Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA dikenal selalu bersuara lantang. Bahkan setelah menjadi bagian dari tatanan birokrasi, Anwar Nasution tak kehilangan sikap kritisnya. Be-lakangan, ia getol mengkritik penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Maklum, dari audit yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan, lembaga yang dipimpinnya, ada Rp 24,51 triliun dana tersangkut di rekening sejumlah instansi pemerintah. Semuanya belum disetor ke kas negara.
Pejabat di Departemen Keuangan berdalih, dana itu dibersihkan dulu dari kewajiban. Seperti dalam penerimaan minyak dan gas bumi, harus dibayarkan dulu pajak pertambahan nilainya. Pertanyaannya, kata Anwar, ”Berapa lama dibersihkan? Kan ada bunganya. Ini sama saja dengan korupsi.”
Ayah satu anak ini memasuki birok-rasi sejak delapan tahun silam, setelah 35 tahun bergelut di dunia akademis. Ketika itu, ia berkisah, Syahril Sabirin—Gubernur Bank Indonesia—berkunjung ke rumahnya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Ia ditawari jabatan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia.
Ia menolak. ”Aku lagi menikmati gajiku yang besar ini,” kata mantan dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu. Ketika itu, dengan menjadi konsultan di berbagai perusahaan, penghasilannya ribuan dolar per bulan. ”Belum lagi akomodasi kelas satu jika ke luar negeri.”
Rupanya Syahril tahu betul ”kelemahan”-nya. Kata Syahril, seperti ditirukan Anwar, ”Masak, kamu mau makan dari asing, bangsa sendiri dibiarkan terpuruk?” Pancingan ini berhasil. ”Langsung mendidih darah saya mendengar ucapan itu,” Anwar mengenang.
Lepas dari Bank Indonesia, pria kelahiran Tapanuli, Sumatera Utara, 65 tahun silam ini mendapat tawaran menjadi guru besar di Kyoto International School, Jepang. Setelah semua persiapan berangkat selesai, termasuk urusan tempat tinggal dan calon sekolah anaknya, muncul ”undangan” untuk tetap di birokrasi. Begitulah, penggemar golf, lari-lari di treadmill , dan angkat beban ini tidak bisa menolak tawaran untuk menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) periode 2004-2009.
Ditemui Herry Gunawan dan Maria Hasugian dari Tempo di kantornya, Kamis pekan lalu, Anwar Nasution tetap bicara lantang, segar, dan sesekali diikuti gerak tubuh dan tangan.
Seperti kerap Anda kritik, laporan keuangan pemerintah masih lemah, banyak pemasukan yang tidak dilaporkan dengan baik. Bisa lebih terperinci?
Ini kan warisan Orde Baru. Dana tersimpan di ribuan rekening. Untuk penerimaan negara bukan pajak, semua instansi pemerintah punya. Mereka menarik dana, menyimpan, hingga menggunakan sendiri. Persis kasus yang dialami Rokhmin Dahuri. Seperti itulah yang masih berlangsung. Banyak rekening yang tidak diketahui.
Selain terkait dengan rekening?
Ada anak perusahaan atau dana pensiun. Bahkan Bank Indonesia sendiri kan punya perusahaan? Mereka mengelola dana sendiri. Padahal, kalau mengalami kerugian, induknya yang dirongrong.
BPK sendiri pernah mengaudit rekening di sejumlah instansi pemerintah. Bagaimana hasilnya?
BPK memang pernah menemukan sekitar 1.300 rekening senilai Rp 8,5 triliun. Memang belum semuanya. Tapi kan harus dimulai? Akhirnya kan ditindaklanjuti oleh Departemen Keuangan, yang kemudian menemukan lebih banyak lagi rekening.
Departemen Keuangan menemukan 3.195 rekening senilai Rp 17,624 triliun, dan banyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana menurut Anda?
Itu urusan dia (Departemen Keuangan—Red.) sebagai bendahara negara. Boleh saja instansi punya rekening, tapi harus dilaporkan dalam APBN, agar bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semuanya harus tertib dan transparan. Kita mengalami krisis kan lantaran tidak transparan? Semua informasi, dari kesehatan perbankan hingga neraca pembayaran, bohong. Jadi, untuk saya, sementara cukup dilaporkan saja. Di luar negeri juga begitu.
Mengapa begitu?
Ini juga bisa menghindari kecemburuan antarinstansi. Nanti, jika ada instansi yang kekurangan dana, karena pemerintah tahu ada dana lebih di instansi lain, kan bisa di-share? Biasanya yang rekeningnya gemuk instansi yang punya kuasa.
Bagaimana kalau semuanya langsung masuk ke kas negara?
Ya, kas negaranya ditertibkan dulu. Kas negara kita kan seperti bubu (alat tangkap ikan dari bambu—Red.). Masuk gampang, keluar susah. Giliran diminta, prosedurnya rumit. Pakai sogok pula. Bayangkan, kalau uang bayaran sekolah langsung masuk ke kas negara, bagaimana sistem pengajaran berjalan baik, kalau untuk bayar-bayar susah?
Kalau rekening di instansi dibiarkan, nanti bisa dipinjamkan ke swasta, seperti yang terjadi pada rekening di Departemen Kehakiman.…
Ya, ini memang masalah serius. Malu kita!
Masalahnya, tiap instansi pemerintah punya puluhan rekening.…
Apa kau pikir Departemen Keuangan itu punya satu rekening? Kagaklah. Ada banyak itu. Setiap direktorat jenderal kan jadi kerajaan sendiri. Inilah yang harus ditertibkan. Harus ada konsolidasi. Kalau tidak, bisa disebut kejahatan. Kami sudah melaporkannya ke penegak hukum.
Mengapa tidak ada tindak lanjutnya?
Ya, susah. BPK kan tidak punya penjara, ha-ha-ha.… BPK kan seperti malaikat, tugasnya mencatat yang baik dan yang buruk. Mau diapakan setelah dicatat, itu urusan Tuhan.
Di mana sih kendala menertibkan rekening-rekening itu?
Sebenarnya pernah ditertibkan ketika Departemen Keuangan dipimpin oleh Pak Boediono (sekarang Menteri Koordinator Perekonomian—Red.). Di anta-ranya soal sistem pelaporannya. Tapi implementasinya berjalan lambat sekali. Tidak ada tenaga yang menjalankan sistem akuntansinya. Bayangkan, ada kepala biro keuangan dengan latar belakang dokter hewan, ada juga insinyur.
Apa yang Anda usulkan?
Tidak perlu akuntan untuk mengurusi itu. Cukup sarjana diploma 3 yang menjalankan sistem akuntansi sederhana untuk pelaporan. Ini yang kami dorong dan kami sampaikan ke pemerintah agar sistem akuntansinya seragam. Menteri Keuangannya sudah kami panggil, dan kami juga sudah menyurati Presiden.
Lalu mengapa tidak berjalan?
Susah kalau tidak ada dukungan dari bosnya. Kalau tidak ada upaya memperbaiki, kan kita melanggengkan potensi hilangnya uang negara. Ingat, rakyat juga ingin tahu dari mana pemerintah menerima dana, disimpan di mana, dan digunakan untuk apa. Konflik di daerah yang terus terjadi kan akibat ada rasa curiga, tidak saling percaya terhadap pembagian kue itu. Di sinilah gunanya transparansi.
Dalam bahasa sederhana, apa yang bisa Anda katakan tentang penyebaran rekening yang tak terkontrol itu?
Sistem kontrol dan moralnya jelek. Maka itu, banyak korupsi. Kalau moral bagus, kan mendingan? Dengan sistem yang jelek ini, banyak uang negara yang raib. Bayangkan, ada pejabat yang sudah meninggal tapi masih menyimpan uang negara di rekening atas namanya.
Anda juga pernah mengkritik Mahkamah Agung, ketika mengeluarkan fatwa memisahkan dana bank BUMN dari keuangan negara….
Ya, itulah.… Kalau aparat hukumnya seperti itu, hancur negara kita. Kita mestinya belajar dari krisis. Ketika bank hancur lebur, semuanya menjadi tanggunganmu. Rakyat yang menanggung semua (lewat program rekapitalisasi—Red.). Kalau perusahaan mau untung, ya harus berani juga bangkrut. Jangan giliran rugi dialihkan ke negara. Kalau sekarang, ya seperti Lapindo itu. Ini kan semua juga gara-gara penegak hukum.
Apakah kebijakan itu salah?
Pemerintah memang harus mengurus rakyatnya. Tapi siapa yang menanggung? Pemerintah harus menuntut perusahaan itu sampai bangkrut. Yang terjadi kan tidak begitu. Saat ini kami sedang mengaudit kasus Lapindo ini, bekerja sama dengan Universitas Brawijaya. Penelitiannya sudah masuk, sekarang sedang diperiksa dan diolah. Kami perkirakan bulan depan sudah selesai.
Kembali ke penerimaan negara bukan pajak. Departemen Keuangan masih menganggap perlu adanya rekening-antara nomor 600 untuk menampung pendapatan minyak dan gas bumi. Setelah dikurangi kewajiban, seperti pengembalian pajak pertambahan nilai, baru masuk ke rekening 512.…
Tanya mereka, berapa lama rekening itu mau dibersihkan? Kalau lama, artinya makan bunga. Korupsi itu. Sama dengan kalau kau beli barang tapi kau kantongi diskonnya. Ini kan juga modus korupsi. Seperti kasus uang ganti perkara di kejaksaan terhadap mantan Direktur Utama Bank Duta Dicky Iskandardinata. Itu kan sudah dibayarkan sejak tahun 1980-an, tapi baru disetor ke kas negara tahun 2006. Coba hitung, berapa bunganya itu? Dan yang kembali cuma pokok.
Kira-kira berapa besar dana negara yang berpotensi hilang di situ?
Wah, banyak sekali. Itu kan pakai bunga umum, sekitar 8 persen per tahun. Angkanya triliunan rupiah.
Jangan-jangan ini juga yang menjadi alasan BPK tidak boleh mengaudit Direktorat Pajak.…
Ya, itulah. Sekarang kan undang-undangnya (RUU Pajak) sedang dibahas. Tapi kayaknya tetap tidak boleh. Entahlah, apa yang mereka lakukan terhadap DPR itu.
Pemerintah tampaknya masih berpegang pada perlunya kerahasiaan wajib pajak.…
Astaga! Hanya di republik ini BPK tidak boleh mengaudit pajak. Pergilah ke negara mana pun, Malaysia, Singapura, negara komunis. Jangan banyak omonglah mereka itu. Mereka seakan-akan jadi hukum.
Anda berniat melakukan uji material jika UU Pajak itu disahkan?
Saya sempat bilang, justru sebelum dijadikan undang-undang, diujilah dulu. Kalau memang setelah itu kami tetap tidak boleh mengaudit pajak, ya kami ikuti. Memang, kalaupun sudah menjadi undang-undang tetap bisa dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Tapi kan mereka (DPR) sudah melakukan studi banding ke luar negeri, mestinya tahu. Jadi, saya berharap pengujian dilakukan sebelum diundangkan.
Kemudian soal Rancangan Undang-Undang Akuntan Publik. Masih ada dua hal yang diributkan, akuntan sebagai auditor bisa terseret pidana dan rotasi akuntan dari satu klien....
Saya setuju dikenai pidana. Kalau tidak begitu, kan laporan bisa bohong terus. Laporannya juga bisa ganda. Bahkan saya sudah beberapa kali menulis surat ke Menteri Keuangan agar mencabut izin akuntan yang kinerjanya buruk sekali, seperti yang pernah mengaudit sebuah badan usaha milik negara. Tapi tidak ada respons.
Bagaimana dengan rotasi atau pembatasan maksimal lima tahun menjadi auditor satu klien?
Ini kan ingin memindahkan gaya Amerika ke sini. Tanya dululah ke para tokoh akuntan di negara kita. Bagi saya, yang penting kan hasilnya, mendorong perusahaan menjadi lebih baik. Perlu diingat juga, akuntan yang ada terbatas dan masih beredar di kota besar saja.
Apalagi kantor akuntan kita masih banyak yang berafiliasi dengan asing ya.…
Itu kan masalah reputasi. Selain itu, biaya riset dan teknologi itu mahal, sehingga diharapkan ada transfer dari kantor asing yang sudah mapan itu. Persoalannya, saat ini kita masih seperti menyuruh kambing bernyanyi. Habis waktu, ya ditanduk pula. Artinya, kita harus punya kemampuan menyerap pengalihan itu semua.
Kalau Anda rumuskan secara singkat dari yang sudah diungkapkan, kira-kira apa masalah keuangan negara kita ini?
Satu: sistem dan kualitas informasi yang jelek. Kedua: sumber daya manusia yang kurang mumpuni untuk membuat kebijakan yang baik. Terus terang saja, para menteri sebelumnya, seperti Ali Wardhana (mantan Menteri Keuangan), sekolahnya kan bukan Sabtu-Minggu terus dapat gelar doktor, ha-ha-ha…. Ketiga: implementasi kebijakan yang bagus. Ini yang tidak kita miliki sampai sekarang.
Anda selalu berbicara pedas….
Ya, kita harus tahu, krisis yang menimpa kita ini bukan akibat orang lain. Gak ada urusannya dengan Michel Camdessus (Direktur Pelaksana IMF, saat memberikan pinjaman ke Indonesia—Red.). Rakyat menjadi miskin karena dibuat pejabatnya yang korup. Jadi, semuanya gara-gara kita sendiri.
Mungkin gara-gara pendirian itu pemerintah Orde Baru enggan meng-ajak Anda ke birokrasi.…
Ya..., enggak tahulah. Beruntung saya tidak dibesarkan oleh Soeharto, sehingga saya bisa mencari makan keliling dunia. Pernah juga sih, L.B. Moerdani bilang ke saya, ”Saya beberapa kali mengusulkan nama Anda sebagai Menteri Keuangan, selalu ditolak.” Saya bilang, ”Alah, Pak Benny, itu hanya mungkin terjadi kalau Bapak menjadi presiden, ha-ha-ha....”
Anwar Nasution Jabatan: Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Tempat & tanggal lahir: Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 5 Agustus 1942 Pendidikan terakhir: Doktor ekonomi dari Universitas Tufts, Massachusetts, Amerika Serikat, 1982 Jabatan sebelumnya: Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (1999-2004) |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo