Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara
Mungkin Kita Perlu Waktu

Berita Tempo Plus

Sisi Eksploratif Sutradara Teddy Soeriaatmadja

Melalui film Mungkin Kita Perlu WaktuTeddy Soeriaatmadja mengeksplorasi tema-tema yang dekat dengan keseharian.

2 Maret 2025 | 15.00 WIB

Sutradara Film Mungkin Kita Perlu Waktu, Teddy Soeriaatmadja di Karuna Pictures, Bintaro, Tangerang Selatan, 28 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra
Perbesar
Sutradara Film Mungkin Kita Perlu Waktu, Teddy Soeriaatmadja di Karuna Pictures, Bintaro, Tangerang Selatan, 28 Februari 2025. Tempo/Ilham Balindra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Sutradara Teddy Soeriaatmadja bercerita soal film terbarunya.

  • Teddy Soeriaatmadja banyak mengangkat tema keluarga dalam filmnya.

  • Film Mungkin Kita Perlu Waktu tayang di bioskop pada Mei 2025.

BAGI sutradara Teddy Soeriaatmadja, karya film terbarunya yang berjudul Mungkin Kita Perlu Waktu terasa begitu personal. Mengusung tema penceritaan yang berangkat dari drama keluarga, Teddy mengeksplorasi kelindan antara duka dan kehilangan dalam karya sinemanya yang ke-18 ini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film Mungkin Kita Perlu Waktu bercerita tentang sepasang suami-istri, Restu, yang diperankan oleh Lukman Sardi, dan Kasih, yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti. Keduanya baru saja kehilangan anak sulung mereka, Sara—diperankan oleh Naura Hakim—akibat kecelakaan tunggal. Di tengah duka yang menggelayut, pasangan Restu dan Kasih harus melanjutkan hidup bersama anak bungsu mereka, Ombak—diperankan Bima Azriel—yang pernah mencoba bunuh diri akibat depresi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kehidupan keluarga kecil yang semula harmonis itu goyah pasca-kepergian Sara. Sebagai kepala keluarga, Restu sebetulnya berupaya bersikap baik-baik saja di hadapan istri dan anaknya. Sementara itu, Kasih bersikeras pergi umrah untuk mengatasi kesedihannya. Di sisi lain, Ombak kerap dihantui rasa bersalah hingga harus menjalani terapi psikologi. 

Bayang-bayang trauma dan buruknya komunikasi di antara anggota keluarga itu membuat hubungan mereka renggang. Masalah yang bertumpuk dan mengacak-acak kepribadian setiap tokoh dalam film membawa para tokoh ke dalam situasi sulit. 

Film yang akan tayang di bioskop pada Mei 2025 ini diputar pertama kali dalam pergelaran Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF) pada Desember 2024. Menurut Teddy, melalui film ini, ia mencoba memotret keterkaitan antar-individu melalui lingkup paling kecil, yakni keluarga. Ia menyebutkan cerita yang berangkat dari kehidupan keluarga adalah sesuatu yang amat dekat dan tak berjarak. "Dalam setiap membuat karya, saya berusaha menulis sesuatu yang saya kenal dan dekat," ujar Teddy. 

Mungkin alasan itu pula yang membuat Teddy, kini berusia 50 tahun, merasa tak akan mampu membuat film dengan tema tersebut jika ia masih berusia 27 tahun atau 30 tahun. Mungkin Kita Perlu Waktu seolah-olah menjadi buah pengalaman dan pengamatannya sebagai seorang laki-laki yang telah menjadi seorang bapak. 

Lahir dari pasangan Rhousdy Soeriaatmadja dan Siti Syarifah di Kobe, Jepang, pada 7 Februari 1975, Teddy bukanlah nama baru di belantika film Indonesia. Namanya dikenal melalui beberapa film: Banyu Biru (2005), Ruang (2006), Badai Pasti Berlalu (2007), dan Lovely Man (2011). 

Meski tidak menempuh pendidikan film, Teddy adalah pencinta sinema. Pada 1998, ia menggarap film pertamanya yang berjudul Culik dan dikirim ke beberapa festival film. Gotenberg Film Festival di Swedia tertarik dan bersedia membiayai proposalnya. Film ini tidak ditayangkan di bioskop Indonesia, tapi diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2000. 

Sejak itu, karya film Teddy telah berpartisipasi di berbagai festival internasional, seperti Berlinale, Busan International Film Festival, Palm Springs International Film Festival, Hong Kong International Film Festival, Tokyo International Film Festival, dan Mumbai International Film Festival. Karyanya yang berjudul About a Woman, yang menceritakan tentang kesendirian seorang perempuan, juga pernah dinobatkan sebagai Film Pilihan Tempo 2015.

Teddy menerima wawancara khusus Tempo di kantor Karuna Pictures, rumah produksi yang ia dirikan sejak 2008. Selama hampir satu jam, Teddy menceritakan perjalanannya sebagai sutradara dan penulis skenario. Ia juga bercerita tentang film Reservoir Dogs karya sutradara asal Amerika Serikat, Quentin Tarantino, yang mendorongnya menjadi seorang sutradara tanpa harus menempuh studi film. 

Teddy Soeriaatmadja saat menjadi sutradara film About a Women, 2015. Dok. Karuna Picture

Dalam kondisi kehilangan dan berduka, ada beberapa fase yang mungkin bisa ditangkap dalam film Anda: penyangkalan, amarah, menawar keadaan, serta depresi. Bagaimana Anda meracik formula itu?

Sebenarnya, kalau meracik, tentunya dalam menulis atau membuat film seperti itu kan lebih banyak tidak disengaja. Tapi yang ingin saya sampaikan dalam film itu ialah ada tiga tokoh sentral dalam cerita. Mereka mengalami trauma besar. Namun cara mereka menghadapi trauma itu berbeda. Tentu tidak ada yang salah dalam cara menghadapinya. Namanya orang yang mengalami trauma, pasti reaksinya berbeda-beda. Jadi itu yang ingin diekspresikan.

Mengapa Anda memilih tema keluarga?

Sebenarnya cerita ini dasarnya it’s about human connection. Relasi manusia yang paling terasa, ya, di keluarga. Lalu, bagaimana ketika terjadi konflik besar dalam keluarga? Bagaimana dampaknya terhadap setiap individu dan keutuhan keluarga itu? Drama keluarga itu sangat dekat dengan saya. Dengan demikian, saya lebih mudah menulisnya. Dalam setiap karya, saya berusaha menulis tema yang saya kenal dan dekat.

Anda berpengalaman dengan film bernuansa psikologis. Di awal karier Anda, film Banyu Biru juga bertutur tentang kehilangan di masa lalu dan kekosongan hidup. Apa yang menarik dari tema semacam ini?

Kembali lagi di awal, itu sesuatu yang tidak disengaja. Namun sebenarnya konflik internal itu bagi saya lebih menarik ketimbang konflik eksternal. Termasuk beratnya perjuangan dan perjalanan seseorang dalam menghadapi konflik di dalam. Saya berusaha membuat karakter yang punya kekurangan, berdosa, broken, atau yang tidak sempurna. Karakter semacam itu jauh lebih menarik untuk saya tulis. Bagi saya pribadi, ketika menonton film pun, saya lebih suka karakter-karakter yang broken dan berdosa. Bagi saya, itu jauh lebih menarik. 

Berapa lama Anda menulis skenario film Mungkin Kita Perlu Waktu?

Film ini saya tulis ketika pandemi Covid-19. Saat itu banyak sekali orang film, seperti banyak orang lain, yang menganggur. Saya banyak di rumah dan tidak ada kegiatan apa-apa. Selama itulah saya mulai mengembangkan beberapa cerita. Waktu itu, saya menulis sampai tiga cerita, salah satunya Berbalas Kejam. Untuk film Mungkin Kita Perlu Waktu mungkin sekitar tiga bulan.

Lama juga, ya, sampai akhirnya diproduksi?

Ya, karena terus terang, cerita ini pernah saya tawarkan ke beberapa rumah produksi atau produser. Ada yang tertarik, ada pula yang tidak. Film dengan tema seperti ini kan tidak gampang diproduksi. Hingga akhirnya, saya bertemu dengan Lukman Sardi—yang juga menjadi produser film ini.

Teddy Soeriaatmadja

Tempat dan tanggal lahir:

  • Kobe, Jepang, 7 Februari 1975

Filmografi:

  • Mungkin Kita Perlu Waktu (2025)
  • The Architecture of Love (2024)
  • Berbalas Kejam (2023)
  • Affliction (2021)
  • Menunggu Pagi (2018)
  • About a Woman (2015)
  • Something in the Way (2013)
  • Lovely Man (2011)
  • Ruma Maida (2009)
  • Namaku Dick (2008)
  • Badai Pasti Berlalu (2007)
  • Ruang (2006)
  • Banyu Biru (2005)
  • Culik (1998)

Penghargaan:

  • Sutradara Terbaik Festival Film Internasional Balinale (2006, film Ruang)
  • Film Terbaik Tiburon International Film Festival (2012, film Lovely Man)
  • Film Terbaik Tel Aviv LGBT International Film Festival (2012, film Lovely Man)
  • Penulis Skenario Terbaik Festival Film Tempo (2012, film Lovely Man)
  • Film Cerita Panjang Non Bioskop Terbaik Apresiasi Film Indonesia (2014, film Something in the Way)
  • Skenario Pilihan Tempo (2015, film About a Woman)
  • Sutradara Pilihan Tempo (2015, film About a Woman)
  • Film Pilihan Tempo (2015, film About a Woman)

Film ini tayang perdana dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival. Menurut Anda, seberapa penting sebuah film tayang di festival dulu sebelum dirilis ke publik?

Festival film bagus untuk menambah exposure film-film yang cara apresiasinya berbeda. Juga, biasanya penonton yang datang ke festival film adalah mereka yang benar-benar tertarik dan menyukai film. Mereka datang untuk cinema experience, jadi mereka yang datang betul-betul ingin mengapresiasi. Ketika film Mungkin Kita Perlu Waktu mendapatkan kesempatan tayang dalam Jogja-Netpac, tentu kami ambil, karena itu kesempatan bagus. Kalau kami bisa menggaet audiens dari festival, mudah-mudahan bisa mendatangkan efek bola salju ketika dirilis di bioskop.

Bagaimana Anda memilih aktor-aktor yang bermain dalam film ini?

Soal pilihan aktor, terus terang ketika saya menulis skenarionya, saya sudah membayangkan Lukman Sardi sebagai pemeran Restu. Ketika naskahnya sudah jadi, saya kirim ke Lukman bukan untuk diproduserinya, tapi agar dia bermain. Setahun kemudian dia menyatakan naskah itu bagus dan tertarik berperan serta mau memproduseri. Memang naskah ini cocoknya dengan Lukman. 

Sha Ine Febriyanti, salah satu tokoh dalam film Anda, masuk nominasi Film Pilihan Tempo 2024 untuk kategori aktris pilihan. Bagaimana cerita Anda memilih Ine untuk proyek film ini?

Dengan Sha Ine Febriyanti, kebetulan saya sudah berkawan lama, tapi belum pernah bekerja bareng. Jadi saya rasa ini proyek yang cocok baginya. Sedangkan Bima dan Tissa Biani, terus terang karena dalam film-film sebelumnya, saya jarang memakai aktor muda. Sebab, dalam film saya, pemeran utamanya orang dewasa semua. Akhirnya, nama Bima muncul atas rekomendasi Lukman karena mereka berdua pernah bekerja sama sebelumnya. 

Film apa yang berkesan sehingga Anda memilih jalan di penyutradaraan?

Saya besar di era 1990-an. Kalau ingat di masa itu adalah era kebangkitan produksi film independen. Waktu itu, ada sutradara Amerika Serikat, Robert Rodriguez, melalui film El Mariachi dengan biaya US$ 7.000 saja. Lalu semua orang berpikir ingin menjadi filmmaker. Saya tumbuh di era tersebut dan menonton El Mariachi di bioskop. 

Sutradara Film Mungkin Kita Perlu Waktu, Teddy Soeriaatmadja, di kantor Karuna Pictures, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, 28 Februari 2025. TEMPO/Ilham Balindra

Anda pernah menyebutkan bahwa keterbatasan dana dalam penggarapan film bisa meluaskan jangkauan kreativitas. Bagaimana maksudnya?

Sebenarnya banyak sekali keputusan-keputusan kreatif yang menarik dan bisa memunculkan kekhasan gaya dalam film. Contohnya, saya pernah menggarap film berjudul Lovely Man dengan bujet yang sangat kecil. Waktu itu, kami hanya punya satu lensa, tak punya tripod, dan semuanya handheld (direkam dengan tumpuan tangan) karena benar-benar tidak punya alat. Ketika kami shoot dan edit, itu menjadi gaya filmnya. 

Lain cerita jika Anda mempunyai bujet besar saat menggarap Lovely Man...

Belum tentu jadinya sebagus itu. Jadi style itu timbul karena kita benar-benar terpaksa. Menurut saya, that's the magic of being on set than cinema, bahwa ketika kita hanya bisa mencari sesuatu dari keterbatasan, hal itu menjadi sesuatu yang istimewa. Dengan keterbatasan itu, kami berhasil membuat sebuah cerita yang mempunyai substansi yang kuat dan mempunyai gaya unik. Jadi tidak mesti produksi film membutuhkan dana besar. 

Dari sisi penulisan naskah, hal apa saja yang merangsang kreativitas Anda?

Bagi saya, menulis itu susah-susah gampang. Dalam arti, saya tidak pernah mengaku sebagai penulis karena masih banyak orang yang jauh lebih baik daripada saya. Jadi saya berusaha menulis sesuatu yang saya kenal, yang saya tahu rasanya seperti apa. Dialog-dialog yang saya tulis itu adalah dialog yang pernah saya dengar. Entah dari obrolan dengan teman atau keluarga. Jadi dalam segala sesuatu, saya ingin membuatnya secara organik.

Bagaimana Anda memperluas tema-tema cerita yang Anda buat?

Tema yang saya tulis, seperti Lovely Man, bercerita tentang seorang anak pesantren yang punya bapak seorang transgender. Tapi inti ceritanya adalah bapak dan anak. Sesuatu yang saya mengerti, walaupun dibungkus sebagai film yang bercerita tentang transgender jalanan dan anak pesantren. Sama halnya dengan film Berbalas Kejam yang bercerita soal rasa dendam ketika anggota keluarga kita disakiti orang. Itu kan sesuatu yang saya mengerti juga. 

Bagaimana Anda memikirkan detail-detail dalam adegan dan dialog di setiap film yang Anda kerjakan?

Konflik-konflik yang terjadi di keluarga itu sebenarnya adalah hal-hal yang biasa kita alami sehari-hari. Tentu saya menangkap itu dari pengalaman saya dengan keluarga dan anak saya. Mungkin Kita Perlu Waktu itu bukan film drama keluarga, melainkan keluarga sebenarnya.

Apa adegan yang berkesan bagi Anda dalam film ini?

Ada satu adegan yang mungkin saya ingat, ketika sang ibu mau ke dokter gigi, dan si ayah menyarankan agar anaknya saja yang mengantar. Tapi ibunya tidak mau. Sebenarnya itu hal yang sangat biasa, simpel, tapi membuat kita merasa tidak nyaman. Hal semacam itu sering kali terjadi dalam hidup kita, ada hal-hal kecil yang kemudian membesar. Realitas itu yang coba saya dekati. 

Menurut Anda, film yang ideal itu seperti apa?

Film yang menarik adalah film yang tidak memberikan jawaban, tapi memunculkan pertanyaan. Sebab, perbedaan sudut pandang itu tidak salah. Bagi saya, film menjadi berhasil ketika kita bertanya dan memunculkan percakapan setelahnya. 

Belakangan, represi terhadap karya seni marak terjadi. Dari lukisan, teater, hingga musik. Anda mengikuti isu ini?

Menurut saya, karya seni atau seniman tidak bisa disensor atau dibatasi. Sebab, orang tidak bisa berkarya dengan baik dan benar kalau ada rasa takut atau dibatasi. Karya seni adalah hal yang sejujur-jujurnya, sama halnya ketika saya menggarap Mungkin Kita Perlu Waktu, bisa saja saya bikin dengan versi ideal seperti happy ending. Menurut saya, karya seni akan lebih baik untuk si pembuat dan penikmat ketika dibuat dengan sejujur-jujurnya. 

Menurut Anda, lima tahun ke depan tren film Indonesia seperti apa?

Susah, ya, karena saya tidak pernah menargetkan karier berdasarkan tren. Kalau seperti itu, mungkin saya sudah bikin film horor lima biji, ha-ha-ha. Saya berusaha tidak menaruh perhatian kepada hal seperti itu dan berusaha membuat sesuatu yang saya mau saja. Kalau saya berpatok pada tren, ya, bebannya berat. 

Mengapa?

Misalnya tren hari ini adalah film horor yang bisa meraup 10 juta penonton. Terus saya mau membuat film apa jika terbebani tren itu? Memang ada filmmaker yang seperti itu, yang melihat tren, tapi ada juga yang tidak. Mungkin saya masuk ke kategori yang berusaha tidak melihat tren. Saya ingin membuat sesuai dengan apa yang saya mau. Kalau hanya memikirkan tren, capek, ha-ha-ha. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yosea Arga Pramudita

Yosea Arga Pramudita

Lulus dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah pada 2017. Bergabung dengan Tempo pada Februari 2023 di desk gaya hidup. Kini menulis untuk desk wawancara dan investigasi. Chapbook puisinya berjudul yang papa dalam 35mm diterbitkan Penerbit Ramu pada Oktober 2024.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus