Ada rupa-rupa cara untuk menyalurkan kesusahan hati. Dan Engelina Pattiasina memilih meluapkannya lewat SMS (short message service). Itulah yang dia lakukan saat isu suap di kalangan anggota Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI merebak sejak tiga pekan silam. Melalui telepon genggamnya, Engelina bertukar pesan dengan Meilono Suwondo, "kawan seiring"-nya di fraksi tersebut.
Dia menceritakan semua yang diketahuinya tentang isu suap yang melanda rekan-rekan mereka di Komisi IX DPR RI. Dan Meilono membalasnya. Keduanya memang anggota komisi itu. Dan keduanya dikenal tak sudi menerima amplop mana pun yang pernah dibagikan kepada anggota Komisi IX_sebuah komisi yang amat strategis karena bertugas membahas masalah keuangan. Toh, Engelina bukanlah tokoh istimewa di parlemen.
Namanya tak banyak dikenal sebelum ini. Pendapatnya jarang dikutip media massa. Dia juga bukan sosok anggota DPR yang muncul pagi dan petang di televisi dan berbicara berapi-api tentang jargon-jargon antikorupsi. Dia hanya melakukan apa yang juga dilakukan oleh segelintir kecil rekan-rekannya—Meilono Suwondo, Indira Damayanti, Daniel Budisusetia: menolak hadiah angpau dalam kedudukannya sebagai anggota DPR karena merasa perbuatan itu melawan hati nurani. "Tidak semua orang yang mengambil itu serakah. Ada juga yang naif dan sederhana. Mereka bertanya kepada saya, apa ini boleh. Dan saya bilang, ikuti saja suara hati Anda," ujar Engelina kepada TEMPO.
Bergabung dengan PDI (sebelum menjadi PDIP) pada 1992, Engelina ditertawai rekan-rekannya tatkala dia mengutarakan keinginannya. Pada masa itu, partai ini adalah partai gurem yang kenyang jadi sasaran tumbuk penguasa Orde Baru. Jadi, kenapa dia toh memilih masuk partai? Sebagai peneliti ekonomi, Engelina mengaku sesak hati menyaksikan sebuah fenomena yang mengguncangkan nalarnya: tumbuhnya kelas menengah baru yang menggurita hanya dalam sekitar satu dekade dan menguasai hampir seluruh perekonomian Indonesia. "Saat itu saya putuskan untuk masuk ke politik. Siapa tahu saya bisa berbuat sesuatu, walaupun kecil."
Melalui pintu Departemen Penelitian dan Pengembangan PDI, Engelina bergabung dengan PDI. Ibu satu anak yang pernah menghabiskan 10 tahun hidupnya di Jerman ini kemudian menjadi anggota DPR RI mewakili daerah pemilihan Kota Madya Bitung, Sulawesi Utara. Engelina memang datang dari daerah ini. Ibunya berdarah Sangir dan ayahnya, H.J.M. Pattiasina, adalah pendiri Pertamina dan pernah menjadi salah satu direktur perusahaan milik negara ini.
Bersama kelima kakaknya, Engelina dididik dengan amat disiplin. Dia selalu heran mendengar komentar teman-temannya bahwa dirinya anak orang kaya. "Saya tidak pernah merasa seperti itu. Bayangkan, pergi ke sekolah saya harus berjalan kaki. Pakai telepon dibatasi. Naik mobil? Ayah saya bilang, itu mobil perusahaan, bukan untuk senang-senang." Bahkan, ketika saat mengirim putrinya ke Jerman, pak tua Pattisiana tetap memintanya untuk hidup dengan disiplin. "Jangan dikira enak. Bertahun-tahun di Jerman saya harus bergelantungan di bus, ha-ha-ha...," ujar ibu satu putra ini sembari tertawa berderai.
Latar belakang dan pendidikan keluarga tampaknya amat kuat berakar dalam diri Engelina. Satu ajaran ayah saya yang tetap terpatri adalah ini: "dalam hal materi, pandanglah ke bawah, dalam hal ilmu, pandanglah ke atas." Alhasil, master ekonomi yang fasih beberapa bahasa asing ini sudah bertekad untuk tidak mengambil apa pun yang bukan menjadi haknya—juga di parlemen. Dan orang-orang yang mencoba menyuapnya mesti berpikir berkali-kali dulu. Seorang temannya pernah berkomentar, "Menyuap kamu, Lin, sama dengan bunuh diri."
Pekan lalu, sehari setelah merayakan ulang tahunnya, dia menerima wartawan TEMPO Endah W.S., Bina Bektiati, dan Hermien Y. Kleden untuk sebuah wawancara khusus. Di Jalan Teuku Umar, Jakarta pusat, di rumah tua peninggalan orang tuanya, Engelina meladeni perbincangan dengan TEMPO sembari minum teh. Ia menjawab semua pertanyaan, termasuk soal pertemuan pengurus pusat PDIP yang berlangsung pekan ini untuk membahas soal suap.
Berikut ini petikannya.
--------------------------------------------------------------------------------
Apa komentar Anda tentang isu berikut: bahwa tuduhan suap hanya terjadi di PDIP bahkan menjadi masalah internal partai?
Begini. Sebelum yang lain-lain, saya ingin menegaskan satu hal: saya tidak mau berbicara mengenai sesuatu yang tidak saya lihat. Jadi, tentang soal ini saya tidak tahu, tapi saya tahu persis ada orang yang amat mengetahui hal ini.
Siapa orang itu?
Namanya tidak usah kita sebut.
Oke. Tapi dia dari fraksi mana?
Tidak perlulah saya menyebut. Yang jelas, orang ini memang dekat dengan lingkaran suap di Komisi IX. Nah, ceritera ini bermula dari tim kecil divestasi Bank Niaga yang dibentuk sebelum sidang tahunan (Agustus 2002). Orang ini tahu ada koordinator yang mengurus amplop untuk anggota komisi. Mereka itu sudah seperti jaringan.
Informasi apa yang Anda peroleh dari orang itu?
Suatu hari kami berdua duduk di kantin. Saya tanya ke dia, kenapa proses divestasi Bank Niaga lama sekali. Dia menjawab, "Gini lo, Lin, semua sudah bersatu." Saya tanya lagi, "Kenapa? Apa karena satu ideologi?" Dia bilang, "Bukan. Tapi karena ini (Lince menggesekkan jempol dengan telunjuk tangannya). Uang," katanya.
Anda tidak bertanya bagaimana caranya uang itu dibagikan?
Saya tanya, meskipun saya tahu. Saya ingin mendengar persisnya seperti apa.
Seperti apa?
Dia bilang begini, "You tahu enggak, untuk divestasi Bank Niaga, kita dapat US$ 4.000 (sekitar Rp 36 juta) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Anda dapat juga?
Itu juga yang saya tanyakan ke orang itu, kok saya enggak dapat. Dia bilang, "Siapa yang mau kasih you, Lin? Itu bunuh diri namanya," jawabnya. "Kamu dapat?" saya bertanya kepadanya. "Dapat, dong." Lalu dia menyebutkan satu nama anggota Komisi IX. Setelah sidang tahunan, komisi ini bertemu lagi dengan pihak BPPN.
Nah, apa yang diceritakan teman Anda itu dari pertemuan tersebut?
Jadi, dia ini seperti melakukan undercover (penyamaran). Dia memang menerima uang itu, tapi dia pula yang memberi saya semua informasi tentang permainan uang tersebut—termasuk bagian yang dia terima.
Anda hadir dalam pertemuan dengan BPPN itu?
Saya tidak datang. Makanya teman saya itu bilang, "Waktu itu you enggak datang sih, Lin, kita dapat lagi US$ 5.000." "Hah, semuanya?" tanya saya. "Ya enggak, hanya yang di 'jaringan' saja," katanya. Lalu, dia bilang akan ada US$ 5.000 lagi yang dibagikan.
Jadi berapa total yang dibagikan dari pertemuan dengan BPPN itu, menurut teman Anda ini?
Makanya, saya kan juga ingin memastikan jumlahnya. Saya bilang, "Artinya kamu sudah dapat US$ 1.000, US$ 4.000, US$ 5.000, dan seminggu lagi nanti dapat US$ 5.000 (sekitar saat sidang paripurna, dua pekan silam). Jadi total yang dibagikan US$ 15.000? (sekitar Rp 135 juta)." "Iya , Lin," katanya.
Apa komentar Anda setelah teman Anda mengiyakan?
Saya bilang kepada dia bahwa "jaringan" ini berarti sudah kuat. Teman saya meledek saya terlalu naif. Tapi sejak semula saya memang tidak sadar bahwa sudah ada "jaringan" yang kuat (dalam Komisi IX). Setelah beberapa bulan, saya bukan hanya sadar tapi juga mendapat gambaran lengkap.
Bagaimana modus penyuapan dalam komisi ini? Uang kontan? Transfer atau apa?
Kalau modus, saya enggak tahu.
Jadi, Anda hanya tahu karena diberi tahu oleh si penyamar?
Saya juga punya intuisi. Karena untuk persoalan divestasi Bank Niaga itu angkanya sudah hampir putus dalam sidang Komisi. Lalu saya interupsi bahwa angka tawaran dari investor terlalu murah. Maka pembicaraan dilanjutkan lagi di tim kecil dan waktunya lebih panjang. Tapi kemudian saya sadar bahwa saya begitu naif.
Kenapa begitu?
Karena dengan interupsi itu, saya akan justru "membantu" anggota Komisi IX yang ingin "menaikkan harga". Kesadaran itu datang setelah saya dapat cerita tentang U$ 4.000 itu. Saya goblok karena telah melakukan interupsi. Jadi memang begitu permainannya.
Oke, jadi satu modusnya adalah dengan memperpanjang masa pembahasan?
Saya tidak mau menuduh. Karena, sekali lagi, saya tidak melihat sendiri.
Anda punya contoh lain?
Saat itu kami bersidang tentang penentuan harga minyak. Saya berani menceritakan ini karena saya ikut dan menjadi wakil ketua. Saat itu harga minyak sekitar US$ 25 (Rp 225 ribu) per barel. Pemerintah minta US$ 21,5 per barel. Kita akhirnya sepakat dengan US$ 22 per barel.
Lalu masalahnya apa?
Ada suara yang ingin agar US$ 24 per barel dan usul untuk dibawa ke panitia kerja. Saya kontan merasa ada yang tidak beres, lalu saya interupsi, "Maaf, Saudara Ketua, pemerintah sudah memberikan data yang jelas. Tinggal sedikit lagi kita mencapai kesepakatan, mengapa harus dibawa ke panitia kerja?" Untung, di antara peserta sidang ada suara yang setuju dengan interupsi itu. Keesokan harinya, harga putus US$ 22 per barel hanya dalam beberapa menit.
Bagaimana dengan cerita anggaran belanja tambahan yang belum Anda teken?
Sekarang sudah saya teken karena saya tidak mau menjadi penyebab penghambat pembangunan (hingga batas waktu sidang paripurna, Kamis dua pekan lalu, Engelina belum menandatangani alokasi anggaran ini).
Apakah Anda melakukan cek silang sebelum meneken?
Saya melakukan cek silang dengan menelepon Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Minggu malam dua pekan lalu. Karena besaran anggarannya sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara, saya tanda tangan. Tapi mekanisme alokasinya saya anggap melanggar asas parlemen.
Apa maksud Anda?
Panitia kerja untuk anggaran belanja tambahan yang saya pimpin bertugas menyisir uang dari tiap sektor. Saya ingat, dari sisi penerimaan, kami dapat dari pajak Rp 500 miliar, bea cukai Rp 138 miliar, laba BUMN Rp 300 miliar. Total Rp 986 miliar. Jumlah ini yang diperuntukkan bagi anggaran itu.
Berapa sesungguhnya jumlah yang dialokasikan untuk anggaran belanja tambahan itu?
Kebutuhan anggaran tersebut sekitar Rp 725 miliar. Sisanya, Rp 228 miliar untuk cadangan umum dan dana rutin lainnya. Dari jumlah cadangan umum, pihak panitia kerja sudah membicarakan alokasinya, sektor apa dan daerah mana saja yang kebagian. Hal itulah yang saya rasa tidak benar sehingga saya mengusulkan membawanya ke pleno. Tapi anehnya dari 7 orang yang hadir—seharusnya 10 orang—tidak ada satu pun yang setuju. Mereka ingin alokasinya diomongkan di panitia kerja saja. Jadi, sebagai ketua, saya kalah.
Benarkah pembagian anggaran belanja tambahan ke departemen-departemen hanya berlangsung dalam dua jam?
Angka induk kan sudah diputuskan. Rencananya akan diplenokan, tapi sebelumnya dibentuk tim perumus. Nah, dalam pikiran saya, yang dirumuskan tim itu adalah angka induknya saja. Dua jam kemudian saya datang, angka itu sudah dibagi-bagi per departemen. Bingung saya.
Siapa saja yang ada di tim perumus itu?
Ada lima orang. Tidak usah saya sebutkan, tapi ada "para pemain lapangan" itu.
Jadi, ada ketidakberesan?
Mungkin saja alokasi sudah benar karena menurut surat usulan permintaan tambahan anggaran dari beberapa departemen. Yang kebagian hanya 12 departemen. Dan semua ini mungkin benar berdasarkan apa yang ada di GBHN.
Yang membuat saya jengkel, karena pembagian seperti itu kok tidak dibawa ke pleno. Lalu ada juga beberapa lembaga dan daerah yang minta dana tambahan, tanpa melalui pembicaraan di panitia kerja.
Misalnya?
Permintaan untuk Badan Intelijen Negara dan Sulawesi Utara. Ini tidak disampaikan di pleno. Untuk Sulawesi Utara, misalnya, hanya ada yang teriak, "Manado harus Rp 11 miliar." Ini kan tidak benar. Kita bicara tentang uang rakyat, memang ini perusahaan keluarga? Akhirnya yang diloloskan untuk Manado Rp 8,19 miliar.
Dalam pembagian dana alokasi umum ke daerah, benarkah ada "dana" untuk anggota DPR?
Nah, soal ini saya punya pengalaman. Saat saya masih anggota panitia anggaran, saya pernah ditawari Rp 5 juta oleh salah satu pejabat daerah. Kebetulan yang memberi ini orang Kristen, seiman dengan saya. Uang itu saya kembalikan dan dia saya suruh berdoa. Anda bayangkan! Uang itu dikutip dari dana pembangunan untuk daerah Maluku Tengah. Dan uang untuk daerah yang miskin dan terpencil ini masih harus dikurangi untuk suap. Saya merasa sakit sekali.
Lo, kan Anda sudah tahu bahwa ada memang permainan semacam itu?
Begini. Kalau Komisi IX memang bisa dapat uang dari konglomerat atau siapa pun yang punya duit. Tapi, kalau di panitia anggaran, uang yang diatur benar-benar dari pajak rakyat. Jika ada anggaran yang dibagikan ke daerah-daerah itu masih dikurangi untuk komisi ke anggota Dewan—dan diterima pula oleh si anggota Dewan—saya pikir itu bejat.
Kata-kata Anda keras sekali?
Untuk hal ini saya memang keras sekali. Uang itu hasil keringat rakyat.
Apakah masalah suap akan dibicarakan di Dewan Pimpinan Pusat PDIP?
Ya, mereka kirim surat ke saya (Lince menunjukkan sebuah surat berkop lambang partai). Saya diminta menulis secara kronologis apa yang terjadi di Komisi IX.
Saya dengar akan diputuskan agar nantinya tidak boleh ada pertemuan-pertemuan di luar Gedung DPR. Itu bagus-bagus saja, karena pertemuan seperti itu menjadi salah satu cara untuk membuka peluang suap.
Apakah akan ada sanksi dari pengurus pusat bagi mereka yang terbukti menerima suap?
Dalam surat, tidak disebutkan hal itu.
Menurut Anda seberapa besar perhatian jajaran pimpinan partai untuk persoalan suap?
Mestinya mereka amat menaruh perhatian. Saya yakin suatu saat yang busuk-busuk akan terbuka.
Apakah pemberantasan suap ini pernah menjadi salah satu agenda PDIP?
Mungkin pernah dibicarakan. Tapi dalam pertemuan-pertemuan pimpinan yang pernah saya hadiri, tidak pernah ada pembahasan soal itu.
Menurut Anda, apa solusi yang perlu dipikirkan pimpinan PDIP?
Jangan hanya ngomong soal PDIP. Karena di semua fraksi ada yang terlibat. Jadi, menurut saya, DPR harus punya mekanisme atau dewan kehormatan. Di fraksi sendiri mesti ada sanksi yang jelas. Prinsip saya sederhana saja: jika setiap pemimpin, siapa pun dia, dapat memberikan contoh yang baik kepada bawahan, dengan sendirinya si bawahan akan punya rem.
Bukankah PDIP sebagai pemenang pemilu yang memiliki anggota terbanyak di DPR wajib memberikan contoh?
Saya sendiri juga ingin mencari jawabannya. Tapi ingin saya katakan lagi bahwa ini problem yang melanda semua fraksi, bukan hanya PDIP. Saya bukan membela partai saya, tapi saya juga tidak ingin menyerang partai dengan cara yang tidak fair.
Anda amat membela partai?
Saya punya dasar. Orang yang masuk ke PDI (sebelum menjadi PDIP) adalah orang-orang sederhana, orang pinggiran. Dari 158 anggota Fraksi PDIP di DPR, 110 adalah orang yang bersama-sama kami terus sejak awal. Mereka biasa disebut "marhaen", maksudnya para pendukung yang sederhana. Mereka hanya tahu berjuang di jalanan dan awam permainan politik, sama seperti saya.
Ketika masuk ke Komisi IX, apakah mereka masih tetap sederhana?
Mereka masih tetap melihat semuanya dengan mata sederhana, walau akhirnya terjebak. Hanya terjebak. Bukan karena serakah atau mau uang suap. Masalah amplop itu, mereka sebenarnya tidak tahu benar, apakah boleh menerima atau tidak. Saya yakin itu.
Tolong beri satu bukti bahwa mereka sebetulnya tidak paham.
Ketika mereka masuk Komisi IX, ada yang tanya ke saya. "Ini bagaimana ya Mbak, permainannya?" Saya tanya, "Permainan apa?" Mereka bilang, "Ini lo, boleh enggak kita terima amplop?" Saya jawab, "Ikuti hati nurani masing-masing saja. Jadikan itu pegangan." Itu di masa-masa awal dulu.
Bagaimana sekarang?
Menurut iman saya, kita perlu menunggu hikmah dari semua ini. Dan kita tidak perlu "menelanjangi" orang yang menerima suap sampai mempermalukan orang itu—selama dia itu orang sederhana yang tidak paham. Kita harus mencari kearifan dalam bersikap.
Kok, Anda yakin betul teman-teman Anda itu sederhana?
Saya bisa menjamin. Satu contoh, saat PDIP menang dalam pemilihan umum, seorang anggota kami malah diam saja. Rupanya, dia telah menggadaikan rumah satu-satunya di kampung untuk membiayai perjuangan. Jadi mereka bukan orang serakah.
Seperti anggota PDIP Meilono Suwondo dan Indira Damayanti, Anda juga menolak semua bentuk suap. Dan orang bisa bilang: "Mereka sudah kaya sehingga tidak perlu uang tambahan." Apa komentar Anda?
Coba kita balik begini, dari tahun 90, berapa banyak orang mapan dulu yang mau terjun ke PDIP? Amat sedikit. Saya masuk ke partai ini tahun 1992.
Apakah Anda kesepian berada di parlemen karena teman "seiring" Anda begitu sedikit?
Ya, saya kesepian—lebih-lebih setelah Pak Tarto Sudiro meninggal. Tapi kita harus tahan berjuang di dalam. Pak Tarto itu sahabat dan abang kami. Dia selalu bilang, kita harus kasih unjuk teladan, memberi contoh kepada adik-adik di PDIP. Sampai meninggalnya, Pak Tarto itu hanya naik mobil Karimun.
Anda yakin cara memberi contoh itu ada hasilnya?
Pelan tapi pasti akan ada perubahan. Minimal mereka respek pada kejujuran. Dan kejujuran adalah contoh yang penting.
Menurut Anda, apakah isu suap akan mempengaruhi perolehan suara PDIP pada Pemilu 2004?
Saya yakin, masalah ini secara bertahap bisa kita selesaikan. Kita kan ingin mencari solusi, bukan menjatuhkan PDIP atau pemerintahan ini. Saya yakin para marhaen itu ikut-ikutan lempar amplop waktu kejadian di Park Lane, bila mereka melihat saya dan Meilono mengembalikan amplop.
Tapi itu kan sudah lewat. Yang terjadi minggu ini adalah pertemuan DPP PDIP membahas suap….
Ya, jika saya diundang dalam pertemuan itu, akan saya muntahkan semua di situ. Marah sekali saya. Akan saya buka semuanya.
Engelina Pattiasina
Tempat/tanggal lahir: Palembang, 2 Oktober 1950
Pendidikan terakhir: Master ekonomi dari Universitas Bremen, Jerman
Pekerjaan:
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (1985-1987)
Pendiri majalah Laras (1988)
Anggota MPR RI (1992-1997)
Anggota Komisi IX DPR RI (1999-2004)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini