau kita lihat sekarang, ya, masih Islam Pancasila. Kecuali kalau masyarakat kita pemahamannya sudah tinggi, sekarang belum. Misalnya, masih banyak yang keberatan dengan hukum pancung. Padahal, persoalannya, bagaimana hukum ini bisa tegak dan rakyat aman. Kita juga tidak boleh seenaknya pada (umat) nonmuslim.

Apakah ide besar itu akan merujuk kepada Masyumi?

Ya, tetapi moderat. Saya bertemu dengan (pengamat politik) Bill Lidlle selama dua jam. Semula Lidlle mengatakan bahwa ia mendapat kesan saya orang radikal, ternyata ia mengaku kesan itu keliru. Saya mengatakan padanya bahwa saya moderat. Kalau saya radikal, saya tidak akan datang memenuhi undangannya, karena di mata saya ia kafir. Dua wartawati Bangkok Post juga heran karena saya menerima mereka dengan baik. Saya mengatakan, yang penting Islam jangan diganggu. Untuk yang satu itu kita harus tegas.

Bagaimana Anda melihat sosok Nurcholish Madjid?

Dari sisi konsistensi ucapan: Islam yes, partai Islam no, kita mesti salut. Komitmennya pada Islam juga jelas. Cak Nur adalah salah seorang yang menuntut sidang istimewa ini tetap berlangsung. Dia seorang humanis yang menghindari benturan, dan tidak masuk politik praktis. Namun, dari segi akidah, lain masalah. Kita tidak bisa memberi toleransi pada pernyataannya "tiada tuhan selain Tuhan", dan yang sejenisnya.

Kalau Gus Dur?

Kalau dia, sih, tidak usah dikritik lagi. Dia sudah kelewat baik, ha-ha-ha. Ia kan sudah makrifat, sudah setara dengan wali….

Anda pernah bekerja di perusahaan Jan Darmadi. Bagaimana sebetulnya hubungan Anda dengan dia setelah ia tahu aktivitas Anda?

Dia malah mendukung, padahal umat Islam yang lain juga belum tentu. Ketika saya ditahan, gaji saya tetap jalan terus. Dan ia telepon Edy Nalapraya, "Margono teman gua, jangan digebukin." Kita karib, baik. Saya menghormati dia, sampai sekarang saya masih telepon. Ia bukan jenis kuffar, karena ia tak pernah punya rencana-rencana soal Islam.

Anda tidak merasa bersalah karena kerja dengan seorang konglomerat?

Tidak, karena saya bekerja dan tidak dikasih gratis. Saya menjual tenaga saya, profesi saya, keahlian saya dalam manajemen internal. Kami saling membutuhkan. Sewaktu saya ditahan, pada hari kesepuluh, anak saya meninggal. Jan Darmadi datang ke istri saya saat orang takut untuk datang. Gaji juga tidak berhenti. Saya dibayar penuh meskipun tidak bekerja selama enam bulan. Begitu penahanan selesai, saya berpikir untuk keluar. Saya khawatir ia bisa kena palak karena saya. Apa kata dia? "Ah, lu..., gua bilang juga jangan main politik, lu tetap nekat." Akhirnya dia malah memberi saya cuti setahun dengan gaji penuh. Malah saya diberi mobil. Tidak sampai dua bulan dia telepon, "Kerja di mana lu?" Saya jawab, "Loh, kan ente suruh istirahat." Jan tertawa. Dia memang kafir, namun tidak kuffar. Saya ini tidak segarang yang dikatakan orang. Lihat penampilan saya, apa seremnya?

Omong-omong, duit Anda dari mana, sih?

Ya, banyak, dari kantong pribadi, saya kan punya deposito lumayan sebelum pensiun dari kerja. Ada juga yang dari para pengusaha. Tapi tidak bisa saya sebutkan karena rahasia perusahaan, ha-ha-ha.... Yang jelas kami tak pernah dapat dari luar negeri seperti mereka.

Bagaimana cara Anda mengumpulkan massa?

Gampang, kita kan punya kantong-kantong. Tinggal telpon saja, beres. Apalagi bila ada biaya transportasinya. Anak-anak itu kan demomaniak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus