Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEDIKITNYA lima orang menyaksikan Munir di Bandara Changi, Singapura, 7 September 2004, beberapa jam sebelum kematiannya. Seorang saksi melihat aktivis hak asasi manusia itu sedang duduk di restoran Coffee Bean bersama dua orang lainnya. Demi alasan keamanan, namanya kami samarkan. Yang lain, termasuk Pollycarpus Budihari Priyanto, memberikan keterangan beragam. Inilah kesaksian mereka:
Mereka Duduk di Coffee Bean SA, 25 tahun, saksi mata, penumpang Garuda GA 974 kelas bisnis. —Wawancara dengan Tempo, Senin pekan lalu
MUNIR, bagi saya, bukan orang penting tapi sangat populer, seperti artis. Dia sering masuk televisi. Tempat duduk kami dekat dalam penerbangan Jakarta-Singapura. Jadi, kami sempat saling melihat walau tidak berbicara.
Ketika turun dari pesawat di Bandara Changi, saya ada di belakang dia. Dia berjalan sendirian. Di eskalator, di dekat Gate 42, ia terlihat menunggu seseorang. Setelah itu saya jalan. Kami punya waktu 45–55 menit di Changi. Waktu itu menjelang dini hari, bandara tidak begitu ramai.
Saat kembali ke ruang tunggu untuk naik pesawat, saya lihat Munir berbicara dengan dua orang. Mereka duduk di sofa di Coffee Bean. Saya dengan jelas melihat Munir karena saya berjalan dari arah depannya. Sedangkan dua orang lainnya membelakangi saya.
Satu orang yang bicara dengan Munir berambut panjang. Bukan gondrong, tapi lebih panjang daripada rambut rata-rata laki-laki. Orangnya putih agak tinggi. Saya tidak ingat apakah dia memakai kacamata. Seorang lainnya pria berkacamata.
Pollycarpus memiliki ciri-ciri yang mudah diingat: kelopak matanya terlihat agak bengkak. Ciri itu ada pada pria berkacamata. Demikian pula rambutnya, pakaiannya, gayanya semua mirip Pollycarpus. Tapi saya tidak bisa memastikan apakah pria itu Pollycarpus. Saya tidak mau menuduh.
Saat itu saya tidak melihat, atau tidak memperhatikan, mereka makan atau minum sesuatu. Yang pasti, Coffee Bean tutup saat itu. Saya ingat karena dua kali setahun saya pulang ke Jakarta dari Jerman, dan setiap kali transit di Changi saya selalu mampir ke sana. Malam itu saya tidak mampir.
Orang yang berambut panjang ikut dalam penerbangan menuju Amsterdam dan yang berkacamata tidak. Saya sempat bertemu dengan yang berambut panjang di ruang tunggu. Saya dikenalkan oleh Pak Josep Ririmase, penumpang yang duduk di samping saya. Sambil bercanda, Pak Josep mengatakan pria berambut panjang itu ”preman politik” yang banyak tahu tentang politik.
Saya Langsung ke Hotel Pollycarpus Budihari Priyanto, 46 tahun, Extra crew Garuda, tersangka kasus Munir. —Pengakuan seperti direkam pengacara Pollycarpus, M. Assegaf, Rabu pekan lalu
WAKTU saya meninggalkan pesawat di Changi, penumpang sudah sepi. Saya keluar dijemput oleh staf Garuda. Saya lupa siapa orangnya karena sudah tiga tahun lalu (dalam berita acara pemeriksaan, ia mengaku dijemput Choi, staf dari Garuda di Singapura—Red.)
Kemudian saya keluar lewat lorong, lalu mengikuti rombongan ke imigrasi. Saya cukup menunjukkan kartu ID dan paspor, tidak melalui pemeriksaan. Keluar dari situ saya menunggu di bus khusus untuk kru Garuda. Saya tunggu karena awak pesawat harus serah-terima dengan petugas ground.
Tidak lama kemudian, rombongan awak pesawat menuju bus. Kami lalu sama-sama ke hotel. Di situ ada Kapten Taufik Sobur, Brahmaniastawati, Yetty Soesmiyati, Oedi, ada teman-temannya. Karena sudah 17 bulan lalu, saya tidak hafal semuanya.
Soal mampir ke Coffee Bean dan bicara dengan Ongen? Coffee Bean saja saya tidak tahu. Ongen saya juga tidak kenal. Saya cuma tahu namanya dari koran dan majalah sekarang ini. Waktu check-in di Hotel Novotel kan ada jamnya, itu bukti saya langsung ke hotel (pada tagihan yang dikeluarkan Hotel Novotel Apollo seperti tercatat dalam surat dakwaan Polly, hanya tertera tanggal kedatangan dan keluar, tidak tertera jam—Red.).
Apakah saya keluar dan masuk lagi? Di Bandara Changi ada lorong-lorong khusus. Untuk penumpang disediakan lorong sendiri kalau penumpang mau keluar ada pintu keluar yang lewat imigrasi. Kalau saya mau masuk lagi ke ruangan itu, ya nggak bisa, wong penumpang transit dan penumpang keluar lorongnya berbeda. Penumpang yang transit dikasih kartu transit. Kalau orang masuk boarding room tanpa menunjukkan kartu transit, ya nggak bisa.
Ongen itu Teman Saya Josep Ririmase, 55 tahun, Saksi mata, penumpang kelas bisnis Garuda GA 974. —Keterangan kepada polisi, Maret 2005
SAYA turun di Bandara Changi berbarengan dengan penumpang kelas satu lainnya. Saya tidak melihat Munir di terminal Changi dan baru melihatnya pada saat akan boarding di ruang tunggu untuk naik pesawat. Ia bercakap-cakap sambil menuju pesawat dengan seseorang yang tidak saya kenal, belakangan diketahui orang itu Dokter Tarmizi.
Di ruang tunggu saya berbicara dengan Ongen Latuihamallo, seniman yang biasa main organ tunggal. Saya sempat mengenalkannya dengan seorang gadis penumpang kelas satu yang duduk di samping saya. Ongen duduk di kelas ekonomi, tapi nomor kursi tempatnya saya tidak tahu.
Saya bertetangga dengan Ongen di Ambon. Ia biasa main musik di gereja-gereja di Jakarta. Ia ikut dalam penerbangan menuju Amsterdam. Ongen orangnya agak tinggi, berkulit sawo matang, dan rambut gondrong. Perlu saya tambahkan bahwa saat saya mengenal Ongen, saya baru percaya bahwa dia teman saya waktu kecil di Ambon.
(Jumat pekan lalu, Josep menolak permintaan Tempo untuk wawancara. Dia mengatakan sudah memberi keterangan kepada polisi. ”Jadi tanyakan saja semua kepada polisi,” kata pejabat PT Garuda itu).
Ada yang Seperti Bawahan Munir Drupadi Dillon, 56 tahun, Saksi Mata, Penumpang Kelas Ekonomi Garuda GA 974. —Wawancara dengan Tempo, Rabu pekan lalu
WAKTU itu saya sedang liburan dari studi saya di Waginingen, Belanda. Kamis sebelum berangkat, saya dikenalkan kepada Munir oleh suami saya, H.S. Dillon. Ternyata penerbangan kami ke Belanda sama, jadi kami setengah janji akan berangkat bareng. Suami saya juga pesan untuk membantu Munir karena dia nggak tahu jalan. Utrecht, tempat Munir akan belajar, dan Waginingen kan dekat.
Saat ke Singapura saya naik pesawat Garuda pagi karena ada keperluan di sana. Malam-malam saya sudah di Changi, di sekitar ruang tunggu D42. Saya dengar pengumuman Garuda dari Jakarta tiba. Nah, karena saya sudah janji dengan Munir, saya betul-betul memperhatikan penumpang yang turun. Saya ternyata nggak bisa lihat dia. Mungkin karena dia kecil, sementara waktu itu banyak penumpang bule yang badannya tinggi-tinggi.
Sekitar 50 menit kemudian, sudah ada pengumuman lagi yang menyuruh penumpang masuk. Ruang tunggu penuh sekali. Saya masuk sambil cari-cari tempat berdiri. Saya lihat kiri-kanan: mana Munir? Ternyata dia sedang mengo-brol dengan dua orang sambil berdiri. Dia terlihat pucat tapi saya tak khawatir karena sebagai aktivis dia pasti banyak kesibukan sebelum pergi.
Munir itu pendek, kecil, dan kurus. Dua orang yang bicara dengannya sama tingginya. Hanya yang satu-nya lebih berisi, belakangan saya baru ingat itu Dokter Tarmizi Hakim. Satu-nya lagi saya tidak melihat mukanya. Rambutnya rapi pendek tapi tidak cepak. Saya yakin dia bukan Pollycarpus. Dia pakai shirt putih dan jaket krem.
Saya punya kesan pria itu seperti anak buah Munir. Soalnya, waktu mau masuk pesawat dia seperti hendak membantu membawakan tas Munir. Dia lebih muda dan jalannya munduk-munduk. Tapi saat itu juga saya berpikir, rasanya nggak mungkin Munir bawa anak buah. Dia kan bukan pejabat.
Jarak saya dengan mereka kira-kira lima meter, tapi di depan saya kursi-kursi penuh. Mereka bicara serius, asyik banget. Tangan Tarmizi dan Munir bergerak-gerak. Pria satunya terlihat lebih diam. Jelas itu bukan pembicaraan sekilas. Makanya saya nggak berani mengganggu bahkan hanya untuk bilang ”hai” ke Munir.
Kami Berpisah di Pintu Pesawat Dr Tarmizi Hakim, 60 tahun, Saksi Mata, Penumpang Kelas Bisnis GA 974 —Keterangan kepada polisi, November 2004
KETIKA masuk ruang tunggu di Changi, saya melihat Munir duduk seorang diri. Saya menghampiri dan menegurnya. ”Anda Munir, ya?” Dia menjawab iya. Lalu saya salaman dan memperkenalkan diri. Kami ngobrol-ngobrol sambil jalan lambat dan antre menuju pesawat.
Saya tanya dia ngapain ke Belanda? Dia bilang mau nge-charge satu tahun di Utrecht. Saya bilang, ”Wah, Indonesia kehilangan dong. Anda kan orang penting.” Dia mengatakan hal itu perlu untuk dirinya. Sambil masuk saya tanya lagi, ”Eh, ente milih siapa? (dalam pemilihan presiden 2004).” Dia menjawab, ”Ah, sama saja, Dok.”
Sambil berjalan saya bertanya dia kan pernah menulis Aceh, bagaimana sih, bisa beres nggak. Ia menjawab, ”Ah, itu tergantung niat, Dok.” Kalau niatnya beresin, tiga bulan juga beres.
Menjelang pembicaraan berakhir, saya keluarkan dompet dan saya memberikan kartu nama ke Munir. ”Kapan-kapan bila perlu silakan menghubungi saya.” Selama kami jalan dan ngobrol, saya tidak melihat ada orang lain yang seiring atau menegur Munir. Kami berpisah di pintu masuk pesawat.
Budi Setyarso dan Muslima
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo