Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lelaki dengan Dua Wajah

Ia aktif di gereja dan dekat dengan tentara. Hingga kini keberadaannya tak terlacak.

23 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOLONG, doakan saya.” Hanya itu isi pesan pendek dari nomor telepon seluler Ongen Latuihamallo yang diterima seorang kawannya, awal pekan lalu. Setelah itu, telepon tersebut tak aktif.

Si pemilik telepon jadi buah mulut sejak dia dikenali sejumlah saksi mata sebagai pria misterius yang berbincang dengan Munir di Bandara Changi, Singapura, sesaat sebelum pesawat Garuda GA 974 lepas landas menuju Amsterdam, Belanda. Di atas pesawat itulah, dalam sembilan jam pertemuan itu, Munir tewas diracun. Pada tahun ketiga setelah pembunuhan itu, polisi memastikan racun arsenik dalam dosis mematikan masuk saat Munir sedang transit di Bandara Changi.

Ongen Latuihamallo, lelaki yang jadi omongan itu, sehari-hari lebih dikenal sebagai musisi. Sejak merantau ke Ibu Kota pada awal 1980-an, pergaulannya tidak jauh-jauh dari kalangan seniman musik. Dia aktif menciptakan lagu yang kadang diyanyikannya sendiri. ”Saya tidak percaya dia membunuh Munir,” kata seorang penyanyi asal Ambon, akhir pekan lalu. Dia meminta namanya tidak dipublikasikan karena khawatir keselamatannya terancam. Artis ini—yang sekampung dengan Ongen di Porto, Saparua—tidak sendiri. Sebagian besar kawan Ongen, baik di Belanda maupun di Indonesia, yang dihubungi Tempo, selalu berpesan agar nama mereka tidak dipublikasikan.

Keterangan mereka rata-rata seragam: kaget ketika tahu nama Ongen tersangkut kasus pembunuhan Munir. ”Saya langsung gemetar,” kata seorang kawan.

Di Jakarta, Ongen tinggal di kawasan Bintaro, Tangerang, bersama istri dan dua anaknya. Pria 50-an tahun ini biasa menyetir Opel Blazer. Istrinya bekerja di sebuah bank pemerintah. Seorang kerabat Ongen, Donny Pattinasarany, menampik permintaan Tempo agar difasilitasi berbicara dengan keluarga Ongen. ”Pihak keluarga dalam waktu dekat akan menunjuk pengacara, dan dialah yang akan bicara atas nama keluarga,” katanya.

Kawan-kawan di lingkaran dekat Ongen menilai pria ini tak punya potongan kriminal. ”Orangnya ramah dan mudah bergaul,” kata seorang warga Maluku di Belanda. Ia mengenal Ongen karena pria gondrong itu sering mengisi acara musik warga Maluku di Belanda. Sebaliknya sumber ini juga sering mengantar musisi Maluku dari Negeri Kincir Angin yang mengisi berbagai acara musik di Tanah Air.

Selain pembawaannya yang menyenangkan, Ongen juga dikenal trendi. ”Rambutnya selalu rapi, tak pernah berantakan,” kata sumber itu. Untuk menjaga kerapian mahkotanya, Ongen selalu menarik kacamata hitamnya ke atas kepala, menjadikannya bando. ”Dia sangat menjaga penampilan,” kata kawan Ongen yang lain. ”Bicaranya pelan, lembut, tidak seperti orang Maluku.”

Selain menyanyi, aktivitas Ongen yang cukup menonjol di Jakarta adalah mengisi acara kesenian gereja. Pada Desember lalu, misalnya, dia menyanyi dalam perayaan malam Natal di Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Silo, di Kampung Ambon, Cengkareng, Jakarta Barat. Meski bukan jemaat gereja itu, ”Setiap kali ada acara di sini, Ongen selalu kami undang,” kata seorang petugas gereja Silo, pekan lalu. Sebelum menghilang, menurut si petugas, Ongen sempat berduet dengan Joan Tanamal dalam perayaan Paskah pada awal April lalu.

Jika tak sedang mengisi acara musik di luar Jakarta, tak sulit melacak keberadaan Ongen. Sehari-hari dia biasa mangkal di studio rekaman Gemini Records di kawasan Gudang Peluru, Jakarta Selatan. ”Kami selalu nongkrong di sana, dari pagi sampai malam,” kata seorang penyanyi asal Ambon yang pernah rekaman bersama Ongen. Sudah belasan kaset yang dihasilkan Ongen di studio ini. Kebanyakan lagu rohani dan lagu Maluku. Selain membuat kaset, Ongen juga sempat merilis cakram video.

Ongen berasal dari Desa Porto, Saparua. Ayahnya adalah karyawan Pertamina di Maluku. Sebelum kerusuhan meletus di tanah Pattimura pada 1999, Ongen sering terlihat bersama kakak perempuannya di sekitar kawasan Ponegoro, Kelurahan Urimessing, Sirimau. Kakaknya itu lalu menikah dengan Richard Louhenapessy, sekarang Ketua DPRD Maluku.

Ketika kerusuhan mulai meluas, Ongen dikabarkan sering bolak-balik Jakarta-Ambon. Jika sedang pulang ke Ambon, dia selalu tinggal di Hotel Mutiara, Jalan Pattimura, atau Hotel Grand Soya di belakang kawasan Soya, Ambon. ”Dia biasa tinggal di sini tapi su hampir satu bulan seng pernah datang,” kata resepsionis Hotel Mutiara.

Sejumlah warga Maluku yang ditemui Tempo pekan lalu menyebut Ongen punya catatan hitam. Ia, misalnya, disebut-sebut dekat dengan jaringan penyelundup obat terlarang Amsterdam-Jakarta, selain juga bekerja untuk satu kelompok tentara—dua kabar yang mentah-mentah ditolak oleh kerabat Ongen.

Sejak 1990-an, Ongen disebut-sebut mulai dekat dengan seorang perwira intelijen TNI berinisial HR. Perwira inilah yang diduga mendekatkan Ongen dengan kehidupan intelijen. ”Setelah kerusuhan, memang tidak sedikit orang Ambon di Jakarta yang direkrut menjadi agen,” kata sumber Tempo, warga Maluku di Jakarta.

Ongen sempat pula disebut-sebut aktif menjadi panitia acara deklarasi Pemuda Maluku Bersatu, di sebuah hotel berbintang di Jakarta, awal 2006. Organisasi ini dibentuk untuk melanggengkan rekonsiliasi antar-kelompok masyarakat di Maluku. Salah satu pendiri perkumpulan ini adalah Letnan Jenderal (Purnawirawan) Suaidy Marasabessy—bekas Panglima Kodam Pattimura yang pernah menjadi Kepala Staf Umum TNI. Ongen pernah pula berkegiatan di Insan Artis Asal Maluku (Ina Ama)—organisasi yang menghimpun penyanyi daerah asalnya. Tapi, menurut Harry Souisa, Ketua Ina Ama, Ongen tak menjadi anggota lagi sejak Desember 2005.

Pada November 2006, Ongen masuk Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Pemusik Maluku (Pappma). Suaidy Marasabessy adalah salah satu penasihat perkumpulan tersebut. Suaidy kepada Tempo membenarkan bahwa ia adalah penasihat Pemuda Maluku Bersatu dan Pappma. Tapi, katanya, nama Ongen tidak terlibat dalam dua perkumpulan itu. ”Jadi jangan disangkutpautkan,” kata Suaidy. ”Nanti banyak orang sewot.”

Betulkah karena ”pergaulannya” itu Ongen punya banyak uang sehingga bisa bolak-balik Jakarta-Amsterdam? Tak ada yang bisa memastikan.

Sejumlah seniman Ambon yang ditemui Tempo umumnya bertanya-tanya tentang asal-usul isi kocek Ongen. ”Honor untuk sekali tampil di sebuah pasar malam di Belanda tak sampai ribuan euro,” kata seorang seniman Ambon di Holland. ”Tapi, saban tahun, Ongen bisa terbang dua-tiga kali ke Eropa.” Setiap kali ke Belanda, dia menetap dua pekan sampai satu bulan.

Menurut beberapa sumber Tempo, ada dua lokasi yang sering disinggahi Ongen dalam lawatannya ke negeri tulip itu. Yang pertama, kampung Ambon di Breda, kota kecil di Belanda selatan. Di sana dia sering terlihat di kediaman keluarga Pattinasarany. Lokasi kedua adalah di Waalwigk, tak jauh dari Breda. Di tempat kedua ini, Ongen menginap di rumah keluarga Latuihamallo. Di Waalwigk ini pula, tinggal seorang tokoh aktivis Republik Maluku Selatan bernama Umar Santi. ”Saya kira Umar mengenal Ongen,” kata sumber itu.

Yang menarik, ketika bertemu Suciwati, istri Munir, di Bandara Changi, Juni 2005, Ongen pernah mengenalkan diri sebagai Johan. Pada akhir pertemuan, ia menawarkan bantuan kepada Suci seraya menyerahkan secarik kertas. Di sobekan itu ia menuliskan nama Anton Saija (bukan Anton Saijah seperti ditulis Tempo pekan lalu) plus nomor telepon dan alamat email.

Sumber Tempo, seorang tokoh masyarakat Ambon di Jakarta, geleng-geleng kepala mengetahui kabar itu. Soalnya, Anton Saija bukan nama fiktif. Di Belanda, selain berprofesi sebagai pengusaha, Anton dikenal sebagai tokoh Republik Maluku Selatan. Penelusuran Tempo memastikan Ongen sempat sekali hadir dalam peringatan ulang tahun RMS di Belanda. Sayang, tak satu pun tokoh kelompok ini yang bersedia buka suara. Walhasil, jati diri saksi kunci kasus Munir ini masih berselimut tabir.

Wahyu Dhyatmika, Wenseslaus Manggut (Jakarta), Mochtar Touwe (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus