Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT tahun Darmawan Prasodjo menjadi “orang dalam” Istana Kepresidenan, ketika ia menjadi Deputi Kepala Staf Presiden pada 2015-2019. Sebelumnya ia juga terlibat dalam penyusunan materi kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla pada pemilihan presiden 2014. Sebagian pengalamannya ia tulis dalam buku Jokowi Mewujudkan Mimpi Indonesia yang terbit tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika edisi bahasa Inggris buku itu terbit, Darmawan telah menjadi Wakil Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara. Di posisi ini, ia memimpin digitalisasi di perusahaan listrik negara itu. Pada akhir tahun yang sama, ia ditunjuk menjadi Direktur Utama PLN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan pengalamannya tersebut, tak mengherankan banyak orang memposisikan Darmawan sebagai orang politik yang kini memimpin badan usaha milik negara. Apalagi ia juga pernah menjadi calon legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada 2014. Ditanyai soal ini, pria 52 tahun asal Magelang, Jawa Tengah, itu menjawab, “Saya ini teknokrat.”
Darmawan menjelaskan visinya tentang transisi energi, mobil listrik, dan perubahan iklim dalam wawancara khusus dengan Budi Setyarso dari Tempo di sela-sela Konferensi Perubahan Iklim Ke-27 (COP27) di Sharm El Sheikh, Mesir, Rabu, 9 November lalu. Setiap pagi, ia menyempatkan diri berlari lima kilometer di tepi pantai biru kota itu. Berikut ini petikan wawancaranya yang berlangsung hampir dua jam.
Dalam konteks perubahan iklim, apa perhatian utama Anda?
Kita berbicara permasalahan sangat mendasar: bumi memanas. Setiap kita makan satu kilogram nasi, ada emisi gas rumah kacanya. Setiap satu liter bensin, ada emisi karbon dioksida (CO2). Setiap kilowatt-jam listrik yang kita konsumsi, ada emisi CO2. Begitu bumi memanas, permukaan laut naik, cuaca makin ekstrem. Global warming ini memang masalah lingkungan. Namun, kalau kita lihat sumber gas rumah kacanya—dari listrik, makanan, hingga furnitur yang berbahan dasar kayu—itu adalah kegiatan ekonomi. Maka perubahan iklim ini juga masalah ekonomi.
Apa artinya bagi PLN?
Kita harus pastikan nasib generasi mendatang harus lebih baik dari generasi saat ini. Bagaimana caranya? PLN perlu terlibat dalam memperlambat pemanasan global. Kalau bisa, dalam dosis tertentu bisa menurunkan suhu, walaupun itu sulit sekali. Dalam pemanasan global, emisi di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu sama dengan di Moskow, Paris, New York, Sam El Seikh, Timbuktu, dan Tokyo. Di sinilah global warming menjadi global challenge. Maka yang perlu dicari adalah global solution. Kita tidak akan dapat menghadapi dan menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita harus menyelesaikan persoalan ini dalam suasana kolaborasi dan itulah spirit COP27.
Emisi karbon transportasi kini 240-250 juta ton per tahun. Berapa dari sektor kelistrikan? Pada 2060 jadi berapa?
Kalau business as usual, pola yang sekarang kita ekstrapolasi ke 2060 adalah 900-1 miliar ton. Dari sektor kelistrikan 280 juta ton. Berapa pada 2060? Sekitar 900-1 miliar ton juga. Jadi, kalau kita lihat dari total emisi, kelistrikan dan transportasi sama-sama (menyumbang) 25 persen emisi.
Itu besar sekali. Bagaimana bisa mencapai net zero emission?
Ini kalau business as usual. Tapi kami tidak akan membiarkan ini tanpa ada intervensi. Emisi kita yang paling banyak kan dari pemanfaatan lahan, termasuk pertanian. Kemudian ada pengolahan tanah, yang sebelumnya alami. Saat ini (penanganan emisi) di negara ini bukan pendekatan tunggal, melainkan holistik. Misalnya penghentian ekspansi penggunaan hutan dan penanaman kembali mangrove. Kami melakukan ini secara agresif, termasuk dari kelistrikan. Satu per satu kami petakan bagaimana akan mencapai net zero pada 2060.
Di sektor kelistrikan, prosesnya bagaimana?
Ada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Yang terakhir berjalan, RUPTL 2021-2030, ada 13 gigawatt pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang sudah kami hapus. Saya melihat yang paling strategis bukan mengurangi, tapi menghindari emisi. Kalau rencana ini dijalankan, akan ada emisi minimum 25 tahun selama masa kontrak, yang bisa sampai 40 tahun. Daripada mumet, dibatalkan saja.
Berapa pengurangan emisinya?
Tergantung. Emisi 1 gigawatt pembangkit lama sekitar 8 ton karbon per tahun. Kalau pembangkit baru sekitar 6 juta ton. Jadi dalam 25 tahun sekitar 1,8 miliar ton emisi apabila rencana dilaksanakan. Terus, kita lihat lagi bahwa 1,1 gigawatt bisa dihapus tapi harus diganti dengan energi baru dan terbarukan (EBT). Masih ada 880 megawatt yang langsung dihapus dan diganti dengan pembangkit berbasis gas serta emisinya bisa dikurangi separuh. Juga penambahan kapasitas pembangkit selama 2021-2030 tadi dikurang-kurangi, selain juga ditambah porsi EBT-nya menjadi 51,6 persen. Yang tadi berbasis batu bara diubah menjadi EBT. Apakah sudah cukup? Belum. Bahkan pembangkit yang sudah masuk daftar—saya tak bisa sebut—itu pun ada yang kontrak pembeliannya yang sudah ditandatangani. Tapi dua tahun lalu kami bernegosiasi dengan produsen listrik independen tersebut. Dan itu kami juga punya risiko legal.
Apa masalah terbesar dari pembangkit EBT ini?
Orang kan mempertanyakan stabilitas pasokan dan biayanya. Kalau bicara sejarah, memang ada dilema. Energi murah itu kotor dan energi bersih itu mahal. Pada 2015, biaya batu bara 5 sen per kilowatt jam dan kami lelang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) seharga 25 sen per kilowatt jam. Jauh (selisih harganya). Apakah energi bersih itu juga (bisa) murah? Apakah menjadi energi murah itu (bisa) bersih? Saya melihat ke arah sana. Memang, para ahli melontarkan, itu beda. Batu bara itu base load, beroperasi 24 jam. PLTS rata-rata operasinya setara dengan empat-lima jam per hari, pukul 10 pagi sampai pukul 2 siang. Sisanya kosong. Itu yang kami sebut intermittent. Jadi, kalau mau 1 megawatt memakai PLTS, pembangkitnya harus 5 megawatt peak, 1 megawatt langsung, 4 megawatt-nya disimpan ke baterai. Baterai itu yang kemudian memasok selanjutnya. Nah, sekarang berapa harganya? Mahal sekali. Tapi manusia selalu berinovasi. Bisa atau enggak bermimpi energi bersih dan murah?
Menurut Anda bisa?
Saya percaya itu. Handphone sekarang lebih powerful dari superkomputer yang digunakan untuk mengendalikan Apollo-14 dan dulu segede ruangan.
Ada kebutuhan pendanaan dulu?
Di agensi energi internasional, ada pernyataan bahwa tantangan terbesar transisi energi bukan investasi pada energi terbarukan. Setiap kali ada lelang, banyak peminatnya. Dananya berlimpah dengan adanya pendanaan hijau dan lainnya. Tantangan terbesarnya adalah stranded asset (aset terlantar).
Aset dari pembangkit lama?
Ya. Yang sudah kebacut diinvestasikan aset pembangkit. Selalu 25 tahun kan masa pembiayaannya. Jadi ini sudah kebacut adanya investasi dalam jumlah besar ke termal dan apabila ditutup disebut aset terlantar. Padahal ada kontrak jangka panjang yang harus dihormati dan punya konsekuensi legal dan fiskal. Inilah yang kami petakan.
Apakah aset itu bisa dikeluarkan dari buku kita?
Aset ini milik negara, bukan PLN. Penghapusan aset dari kekayaan negara ada aturannya sendiri. Lalu kita berbicara mengenai buku keuangan PLN. Biasanya kami menghitung pendapatan bersih dari earning before interest tax depreciation and amortization, kemudian dikurangi depresiasi, katakanlah, Rp 600 miliar per tahun selama 20 tahun. Kalau dihentikan lebih awal, seakan-akan kondisi keuangannya menjadi bangkrut. Jadi, menurut aturan fiskal dan lain-lain, kami tak bisa langsung mematikan aset seperti itu. Maka yang kami tawarkan ke negara donor, kalau kalian ingin menjadi bagian dari program pensiun dini PLTU, silakan berikan kami hibah.
Apa jawaban mereka?
Ini sedang berproses. Kami membangun sesuatu yang belum pernah dilakukan. Aturannya juga belum matang dan kami sedang membicarakan ini dengan negara donor juga. Memang ada keterbatasan, seperti soal aturan tadi. Tapi kami terbuka. Apa yang dihadapi India, Cina, juga sama. Ini ada aset telantar. Hibah memang agak sulit, tapi kami tidak menyerah.
Ihwal aset terlantar itu, apa rencana PLN?
Itulah yang kami hindari. Kami jaga dari awal. Makanya pengembangan EBT pun kami sesuaikan, diseimbangkan antara pasokan dan permintaan. Ini semuanya penuh tantangan.
Di COP ada sejumlah inisiatif pendanaan. PLN memanfaatkannya?
Kami engaged bukan hanya pada satu platform. Kami sudah menyiapkan surat utang hijau (green bond), yang betul-betul untuk EBT. Dari Januari lalu kami sudah siap untuk green bond. Kami bangun mekanisme untuk pendanaan hijau. Kami juga bilateral, multilateral, kemudian juga filantropi. Semua kami buka. Just Energy Transition Partnership itu dari Barat. Maka kami bangun juga dengan Jepang, Bank Pembangunan Asia (ADB), Bank Dunia, filantropi, dan berbagai institusi keuangan.
Mulus atau enggak dalam negosiasinya?
Kami sedang upayakan. Namanya negosiasi internasional, dinamikanya pasti ada. Ini multilateral lagi. Kalau Amerika Serikat setuju, Jepang minta ini. Tahu-tahu Jerman minta ini. Denmark minta ini. Biasa, lah. Dengan berbagai hal itu, yang kami lihat adalah bagaimana Indonesia berperan aktif sebagai episentrum upaya penanganan pemanasan global.
Anda menyebut perubahan iklim ini ada sisi ekonomi juga. Apakah memang ada perebutan pengaruh secara global?
Kita bayangkan penggunaan energi pada 2050. Skenario pertama, Eropa sudah melarang penggunaan mobil dengan internal combustion engine. Itu sudah seperempat minyak dunia berkurang. Kemudian sektor ketenagalistrikan, tidak ada lagi PLTU. Semua EBT. Transisi energi ini akan mengubah lanskap kekuatan ekonomi global. Negara-negara yang dalam proses transisi energi ini akan menjadi pasar energi terbarukan. Apakah mulai kelihatan kepentingan-kepentingan? Tentu saja dan itu yang kami kelola. Kita perlu paham bahwa perubahan iklim bukan hanya masalah lingkungan, melainkan juga ekonomi plus kesempatan.
Bagi PLN, ini kesempatan juga, kan?
Misalnya, sekarang ada tren atau bahkan kebijakan-kebijakan diarahkan untuk mengubah mobil dari bahan bakar fosil menjadi mobil listrik. Kami menjadikan transisi energi untuk membangun ekosistem dengan PLN menjadi episentrumnya. Bahwa nanti transportasi di masa depan akan berbasis pada listrik, PLN harus menjadi fasilitator agar bangsa ini membangun kapasitas nasionalnya. Jadi rantai pasok pembangunan ekosistem ketenagalistrikan harus dibangun di dalam negeri.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo memimpin langsung pengamanan kelistrikan venue acara KTT G20 dari Posko Siaga Nusa Dua Bali, 11 November 2022. Dok. PLN
Untuk apa?
Pertama, kita kan pakai mobil listrik. Mobil listrik itu sekali ngecharge (dapat digunakan) hampir 400 kilometer. Kalau saya ke kantor sejauh 21 kilometer bolak-balik, kebutuhan isi ulang di stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) hampir enggak ada karena bisa dilakukan di rumah pada malam hari. Kerja sama dengan mereka (produsen mobil), begitu ada pembelian mobil listrik, langsung sistemnya tersambung dengan PLN. Ya, sistem pelanggan mereka kami sambung dengan sistem pelanggan kami. Alat home charging-nya kan disediakan oleh mereka, bukan kami. Tapi, begitu mau dipasang, eh, dayanya kurang. Untuk itu, PLN memfasilitasi pemasangan home charging. Kami juga membangun SPKLU secara agresif. Tapi, kalau yang membangun PLN sendiri, pasti enggak akan bisa karena kami membutuhkan lokasi strategis. Yang punya lokasi siapa? Mal, bank, kantor, kedai kopi, restoran. Kami bangun strategi waralaba untuk memanfaatkan area parkir mereka.
Benarkah PLN keberatan dengan PLTS atap?
Kami jelas mendukung transisi energi, tapi yang tidak memberatkan keuangan negara. Kami sudah mengalokasikan 4,7 gigawatt pembangkit listrik untuk PLTS pada 2021-2030. Dalam proses PLTS atap itu, memang ada beberapa tantangan yang sedang kami selesaikan. Jumlahnya dialokasikan 3,6 gigawatt di luar PLTS. Sedang kami hitung balance-nya seperti apa, karena memang PLTS atap ini banyak dibangun di Jawa. Di wilayah Jawa ini, PLN sedang menghadapi kelebihan pasokan.
Beban keuangan negara maksudnya bagaimana?
Apabila produksi listrik atap melebihi yang dikonsumsi, ada “ekspor” ke PLN dengan harga yang sama dengan tarif listrik. Dalam kondisi seperti itu, tentu saja akan dihitung oleh pemerintah sebagai beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Untuk sementara kami menekankan bahwa program PLTS atap ini untuk konsumsi sendiri, bukan untuk diekspor ke PLN.
Hitungannya berapa yang akan dibebankan ke APBN?
Apabila 3,6 gigawatt itu dilaksanakan penuh, hitung-hitungan dari Badan Koordinasi Fiskal Rp 12,1 triliun per tahun.
PLN juga membentuk holding-subholding, bagaimana Anda memimpinnya?
Transformasi awal kami itu digitalisasi pembangkit, transmisi, distribusi, sistem keuangan, sistem pengadaan, sistem pembayaran, dan sistem pelayanan. Dalam proses itu, kami bangun holding-subholding. Transformasi yang sebelumnya proses bisnis kami teruskan dengan transformasi organisasi. Dalam transformasi organisasi ini aset-aset yang terserak seperti pembangkit kami konsolidasikan. Dalam hal ini, dibangunlah dua perusahaan, yaitu PLN Indonesia Power dan PLN Nusantara Power. Dulu kekuatannya hanya sekitar 9 gigawatt, sekarang 20-23 gigawat. Artinya, mereka menjadi perusahaan pembangkit terbesar di Asia Tenggara.
Anda pernah menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan sekarang memimpin PLN. Bagaimana Anda mendefinisikan diri?
Saya teknokrat. Ha-ha-ha. Saya mengakui perjalanan karier saya membentuk dan membawa saya ke sini sebagai Direktur Utama PLN. Nah, untuk itu saya seorang teknokrat. Ya, tugas saya teknokrat. Saya adalah seorang corporate man. Tugas saya memimpin, diberi tugas oleh Pak Presiden, oleh Pak Menteri BUMN, RUPS, ya sudah, sehari-hari bagaimana mengelola PLN menjadi lebih sehat lagi. Itu saya jalankan sebaik-baiknya.
Jadi bukan “orang Presiden”, “orang Luhut Pandjaitan”, atau “orang Erick Thohir”, ya?
Ha-ha-ha. Saya seorang profesional yang bertugas sebagai Direktur Utama PLN.
Darmawan Prasodjo
Tempat dan tanggal lahir: Magelang, Jawa Tengah, 19 Oktober 1970
Pendidikan
• Bachelor of Science, Computer Science with Software Engineering, Texas A&M University, Amerika Serikat (1990-1994)
• Master, Computer Science with Software Engineering, Texas A&M University, Amerika (1998-1999)
• Doctoral, Natural Resources Economy, Texas A&M University, Amerika (2004-2011)
Post-Doctoral, Energy Economics, Duke University, Amerika (2009-2012)
Karier
• Chief Economist Millennium Challenge Account Indonesia (2013-2014)
• Deputi Bidang Energi dan Infrastruktur Kantor Staf Presiden (2015-2019)
• Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (2018-2019)
• Wakil Direktur Utama sekaligus Chief Transformation Officer PT PLN (Persero) (2019-2021)
• Direktur Utama PT PLN (Persero) (2021-sekarang)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo