Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN menjadi sorotan karena kehadiran Jenderal Mya Tun Oo.
Sang jenderal dinilai bertanggung jawab atas serangan militer terhadap kaum minoritas Rohingya.
Pertemuan ini tak menjalankan kebijakan ASEAN soal wakil nonpolitik dari Myanmar.
PERTEMUAN Menteri Pertahanan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Phnom Penh, Kamboja, pada Rabu, 22 Juni lalu, agak wagu. Salah satu menteri pertahanan yang hadir dari Myanmar, Jenderal Mya Tun Oo. Dia datang bersama Wakil Direktur Jenderal Departemen Luar Negeri U Zaw Zaw Soe dan pejabat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mya Tun Oo dianggap bertanggung jawab atas serangan militer Tatmadaw terhadap kaum minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine pada 2017. Waktu itu Mya Tun menjabat Kepala Staf Angkatan Bersenjata Myanmar. Misi Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dipimpin Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung Indonesia, menemukan tindakan brutal militer itu setara dengan genosida. Tim Marzuki memperkirakan 10 ribu orang etnis Rohingya tewas di tangan Tatmadaw.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing kemudian menggulingkan pemerintah Presiden Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021. Mereka membentuk Dewan Administrasi Negara (SAC), nama resmi junta militer Myanmar, dan mengangkat Mya Tun Oo sebagai menteri pertahanan. Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Mya Tun Oo, termasuk membekukan asetnya dan larangan bagi entitas di tiga negara itu untuk berbisnis dengannya.
Kehadiran Mya Tun Oo membuat para wakil anggota ASEAN terbelah memandang cara menangani junta. Ada yang cemas keterlibatan petinggi junta menandakan penerimaan atau dukungan terhadap rezim militer Myanmar. Singapura, Filipina, Indonesia, dan Malaysia menyatakan kepada Kamboja, yang kini menjadi Ketua ASEAN, bahwa junta harus dikeluarkan dari pertemuan ASEAN hingga masalah Myanmar selesai.
Sebaliknya, Kamboja memandang junta harus dirangkul agar masalah Myanmar bisa segera selesai. Perdana Menteri Kamboja Hun Sen bahkan menemui Min Aung Hlaing di Naypyitaw, Myanmar, pada Januari lalu, tak lama setelah ia resmi menjadi Ketua ASEAN. Hun Sen, yang cukup dekat dengan Min Aung Hlaing, menyebutkan kunjungannya untuk membantu Myanmar menghentikan perang saudara melalui gencatan senjata.
Pada mulanya Hun Sen datang atas nama Ketua ASEAN, tapi sejumlah negara memprotesnya. Datuk Seri Saifuddin Abdullah, Menteri Luar Negeri Malaysia, menilai, bila Hun Sen datang sebagai Ketua ASEAN, ia harus berkonsultasi dulu dengan para pemimpin lain. Belakangan, Hun Sen menyebut kedatangannya sebagai Perdana Menteri Kamboja saja.
Kini lebih dari 600 kelompok sipil di dalam dan luar Myanmar mengeluarkan seruan kepada para menteri ASEAN agar tidak mengundang Mya Tun Oo. Hingga Jumat, 24 Juni lalu, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), organisasi hak asasi Myanmar, menyatakan 2.000 lebih orang meninggal dan 11.217 masih ditahan, termasuk Suu Kyi, di masa kekuasaan junta.
Sebelum pertemuan ASEAN, 299 organisasi sipil internasional dan Myanmar menulis surat terbuka kepada para menteri pertahanan untuk tidak mengundang Mya Tun Oo dalam pertemuan apa pun. “Mya Tun Oo harus bertanggung jawab atas perannya dalam kudeta militer dan kejahatan kejam junta, dan tidak diberi penghargaan melalui partisipasi dalam Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN,” tulis mereka.
Berbagai penolakan itu seperti angin lalu. Kamboja sebagai tuan rumah tetap mengundang Mya Tun Oo. Dalam konferensi pers seusai pertemuan, Jenderal Tea Banh, Menteri Pertahanan Kamboja dan pemimpin pertemuan ini, menyatakan kehadiran utusan junta Myanmar menunjukkan cara pemerintah memainkan perannya tanpa diskriminasi atau meninggalkan anggota ASEAN mana pun. “Dengan persetujuan bulat dari anggota ASEAN, kami dapat memasukkan delegasi Myanmar dalam pertemuan tatap muka kami,” katanya, seperti dikutip media Kamboja, Phnom Penh Post.
Tea Banh menambahkan bahwa Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Kamboja Prak Sokhon akan berkunjung ke Myanmar akhir bulan ini. Hun Sen menunjuk Prak Sokhon sebagai utusan khusus ASEAN untuk Myanmar. Tea Banh mengatakan apa yang sedang diperjuangkan Kamboja adalah memenuhi perannya sebaik mungkin sebagai ketua blok negara Asia Tenggara.
Di antara para menteri pertahanan di sidang itu, hanya Malaysia yang bersikap tegas terhadap kehadiran wakil junta. “Bukan berarti Malaysia mengakui SAC sebagai pemerintah Myanmar yang sah,” ucap Menteri Pertahanan Senior Malaysia Datuk Seri Hishammuddin Tun Hussein, seperti dikutip kantor berita Malaysia, Bernama. “Malaysia selalu menekankan bahwa SAC harus mempercepat lima poin konsensus untuk menemukan solusi atas krisis politik di Myanmar.” Konsensus itu meliputi penghentian kekerasan, dialog untuk mencari solusi damai, pembentukan utusan khusus, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan ASEAN.
Menteri Pertahanan Indonesia Prabowo Subianto hanya menyatakan pentingnya menjaga sentralitas ASEAN di tengah-tengah persaingan kekuatan besar di kawasan ini. “Kita tidak boleh membiarkan kekuatan luar memecah belah ASEAN dan menyeret kita ke dalam persaingan mereka,” kata Prabowo dalam pernyataan resmi. Prabowo tak menjelaskan lebih jauh “kekuatan luar” yang ia maksud.
Yuyun Wahyuningrum, Perwakilan Indonesia di Komisi Antar-Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (AICHR), menyayangkan kehadiran wakil junta dalam pertemuan ini. “ASEAN telah menyepakati perwakilan Myanmar hanya pejabat nonpolitik. Itu artinya setingkat direktur jenderal ke bawah, bukan setingkat menteri atau kepala negara,” katanya pada Kamis, 23 Juni lalu.
Yuyun menyatakan penerimaan terhadap wakil junta menunjukkan ASEAN tak ingin terlibat dalam pertentangan antara SAC dan Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG), pemerintah bayangan bentukan politikus Suu Kyi. “Kebijakan itu sebagai ‘hukuman’ karena tidak ada kemajuan dari Myanmar dalam melaksanakan lima poin konsensus,” ujarnya.
Sayangnya, kata Yuyun, kebijakan tersebut tampaknya hanya berjalan pada pertemuan menteri luar negeri. Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN pada Februari lalu, misalnya, mengecualikan Myanmar setelah permintaan Kamboja agar junta mengirim wakil nonpolitik tak dipenuhi. Dalam pertemuan campuran tatap muka dan virtual itu, kursi Myanmar tampak kosong.
Sejumlah menteri utusan junta Myanmar telah berkali-kali muncul dalam pertemuan ASEAN. Menteri Ilmu dan Teknologi Myanmar Thein Kyaw hadir dalam Pertemuan Menteri Ilmu, Teknologi, dan Inovasi ASEAN pada 16 Juni lalu. Menteri Investasi dan Hubungan Ekonomi Luar Negeri Myanmar U Aung Naing Oo berpartisipasi dalam Pertemuan Dewan Komunitas Ekonomi ASEAN pada Oktober tahun lalu. Wakil Menteri Perencanaan dan Keuangan Myanmar U Maung Maung Win juga menghadiri Pertemuan Forum Pasar Modal ASEAN pada Oktober tahun lalu. Jenderal Mya Tun Oo bahkan pernah menghadiri Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN Plus pada Juni 2021, tapi tak banyak disorot.
Yuyun mengatakan memang tak mudah berurusan dengan junta militer Myanmar. “Indonesia harus sudah mulai memikirkan strategi menghadapinya bila tahun depan menjadi Ketua ASEAN, apalagi bila junta Myanmar jadi menggelar pemilihan umum,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo