Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Laporan ke Ombudsman didominasi oleh masalah pertanahan dan kepegawaian.
Ombudsman berharap ada sanksi bagi pemerintah daerah yang kurang patuh dalam pelayanan publik.
Aduan soal penjabat kepala daerah bisa diselesaikan paling lambat 90 hari.
OMBUDSMAN Republik Indonesia mendapat mandat dari Undang-Undang Ombudsman untuk mengawasi kepatuhan kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah dalam pelayanan publik. Jumlah laporan yang masuk ribuan. Kasus yang paling banyak diadukan adalah mengenai pertanahan, penerimaan pegawai, dan penanganan kasus di kepolisian. Selain menerima aduan, Ombudsman bisa memeriksa kasus yang menjadi sorotan publik, seperti kelangkaan minyak goreng kemasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ombudsman kini sedang menangani laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Indonesia Corruption Watch, serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi mengenai penetapan penjabat kepala daerah oleh Kementerian Dalam Negeri pada Jumat, 3 Juni lalu. Ombudsman memutuskan kasus ini masuk kategori reaksi cepat ombudsman (RCO). “Kalau masuk RCO, (penanganannya) maksimal tiga bulan atau 90 hari,” kata Ketua Ombudsman Republik Indonesia Mokhammad Najih di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta, Kamis, 16 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara sekitar satu jam, Najih menjelaskan kepatuhan pemerintah dalam melayani masyarakat. Doktor politik hukum dari Universitas Kebangsaan Malaysia ini menuturkan pula masalah tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan kelangkaan minyak goreng.
Apa saja kasus publik yang ditangani Ombudsman?
Ombudsman menyelesaikan sejumlah laporan masyarakat, terutama yang cukup menonjol. Itu, misalnya, yang berkaitan dengan kelangkaan minyak goreng dan seleksi aparatur sipil negara. Sampai April 2022, 337 dari ribuan laporan masyarakat mengenai penerimaan calon pegawai negeri sipil telah diselesaikan. Yang juga sedang menjadi perhatian kami adalah ihwal pertanahan. Ini masih mendominasi sampai sekarang, terutama penyelesaian pengurusan hak milik dan penyelesaian ganti rugi ketika ada penggunaan lahan untuk kepentingan umum.
Laporan ke Presiden kapan?
Laporan sudah diterima Presiden. Kami menyampaikan secara langsung laporan akhir tahun pada April lalu. Laporan triwulan pada Mei lalu disampaikan melalui surat. Itu sebagai bentuk pelaksanaan tugas yang menurut undang-undang harus melapor secara periodik dan tahunan ke presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Apakah Presiden memberikan catatan atas laporan itu?
Waktu kami bertemu Presiden, respons yang menarik adalah agar Ombudsman makin banyak mengambil langkah pengawasan di aspek pencegahan malaadministrasi. Salah satu yang jadi perhatian adalah hasil survei kepatuhan pada 2021. Dalam laporan akhir tahun ada perkembangan bahwa daerah yang masuk zona hijau makin banyak.
(Zona hijau merujuk pada wilayah dengan kepatuhan tinggi dalam pelayanan publik, zona kuning untuk kepatuhan sedang, dan zona merah untuk kepatuhan rendah).
Kepatuhan lembaga itu seperti apa?
Untuk kementerian, baru 24 kementerian. Yang mendapat zona merah kosong, zona kuning 7, hijau 17. Di lembaga, yang di zona kuning ada 3 dan hijau 12. Di 34 provinsi, sebanyak 13 masuk zona hijau, 19 kuning, dan 2 merah. Dari 98 pemerintah kota, 3 di zona merah, 51 kuning, dan 34 hijau. Untuk 416 pemerintah kabupaten, 87 di zona merah, 226 kuning, dan 103 hijau.
Apakah ada penghargaan dan hukuman atas kepatuhan ini?
Kami masih memberikan semacam saran perbaikan dan pendampingan. Kami belum sampai memberikan hukuman, yang bukan kewenangan Ombudsman. Ombudsman ranahnya kan pencegahan malaadministrasi. Harapan kami, karena ini menjadi bagian dari prioritas nasional, itu semestinya memberi pengaruh terhadap indeks kerja, mempengaruhi anggaran. Kami harapkan ke sana. Ini sedang kami diskusikan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional juga Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Menteri Dalam Negeri. Sebab, dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah ada ketentuan bahwa pemerintah daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman dapat diberi sanksi oleh Menteri Dalam Negeri.
Ombudsman memang tidak ada kewenangan memberi sanksi?
Tidak ada. Masyarakat memang sering kali menilai Ombudsman tidak punya taring. Tapi masyarakat harus paham bahwa Ombudsman sebagai pengawas eksternal fungsinya adalah magistrature of influence (lembaga pemberi pengaruh) dalam konteks teori kelembagaan negara. Tugasnya adalah memberikan pengaruh supaya ada perubahan, perbaikan, dan pembaruan. Jadi ranah kami bukan magistrature of action yang memberikan sanksi.
Bagaimana ihwal penetapan penjabat kepala daerah?
Ini memang masih dalam tahap verifikasi laporan. Pertama, apakah pelapor punya legal standing. Kedua, apakah obyeknya menjadi kewenangan Ombudsman, yaitu ada (dugaan) malaadministrasi. Ketiga, subyek yang dilaporkan apakah tepat. Dalam rapat pimpinan Ombudsman (Senin, 13 Juni lalu), laporan mengenai penjabat kepala daerah masuk reaksi cepat Ombudsman (RCO). Kalau masuk RCO, (penanganannya) maksimal tiga bulan atau 90 hari. Mudah-mudahan prosesnya tidak lama karena, kan, bulan berikut ini akan ada penetapan baru. Bagaimana kami mengejar supaya nanti penetapan berikutnya tidak ada potensi malaadministrasi.
Apakah memang ada dugaan malaadministrasi?
Seperti yang ada di media, ada dugaan malaadministrasi dalam proses penetapan. Misalnya, dasar hukum dalam prosesnya belum lengkap. Ada yang tidak memenuhi persyaratan tapi tetap diangkat. Lalu soal asas imparsialitas. Syarat untuk ditunjuk menjadi penjabat, kan, tidak boleh punya kepentingan politik tertentu. Misalnya, bentuk tekanan dari pihak mana sehingga ada pemilihan orang yang tidak tepat. Faktanya, ada yang baru dilantik, terus mundur dalam beberapa menit (setelah dilantik). Itu contoh dugaan terjadi malaadministrasi. Itu yang sedang kami dalami, apakah ada kelemahan dalam regulasi atau aspek yang lain.
Apakah Menteri Dalam Negeri sebagai terlapor akan diperiksa?
Secara kelembagaan, kan, Kementerian Dalam Negeri. Biasanya, dalam proses permintaan keterangan, kami belum tahu siapa yang ditugaskan, apakah Menteri Dalam Negeri langsung atau pejabat terkait. Bisa juga tidak hanya Kementerian Dalam Negeri, tapi juga Kementerian Sekretariat Negara. Kami belum bisa memastikan pihak mana saja yang akan dimintai keterangan.
Ombudsman juga memeriksa kelangkaan minyak goreng?
Manakala ada fenomena yang bersifat masif, meluas, dan sistematis, Ombudsman dapat berinisiatif melakukan pemeriksaan atas prakarsa sendiri. Tapi ini berangkat dari problem di masyarakat, dugaan malaadministrasi yang fenomenanya meluas, skalanya nasional, yang bisa jadi masyarakat tidak akan melaporkan secara individual.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih (kiri) menerima audiensi dari Forum Peduli Pulau Pari tentang Sertifikat Hak Milik dan Hak Guna Bangun di Pulau Pari, di gedung Ombudsman RI, 21 Juni 2022. https://ombudsman.go.id/
Apa hasil kajian Ombudsman?
Kami merekomendasikan dari aspek tata kelolanya, bagaimana agar peran pemerintah dengan pihak swasta ada keseimbangan, antara pemegang regulasi dan pelaku usaha. Bagaimana agar pemerintah juga punya kendali yang kuat agar tidak bisa diolah oleh pelaku usaha. Saya kira (pemerintah) juga perlu memperbaiki regulasi tata kelola, dari hulu sampai hilir. Pertanyaannya kemudian dalam pelayanan publik: minyak goreng sebenarnya sebagai komoditas perdagangan yang bisa mudah dilempar ke pasar ataukah memang kebutuhan pokok yang menjadi kewenangan pemerintah dan regulasinya harus kuat serta tidak boleh dilepas ke pasar sepenuhnya? Kami harapkan dari aspek regulasi supaya pemerintah, dalam tata kelolanya, bisa lebih mengendalikan. Selama ini dianggap kurang (terkendali) sehingga komoditas ini berpotensi dimanfaatkan lebih besar untuk kepentingan pasar, bukan kepentingan masyarakat.
Ihwal minyak goreng juga, kan, diikuti dengan adanya reshuffle kabinet.
Betul ada dampak politiknya. Itu kan sudah ranah (politik), sudah bukan ranah pelayanan publik. Meskipun, bagi saya, sebenarnya partai politik seharusnya punya perhatian terhadap isu pelayanan publik. Setiap menyiapkan kadernya di posisi jabatan pemerintahan, seharusnya partai berpesan, “Kamu harus punya perhatian pada pelayanan publik, keberpihakan pada masyarakat”. Fungsi partai politik, kan, menghasilkan calon pemimpin yang berpihak kepada masyarakat, bukan pada partai. (Reshuffle) dilakukan karena minyak goreng atau bukan, itu sudah ranahnya presiden. Yang penting bagi Ombudsman, sejauh mana komitmen pemimpin yang ditunjuk punya perhatian pada isu pelayanan publik.
Bagaimana tren aduan ke Ombudsman dalam lima tahun terakhir?
Kami melihat laporan masyarakat cenderung fluktuatif. Ada 8.300 laporan pada 2017, 8.000 pada 2018, dan 6.900 pada 2019. (Pada 2020 sebanyak 7.204 laporan dan pada 2021 terdapat 7.186 laporan.
Lembaga apa yang paling banyak diadukan dan tentang apa?
Pemerintah daerah. Paling tinggi pelayanan agraria, kemudian kepegawaian dan administrasi kependudukan. Termasuk ihwal sengketa tanah, isu pengurusan sertifikat, dan pengalihan hak, yang terutama di Badan Pertanahan Nasional. Laporan masyarakat paling tinggi dari 2014 sampai sekarang di bidang agraria. Soal kepegawaian di peringkat kedua. Kepegawaian, misalnya, mengenai pengangkatan guru, pemilihan rektor, rekrutmen pegawai, kepangkatan, dan pensiun. Kalau berhubungan dengan Kepolisian RI, pengajuannya paling banyak pada aspek penyelesaian perkara. Contohnya penetapan tersangka. Orang ini sudah ditetapkan tersangka lama, kok tidak jelas statusnya. Ada juga soal surat keterangan catatan kepolisian, surat izin mengemudi, dan izin keramaian.
Apa yang dilakukan Ombudsman kemudian?
Semua laporan kami verifikasi. Regulasinya seperti apa, apa benar ada malaadministrasi. Lalu, kami meminta keterangan terlapor. Kalau terjadi malaadministrasi, di kepolisian, misalnya, kami minta perbaiki. Misalnya, ada penetapan buron dalam DPO (daftar pencarian orang) sampai bertahun-tahun. Ada keluarganya yang mengadukan.
Mengapa keluarga melaporkan tentang DPO itu?
Itu berkaitan dengan kebutuhan status dan berimplikasi bagi keluarganya. Misalnya, saya sebagai suami masuk DPO sampai tua. Istri tidak bisa melakukan perbuatan hukum terhadap aset-asetnya. Kalau (aset) mau dijual, kan, harus ada izin suami. (Ombudsman merekomendasikan perlu ada pembatasan waktu DPO, katakanlah 10 atau 15 tahun).
Bagaimana kepatuhan lembaga terhadap teguran Ombudsman?
Dari aspek kepatuhan, cukup tinggi, sekitar 80 persen. Mengukurnya dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) Ombudsman yang dilaksanakan oleh lembaga, kementerian, atau pemerintah daerah. Ombudsman produk akhirnya rekomendasi. Undang-undang rekomendasi hukumnya wajib dilaksanakan. Kalau tidak dilaksanakan, Ombudsman harus melaporkan ke Presiden dan DPR supaya dua lembaga ini yang memberikan sanksi. Rekomendasi Ombudsman tiap tahun puluhan saja yang kami keluarkan. Pada 2021, tidak sampai 10 rekomendasi. Itu indikasi bahwa kepatuhan terhadap LHP Ombudsman tinggi. Begitu ada rekomendasi, dia tak melaksanakan, ada teguran.
Mokhammad Najih
Tempat dan tanggal lahir: Lamongan, Jawa Timur, 17 Mei 1965
Pendidikan
• S-1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang (1989)
• S-2 Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (1999)
• S-3 Doktor Bidang Politik Hukum Universitas Kebangsaan Malaysia (2014)
Pekerjaan
• Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2001-2005
• Pengajar Fakultas Hukum UMM, 1990-2021
• Ketua Program Studi Magister Hukum Pascasarjana UMM, 2015-2021
• Ketua Umum Asosiasi Program Studi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (2017-sekarang)
• Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi
Penghargaan
• Satyalancana Karya Satya X Tahun 2006
• Satyalancana Karya Satya XX Tahun 2016
Rekomendasi Ombudsman mengenai TWK oleh KPK tak dilaksanakan. Bagaimana penyelesaiannya?
Rekomendasinya (kepada Presiden) untuk memberi tindakan kepada Ketua KPK agar melaksanakan LHP Ombudsman. Presiden yang memerintahkan. Cuma, saya tidak bisa berasumsi. Ketika (rekomendasi) sampai ke Presiden (pada April 2022), itu sudah aspek politis. Bentuk pelaksanaan rekomendasi Ombudsman, apakah dalam bentuk kebijakan lain, itu enggak dijawab oleh Presiden. Tapi substansi keluhan masyarakat tentang masalah itu sudah dipenuhi.
Apa bukti substansinya dipenuhi?
Ini asumsi saya. Bisa jadi Presiden tidak memerintahkan Ketua KPK, tapi memerintahkan instansi lain, mungkin Kepala Kepolisian RI. Tapi ini saya nggak tahu kebenarannya. Mungkin saja Presiden meminta Kapolri mengangkat yang 57 orang itu menjadi aparatur sipil negara. Tapi apakah itu karena rekomendasi Ombudsman, kami tidak bisa jawab.
(Sebanyak 44 dari 57 pegawai KPK yang tidak lulus TWK itu resmi menjadi AS di Polri, 9 Desember 2021 — Red)
Teguran Ombudsman kepada KPK bagaimana?
Rekomendasinya, karena terjadi malaadministrasi, KPK supaya mengangkat para pegawai ini (57 pegawai KPK yang tidak lulus TWK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) dan memperbaiki regulasi karena salah satu kelemahannya di regulasi. Proses TWK yang menjadi keberatan para pelapor.
Kan, teguran itu juga ditujukan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN)?
Kalau ke BKN sudah dilaksanakan. Yang belum (dilaksanakan) malah KPK. BKN kami minta membuat peta jalan perencanaan penyusunan aparatur sipil negara. Strategi untuk merekrut pegawai masuk peta jalan atau tidak. Jadi, kalau ada perubahan kelembagaan dan menjadi ASN, dasarnya peta jalan tadi. Saya kira ini sudah dilakukan oleh BKN.
Apa jawaban Presiden atas rekomendasi itu?
Memang tidak ada ketentuan Presiden harus menjawab. Memang di situ ada sisi kekosongan dalam undang-undang kita bahwa setelah rekomendasi disampaikan ke Presiden, apakah Ombudsman boleh menanyakan kembali kepada Presiden. Kewenangannya tidak sampai ke sana.
Jadi kasus TWK sudah selesai?
Secara substansi selesai karena sudah dipenuhi oleh pemerintah karena kami tidak menolak regulasi bahwa untuk menjadi ASN ada mekanismenya, yang namanya seleksi. Persoalannya, seleksinya ini yang jadi masalah.
Apakah kewenangan Ombudsman sudah cukup untuk membuatnya disegani?
Ombudsman memang didesain oleh undang-undang maupun ataupun sebagai lembaga yang memberi pengaruh supaya orang lebih patuh kepada regulasi. Maka, dalam undang-undang, tujuan pembentukan Ombudsman adalah membangun budaya patuh hukum, yang akan membuat masyarakat menjadi antikorupsi. Artinya, kalau kita patuh regulasi, insya Allah orang itu tidak akan melakukan perbuatan melawan hukum. Kecenderungannya terjadi malaadministrasi (karena) orang tidak mematuhi aturan. Kecenderungan malaadministrasi ini akan bermuara terjadinya korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Sudah terbukti bahwa terjadinya korupsi pasti dimulai dari malaadministrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo