Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KESIBUKAN pegawai Direktorat Jenderal Kimia Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian bertambah pada akhir Juni lalu. Mereka mengumpulkan berbagai berkas terkait dengan kebutuhan garam industri. Semua dokumen kemudian diserahkan ke Kejaksaan Agung. Saat itu Korps Adhyaksa tengah menelisik kasus korupsi impor garam.
Selain penelusuran berkas, penyelidik turut memeriksa Direktur Jenderal Industri Kimia Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam pada Juli lalu. Sejak saat itu, sejumlah pejabat di direktorat tersebut secara bergiliran ikut diperiksa. "Kami juga sudah menjelaskan prosedur penentuan angka kebutuhan industri dan impor garam," ujar Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Perindustrian Kris Sasono Ngudi Wibowo pada Selasa, 8 November lalu.
Kejaksaan Agung menduga ada manipulasi angka kebutuhan garam industri yang menyebabkan impor garam melebihi kewajaran. Selain itu, Kejaksaan menemukan indikasi kebocoran garam impor yang seharusnya digunakan kalangan industri menjadi garam konsumsi. Semestinya garam konsumsi menggunakan garam petani lokal.
Selain memeriksa pejabat Kementerian Perindustrian, Kejaksaan memeriksa sejumlah pejabat kementerian lain yang ikut menetapkan importasi garam. Sejumlah pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator Perekonomian, serta Kementerian Perdagangan ikut diperiksa.
Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia atau AIPGI sebagai pengguna dan tempat berkumpulnya pengusaha juga dipanggil penyidik. "Semua pihak yang terkait kami minta keterangan," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kuntadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti (tengah) usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam perkara impor garam industri. di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, 7 Oktober 2022/ANTARA/Reno Esnir
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelidikan berfokus pada kebijakan impor garam pada 2018. Kala itu Kementerian Perindustrian yang dipimpin oleh Airlangga Hartarto menyatakan jumlah kebutuhan garam industri dalam negeri adalah 3,7 juta ton.
Airlangga kini menjabat Menteri Koordinator Perekonomian. Berbeda dengan Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang kala itu dipimpin Susi Pudjiastuti menyebutkan kebutuhan garam nasional hanya mencapai 1,8 juta ton.
Silang pendapat itu berbuntut panjang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam mengamanatkan Kementerian Kelautan sebagai pemberi rekomendasi kuota impor garam. Namun Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Lewat regulasi ini, kewenangan pemberian rekomendasi berpindah ke Kementerian Perindustrian.
Perbedaan hitungan kebutuhan garam industri antara Kementerian Kelautan dan Kementerian Perindustrian ini lantas dipersoalkan Kejaksaan Agung. Kejaksaan menduga ada manipulasi data garam oleh pejabat Kementerian Perindustrian dengan pihak asosiasi. "Ada pejabat kementerian yang berkomplot dengan asosiasi industri pengguna garam untuk menaikkan angka kebutuhan impor sehingga dalam negeri kebanjiran garam impor,” tutur Kuntadi.
Kejaksaan sempat memanggil dan meminta keterangan Susi. Tapi penyidik belum sekali pun memeriksa Airlangga dan mantan Menteri Perdagangan kala itu, Enggartiasto Lukita. Di lain pihak, jumlah tersangka terus bertambah.
Dari hasil pemeriksaan sejumlah saksi dan pengumpulan barang bukti, Kejaksaan menetapkan empat tersangka pada Rabu, 2 November lalu. Mereka adalah Direktur Jenderal Kimia Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian 2019-2022, Muhammad Khayam; Direktur Industri Kimia Hulu Fredy Juwono; Kepala Subdirektorat Industri Kimia Hulu Yosi Arfianto; dan Ketua AIPGI Frederik Tony Tanduk.
Pada Senin, 7 November lalu, tersangka bertambah menjadi lima orang. Bendahara AIPGI sekaligus Direktur PT Sumatraco Langgeng Abadi, Sanny Wikohiono alias Sanny Tan, ikut menjadi tersangka.
Semula, empat tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal ini masing-masing berisi tuduhan merugikan keuangan dan perekonomian negara dengan ancaman hingga 20 tahun penjara. Belakangan, penyidik turut menerapkan pasal gratifikasi dan janji memberikan hadiah kepada Sanny Tan. Kejaksaan berencana menerapkan pasal yang sama kepada tersangka lain.
Sanny Wikodhiono tersangka baru kasus impor garam industri/Puspenkum Kejaksaan Agung
Kuntadi beralasan Kejaksaan menemukan dugaan suap di balik perizinan impor garam tersebut. Sanny bersama Tony Tanduk diduga menghimpun uang dari anggota asosiasi yang selanjutnya diserahkan ke pejabat di Kementerian Perindustrian. Selain itu, Sanny mengalihkan garam impor yang semestinya untuk memenuhi kebutuhan industri aneka pangan menjadi garam konsumsi.
Selama ini, garam konsumsi sepenuhnya menggunakan garam lokal. Pengalihan garam impor untuk garam konsumsi dituding menyebabkan serapan garam lokal berkurang diiringi dengan penurunan harga. "Itu sangat merugikan petani garam karena harga garam lokal terpuruk. Bahkan ada petani garam yang protes dengan membuang garam mereka ke laut," ucap Kuntadi.
Dalam kasus ini, Kejaksaan menggunakan penghitungan kerugian negara sekaligus kerugian perekonomian negara. "Nilainya sedang kami hitung. Yang pasti di atas Rp 1 triliun," tutur Kuntadi.
Seseorang yang mengetahui proses kasus impor garam di Kejaksaan Agung mengatakan penyidik menerapkan pasal kerugian perekonomian negara supaya hukuman terhadap para tersangka lebih maksimal. Berbeda dengan korupsi di proyek pembangunan yang menggunakan dana pemerintah, korupsi di kasus impor garam tak terlalu merugikan kas negara lantaran duit impor garam berasal dari industri.
Di satu sisi, penyidik meyakini korupsi impor garam berdampak besar terhadap perekonomian nasional. Maka, jika hanya dijerat dengan pasal korupsi biasa, nilai kerugiannya terlihat kecil dan hukumannya akan menjadi ringan.
Ia menjelaskan, salah satu penghitungan dalam menentukan nilai kerugian perekonomian negara adalah mengukur pergeseran keseimbangan ekonomi akibat impor garam. Impor yang melebihi kebutuhan menyebabkan gangguan perekonomian di berbagai sektor, dari petani garam, industri, hingga pengguna garam. Jika menggunakan hitungan tersebut, nilai kerugian yang diakibatkan oleh kasus korupsi ini menjadi besar.
Seorang petinggi yang mengikuti pembahasan tentang garam impor di Kementerian Kelautan dan Perikanan mengatakan keterpurukan harga garam lokal akibat impor garam sebenarnya sudah bisa ditebak. Karena itu, pada awal 2018, Kementerian Kelautan merekomendasikan impor garam dibatasi 1,8 juta ton.
Dasarnya adalah hitungan kebutuhan industri saat itu mencapai 2,1 juta ton. Semua kebutuhan tak otomatis langsung dipenuhi. Sisanya bisa ditutupi lewat impor garam dalam kloter berikutnya.
Namun kala itu Kementerian Perindustrian berkeras menyatakan kelompok industri membutuhkan 3,7 juta ton garam. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari impor pada 2017 yang mencapai 2,5 juta ton.
Belakangan, Kementerian Perdagangan menerbitkan persetujuan impor sebesar 3,1 juta ton. Dalam perjalanannya, realisasi impor garam mencapai 2,8 juta ton. Proses impor ini diwarnai protes kalangan petani karena mereka tengah mengalami panen raya. Produksi lokal melimpah. Akibatnya, harga garam lokal anjlok.
Saat dihubungi, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, tidak bersedia berkomentar. "Yang melandasi (impor garam) Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian," ujarnya pada Rabu, 9 November lalu.
Ketika diperiksa Kejaksaan pada Jumat, 7 Oktober lalu, Susi mengatakan Kementerian Kelautan berkepentingan melindungi para petani garam. Termasuk menjaga harga garam lokal. "Kalau ada orang-orang yang ingin memanfaatkan tata regulasi niaga dalam hal perdagangan yang bisa merugikan para petani, tentunya mereka harus mendapat atensi dan hukuman yang setimpal," tuturnya.
Staf Khusus Menteri Perindustrian Bidang Pengawasan Febri Hendri Antoni Arif mengatakan penghitungan kebutuhan impor garam yang dilakukan lembaganya sudah sesuai dengan prosedur. Angka rekomendasi 3,7 juta ton garam impor berasal dari surat permohonan asosiasi industri serta survei Kementerian.
Selain itu, penetapan kuota impor dibahas secara lintas kementerian dan lembaga di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian. "Penetapan kebutuhan impor garam untuk industri sudah transparan dan sesuai dengan prosedur," ucapnya.
Tapi Kementerian Perindustrian berjanji mendukung proses hukum di Kejaksaan Agung. "Kementerian Perindustrian siap memberi informasi yang dibutuhkan Kejaksaan Agung dalam proses penegakan hukum tersebut,” ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Dody Widodo dalam keterangan tertulis pada Rabu, 2 November lalu.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan pelaksana tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Didi Sumedi, belum bersedia berkomentar. Surat permintaan wawancara Tempo tak dibalas hingga Sabtu, 12 November lalu.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter Kaban, meminta Kejaksaan Agung lebih transparan dan mengusut semua pihak yang terlibat dalam importasi garam. Sebab, kebijakan impor garam melibatkan banyak kementerian, tapi Kejaksaan hanya menyorot Kementerian Perindustrian. “Ada kesan tebang pilih. Semua pihak yang terlibat di semua kementerian mesti diusut,” katanya.
AGUNG SEDAYU, RIKY FERDIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo