Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menghadapi gugatan Luhut Binsar Pandjaitan.
Upaya mediasi oleh polisi macet.
Haris dan Fatia menjelaskan dasar kritik mereka terhadap Luhut.
ADA kesamaan antara Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Mereka sama-sama aktivis di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Haris menjadi koordinator lembaga itu pada 2010-2016. Fatia memimpin organisasi itu sejak 2020. Kini mereka sama-sama dilaporkan ke polisi oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaporan itu bermula dari podcast di kanal YouTube Haris bertema “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya? Jenderal BIN Juga Ada” pada 20 Agustus 2021. Haris menjadi tuan rumah serta moderator acara itu dan Fatia salah satu narasumbernya. Luhut merasa namanya dicemarkan dalam acara itu dan melaporkan keduanya ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Usaha mediasi oleh polisi tak membuahkan hasil sehingga kasus ini berlanjut. Pada Sabtu, 22 Januari lalu, polisi hendak menjemput paksa Haris dan Fatia dengan alasan untuk pemeriksaan. Keduanya menilai pemanggilan paksa itu tak layak karena mereka sudah mengajukan penundaan. Mereka akhirnya memenuhi panggilan tersebut.
Dalam wawancara bersama Haris-Fatia di kantor Yayasan Lokataru di Pulo Gadung, Jakarta, mereka menuturkan tentang pemanggilan paksa, pemeriksaan oleh penyidik, dan hasil studi sembilan lembaga yang menjadi dasar topik perbincangan dalam podcast tersebut. Studi yang dilakukan oleh #BersihkanIndonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nasional, Pusaka Bentara Rakyat, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Papua, Lembaga Bantuan Hukum Papua, Kontras, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia yang berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua” itu dirilis pada Agustus tahun lalu.
Menurut Juniver Girsang, pengacara Luhut, kliennya bukannya antikritik asalkan kritik itu konstruktif dan berbasis data yang sudah dikonfirmasi. “Ini tidak dikonfirmasi, langsung diekspose. Ternyata apa yang disampaikan bukan kritik, (tapi) menyerang pribadi. Malah mencemarkan nama baik Luhut dan keluarga,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 26 Januari lalu. Selain mengajukan gugatan pidana, Luhut mengajukan gugatan perdata.
Haris dan Fatia mengaku tidak takut bila diadili. “Kami menolak pengadilan karena temuan dan kritik secara akademik kok dibalas dengan pemidanaan,” kata Haris dalam wawancara dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, di kantor Yayasan Lokataru pada Sabtu, 22 Januari lalu.
Polisi berencana memanggil paksa Anda berdua pada Sabtu, 22 Januari. Bagaimana ceritanya?
Fatia: Sekitar pukul 07.45, ada yang mengetuk pagar berkali-kali. Saya baru bangun jam delapanan. Mereka mengaku mendapat instruksi dari atasan untuk menjemput karena saya dinilai mangkir dua kali dengan alasan tidak jelas. “Enggak jelas gimana?” tanya saya. “Kan, sudah dijelaskan dalam permohonan penundaan bahwa saya ada urusan pekerjaan lain.” Saya sempat kontak Bang Haris untuk janjian. Ya, sudah, saya jam 11 datang sendiri ke Polda. Sebagai saksi, saya semestinya tidak bisa dipanggil paksa atau dijemput.
Haris: Sekitar pukul 8 pagi, saya sedang di kantor. Kebetulan habis antar anak ke sekolah. Saya duduk di teras belakang. Dua-tiga menit kemudian, ada bunyi bel. Agak aneh pagi-pagi ada bunyi bel. Orang biasanya datang di atas jam 9. Saya ke depan. Ada dua-tiga polisi. Saya tanya ada apa. Mereka tunjukkan surat perintah untuk menghadirkan saksi, bukan surat panggilan. Saya sampaikan bahwa saya akan hadir nanti jam 10 atau 11. Saya nanti datang bersama pengacara saya bareng Fatia. Sampai hari ini saya masih ada diskusi, kok mereka tahu saya di kantor?
Fatia: Saya juga sama. Rumah saya itu alamatnya tidak sama dengan yang di KTP (kartu tanda penduduk Bogor). Saya baru pindah. Tapi dia tahu rumah saya.
Haris: Bisa jadi dia ngikutin dari rumah.
Fatia: Atau melalui tracking.
Haris: Tracking di HP kami. Tak lama saya duduk, mereka langsung pencet bel.
Apa saja yang ditanyakan penyidik?
Haris: Ada 17 pertanyaan. Karena itu acara saya, saya ditanya soal akun YouTube, cara membuat video, lokasi pembuatan, tim kerja, dan berapa subscriber-nya. Setelah itu, masuk ke poin pernyataan Fatia yang mengatakan “Bisa dibilang Luhut bermain tambang di Papua”. Ada beberapa yang saya jawab. Ada beberapa yang saya koreksi. Saya dipancing soal pernyataan Fatia itu. (Saya jawab) silakan tanya sama Fatia. Pemeriksaan berlangsung sekitar lima setengah jam.
Fatia: Pada dasarnya pertanyaannya sama. Pertanyaan 1 sampai 11, semua soal YouTube dan video. Soal teknis YouTube, saya jawab tidak tahu karena saya cuma diundang. Saya sebagai tamu dan Haris sebagai moderator. Saya datang karena saya mau mengedukasi publik mengenai informasi Papua. Saya tahu akun YouTube Haris itu tujuannya untuk mengedukasi publik, apalagi program “ngeHAMtam” ini banyak membahas isu hak asasi manusia, korupsi, lingkungan, dan itu jadi salah satu ruang kami untuk menyebarkan informasi.
Penyidik bertanya mengapa harus mengangkat judul itu. Saya tidak tahu. Pada intinya (diskusi itu) untuk membahas riset. “Kalau Bapak mau tahu, kami tidak hanya menyebarkannya di akun Haris, tapi di sembilan organisasi yang terlibat riset ini.”
Pertanyaan 12 sampai 18 soal riset. Siapa saja yang terlibat, dasarnya apa bisa menyebut nama Luhut, sumbernya dari mana saja. Saya kasih risetnya. “Baca saja, Pak, di halaman 17-18.” Penyidik tanya, sumbernya dari mana. “Itu ada di footnote.” Datanya dari mana saja? Semuanya legal. Dari Administrasi Hukum Umum, data perusahaan. Semua bisa diakses publik. Penyidik tanya mana buktinya. Saya jawab, tidak dibawa sekarang. Kalau mau bukti, panggil lagi. Kami juga punya saksi-saksi.
Anda dikritik punya agenda sendiri?
Haris: Ada sih orang yang bertanya atau menuduh saya ada agenda apa. Agenda saya adalah soal keterbukaan dan kelayakan kebijakan perlakuan terhadap orang Papua. Tapi orang menganggap saya mengejar sesuatu yang material. Kalau ada yang bilang saya kenal dia, ya, memang, tapi perkenalan atau komunikasi yang pernah ada itu dalam urusan dia sebagai pejabat publik.
Ada upaya mediasi?
Haris: Upaya mediasi oleh polisi itu kan baru. Hukum acaranya tidak mengerti kami. Ada pertanyaan juga, kalau dua kali dia tidak datang dan kami sekali tak datang terus dibilang tak kooperatif. Sebetulnya aturannya bagaimana? Dibilang, suruh damai. Kami mah cinta damai. Cuma, kalau damai dalam arti kata karena pejabat publik, kami sebagai anak muda disuruh minta maaf, saya keberatan. Ayo, kita diskusi, salahnya di mana.
Fatia: Pernah saya sampaikan di media saat mediasi tidak jadi. Kalau, misalnya, yang kami lakukan salah, buktikan dengan riset, bukan dengan memidanakan. Temuan dibalas dengan temuan lain. Ketika proses mediasi, satu kali kami tidak datang saja sudah dianggap tidak kooperatif. Padahal sebelumnya kami yang datang, sedangkan dia tidak datang, tapi kami tidak mempermasalahkan itu. Alasan Pak Luhut tidak datang itu karena pekerjaannya menemani Presiden Jokowi. Saya juga sama. Kami juga bekerja. Ada perbedaannya antara tugas kenegaraan dan pekerjaan saya? Kok, jadi kayak tidak sama di mata hukum.
(Juniver: Saat diundang pertama, Pak Luhut sedang melaksanakan tugas negara sehingga tidak bisa datang. Sudah ditentukan tanggal berikutnya Luhut siap datang, tapi Haris dan Fatia tidak hadir.)
Apa pertimbangan mengangkat topik itu dan memakai kata “lord”?
Haris: Pertama, “lord” itu panggilan yang sudah populer lebih dulu. Kedua, dari temuan sembilan organisasi itu, yang paling sering muncul dan strategis jabatannya adalah Pak Luhut. Lord itu, menurut saya, bukan sesuatu yang buruk. Lord itu lebih tinggi dari sir di Inggris. Kami pakailah judul itu. Karena dalam temuan (riset), dia yang perannya paling sentral dan strategis.
Fatia: Kan, disebut juga ada jenderal BIN (Badan Intelijen Negara), BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) yang jadi komisaris. Semua saya sebutin. Yang punya peran signifikan adalah dia karena menteri koordinator dan itu soal investasi asing. Karena perusahaan induk tambangnya dari Australia, ya, sudah pasti berelasi dengan perizinan untuk keamanan dan urusan lain. Dan jelas bahwa satu perusahaan dimiliki sahamnya oleh dia.
Apa kepentingan utama mengangkat soal ini?
Haris: Soal konflik kepentingan. Karena jabatannya dan bisnisnya.
Fatia: Ini kan bukan pertama kali dia dibahas dalam perannya di sektor bisnis yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi, dan segala macam.
Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar (kanan) jelang pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jakarta, 18 Januari 2022.. TEMPO/Subekti.
Luhut membantah bermain tambang di Papua.
Fatia: Kami kan basisnya dari pernyataan laporan tahunan Watch West Mining. Dari situ sumber primernya.
Haris: Itu bukan bahan yang kami bikin-bikin. Sekali lagi, mereka tidak mau masuk ke bahan temuan. Sibuk sama judul dan statement Fatia.
(Juniver: Disebut Lord ada di balik operasi militer dan menguasai tambang di Papua. Setelah kami coba pelajari, data yang disampaikan itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Yang disebut perusahaan milik Luhut, yang ada kaitannya dengan Luhut, tidak ada. Sementara itu, kesan di masyarakat, Luhut bermain di tambang, bermain di Papua. Ini yang disebut pembunuhan karakter.)
Pelapor mungkin merasa perlu membela namanya.
Haris: Nama baik itu kan personal. Kami berbicara di ranah kebijakan publik, jabatan publik, atau etika publik. Kalau Kontras, Walhi, Pusaka, Jatam ngomong personal pejabat, mereka akan dimarahi sama anggotanya. Saya juga tidak tertarik. Saya bukan komentator infotainmen yang mengomentari baju orang. Kami peduli soal hak asasi sebagai tujuan dan cara. Kalau ngomongin bisnis, ada prinsip demokrasi. Dia tidak hanya mengumpulkan, tapi juga memastikan ada distribusi. Di situlah persoalannya. Bisnis hanya berpikir akumulasi, sementara negara harus memastikan distribusi. Ketika ada satu orang atau kelompok yang memainkan dua peran tadi—apalagi bisnisnya bukan badan usaha milik negara, tapi bisnis pribadi—itu yang dipertanyakan.
Melihat kondisi riilnya, kok tega-teganya akan membangun tambang di sana. Tanpa konflik saja tidak layak ditambang emasnya. Dalam setiap perencanaan bisnis di suatu wilayah, harus ada kesetaraan dengan orang lokal untuk mendiskusikannya. Ini kondisinya tidak baik ditambah konflik berkepanjangan. Kan, aneh. Konflik jalan terus, perencanaan bisnis jalan terus. Tapi ini memang kecenderungan di banyak tempat, di Afrika dan Indonesia. Konflik itu diciptakan untuk menutupi supaya praktik bisnis itu tidak transparan.
Adakah indikasi itu dalam kasus di Papua?
Haris: Itulah temuan risetnya.
Fatia: Pertanyaan risetnya adalah melihat kaitan antara pengiriman aparat keamanan ke sana, apakah seimbang dengan orang yang dianggap kelompok kriminal bersenjata? Apakah itu pada akhirnya berdampak pada pelanggaran hak asasi? Kami tahu, pada akhirnya orang-orang Papua jadi pengungsi internal. Setelah diriset, terlihat adanya degradasi penghuni Intan Jaya dari tahun ke tahun.
Haris: Dari delapan distrik, tinggal empat distrik (yang dihuni).
Fatia: Mereka pada mengungsi dan bahkan sampai ke Papua Nugini. Itu karena mereka ketakutan dengan penempatan militer. Tapi di satu sisi sedang ada upaya (penambangan). Saat ini masih kosong, belum ada eksplorasi atau apa pun. Tapi ada upaya mau menduduki untuk eksplorasi tambang. Mengapa dipaksakan? Mengapa pasukan militer terus ditambah? Apalagi kalau kita lihat laporan West Wits Mining yang jelas mengatakan bahwa ada perjanjian dukungan keamanan dari pemerintah Indonesia untuk eksplorasi tambang di blok Wabu atau di Intan Jaya secara umum.
Mana yang lebih baik: mediasi atau pengadilan?
Fatia: Boleh ada perdamaian kalau ada temuan bahwa pejabat publik terbukti tidak terlibat. Kalau mereka bisa buktikan itu, saya akan mengakui bahwa saya salah. Kalau pada akhirnya ke pengadilan juga tidak ada masalah karena di pengadilanlah ruang publik untuk membuktikan bahwa apa yang kami lakukan, riset dan peredaran informasi tadi, itu murni untuk kepentingan publik dan membuka apa yang terjadi di Papua.
Haris: Kan, bagus, temuan ini direspons dengan temuan lain, terutama dari pihak negara yang punya akses informasi. Semestinya negara membongkar isi jeroannya, sandingkan dengan data kami. Kalau kami menolak pengadilan, itu bukan karena kami takut. Kami menolak pengadilan karena temuan dan kritik secara akademik kok dibalas dengan pemidanaan. Tapi kalau dipaksakan, ya, kami datang. Kami tidak akan kabur.
Apakah sudah siap dengan risiko dipenjara?
Haris: Insya Allah siap.
Fatia: Persiapannya sudah dibicarakan sejak awal kasus. Apalagi kalau kasus ini terus bergulir, konsekuensi yang bisa dihadapi adalah penjara. Tapi, harapannya, pejabat publik juga dapat memberikan bukti secara akuntabel soal praktik bisnis yang terjadi dan tidak main memenjarakan atau mengkriminalisasi warga. Dan polisi pun dapat menjalankan proses ini dengan adil dan tidak berat sebelah.
Haris Azhar
Tempat dan tanggal lahir:
• Jakarta, 10 Juli 1975
Pendidikan:
• S-1 Sarjana Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 1999
• S-2 University of Essex, Inggris, 2010
Pengalaman berorganisasi:
• Relawan Divisi Advokasi Kontras, 1999
• Wakil Koordinator Kontras
• Koordinator Kontras, 2010-2016
• Direktur Yayasan Lokataru, sejak 2017
Fatia Maulidiyanti
Tempat dan tahun lahir:
• Bogor, Jawa Barat, 1992
Pendidikan:
• S-1 Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
Karier dan pengalaman berorganisasi:
• Pendiri Inisiatif Books for Tomorrow
• Kepala Divisi Advokasi Internasional Kontras, 2019-2020
• Koordinator Kontras, sejak 2020
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo