Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Dulu Petani Sekarang Kuli

Sengkarut korupsi garam impor bermula dari tarik-menarik kewenangan rekomendasi kuota. Akibat garam melimpah, buruh dan petani menjadi kuli bangunan.

13 November 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATUSAN tambak garam mangkrak di sepanjang garis pantai Kecamatan Pengarengan, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, sejak akhir 2020. Para petani di Pulau Madura meninggalkan sumber penghidupan mereka setelah dihantam gempuran garam impor. Mereka menyerah. “Ketika itu banyak petani garam bangkrut,” ujar Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia Jakfar Sodikin pada Sabtu, 12 November lalu.

Pada tahun tersebut, pemerintah meningkatkan keran impor garam sebanyak 2,7 juta ton. Dampaknya, garam produksi petani lokal tak terserap. Garam-garam tersebut sebenarnya ditujukan untuk industri.

Tapi sebagian di antaranya merembes ke pasar untuk kebutuhan garam konsumsi rumah tangga. Alasannya sederhana, garam yang berasal dari beberapa negara, seperti Australia dan India, itu banyak diserap pasar karena harganya lebih murah.

Jakfar menyebutkan kehadiran garam impor memaksa petani menjual murah produksi mereka di kisaran harga Rp 700 per kilogram. Nilai tersebut bahkan terus merosot menjadi Rp 500 pada awal 2021.

Kondisi ini jauh berbeda dengan harga pada 2018 dan 2019. Harga garam saat itu berfluktuasi di antara Rp 2.700 dan Rp 1.700 per kilogram. Petani ikut makmur. “Tingkat penjualan dealer motor di Pengarengan ketika itu paling tinggi se-Indonesia. Pembelinya ya petani garam,” ujar Jakfar berseloroh.

Silang sengkarut impor garam ini belakangan berujung pada perkara hukum. Kejaksaan menetapkan lima tersangka kasus impor garam. Tiga di antaranya pejabat Kementerian Perindustrian. Dua lainnya pengusaha dan petinggi Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekerja mengemas garam ke dalam karung di salah satu gudang penyimpanan garam di Surabaya, Jawa Timur, 15 Mei 2020/Antara/Moch Asim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka dituding menyebabkan kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat penetapan kuota impor tak sesuai dengan kebutuhan. “Di situ ada unsur kerugian negara,” ucap Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kuntadi. Selama 2016-2022, negara ditaksir merugi Rp 2,05 triliun.

Kejaksaan menyorot keputusan impor yang mematok kebutuhan di angka 2,8 juta ton pada 2018 dan 2,6 juta ton setahun setelahnya. Saat itu kewenangan mengeluarkan rekomendasi impor garam berada di tangan Kementerian Perindustrian.

Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Sebelumnya kewenangan pemberian rekomendasi ada pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 sempat memantik pro-kontra. Pemerintah beralasan menerbitkan regulasi tersebut untuk memenuhi kebutuhan garam di kalangan industri. Sejumlah perusahaan bidang farmasi, kimia, pengolahan kertas, dan makanan pernah mengeluhkan kelangkaan garam untuk mendukung proses produksi. Sebagian perusahaan investasi asing bahkan mengancam bakal angkat kaki dan membawa masalah ini ke jalur arbitrase internasional bila pemerintah tak menjamin pasokan bahan baku garam.

Akibat desakan tersebut, muncul tarik-menarik di kabinet. Menteri Perindustrian kala itu, Airlangga Hartarto, dikabarkan melaporkan situasi “darurat garam” tersebut kepada Presiden Joko Widodo. Ia mengusulkan pemerintah menerbitkan regulasi agar mengalihkan kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pemberian rekomendasi kuota impor.

Sementara itu, kewenangan Kementerian Kelautan tersebut sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. Jokowi setuju dan memerintahkan Menteri Koordinator Perekonomian membahasnya dalam rapat terbatas.

Tak lama setelah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 disahkan, Dewan Perwakilan Rakyat menggelar rapat kerja bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menteri Kelautan dan Perikanan kala itu, Susi Pudjiastuti, mengaku tak mengerti alasan di balik penerbitan peraturan tersebut. “Saya juga surprised karena tidak dilibatkan membahas peraturan pemerintah ini,” tuturnya.

Ia mengklaim tak menolak keputusan impor karena kemampuan produksi petani nasional tak pernah mencukupi kebutuhan industri setiap tahun. “Yang ditakutkan adalah bila garam impor itu bocor di pasar konsumsi,” ujarnya.

Menjawab perkara korupsi garam impor yang saat ini berjalan di Kejaksaan Agung, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Dody Widodo mengatakan Kementerian telah bekerja sesuai dengan prosedur untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri pengguna. Pemerintah telah merespons kelangkaan garam pada 2018 dengan menggelar pertemuan secara berkala dengan para petani, kelompok koperasi, dan perusahaan industri pengguna garam yang berujung pada nota kesepahaman.

Keputusan impor, Dody menjelaskan, diambil lantaran pelaku industri membutuhkan garam dengan kandungan natrium klorida atau NaCL di atas 97 persen. Cemaran logam dan kadar kalsium ataupun magnesium yang dipersyaratkan pada garam impor juga tergolong rendah agar aman bagi kesehatan.

Sementara itu, tak banyak produsen garam lokal yang mampu memenuhi syarat itu. “Spesifikasi seperti ini penting untuk industri seperti farmasi, kosmetik, dan aneka pangan,” ujar Dody.

Neraca garam pada 2018 mencatat tata niaga garam nasional berjumlah 5,9 juta ton. Sebanyak 450 ribu ton berasal dari limpahan stok tahun sebelumnya. Sekitar 2,7 juta ton di antaranya berasal dari produksi petani lokal.

Sisa kebutuhan sebanyak 2,8 juta ton dipenuhi lewat mekanisme impor. Setahun setelahnya, rekomendasi impor kembali ditetapkan sebanyak 2,3 juta ton. Kemampuan produksi petani garam nasional ketika itu 2,8 juta ton.

Rekomendasi impor pada 2019 dianggap melampaui kebutuhan nasional. Ketika itu terdapat sisa stok garam sebanyak 1,5 juta ton. Artinya, ada 6,6 juta ton garam yang beredar di pasar.

Dalam kondisi berlimpah, kata Jakfar Sodikin, tak sedikit importir garam industri yang melepas barang mereka untuk pasar konsumsi. Akibatnya, para petani tak mampu bersaing karena produk garam impor lebih berkualitas. Harganya pun lebih murah.

Jakfar Sodikin/Dok. Pribadi

Pada periode 2020, dampak impor garam mulai meluas ke petani. Tak hanya di Pulau Madura, petani di wilayah sentra industri garam lain, seperti Gresik dan Pasuruan, Jawa Timur, ikut terkena imbas. Para petani di kawasan timur seperti Bima, Nusa Tenggara Barat, serta Jeneponto dan Talakar di Sulawesi Selatan juga merasakan hal serupa.

Ada banyak petani garam banting setir mencari sumber penghidupan baru. Sebagian di antaranya beralih profesi menjadi kuli bangunan. “Ada juga yang menjajal peruntungan jadi buruh di luar negeri,” ujar Muhammad Hasan, Ketua Masyarakat Petambak Garam Jawa Timur.

Hasan mengklaim banyak petani meninggalkan tambang garam karena tak lagi memiliki nilai ekonomis. Harga jual garam anjlok menjadi Rp 600 per kilogram. Harga ini dianggap tak memberi keuntungan karena sepertiga dari nilai transaksi yang diperoleh pemilik tambak harus dibagi dengan para buruh penggarap tambak atau yang akrab disebut dengan istilah mantong. Sementara itu, untuk menghasilkan satu kilogram garam, biaya yang dikeluarkan mencapai Rp 450.

Ia mengakui faktor cuaca dan teknologi ikut mempengaruhi daya saing garam lokal dan garam impor. Di Indonesia, dia menerangkan, para petani hanya bisa bekerja selama empat-lima bulan saat musim panas. Sementara itu, paparan musim panas di negara seperti Australia bisa berlangsung hingga 11 bulan. “Mereka pun mengelola bisnis itu lewat badan usaha negara. Sementara di Indonesia pakai pendekatan pemberdayaan komunitas,” katanya.

RIKY FERDIANTO, AGUNG SEDAYU
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus