Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Anak Muda Membangun Desa

Anak-anak muda ini kembali dan hidup di desa. Membantu petani hutan lebih berdaya.

 

29 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dua anak muda tinggal dan hidup di kampung menjadi petani.

  • Mereka menjadi inspirasi penduduk desa memaksimalkan potensi pertanian.

  • Di Gunung Halimun, petani hutan beromzet Rp 300 juta sebulan.

KAMPUNG Cikaniki hanya berjarak 70 kilometer dari Kota Bogor. Tapi mencapainya butuh empat hingga lima jam jika lewat Sukabumi. Jalannya berbatu dan hanya selebar satu-setengah meter, menembus hutan, serta naik dan meliuk di lereng gunung. Hanya dihuni 200 keluarga, kampung di Desa Malasari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini berada di tengah hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satunya Hadi Surono. Ia tidak lahir di kampung ini. Ia datang dari Jambi. Laki-laki 32 tahun ini datang ke Cikaniki pada 2015 karena menyunting Mega Lestari, gadis di desa ini. Hadi begitu saja meninggalkan pekerjaan nyaman di perkebunan kelapa sawit anak usaha Sinar Mas di Jambi, yang waktu tempuhnya satu jam dari kampung kelahiran dan rumah orang tuanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hadi memutuskan tinggal di Cikaniki sejak menerima pesan seluler Mega yang menanyakan kabar. Keduanya berkenalan setahun sebelumnya ketika Hadi, sebagai mahasiswa tingkat akhir Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, meneliti owa Jawa di sekitar Cikaniki

Meski tabungan di rekeningnya hanya Rp 10 juta dan mengalami ketidakpastian pekerjaan di Cikaniki, Hadi mantap menikahi Mega. Ia memutuskan tak memboyong Mega ke Jambi sebagaimana umumnya anak muda yang baru meniti karier. “Desa ini punya banyak potensi,” tuturnya pada pertengahan Januari lalu. “Hutan di sini masih asri, dingin, sungai-sungainya jernih.”

Masalahnya, semua potensi itu bukan miliknya. Seperti umumnya penduduk Cikaniki, mertua Hadi tak punya lahan. Penduduk harus kucing-kucingan dengan polisi hutan jika mereka membuat kebun karena itu tindakan ilegal. Maka banyak anak muda yang menjadi gurandil, penambang emas ilegal di sekitar Pongkor yang mencemari sungai. Penghasilan para gurandil rata-rata Rp 4 juta sepekan.

Setahun setelah menikah, Hadi masih belum punya pekerjaan. Ia hanya membantu menjaga warung kelontong mertuanya dengan menambah fasilitas studio foto instan. Tahun itu polisi, tentara, dan polisi hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangkap para gurandil tanpa ampun. Banyak anak muda Cikaniki pulang kampung dan tak ada yang berani menambang emas lagi.

Mereka pun menganggur. Angka perceraian meningkat. Anak-anak banyak yang putus sekolah. Hadi Surono punya ide menegosiasikan pemakaian lahan hutan untuk pertanian. Dibantu Sawit Watch, lembaga swadaya masyarakat pendamping, Hadi mendatangi kantor Taman Nasional. Tapi tak ada skema kerja sama pemakaian lahan hutan untuk penghidupan masyarakat desa di sekitarnya di hutan yang masuk kawasan pelestarian alam.

Desa Malasari, di tengah hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak perbatasan Bogor-Sukabumi, Banten, 26 Januari 2022/Tempo/Bagja Hidayat

Program perhutanan sosial belum menjangkau pemanfaatan kawasan konservasi. Dengan hewan endemis seperti macan tutul, owa Jawa, dan elang Jawa, Taman Nasional Halimun-Salak menjadi area konservasi yang tak boleh dirambah. “Tapi kami coba fasilitasi keinginan masyarakat itu,” ucap Ahmad Munawir, Kepala Taman Nasional.

Proses yang rumit itu berlangsung dua tahun. Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup akhirnya menerbitkan aturan kemitraan konservasi pada 2018. Masyarakat punya izin mengelola hutan sembari menjaganya. Munawir lalu meminta penduduk Cikaniki memenuhi syarat administrasi, seperti membentuk kelompok tani. Baru pada pertengahan 2021 izin kemitraan untuk Kampung Cikaniki terbit.

Ada 112 hektare lahan hutan yang dialokasikan untuk 198 keluarga. Mereka yang sebelumnya sudah membuka lahan hutan kini legal menggarapnya. Mereka yang belum punya lahan mendapat garapan baru. Masyarakat yang berminat menggarap lahan hutan berhimpun dalam Kelompok Tani Hutan Cikaniki Sejahtera. Hadi menjadi ketuanya.

Mereka menanam sayuran dan kapulaga karena ini komoditas yang mereka tahu cara mengolahnya. Begitu panen pertama kali, Hadi dan para petani kebingungan menjualnya. Sebelum lahan legal digarap, sayuran hanya untuk dikonsumsi sehari-hari. Hasil petani dari lahan kurang dari 1 hektare sekitar 5-10 kilogram. Jika mereka menjualnya sendiri-sendiri ke pasar Bogor dengan lima jam perjalanan, hasilnya tak akan menutup biaya pengolahan kebun.

Dengan tabungannya yang tersisa, Hadi mencicil pembelian mobil bak untuk menampung hasil-hasil kebun petani. Dengan mobil itu ia antar hasil sayuran petani ke pasar Kemang di Bogor. Hadi menghubungi teman-temannya di kota almamater kampusnya untuk mencari akses ke pasar Kemang. 

Sejak saat itu, sayuran petani Cikaniki menemukan pasar. Dengan skema wanatani, jenis sayuran petani kian beragam. Kini mereka juga memanen pisang dan buah-buahan lain. Setelah empat tahun, penghasilan para petani stabil. Sambil mesem-mesem, Hadi menyebut omzet dari sayuran saja Rp 300 juta sebulan.

Oleh, anggota KTH Cikaniki Sejahtera, mengatakan kini hidupnya lebih tenang karena tak perlu lagi menjadi gurandil dan bisa menggarap lahan dengan tenang. Anak sulungnya kini sedang belajar di sekolah menengah atas di kampung sebelah. “Waktu jadi gurandil uang banyak tapi tak pernah sampai ke rumah,” kata laki-laki 35 tahun ini. 

Hadi dan para petani hutan Cikaniki kini sedang mencoba menanam komoditas lain, seperti kopi dan serai wangi. Mereka juga membangun sekolah. Di sini jarang ada guru dari luar kampung karena akses yang sulit. Hadi ingin penduduk punya pemahaman bahwa pendidikan penting bagi masa depan anak-anak. “Problem sosial di sini pernikahan dini dan perceraian,” tuturnya.

Pemberdayaan yang dilakukan Hadi juga terjadi di Grobogan, Jawa Tengah, dalam versi lain. Muhammad Puji Hendriyanto membangun kebun lengkeng yang membuat Desa Sumberagung di Kecamatan Ngaringan menjadi terkenal karena menjadi obyek wisata yang didatangi banyak orang.

Syahdan, selepas menikah sembilan tahun lalu, Hendri tak punya pekerjaan. Orang tuanya mewariskan dua hektare lahan hutan jati. Menurut Hendri, pohon jati adalah tabungan jangka panjang, tak bisa menjadi andalan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia pun menebang semua pohon jati lalu menanam lengkeng karena pohon buah ini pemeliharaannya tak ruwet.

Di Sumberagung, lengkeng bukan tanaman populer. Ada yang menanam tapi biasanya tak berbuah. Karena itu, tetangganya heran ketika Hendri menanamnya. “Saya lihat di Prambanan bisa berbuah,” ujar Hendri, kini 38 tahun, Rabu, 27 Januari lalu. “Seharusnya di sini juga bisa.” Karena itu, ia memilih lengkeng jenis itoh (Dimocarpus longan), yang manis, berdaging tebal, dan berbiji kecil. Meski dianggap aneh oleh para tetangga, Hendri menambah luas area kebun lengkeng menjadi lima hektare. 

Teknik bercocok tanam lengkeng ia pelajari dari YouTube atau berselancar di Internet. Hendri tak punya pendidikan pertanian. Pernah kuliah di sebuah universitas swasta di Semarang, Hendri pilih balik kampung sebelum lulus.

Di YouTube, ada yang menyarankan menambahkan potassium chlorate untuk menyuburkan tanah di sekitar pohon lengkeng. Hendri mencobanya pada lima pohon. Ternyata, pohonnya cepat berbunga dan berbuah. Ia pun menyuntikkan perangsang itu di tanah semua pohon lengkeng.

Setelah dua tahun, lengkeng itoh siap panen. Sebelum memanennya, ia berkeliling ke sejumlah pasar mencari orang yang mau menampungnya. Ada dua yang bersedia: di Pasar Johar Kota Semarang dan Pasar Kramat Jati di Jakarta.

Ketika hendak panen, ada sepuluh orang tetangga lain desa yang datang dan tertarik membeli lengkeng dengan cara memetiknya secara langsung. Hendri mengizinkannya. Saat memetik itu, mereka berfoto-foto dan kemudian mereka unggah ke media sosial.

Muhammad Puji Hendriyanto di kebun lengkeng Desa Sumberagung, Kecamatan Ngaringan, Grobogan, Jawa Tengah, 26 Januari 2022/Tempo/Jamal Al Nashr

Tak dinyana, foto itu viral. Esoknya yang datang membeli lengkeng tak hanya sepuluh, tapi seratus orang. Bukannya berhenti, esoknya makin banyak orang yang datang. Hendri sampai kebingungan. “Jalan desa sampai macet,” ucapnya. Dalam sepekan, ia menghitung, ada 3.000 pengunjung yang memetik lengkeng di kebunnya. 

Lengkeng lima hektare itu ludes dalam sepekan. Hendri membatalkan pengiriman ke Semarang dan Jakarta seraya meminta maaf karena lengkengnya sudah habis sebelum dipetik. 

Fenomena lengkeng Hendri membalikkan pandangan masyarakat Sumberagung pada buah asal Cina ini. Setelah melihat Hendri tiga kali panen dengan hasil yang stabil dan ada penampungnya di dua pasar itu, mereka mulai ikut menanam. Kini ada 40 hektare kebun lengkeng di desa itu dengan jumlah pohon sebanyak 12 ribu. Tiap orang menanam 10-100 pohon lengkeng di lahan miliknya masing-masing.

Tak hanya dapat dipanen, kebun lengkeng juga menjadi area wisata. Jalan setapak desa kini berganti aspal selebar dua mobil papasan. Desa yang dulu gelap kini terang oleh nyala listrik. Popularitas Hendri membuat ia terpilih menjadi kepala desa tiga tahun lalu.

Hendri sudah jarang ke kebun lengkeng. Ada empat pekerja yang mengurus 2.500 pohon lengkengnya. Agar panen lengkeng tak serempak sehingga wisatawan stabil, para petani menyuntikkan potasium enam bulan sebelum panen. Dengan cara itu kebun lengkeng Sumberagung panen sepanjang tahun.

Kepada wisatawan, petani menjual lengkeng dengan harga Rp 30-40 ribu per kilogram. Satu pohon lengkeng di Sumberagung rata-rata menghasilkan 20-60 kilogram. Para petani pun mendapat berkah melimpah karena pembelinya datang sendiri sambil berwisata.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Jamal A. Nashr dari Grobogan berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Bagja Hidayat

Bagja Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Alumni IPB University dan Binus Business School. Mendapat penghargaan Mochtar Loebis Award untuk beberapa liputan investigasi. Bukunya yang terbit pada 2014: #kelaSelasa: Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus