Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Merengap Ditiban Gugatan

Emiten bursa, termasuk badan usaha milik negara, terseret gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan kepailitan. Akibat kantong perusahaan kian tipis di masa pandemi.  

11 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Garuda Indonesia kalah gugatan di Pengadilan Arbitrase Internasional London.

  • Fenomena PKPU dan kepailitan memenuhi lantai Bursa Efek Indonesia.

  • Bisa menjadi noda negatif bagi lembaga keuangan.

TURBULENSI besar masih mengguncang tubuh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Belum tuntas menjalani sidang gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diajukan sejumlah kreditornya, emiten maskapai penerbangan milik negara itu dinyatakan kalah di pengadilan arbitrase internasional, London Court of International Arbitration (LCIA), pada Senin, 6 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Manajemen GIAA—kode saham Garuda di Bursa Efek Indonesia—tengah berkonsultasi dengan tim kuasa hukum. “Untuk mempertimbangkan langkah yang dapat dilakukan perseroan,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, Jumat, 10 September lalu. "Kami sepenuhnya menghormati dan menyikapi secara bijak hal-hal yang telah ditetapkan LCIA."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putusan LCIA adalah buntut dari gugatan Helice Leasing S.A.S dan Atterissage Leasing S.A.S, dua lessor yang menyewakan Boeing B737-800, perihal kewajiban pembayaran sewa pesawat Garuda. Gugatan diajukan ke pengadilan arbitrase pada Februari lalu.

Sebelum melayangkan gugatan itu, Helice telah dua kali menang di pengadilan Belanda dan Prancis pada Maret dan Mei tahun lalu. Ketika itu, anak perusahaan Goshawk Aviation ini memohon sita jaminan atas dana rekening Garuda.

Helice juga sempat menggugat Garuda di pengadilan London, tapi ditolak pada Januari lalu lantaran perkara tersebut merupakan kompetensi arbitrase internasional. Baru sebulan kemudian Helice menggandeng Atterissage—masih bagian dari Goshawk—untuk menggugat di LCIA.

Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra. TEMPO/Tony Hartawan

Putusan LCIA memaksa Garuda membayar tunggakan sewa pesawat berdasarkan perjanjian ditambah bunga keterlambatan. Garuda juga harus membayar seluruh biaya penggugat yang harus dilunasi. Merujuk pada gugatan di pengadilan London yang diputus pada Januari lalu, total utang Garuda kepada Helice mencapai US$ 5,15 juta atau sekitar Rp 73,2 miliar, termasuk bunga.

Irfan menyatakan Garuda akan terus menjajaki negosiasi dengan Goshawk, yang berkantor pusat di Dublin, Irlandia. Tujuannya adalah perseroan bisa menyelesaikan kewajiban, lewat skema restrukturisasi dan strategi lain, di luar proses hukum yang sudah berlangsung. “Khususnya dengan memperhatikan aspek keberlangsungan usaha di tengah tekanan kinerja industri penerbangan di masa pandemi ini," ujar Irfan.

Seperti dialami banyak maskapai penerbangan, pandemi Covid-19 membuat kantong Garuda makin kering. Pendapatan usaha Garuda pada 2020 merosot tajam, hanya US$ 1,49 miliar, dari tahun sebelumnya yang sebesar US$ 4,57 miliar. Walhasil, kerugian perseroan tahun lalu membengkak hingga mencapai US$ 2,47 miliar—sekitar Rp 35 triliun. Sepanjang semester I 2021, GIAA masih tekor US$ 901,05 juta.  

Kekalahan di LCIA bukan satu-satunya sumber tekanan terhadap manajemen Garuda. Di tengah belum pulihnya bisnis perusahaan, Garuda masih menjalani sidang gugatan PKPU yang diajukan PT My Indo Airlines (MYIA), maskapai angkutan barang, sejak 27 Juli lalu. Sejak 2019, kedua perusahaan berkongsi dalam layanan kargo menggunakan pesawat B737-300F. Gugatan muncul setelah MYIA menagih pembayaran biaya sewa kepada Garuda sejak awal tahun lalu.

Jika tak ada aral, sidang kesimpulan dalam perkara PKPU ini akan digelar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Selasa, 14 September, pekan ini. Disinggung mengenai proses PKPU ini, Irfan hanya memberi jawaban pendek. “Semua masih dalam proses,” tuturnya, Kamis, 9 September lalu.

♦♦♦

GARUDA Indonesia hanya satu dari enam emiten di Bursa Efek Indonesia yang diberi notasi huruf “M”, penanda perusahaan sedang dalam proses permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Lima anggota bursa lain dengan notasi sama adalah PT Waskita Beton Precast Tbk, PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Pelangi Indah Canindo Tbk, PT Tridomain Performance Materials Tbk, dan PT Pollux Properti Indonesia Tbk. Adapun empat emiten lain mendapat notasi “B” alias sedang dalam proses permohonan pailit, yakni PT Pan Brothers Tbk, PT Golden Plantation Tbk, PT Grand Kartech Tbk, dan PT Mitra Pemuda Tbk.

Aktivitas pekerja di pabrik beton pracetak PT Waskita Beton Precast Tbk di Karawang, Jawa Barat. Dok. TEMPO/M. Iqbal Ichsan

PT Waskita Beton Precast, anak perusahaan PT Waskita Karya (Persero) Tbk, menghadapi permohonan PKPU hingga lima kali sejak awal tahun ini. Permohonan pertama datang dari PT Hartono Naga Persada. Namun permohonan itu akhirnya dicabut pada akhir Maret lalu. Setelah itu, tiga permohonan PKPU datang berturut-turut dari PT Existama Putranindo, PT Honindo Pratama Mandiri, serta PT Sinar Mutiara Sampurna dan PT Samudra Raya Jaya. Semuanya ditolak oleh hakim.

Belakangan, pada 1 September lalu, giliran PT Tatchi Engineering Indonesia melayangkan gugatan yang sama terhadap Waskita Beton. Lewat keterbukaan informasi, manajemen Waskita Beton Precast menjelaskan bahwa permohonan PKPU itu muncul karena ada permintaan pelunasan utang Rp 6,27 miliar oleh Tatchi Engineering dan Rp 835 juta oleh PT Dwi Karya Prima.

Sekretaris Perusahaan PT Waskita Beton Precast Tbk Fandy Dewanto memastikan deretan permohonan PKPU tersebut tidak berdampak signifikan terhadap operasi perusahaan. WSBP—kode emiten Waskita Beton—tengah melakoni restrukturisasi keuangan, termasuk terhadap sejumlah kewajiban kepada vendor. "Semoga usul restrukturisasi bisa diterima oleh semua vendor sehingga risiko PKPU lanjutan dapat diminimalkan," ucap Fandy, Jumat, 10 September lalu.

Anjloknya kinerja WSBP bermula dari merosotnya sumber pendapatan. Menurut Fandy, pandemi menyebabkan proyek yang dikerjakan perseroan terhambat. Walhasil, produktivitas dan likuiditas perusahaan turun.

Toh, Fandy memastikan harapan belum pupus. Waskita Beton bersama CCCC Fourth Harbor Engineering Co Ltd baru saja mendapat proyek pelabuhan Thilawa Shipyard Myanmar senilai Rp 15 miliar. Perseroan juga menargetkan beberapa proyek, seperti Cimanggis Cibitung Tollways, jalan tol Kayu Agung-Palembang-Betung, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air Wado Sumedang, rampung pada akhir tahun ini. "Diharapkan kondisi likuiditas lebih baik ke depannya," kata Fandy.

Pandemi juga memukul raksasa tekstil Pan Brothers, yang kini terseret dalam gugatan kepailitan dari PT Bank Maybank Indonesia Tbk. Permohonan pailit ini dilayangkan Maybank pada 2 Agustus lalu setelah majelis Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak gugatan PKPU terhadap Pan Brothers. Merujuk pada PKPU ini, Pan Brothers menunggak kewajiban senilai total Rp 62,91 miliar, berupa fasilitas pinjaman bilateral dalam rupiah dan dolar Amerika Serikat, dari Maybank.

Aktivitas produksi di pabrik garmen milik PT Pan Brothers Tbk di Boyolali, Jawa Tengah, Juli 2017. Dok.TEMPO/Rizki Putra

Sidang perdana kepailitan Pan Brothers masih berlangsung. Sekretaris Perusahaan Pan Brothers Iswar Deni mengatakan sebagian besar lender telah menyetujui rencana restrukturisasi yang diajukan perusahaan. "Operasi terus berjalan lancar tanpa pengurangan karyawan. Perseroan masih membayar bunga atas utang-utangnya," tutur Iswar, Jumat, 10 September lalu. Adapun kuasa hukum Maybank Indonesia, Budi Rahmad, menyatakan belum dapat berkomentar tentang permohonan pailit terhadap Pan Brothers.

Di mata peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, pandemi memang membuat banyak perusahaan kesulitan memenuhi berbagai kewajiban jangka pendek. Sengketa PKPU dan kepailitan menjadi jalan keluar yang wajar dalam bisnis untuk menyelesaikan persoalan tersebut.

Namun Abra menyoroti PKPU yang kini juga menyasar sejumlah badan usaha milik negara. Dia menilai kondisi tersebut unik lantaran BUMN selama ini mendapat dukungan besar dari pemerintah. “Sentimen negatif akan ada serta mempengaruhi citra dan kredibilitas BUMN tersebut,” kata Abra. PKPU dan kepailitan, dia menambahkan, juga bisa dipandang negatif di mata lembaga keuangan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus