Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
RATUSAN tambak garam mangkrak di sepanjang garis pantai Kecamatan Pengarengan, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, sejak akhir 2020. Para petani di Pulau Madura meninggalkan sumber penghidupan mereka setelah dihantam gempuran garam impor. Mereka menyerah. “Ketika itu banyak petani garam bangkrut,” ujar Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia Jakfar Sodikin pada Sabtu, 12 November lalu.
Pada tahun tersebut, pemerintah meningkatkan keran impor garam sebanyak 2,7 juta ton. Dampaknya, garam produksi petani lokal tak terserap. Garam-garam tersebut sebenarnya ditujukan untuk industri.
Tapi sebagian di antaranya merembes ke pasar untuk kebutuhan garam konsumsi rumah tangga. Alasannya sederhana, garam yang berasal dari beberapa negara, seperti Australia dan India, itu banyak diserap pasar karena harganya lebih murah.
Jakfar menyebutkan kehadiran garam impor memaksa petani menjual murah produksi mereka di kisaran harga Rp 700 per kilogram. Nilai tersebut bahkan terus merosot menjadi Rp 500 pada awal 2021.
Kondisi ini jauh berbeda dengan harga pada 2018 dan 2019. Harga garam saat itu berfluktuasi di antara Rp 2.700 dan Rp 1.700 per kilogram. Petani ikut makmur. “Tingkat penjualan dealer motor di Pengarengan ketika itu paling tinggi se-Indonesia. Pembelinya ya petani garam,” ujar Jakfar berseloroh.
Silang sengkarut impor garam ini belakangan berujung pada perkara hukum. Kejaksaan menetapkan lima tersangka kasus impor garam. Tiga di antaranya pejabat Kementerian Perindustrian. Dua lainnya pengusaha dan petinggi Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo