Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pintu rumah itu kini selalu tertutup. Suasana di dalam rumah di Jalan Jenggala I No. 4 di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, ini sangat lengang. Padahal, beberapa waktu lalu, rumah milik pengusaha Arifin Panigoro itu selalu riuh dengan datangnya mahasiswa dari berbagai kampus, antara lain karena tempat ini memang nyaman, luas, fasilitasnya lumayan komplet, dan yang paling penting, strategis. Namun, keramaian itu menguap setelah aksi brutal menimpa rumah ini bulan September lalu.
Saat itu, sekelompok orang yang merasa tidak puas dengan aktivitas bos perusahaan pengeboran minyak Medco itu mengadakan unjuk rasa di depan rumah. Mereka menuduh sekaligus menuntut agar Arifin menghentikan cara-cara berpolitiknya yang menggunakan uang. Celakanya, suara keras saja ternyata tidak cukup. Batu-batu melayang sehingga merusak kaca mobil dan rumah. Beruntung, Arifin yang saat itu sedang makan siang tidak sampai tersedak karena kaget.
Kerusakan memang sudah diperbaiki. Namun Arifin yang kini 53 tahun ini mengaku masih shocked. Bagi Arifin, aksi pelemparan itu berdampak seperti pemeriksaan atas dirinya setelah kasus Hotel Radison Yogyakarta tempo hari. Saat itu, Arifin diperiksa atas tuduhan yang cukup gawat: makar. Padahal yang dilakukan Arifin hanyalah diskusi bertema reformasi bersama para pakar seperti Amien Rais dan Afan Gaffar dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tuduhan ini memang tak pernah terbukti. Dua kejadian itu justru makin membulatkan tekad pria flamboyan ini untuk berkiprah di kancah politik.
Alumnus Teknik Elektro ITB ini memang sosok yang unik. Meski lebih dikenal sebagai pengusaha, setahun terakhir ia dianggap mulai terlibat dalam percaturan politik. Tak mengherankan bila rekan-rekannya sesama pengusaha meminta nasehatnya untuk menjatuhkan pilihan. Tujuannya jelas, mendapatkan rasa aman. Meskipun begitu, ayah dua anak ini menolak bila dikatakan menggunakan pertimbangan pengusaha dalam berpolitik. "Pilihan saya adalah gerakan moral," kata Arifin.
Penggemar tenis itu mengakui, mencoba hidup "lebih sederhana" ternyata tidak mudah. Ia memberi contoh. Dulu, bila bepergian ke luar negeri, ia membeli tiket kelas satu atau menyewa pesawat pribadi atau menggunakan Concorde. Sekarang, ia mencoba untuk duduk di kelas bisnis. Namun, ternyata, kaki yang memar sedikit saja sudah mengembalikan Arifin ke kursi kelas satu. Lucunya, Arifin menyalahkan pemerintahan Orde Baru atas gaya hidupnya yang disebutnya sendiri sangat mewah itu. "Gara-gara para pemimpinnya bermewah-mewah, yang lain jadi ikut meniru, yang tidak sanggup akhirnya menjadi maling, " kata Arifin.
Gerimis dan musik swing yang mengalun lembut menjadi latar belakang saat Arifin menerima Hani Pudjiarti, Hermien Y. Kleden dan Yusi A. Pareanom dari TEMPO. Wawancara berlangsung hangat dan santai. Berikut petikan wawancara itu:
Apakah aksi pelemparan tempo hari membuat Anda takut?
Begini, yang namanya mati konyol itu sangat menakutkan. Di Jakarta, kasus pelemparan dan teror bisa terjadi di mana saja. Saya mengetahui orang-orang bayaran ini datang dari kalangan terkoordinasi. Yang menimpa saya adalah rangkaian dari demonstrasi bayaran. Bila dikaitkan dengan peristiwa terakhir, seperti pembunuhan dan pembantaian, terus terang saya sangat takut.Tetapi ada kesan satu dan lainnya saling memanfaatkan dengan gaya yang berbeda. Perhatikan, di daerah orang dibunuh, di Jakarta sendiri diciptakan suasana ketakutan. Kita jadi ingin tahu, siapa di balik semua ini. Terakhir, kita mendengar pernyataan terbuka dari orang sekaliber Gus Dur yang berani menyebutkan siapa di balik semua teror di Jakarta. Lalu Pangab menyebutkan ini konflik elite politik. Perhatikan saja, saya di level yang tidak berpartai, tidak punya motivasi politik praktis apa pun, tapi nyatanya tetap diincar.
Anda yakin semua peristiwa ini bersifat politis?
Jelas politis. Cuma, jangan diartikan saya termasuk salah satu yang ikut bermain. Keterlibatan saya dalam gerakan mahasiswa bukan didorong keinginan berpolitik praktis. Saya memang pengusaha yang kebetulan peduli politik. Jangan diartikan saya berdiri di salah satu partai. Kalau saya mau berpolitik, gampang. Tidak perlu setengah-setengah langsung saja saya bergabung dengan PKB-nya NU, PDI Megawati, PAN Amien Rais, atau tetap bertahan di Golkar. Saya tidak berminat (berpolitik). Jangan salah, gerakan moral di mana pun untuk perubahan. Bisa Anda bayangkan, bila mahasiswanya tidak bergerak, apa mungkin bisa begini? Lihat saja selama ini yang namanya Golkar, PPP, dan PDI. Semua tidak berhasil membawa perubahan. Tuhan mungkin adil, memberi cobaan pada Indonesia untuk menuju perubahaan, tapi dengan memberikan kesusahan terlebih dahulu. Ganjaran krismon, kekeringan, kebanjiran, dan kecelakaan. Lalu, akhirnya Soeharto mundur. Ini di luar skenario.
Bukankah tuduhan para pengunjuk rasa itu karena Anda dianggap berpolitik praktis?
Saya sadar, itu kaitannya erat. Bahkan saya dituduh terlibat pemogokan angkutan kota. Alasannya, saya ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) yang mengetahui seluk-beluk mekanik di bengkel-bengkel. Menurut tuduhan yang lain lagi, saya terlibat pembiayaan pembakaran jalur pantura. Semua tuduhan itu ngawur. Kemudian, saya dikatakan menyumbang satu triliun rupiah untuk gerakan mahasiswa. Gila amat. Kalau saya mendanai segede itu, gerakannya tidak begini. Lagipula, kalau saya nekat mau betul-betul makar, ngapain masih pakai dasi perlente begini? Kalau mau nyemplung, saya ganti style, ngendon di hutan misalnya. Saya tidak tahu mengapa saya dikaitkan dengan kasus Banyuwangi atau kasus lainnya. Saya lihat memang ada semacam kesinambungan dengan kasus sebelumnya.
Menurut Anda, siapa pelaku di balik gerakan ini semua?
Ada, orangnya itu-itu juga. Lebih baik saya mendinginkan suasana saja. Coba perhatikan, setelah saya, LBH dan Komnas HAM juga diincar. Lucu rasanya. Dalam waktu dekat, saya akan merencanakan pertemuan dengan Komnas dan LBH. Tujuannya menyamakan persepsi. Yang kita alami kok bentuknya sama?
Bila tidak ingin berpartai, lantas peran apa yang ingin Anda mainkan?
Saya ingin berperan sebagai pengawas pemilu, misalnya di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) atau seperti Namfrel (komite pemantau pemilu di Filipina, Red.). Saya selalu takut dan dihantui kecurangan, terutama dari partai pemerintah. Bahwa saya sudah berkorban tetapi tetap babak belur digebuk sana-sini, ya, tidak apa-apa.
Apakah betul Anda menggunakan uang untuk bermain politik?
Sama sekali tidak betul. No way, not even one penny. Di kantor saya banyak minuman dan saya sering menampung mahasiswa. Tetapi yang ada di sini semua berasal dari sumbangan masyarakat. Kita hanya penyalur. Semuanya dari bantuan spontanitas masyarakat. Gila! Mana mampu kami memberi makan 32 ribu mahasiswa dari dapur kita?
Sebelum Anda terlibat kasus Hotel Radison pada awal 1998, Anda dikenal sebagai pengusaha. Lantas, mengapa tertarik di bidang politik?
Tahun 1997, jalan hidup saya masih normal-normal saja sebagai seorang pengusaha, Ketua PII, dan anggota MPR. Sejak menjadi anggota MPR saya sedikit punya kepedulian dan ingin tahu banyak hal. Di situlah saya bertemu Amien Rais. Saya banyak bercerita kepada Amien tentang banyak hal dan saya menemukan keasyikan sendiri. Ketika bulan puasa lalu, kami bertemu kembali di Yogya. Di sana saya tanyakan apakah dia memiliki platform untuk tampil? Amien menjawab, mereka memiliki platform karena didukung teman-teman. Dua hari setelah lebaran, saya datang ke Yogya untuk berhalal-bihalal. Setelah itu, kami merumuskan konsep reformasi politik, ekonomi, dan hukum. Kata reformasi saya kira mulai bergulir dari acara ini.
Bagaimana ceritanya kok setelah itu Anda lantas berurusan dengan aparat?
Ternyata ada yang melapor ke polisi. Saya dengar Pak Harto marah mendapat laporan dari Habibie. Kebetulan, ada beberapa orang kepercayaan Habibie ikut hadir di acara itu. Saya tersentak dengan laporan tersebut. Masa iya sejauh itu? Kemudian saya dimintai keterangan oleh Badan Intelijen ABRI (BIA). Menghadapi kondisi begini, nyali saya ciut, benar-benar tidak siap. Saya sampai meminta keluarga di rumah untuk mendoakan. Lalu keanggotaan saya di MPR resmi dicabut. Selesai dimintai keterangan, saya mendapat kabar bahwa kawan saya ikut ditangkap. Kondisi begini membuat saya benar-benar shocked. Saya dikejar wartawan. Saya katakan, kalau mau tahu data lengkap, langsung saja datang ke Mabes Polri. Lama-lama saya tidak tahan, lalu bikin jumpa pers. Bersamaan dengan kejadian itu, yang namanya aksi mahasiswa meningkat. Akhirnya saya ikut terbawa.
Gara-gara peristiwa itu, Anda kesal atau bahkan dendam kepada Habibie?
Sebetulnya dia tidak fair, padahal dia tahu betul pertemuan itu hanya diskusi reformasi. Wong proses penanganan di aparat sangat wajar, tidak pakai macam-macam. Kami mengharapkan perubahan yang terjadi sebagai sesuatu yang alamiah. Tetapi saya kena getahnya sebagai pemain yang harus dibereskan. Jadi, bagaimana saya mau balik lagi seperti dulu?
Dulu Anda tampak begitu akrab dengan Amien Rais. Mengapa kini hubungan merenggang?
Dulu, menjelang Mei, Amien Rais tegas sekali. Tidak ada orang yang seberani dia. Saya dekat dengannya karena merasa cocok. Pada dasarnya, hati nurani saya bisa cocok dengan siapa saja. Dengan Gus Dur, oke, dengan Mega, oke, dengan Amien pun tidak ada masalah. Kalaupun sekarang terlihat berjarak, itu karena Amien sudah mulai aktif di partai. Saya selalu menjaga kenetralan agar hubungan baik terjaga dengan pihak mana pun.
Anda kini aktif di parpol pimpinan Megawati. Apakah Anda akan terus membantu jalan Mega untuk menjadi presiden?
Belum tentu.
Lantas, ke mana sebenarnya kecenderungan Anda?
Sejak awal, komitmen saya adalah gerakan moral. Kalau dasarnya moral, pasti akan melihat siapa yang teraniaya. Saya melihat Mega diinjak-injak selama ini. Ia menderita dan teraniaya. Ini menumbuhkan simpati. Jika nanti ada keseimbangan baru dengan munculnya partai-partai tangguh, itu soal lain. Saat itu yang akan dipilih rakyat adalah partai yang memiliki program bagus.
Apakah Mega cukup kuat?
Sangat terasa. Dukungan dari bawah dan pengurusnya kuat.
Bagaimana dengan kritik terhadap Mega yang dianggap belum matang dan lemahnya barisan pengurus partainya?
Orang lain mungkin merasa begitu, termasuk faktor karena dia adalah putri Bung Karno. Mungkin ada anggapan dia belum memiliki kemampuan teknokratik. Ini hanya proses. Ingat, zaman Soeharto menjadi presiden, ia mencari teknokrat seperti Widjojo cs dengan datang ke Universitas Indonesia. Sekarang, menurut saya, dukungan dari profesional akan datang dengan sendirinya pada partai yang menang. Dari pemilu nanti, akan terlihat partai yang kuat dan yang gurem. Partai yang serius dan bertahan inilah yang akan diincar para teknokrat atau pengusaha. Kawan-kawan pengusaha sering bertanya ke saya, "Fin, gue sebaiknya dukung siapa? Bingung karena ada Golkar, Mega, NU, dan Amien." Saya jawab, "Tunggu saja dulu, gue juga masih bingung." Terbukti itu menjadi pertimbangan kalangan pengusaha yang mau mendukung. Pengusaha hanya melihat siapa yang menang, yang perlu didukung.
Misalkan yang menang nanti lawan-lawan politik Anda. Kira-kira nasib bisnis Anda bagaimana?
Ya apes. Misalnya dari segi dukungan, secara terbuka, saya memberi jalan kepada Amien Rais. Jika yang ternyata menang adalah Megawati, harus bagaimana lagi?
Apa komentar Anda terhadap kasus Freeport Indonesia yang melibatkan Ginandjar Kartasasmita?
Sebetulnya untuk soal Ginandjar, saya menganggap diam itu emas. Tapi itu sudah terlanjur. Sudah tiga tahun lalu Rizal Ramli (ekonom/peneliti dari Econit) membicarakan data-data ini. Saya bukan mau membela Ginandjar, tapi bila mau membuka kasus ini, seharusnya masih banyak lagi yang bisa dibuka.
Apa ini bukan komentar dari seorang yang dikenal sebagai one of Ginandjar?s boys?
Saya memang mengenal (Ginandjar) secara pribadi. Kalau kemudian Ginandjar pucat karena diberondong wartawan, itu bisa saya bayangkan.
Tetapi kabarnya sumur minyak Stanvac di Riau yang Anda dapat dari Caltex tidak lepas dari permainan Ginandjar?
Kalau itu betul-betul ngawur. Saya mendapatkan tender Stanvac dengan cara terbuka dan sangat keras.
Masa, bisnis Anda seratus persen bersih dari KKN?
Saya kira relatif bersihlah. Omong kosong bila dalam pergaulan yang lewat 20 tahun dengan pejabat, kita tidak keluar uang sekitar US$ 100. Itu bohong besar.
Bagaimana dengan uang anda sebesar US$ 1 juta yang masuk ke kantong DSTP (PT Dua Satu Tiga Puluh--perusahaan swasta buatan pemerintah Orde Baru yang direncanakan memproduksi pesawat jet, Red.)? Apakah itu bukan KKN?
Yang masuk ke DSTP atau sumbangan ke Golkar itu semua miliaran kelasnya. Kita harus realistis. Saat itu sistemnya sangat paternalistik. Saya memang diuntungkan oleh rezim yang lalu dan itu tidak saya pungkiri. Saya masuk urutan ke-90 pembayar pajak terbesar. Masa, saya tidak ikut menyumbang? Yang jelas, saya tidak bermaksud menyumbang untuk membeli sesuatu.
Ada kesan Anda agak khawatir dan was-was bila harus total terjun di satu parpol tertentu?
Karena saya merasa terlalu tua. sementara pikiran saya merasa mahasiswa yang harus memiliki moral force, itu artinya saya harus punya kenetralan. Jadi ada semacam stagnasi people power yang menginginkan perubahan. Saya amati sistim politik saat ini masih berbaur dengan permaian politik. Tastenya belum pas. Dulu tahun 1965-1966 ketika tentara kita masih keras mempresure mahasiswa, nggak jadi soal karena tastenya pas. Makanya begitu Supersemar ke luar kita (mahasiswa) bisa sangat begitu tenang. Keadaan sekarang belum pas, belum betul kita menjatuhkan Soeharto dan menaikkan Habibie persoalan selesai. Saya rasa mahasiswa belum puas dengan ini semua, karena lebih baik banyak orang dipilih daripada calon tunggal semata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo