Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bagaimana Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito menghadapi tekanan membuat kebijakan pandemi Covid-19.
Dari ivermectin hingga vaksinasi.
Apa saja yang dilakukan BPOM menekan penularan Covid-19?
KEPALA Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito mengemban tugas penting dalam kunjungan ke Amerika Serikat sejak Sabtu, 11 September lalu. Ia melawat ke Kota Boston, Massachusetts, hingga Kota Houston, Texas, guna menindaklanjuti kerja sama mewujudkan kemandirian vaksin dalam negeri. Di Houston, Penny menyambangi Baylor College of Medicine, lembaga riset vaksin Covid-19 dengan teknologi protein rekombinan. Perusahaan pelat merah PT Bio Farma menggandeng Baylor untuk mengembangkan vaksin badan usaha milik negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penny, 58 tahun, juga mendatangi Northeastern University di Boston, yang menghasilkan banyak peneliti vaksin berbasis messenger ribonucleic acid (mRNA). Kunjungannya ke kampus itu berkaitan dengan kerja sama antara PT Etana Biotechnologies Indonesia dan Walvax Biotechnology asal Cina. PT Etana, yang berbasis di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur, akan memproduksi vaksin Covid-19 dengan teknologi mRNA pertama di Tanah Air. “Peneliti-peneliti di perusahaan Cina itu banyak yang berasal dari Northeastern University,” tutur Penny dalam wawancara khusus melalui konferensi video dengan Tempo, Rabu, 8 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penny mengatakan kerja sama dengan lembaga-lembaga riset vaksin di luar negeri sangat krusial agar Indonesia tidak seterusnya bergantung pada vaksin impor. Sejak dihantam pandemi pada Maret 2020, pemerintah telah mendatangkan ratusan juta dosis vaksin berbagai jenis dari berbagai negara.
Indonesia sebenarnya sedang mengembangkan vaksin Merah Putih tapi, dari dua lembaga riset dan empat perguruan tinggi yang menggarapnya, baru Universitas Airlangga yang berkolaborasi dengan PT Biotis Pharmaceutical Indonesia yang menunjukkan perkembangan cukup signifikan. “Penelitiannya sudah sampai tahap praklinis tahap kedua dengan hewan uji monyet Macaca,” ujar Penny.
Kepada wartawan Tempo, Setri Yasra, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, dan Abdul Manan, Penny menjelaskan perihal pengembangan vaksin di dalam negeri, kerja sama produksi vaksin dengan lembaga riset luar negeri, hingga pengaturan distribusi obat untuk terapi pasien Covid-19. Ia juga menceritakan berbagai tekanan yang dihadapinya berkenaan dengan obat cacing ivermectin, izin penggunaan darurat vaksin Sinovac, sampai vaksin Nusantara yang kontroversial.
Apa tujuan Anda mengunjungi beberapa lembaga riset vaksin Covid-19 di Amerika Serikat?
Tentu untuk pembelajaran. Kami ingin berkomunikasi lebih jauh dengan pengembang Baylor yang mempunyai teknologi vaksin yang dibeli oleh BUMN. Itu akan dikembangkan di sini sehingga kita perlu menyamakan persepsi tentang tahap-tahap prosesnya. Sebab, kita ingin percepatan produksi vaksin juga dan BPOM akan mendampingi prosesnya. Lalu kami juga belajar lebih jauh tentang teknologi mRNA. Ini berkaitan dengan Etana yang produknya akan menjalani uji klinis di Indonesia dan mendapatkan transfer teknologi.
Bagaimana konsep kerja sama dengan Baylor College of Medicine?
Kita membeli teknologinya. Tapi pengembangannya, dalam bentuk penghiliran, bisa dilakukan oleh Bio Farma. Jadi ada kepemilikan Bio Farma. Ini agak berbeda dengan vaksin Merah Putih yang semuanya dari awal. Teknologi dasarnya betul-betul karya anak bangsa. Tapi dari enam lembaga banyak sekali hambatan masing-masing.
Apa saja hambatannya?
Institut Teknologi Bandung, misalnya. Saya sudah melaporkan kepada Pak Luhut (Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan) tentang kondisi ITB. Saya pernah datang ke sana dan berdiskusi. Para peneliti ITB itu punya passion, komitmen, dan hasil riset yang sudah baik. Tapi kondisi fasilitas laboratorium yang dibutuhkan untuk mengembangkan vaksin ke tahap praklinis dan uji klinis yang memenuhi kapasitas BSL-3 (biosafety level 3) tidak ada. Seharusnya diberikan anggaran atau difasilitasi. Sebetulnya ini bukan tugas saya. Tapi hal-hal tersebut perlu disampaikan.
Bagaimana tanggapan Luhut?
Pak Luhut sangat menyambut baik karena memang itulah tugas pemerintah, yaitu mempertemukan para peneliti dengan mitra industri, memfasilitasi, memberikan insentif, atau bisa juga memberikan anggaran untuk pelaksanaan uji klinis yang memakan biaya cukup tinggi.
Bagaimana dengan vaksin yang dikembangkan PT Etana?
Etana bekerja sama dengan Walvax Biotechnology, perusahaan di Cina yang mengembangkan teknologi vaksin mRNA. Saya lihat di balik itu para penelitinya memang PhD-PhD dari Amerika, terutama Boston dan Cambridge. Kedua daerah itu seperti pusat pengembangan farmasi, terutama biofarmasi. Ada universitas-universitas besar di sana, misalnya MIT (Massachusetts Institute of Technology). Industri-industri farmasi juga ada di sana, seperti Moderna dan Sanofi. Silicon Valley-nya biopharmaceutical dan pharmaceutical ada di sana. Peneliti-peneliti di perusahaan Cina itu banyak yang berasal dari Northeastern University di Boston. Mereka sudah berpengalaman, pernah bekerja di Moderna, Pfizer, dan sebagainya.
Sejauh mana kesiapan PT Etana memproduksi vaksin mRNA?
Mereka segera uji klinis karena kami sudah mengeluarkan izin untuk melaksanakan uji klinisnya. Itulah kemarin kami ke Etana dengan Pak Luhut, ada kaitannya dengan vaksin teknologi mRNA yang akan uji klinis di Indonesia. Walvax akan mentransfer teknologi ke Etana. Pusat produksinya di sana juga dibangun dan dikembangkan. Kategori Etana sebagai industri farmasi sebenarnya baru. Tapi Etana sudah punya fasilitas good manufacturing practice untuk produk biologi. Sebelumnya produknya bukan vaksin. Sekarang tinggal mengubah saja menjadi fasilitas untuk pembuatan vaksin dengan teknologi mRNA.
Apakah prospek vaksin ke depan menggunakan teknologi mRNA?
Teknologi mRNA adalah state-of-the-art technology untuk obat dan vaksin ke depan. Teknologi ini lebih cepat dibanding inactivated virus. Jika menggunakan inactivated virus, kita menanganinya dengan virus betulan, mengembangkannya lebih sensitif, dan lebih tidak stabil. Aspek keamanannya lebih bisa dipercaya karena teknologinya sudah lama teruji. Sementara itu, vaksin-vaksin mRNA belum mendapatkan data cukup lama yang dikaitkan dengan keamanannya. Tapi efikasinya di atas 90 persen karena lebih stabil. Para peneliti di Etana menceritakan nanti mereka cepat sekali memproduksi volume vaksinnya dengan teknologi mRNA. Akhirnya vaksin dengan teknologi mRNA bisa lebih murah.
Seperti apa peran BPOM dalam mewujudkan kemandirian vaksin?
Membangun kemandirian vaksin harus dimulai dari penelitian. Vaksin Merah Putih itu adalah salah satu bentuk kemandirian. Kami sampai membuat satu peta jalan dan standar pengembangan vaksin. Dimulai dari tahap skala laboratorium, skala pilot, skala produksi. BPOM bisa mendampingi di tahap mana saja. Tapi BPOM paling bertanggung jawab saat sudah memulai penghiliran, ketika sudah diuji dengan manusia. Tahap riset sebenarnya bukan BPOM yang bertanggung jawab.
Siapa yang bertanggung jawab di tahap riset?
Sekarang alhamdulillah sudah ada BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Tapi BRIN datang di saat tengah-tengah seperti ini. Jadi masih menata juga. Sementara vaksin Merah Putih sudah berjalan dengan platform berbeda. Dari enam lembaga yang bergerak, tidak semua sudah punya mitra industri. Baru Biotis yang mendapat sertifikat CPOB (cara pembuatan obat yang baik) untuk vaksin manusia. Itu adalah salah satu terobosan.
Dengan vaksinasi yang meluas di Indonesia, bagaimana riset vaksin Merah Putih mendapat responden uji klinis?
Ini sedang menjadi pembicaraan. Harusnya memang yang menerima vaksin uji klinis adalah mereka yang steril. Istilahnya yang antibodinya belum terbentuk sama sekali dan yang sehat.
Apa solusinya?
Ada juga yang akhirnya dijadikan opsi untuk booster. Jadi formula perhitungannya nanti menyesuaikan saja. Ada baseline antibodi yang sudah terbentuk kalau memang sulit untuk mencari orang yang belum divaksin.
Apakah ada kemungkinan mengambil responden uji klinis dari negara lain?
Tetap orang Indonesia. Sedang didiskusikan bagaimana mendapatkan subyek yang tepat.
Sejak awal masa pandemi, berbagai obat yang diklaim mampu mengobati Covid-19 bermunculan, dari Lianhua Qingwen sampai ivermectin. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sebetulnya sudah ada Lianhua yang mendapatkan izin edar di Indonesia. Dia tidak mengandung ephedra, substansi yang bisa menghasilkan efek berbahaya. Saat itu kami perbolehkan produk Lianhua yang mengandung ephedra masuk sebagai donasi. Tapi dengan persyaratan khusus, harus di bawah pengawasan dokter. Makanya hanya boleh diberikan di fasilitas kesehatan yang memang sudah tercatat dalam daftar pemberi dan penerima donasi. Tapi kenyataannya produk donasi itu ada di peredaran online. Jadi sudah tidak memenuhi ketentuan sesuai dengan kesepakatan awal. Untuk itulah kami tarik dari peredaran.
Bagaimana dengan ivermectin?
Untuk ivermectin, sudah jelas kami mencarikan jalan keluar terbaik karena memang belum ada data yang menunjukkan ivermectin adalah obat Covid-19. Di negara mana pun sudah ada uji klinis yang lain, tapi belum menunjukkan hasil. Bahkan sekarang FDA (lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat) saja sudah melarang.
Anda mengatakan BPOM selama ini merujuk pada standar regulasi FDA ataupun Badan Kesehatan Dunia. Jika mengacu pada FDA, mengapa BPOM belum melarang ivermectin?
Untuk keluar dari polemik ivermectin beberapa waktu lalu, BPOM mencarikan jalan untuk melindungi masyarakat. Walaupun ia sudah mendapat izin edar sebagai obat cacing parasit, kalau untuk Covid-19, belum. Makanya harus diberikan melalui uji klinis.
Uji klinis ivermectin sudah dilakukan sejak Juli lalu. Bagaimana hasilnya?
Kami sudah memberikan izin untuk uji klinis, dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dengan delapan rumah sakit. Kemudian kami buka lebih luas lagi karena uji klinis hanya di rumah sakit tertentu dan dengan jumlah subyek tertentu. Kami keluarkan lagi peraturan selanjutnya, yaitu perluasan akses untuk produk yang sedang diuji klinis. Tapi tetap terkontrol. Pertama, harus ada permintaan izin rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan mana saja yang meminta untuk memberikan ivermectin. Kedua, harus ada resep dokter. Jadi datanya bisa masuk ke dalam data uji klinis dan ada pengawasan. Uji klinis rencananya tiga-enam bulan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny Kusumastuti Lukito meninjau fasilitas produksi vaksin Covid-19 di PT Etana Biotechnologies Indonesia, 7 September 2021. Dok. BPOM
Anda dan BPOM terus terseret dalam polemik vaksin Nusantara. Apakah ada kemungkinan BPOM akan melakukan uji klinis?
Yang namanya vaksin sudah ada definisinya, standarnya, tahap-tahapnya, dan pakemnya. Kalau tidak bisa mengikuti pakem tersebut, ya, tidak bisa mendapatkan izin edar dari BPOM. Terapi sel dendritik sifatnya autologous. Sangat personal. Yang bertanggung jawab adalah dokter atau tenaga kesehatan yang melakukannya. Bukan BPOM. Yang bisa melakukan registrasi ke BPOM harus memenuhi standar yang berlaku umum dan akan dikomersialkan. Artinya, baru mendapatkan izin edar dari BPOM jika bisa dibuat massal.
Kementerian Kesehatan menyatakan vaksin Nusantara dapat diakses oleh masyarakat dalam bentuk layanan berbasis penelitian secara terbatas. Benarkah BPOM juga memberi persetujuan?
Tidak ada kaitannya dengan BPOM karena pemberian terapi itu di fasilitas pelayanan kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan. Tentu Kementerian Kesehatan punya standar. Tapi kami yang masih tetap dikejar-kejar. Saya kira harusnya Kementerian Kesehatan justru yang dikejar.
Anda konsisten menyatakan vaksin Nusantara tidak memenuhi kaidah penelitian dan pengembangan vaksin meskipun banyak mendapatkan tekanan dari berbagai pihak. Bagaimana Anda bisa tetap teguh?
Saya akan berhadapan dengan siapa saja, apa pun titelnya, selama aspek-aspeknya dikaitkan dengan saintifik. Karena itu sudah sesuatu yang jelas. Saintifik, etika, dan nilai-nilai yang berlaku universal, saya akan menegakkan dengan segala konsekuensinya. Itu sudah menjadi sikap saya. Sumber kekuatan saya, pertama, saya meminta dari Tuhan untuk diberikan perlindungan. Kedua, ada standar, ada referensi untuk saya. Plus tentunya saya bicara dengan banyak pihak dan di belakang saya adalah para saintis. Itu adalah penguat saya sebagai pengambil keputusan. Alhamdulillah Bapak Presiden juga sangat mendukung, percaya kepada BPOM.
Dewan Perwakilan Rakyat paling keras memberikan tekanan kepada BPOM soal vaksin Nusantara. Dengan sikap BPOM terhadap vaksin Nusantara, apakah Anda tidak khawatir akan mengganggu hubungan kelembagaan dengan DPR?
Masyarakat yang menilai. Saya percaya civil society melihat mana yang benar dan mana yang salah. Masyarakat yang akan membela kami. Saya percaya sekali kalau kita melakukan tugas dengan ikhlas, dengan niat yang besar untuk masyarakat, selalu ada pertolongan dalam bentuk apa pun. Itu sudah saya buktikan.
Dengan semangat mengatasi pandemi dengan cepat, beberapa lembaga negara dan kementerian pernah mengambil kebijakan yang kontroversial dan berimbas pada BPOM. Anda pernah menghadapi tekanan dari pemerintah karena hal ini?
Saya banyak mendapat dukungan di pemerintah. Misalnya saya mendapatkan tekanan di forum, pasti ada yang membela saya. Kuncinya adalah selama yang kita sampaikan rasional, berbasiskan suatu data atau informasi yang rasional, saya kira rasionalitas itu tidak bisa ditolak. Kami selalu membuat argumen rasional yang bisa diterima oleh banyak pihak. Saya banyak sekali mendapat dukungan dari jajaran kabinet. Menteri-menteri koordinator mendukung saya. Pak Luhut, misalnya, selalu mengatakan, “Bu Penny, saya ada di belakang Ibu. Ibu sampaikan apa yang benar.”
Apa persoalan yang Anda hadapi ketika itu?
Waktu itu masalah ivermectin. Pak Luhut sempat nanya, “Bu Penny, ada apa tuh soal ivermectin?” Saya menjelaskannya berapi-api. Saya pikir Pak Luhut yang mau menekan saya. Ternyata dia bilang, “Bu Penny, saya sudah selesai. Saya hanya ingin tahu. Ya sudah, Bu Penny katakan itu. Mau bagaimanapun juga berani mengatakan.” Itu salah satu contoh. Kasus-kasus lain juga banyak.
Contohnya?
BPOM memang diuji sekali. Dari awal dulu soal obat Unair (Universitas Airlangga). Saya pikir dengan obat Unair sudah selesai. Ternyata ada yang lain, misalnya tentang emergency use authorization untuk vaksin Sinovac. Saya pikir soal vaksin Sinovac sudah ultimate dan setelah itu selesai semuanya. Eh, ternyata datang lagi, he-he-he…. Tapi itu tidak menyurutkan kami untuk tetap bekerja all out walaupun risikonya selalu ada.
PENNY KUSUMASTUTI LUKITO | Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 9 November 1963 | Pendidikan: S-1 Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (1988); S-2 Master in City Planning, Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat (1994); S-3 Teknik Lingkungan (Major) dan Urban and Regional Planning (Minor), University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat (2000) | Karier: Direktur Perkotaan dan Perdesaan Deputi Bidang Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2002–2005), Inspektur Bidang Kinerja Kelembagaan Inspektorat Utama Bappenas (2005–2007), Direktur Lingkungan Hidup Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Bappenas (2007–2008), Direktur Sistem dan Pelaporan Evaluasi Kinerja Pembangunan Bappenas (2008-2011), Anggota Komisi Nasional Perumusan Visi dan Agenda Pembangunan Pasca-Sasaran Pembangunan Milenium 2015 (2012-2014), Pejabat Fungsional Perencana Utama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2013), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (sejak Juli 2016) | Penghargaan: Satya Lencana Wirakarya (2006), Satya Lencana Karya XX Tahun dari Presiden RI (2011), Satya Lencana Karya XXX Tahun dari Presiden RI (2020).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo