Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Orang tua menganggap pembelajaran jarak jauh banyak kendala dan tidak efektif.
Anak-anak merasa bosan terlalu lama belajar dari rumah.
Sebagian besar orang tua setuju pembelajaran tatap muka dengan banyak catatan.
MAULANA Ihsan, siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya saat mulai mengikuti pembelajaran tatap muka. “Senang banget bisa kembali menerima bimbingan belajar langsung dari guru. Kan, beda ya, belajar online sama belajar langsung," kata Maulana saat ditemui di sekolahnya, Senin, 6 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maulana menjelaskan, banyak kendala saat ia belajar di rumah. Kadang ia mendapat gangguan dari suasana di rumah, seperti suara ibunya yang sedang mencuci atau mengobrol, juga adiknya yang berisik. "Kadang rebutan hape. Dikira adik aku lagi video call," ujarnya. Selain kurang bisa berkonsentrasi, Maulana kerap mengalami masalah jaringan Internet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau hujan turun, Maulana menambahkan, sinyal Internet pasti terganggu atau koneksinya menjadi lemot. Selain itu, saat bertanya kepada ibunya tentang materi pelajaran, bukannya mendapat jawaban, ia malah ditanyai apakah tidak menyimak penjelasan gurunya. "Jadi serba salah," tuturnya. Maulana juga sering dimarahi ibunya karena belum siap saat sudah menjelang masuk jam belajar.
Maulana masih beruntung karena bisa mengikuti pelajaran bersama teman-temannya di salah satu rumah secara bergantian. Tujuannya agar tidak bosan. Mereka belajar paling lama dua jam. Kadang mereka belajar pada pukul 08.00-10.00, kadang pukul 09.00-10.30. "Sisanya, kita mah main. Biasa main di lapangan, kucing-kucingan atau sepak bola," dia menambahkan.
SMP Negeri 1 Babakan Madang adalah salah satu sekolah di Kabupaten Bogor yang memulai percobaan pembelajaran tatap muka (PTM) pada Senin, 6 September lalu. Kepala SMP Negeri 1 Babakan Madang Tri Pangestuti mengatakan saat ini ia masih mendata jumlah siswa yang memilih PTM dan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dari total 1.003 siswa di sekolahnya. “Sekolah tidak memaksakan," ucap Tri.
Persetujuan orang tua adalah salah satu syarat penyelenggaraan pembelajaran tatap muka seperti dituangkan dalam surat keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Kesehatan, April lalu. Ketentuan itu juga menegaskan bahwa sekolah tetap mempersiapkan opsi pembelajaran jarak jauh untuk mengakomodasi orang tua yang masih belum mengizinkan anaknya belajar di sekolah.
Menurut data Kementerian Pendidikan, sebanyak 112.481 (41,29 persen) dari total 537.256 sekolah siap menerapkan PTM. Adapun sebanyak 159.922 (58,71 persen) menyatakan memilih PJJ. Untuk mengadakan PTM, sesuai dengan surat keputusan bersama empat menteri tersebut, sekolah harus mendapat izin dari pemerintah daerah dan orang tua.
Orang tua punya pengalaman berbeda-beda dengan anaknya selama menjalani PJJ sejak setahun lalu, yang berpengaruh terhadap keputusan menyetujui anaknya mengikuti PTM terbatas atau tidak. Joice Triatman, warga Pejaten, Jakarta Selatan, salah satunya. Anak Joice yang berusia 12 tahun kini belajar di sebuah sekolah internasional di Setu, Jakarta Timur.
Joice melihat anaknya merasa bosan selama masa PJJ karena lebih banyak belajar daring di kamar. Buntutnya, anaknya kerap mengeluh. Dari percakapan diketahui sang anak rindu bermain dengan kawan-kawannya. "Kasihan. Sebenarnya ingin sering ketemu temannya, tapi enggak bisa karena pandemi," ujarnya. Mereka hanya bisa bertemu seminggu sekali di sekolah. “Akhirnya, ia banyak main game online Roblox.”
Rasa bosan adalah satu dari banyak keluhan siswa yang menjalani PJJ selama masa pandemi. Dari survei Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan pada April dan Mei 2020, terungkap sebanyak 52 persen siswa mengeluh kurang berkonsentrasi dan 47 persen merasa bosan. Survei itu dilakukan terhadap kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua dengan 38 ribu responden.
Untuk mengatasi kebosanan buah hatinya, Joice berusaha terus memberikan pengertian. Dia kerap memberi tahu anaknya bahwa ia masih beruntung karena peralatan tersedia dibandingkan dengan kawan sebayanya di daerah pedalaman. "Jadinya kayak kaset rusak, pesan yang sama diulang terus," ucapnya.
Kania Sartono, pegawai bank swasta yang anaknya bersekolah di SMP Islam terpadu di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, punya pengalaman yang serupa. Nia melihat, selama masa PJJ, anaknya antara lain kurang teratur mengelola aktivitas keseharian. Selain itu, ia melihat kurangnya interaksi anaknya dengan guru selama belajar daring.
Siswi belajar secara online didampingi ibunya yang sedang melayani pelanggan di kawasan Bukit Duri, Jakarta, Juli 2020./TEMPO/M Taufan Rengganis
Saat PJJ berlangsung, Kania kerap melihat guru berusaha menertibkan murid yang tidak berkonsentrasi pada pelajaran. Guru juga selalu meminta siswa menyalakan kamera. Ada siswa yang beralasan kameranya rusak. Komunikasi dengan guru memang salah satu hal yang cukup banyak dikeluhkan siswa. Dalam hasil survei Kementerian Pendidikan tahun lalu itu, sebanyak 52 persen mengaku punya persoalan tersebut.
Widyasih Ambarsari, warga Tangerang Selatan, Banten, yang anaknya bersekolah di SMP Islam Al-Izhar, juga merasa anaknya tak maksimal belajar selama masa PJJ. Tidak ada lagi kebiasaan membaca buku paket karena semua materi disajikan online. "Untungnya dia tidak suka game. Dia sukanya nonton musik Korea," kata Ambarsari. "Orang tua memang jadi lebih kerja keras mikirin alternatif kegiatan di luar jam sekolah."
Bagi keluarga yang ekonominya pas-pasan, masalah lebih kompleks. Hal ini dialami oleh Heni Juarti, 38 tahun, warga Kota Jambi. Anaknya tiga orang. Anak pertamanya duduk di kelas I di pondok pesantren, anak keduanya kelas II di SD negeri, yang terakhirnya masih di taman kanak-kanak. Sudah terbayang kerumitannya.
Heni mengawali hari dengan mengambil potret anaknya sedang berpakaian seragam sekolah untuk dikirimkan ke guru buat mengisi presensi harian. Selanjutnya, ia menerima satu per satu tugas untuk tiga anaknya dari guru dan sekolah berbeda. “Padahal HP cuma satu. Terpaksa anak-anak bergantian mengerjakan tugas dari guru," tutur Heni saat ditemui di rumahnya di Selincah, Jambi, Rabu, 8 September lalu.
Sejak awal pandemi dan pemberlakuan PJJ, Heni mengalami beberapa kendala terkait dengan pembelajaran anak-anaknya. Misalnya, ia tidak bisa menjelaskan dengan baik tugas dan pelajaran kepada anak-anaknya. Kesulitan memahami pelajaran anak juga dikeluhkan sekitar 36 persen orang tua menurut hasil survei Kementerian Pendidikan.
Awalnya, Heni merasa kebijakan PJJ tepat untuk mengantisipasi penularan Covid-19. Namun kini ia melihat anak-anak juga menginginkan belajar langsung di sekolah. Anaknya yang duduk di kelas II SD beberapa bulan mengikuti PTM. Selepas kenaikan kelas, ia tidak pernah bertemu dengan guru dan teman sekelas. "Anak-anak juga rindu belajar di sekolah," katanya.
Kania Sartono mendukung dimulainya PTM karena anaknya sudah divaksin dan mulai terbiasa memakai masker serta tahu harus selalu membawa cairan pembersih tangan. "Jadi saya pikir sudah siap, kok," ujarnya. Ambarsari punya sikap sama. Sekolah anaknya memang masih menyelenggarakan PJJ dan mungkin mengadakan PTM pada November nanti. "Setelah anak divaksin, ada sedikit ‘keberanian’ untuk belajar tatap muka.”
Meski tahu PJJ banyak kendala, orang tua tak lantas yakin menyetujui anaknya mengikuti PTM. Machmud Nasrudin Arsyad, misalnya. Anaknya yang bersekolah di SD Islam Terpadu Salsabila Klaseman di Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, bersiap mengikuti PTM pada Rabu, 15 September mendatang. Di sekolah itu belum semua guru divaksin. "Siapa yang bisa menjamin anak saya tidak terinfeksi," ucapnya, Rabu, 8 September lalu.
Ambarsari menambahkan, anaknya sampai sekarang tidak tahu kelasnya seperti apa. Walau sesekali ditayangkan suasana sekolahnya secara online, rasanya tetap beda. Ia cenderung menyetujui pembelajaran tatap muka dengan banyak catatan panjang soal protokol kesehatan dan vaksinasi. "Mau sampai kapan sekolah di rumah terus?" tanya Joice Triatman. Dengan virus yang mungkin terus bermutasi, kata dia, orang tua perlu bersiap untuk hidup berdampingan dengannya.
M.A. MURTADHO (BOGOR), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), RAMOND EPU (JAMBI)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo