Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERRY Warjiyo, 59 tahun, ibarat nakhoda baru yang langsung diterjunkan di tengah badai. Saat dia dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia pada 24 Mei lalu, rupiah berada di level 14.205 per dolar Amerika Serikat menurut kurs Interbank Spot Dollar. Ini adalah nilai tukar terendah rupiah sejak Desember 2015.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, ini bergerak cepat. Hanya selang lima hari setelah Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang dipimpin gubernur sebelumnya, Agus Martowardojo, Perry menggelar RDG tambahan pada 30 Mei lalu. Perry menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 4,75 persen, setelah Agus menaikkan suku bunga menjadi 4,50 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari setelah kenaikan suku bunga itu, rupiah bergerak ke level 13.951 per dolar. Sejak Perry dilantik, rupiah juga terus terapresiasi. Pasar menyebutnya "Perry Effect". Mendengar istilah itu, mantan Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF) ini tergelak. "Itu 'Allah Effect'. Perry is just a small thing," ujar Perry dalam wawancara khusus dengan Tempo pada pengujung bulan lalu.
Pria yang sebelumnya menjabat Deputi Gubernur BI sejak 2013 ini menerima wartawan Tempo Reza Maulana, Angelina Anjar, dan Ghoida Rahmah seusai rapat dengan Badan Anggaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Perry juga menjelaskan arah kebijakan BI di bawah kepemimpinannya, yakni pro-stabilitas dan pertumbuhan. "Bank Indonesia punya lima jamu untuk itu," katanya.
Anda menganggap anjloknya nilai tukar rupiah sebagai ujian berat di jabatan baru?
Saya bukan orang baru di Bank Indonesia. Saat krisis 1997-1998, saya sedang menempuh pendidikan (di Sekolah Pimpinan Bank Indonesia) dan, saat krisis 2007-2008, saya menjabat Direktur Eksekutif IMF. Itu semua merupakan pelajaran penting bagi saya untuk melihat dampak krisis global terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dari pengalaman itu, saya mendapat suatu kesimpulan bahwa ada tiga kunci ketahanan suatu negara untuk menghadapi tekanan-tekanan dari luar.
Kuncinya apa saja?
Satu, yakinkan bahwa kondisi ekonomi kita sehat. Dua, berani mengambil kebijakan yang diperlukan, yakni kebijakan yang sehat dan preemptive. Kalau Anda hidup dalam suatu ketidakpastian, jangan menunggu ketidakpastian itu. You have to preempt the uncertainty. Tiga, komunikasi yang jelas dan intensif. Kenapa? Saat berada dalam tekanan, informasi yang berbeda satu dengan yang lainnya akan menyebar. Distribusi informasi yang sangat melebar akan membuat ekspektasi cenderung tidak rasional. Karena itu, komunikasi diperlukan untuk mengatasi gap informasi supaya ekspektasi menjadi lebih rasional.
Apa penyebab gejolak rupiah akhir-akhir ini?
Ada tiga aspek yang mengubah lanskap ekonomi keuangan global belakangan ini. Satu, pergantian pimpinan The Fed dan kebijakan suku bunganya. Sebenarnya kebijakan suku bunga The Fed sudah terlihat sejak dipimpin Janet Yellen. Tapi dengan pergantian pimpinan Dewan Gubernur Federal Reserve System ke Jerome Powell, Februari lalu, kita harus juga melihat tone komunikasinya. Pasar memprediksi The Fed tidak hanya menaikkan suku bunganya tiga kali, tapi empat kali.
Selain itu apa?
Presiden Amerika Serikat Donald Trump meluncurkan kebijakan fiskal yang ekspansif, seperti pemotongan pajak, sehingga defisit fiskal Amerika tahun ini diperkirakan naik 4 persen. Itu meningkatkan suku bunga obligasi pemerintah Amerika. Terakhir, ketegangan hubungan dagang Amerika-Tiongkok dan gejolak yang terjadi di Eropa. Itu membuat premi risiko keuangan global meningkat sehingga wajar kalau investor menarik dananya dari negara-negara lain, terutama emerging markets, dan menaruhnya di Amerika. Apalagi dolar menguat.
Apakah kondisi ekonomi Indonesia sekarang cukup kuat menghadapi fluktuasi nilai tukar?
Menurut saya, kondisi ekonomi kita sehat. Kalau dibandingkan dengan periode-periode saat terjadi krisis Yunani, revisi pertumbuhan Tiongkok pada 2015, atau Brexit (keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa pada Juni 2016), kondisi kita lebih kuat. Lebih resilient. Saat ini inflasi hanya 3,4 persen. Pada gejolak ekonomi 2013, inflasi mencapai 8,3 persen. Pada kuartal pertama 2018, defisit transaksi berjalan hanya 2,1 persen. Sementara itu, pada kuartal kedua 2013, defisit transaksi berjalan mencapai 4,2 persen. Kondisi permodalan perbankan kita juga cukup. Cadangan devisa pun jauh lebih tinggi.
Tapi nilai tukar rupiah menyentuh level terendah dalam dua setengah tahun terakhir....
Nilai tukar akan selalu bergerak sesuai dengan mekanisme pasar. Dari hari ke hari memang ada faktor teknis yang mempengaruhi. Tapi apa yang sebenarnya terjadi kemarin bukan karena fundamental ekonomi kita ataupun faktor teknis. Ini lebih banyak dipicu oleh ekspektasi. Saya mengatakan bahwa nilai tukar sudah overshootingpelemahan yang cukup mendalam, karena didorong ekspektasi dari sejumlah analis dan pelaku, "Oh, rupiahnya bisa 15 ribu. Oh, rupiahnya bisa 17 ribu." Menurut saya, ekspektasi itu tidak didasarkan pada suatu asesmen ekonomi keuangan yang selayaknya. Tapi kami tidak perlu mengatakan itu benar atau tidak. Dengan suatu kebijakan yang nyata dan berani, orang menjadi tidak percaya kepada ekspektasi itu.
Bagaimana kebijakan BI untuk menstabilkan nilai tukar saat ini?
Kita harus berani mengambil kebijakan yang diperlukan. Kalau suku bunga Amerika naik lebih cepat dari yang diperkirakan, wajar kalau kita harus menyesuaikan. Maka kebijakan moneter Bank Indonesia adalah pro-stabilitas, yakni preemptive ahead the curve. Apakah kita mau menunggu suku bunga The Fed naik sampai empat kali? Apakah kita mau menunggu suku bunga obligasi pemerintah Amerika naik sampai 3,35 persen?
Selain menaikkan suku bunga, apa langkah BI?
Komunikasi yang jelas dan intensif. Saya lugas. Ini garis kebijakan Bank Indonesia. Kami komunikasikan kepada media, ekonom, investor, perbankan, dan dunia usaha. Itu yang kemarin membuat pasar melihat ketahanan dan keberanian kita untuk preempt uncertainty.
Orang menyebut ada "Perry Effect" karena rupiah menguat setelah Anda dilantik.…
Ha-ha-ha.... Itu "Allah Effect", kekuasaan Allah. Saya kebetulan dijadikan Gubernur Bank Indonesia karena amanah Allah. Kemudian saya mendapat hidayah Allah untuk mengambil kebijakan-kebijakan seperti itu. Tapi apalah artinya Perry kalau bukan karena kehendak Allah. Perry is just a small thing.
Pertengahan Juni, suku bunga The Fed diprediksi kembali dinaikkan. Apakah BI juga akan menaikkan suku bunga lagi?
Sebenarnya, saat mengatakan preemptive ahead the curve, kami sudah memasukkan pertimbangan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada Juni, bahkan September. Kami menghitung, probabilitas kenaikan suku bunga The Fed pada Juni di atas 80 persen. Sementara itu, pada September mendekati 60 persen dan pada Desember sekitar 30 persen. Jadi preemptive ahead the curve itu merespons probabilitas, bukan sesuatu yang belum pasti. Probabilitas ketidakpastian bisa diukur sehingga tidak perlu menunggu kejadian. Itulah kenapa saya meminta Rapat Dewan Gubernur digelar lebih awal. Kemarin juga pertama kalinya Bank Indonesia memberikan arah kebijakan ke depan. Bank Indonesia akan mengkalibrasi perkembangan kondisi keuangan domestik dan global untuk memanfaatkan ruang kenaikan suku bunga secara terukur. Clear banget itu.
Sejauh mana BI bisa menaikkan suku bunga?
Kemungkinan kenaikan suku bunga memang ada. Tapi bukan berarti Bank Indonesia punya rencana akan mengerek suku bunga menjadi tinggi. Kapan naik dan seberapa besar kenaikannya nanti tergantung probabilitas, seberapa besar yang 60 persen tadi akan meningkat. Probabilitas ketidakpastian kan berkembang. Kami akan terus memberikan update setiap bulan melalui RDG. Yang pasti, kami sudah memberikan sinyal ada kemungkinan kenaikan suku bunga secara terukur. Pasar sudah tahulah kurang-lebihnya berapa.
Apa pertimbangan BI baru menaikkan suku bunga pada pekan keempat dan kelima Mei? Sebagian pengamat menilai langkah itu terlambat....
Pengambilan keputusan dalam suatu ketidakpastian memang sulit. Apalagi informasi yang menyebabkan ketidakpastian itu bergerak sedemikian cepat. Awal Februari, Jerome Powell naik (memimpin The Fed). Selain itu, siapa sih yang percaya anggaran Trump bisa disetujui DPR Amerika? Maka, di awal, wajar kalau Bank Indonesia menyimpulkan ini fenomena temporer, bukan permanen, sehingga kebijakannya lebih pada intervensi ganda. Tapi, akhir April, pergerakannya sudah ke arah permanen. Sebelum saya dilantik, saya melihat, "Wah, ini harus ahead the curve." Itulah yang mendorong saya mengajukan RDG tambahan.
Apa alasan Anda mengubah kebijakan Agus Martowardojo dengan mengumumkan hasil RDG sebelum pasar saham tutup?
Lagi-lagi, if you have to preempt the uncertainty and make certainty.
Anda ingin efek penetapan suku bunga yang baru langsung terlihat?
Itu yang paling utama. Kami sepakat konferensi pers RDG digelar pada hari kedua pukul 14.00 WIB. Bagaimana supaya pasti selesai pukul 2 siang, itu urusan internal. Mau sehari sebelumnya berdebat sampai muter-muter, yang penting siang itu harus diumumkan. Nah, karena pukul 2 siang, bisa langsung efektif hari itu juga, sehingga dampaknya langsung terasa.
Anda mengatakan BI akan pro-pertumbuhan. Bukankah itu bertolak belakang dengan pendekatan pro-stabilitas?
Saat menjalani fit and proper test di DPR, saya mengatakan bahwa saya akan membawa Bank Indonesia untuk pro-stability dan pro-growth. Beberapa orang bertanya, "Kok, bisa?" Saya tidak bisa menyalahkan mereka karena asesmen bank-bank sentral lainnya biasanya memilih antara stability dan growth. Kalau pro-stability, suku bunga naik, growth turun. Tapi itu karena instrumennya, ibarat jamu, hanya satu, yakni kebijakan moneter. Saat ini Bank Indonesia tidak hanya punya satu, tapi lima jamu, yaitu kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, penyelenggaraan sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, dan pengembangan ekonomi keuangan syariah. Jadi kalau moneter itu jamu yang pahit, brotowali misalnya, yang lainnya itu jamu yang manis. Untuk kebijakan moneter, saya tidak punya pilihan lain untuk pro-stability. Tapi jangan kemudian Perry dikatakan tidak pro-growth.
Bagaimana Anda mendorong pertumbuhan ekonomi dengan empat instrumen selain kebijakan moneter?
Saya akan merelaksasi kebijakan makroprudensial. Saya sudah meminta kebijakan down payment atau loan-to-value untuk perumahan dikaji, apakah itu persentase, ketentuan inden yang saat ini semuanya tidak bisa inden, ketentuan termin pembayaran yang rigid, ataupun ketentuan jumlah rumah yang bisa dibeli.
Bukankah kebijakan seperti itu mendorong bubble properti?
Properti akan bubble kalau pertumbuhan ekonomi kita mendekati 6 persen. Wong pertumbuhan ekonomi kita hanya 5,1 persen. Tahun ini paling banter hanya 5,2 persen. Karena itu, inilah saatnya kebijakan makroprudensial dikendurkan.
Kebijakan lainnya?
Untuk pendalaman pasar keuangan, mari kita bantu pemerintah membiayai infrastruktur dari swasta. Penyelenggaraan sistem pembayaran, seperti ekonomi digital dan National Payment Gateway (Gerbang Pembayaran Nasional), juga akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ekonomi keuangan syariah pun demikian. Saya akan terus menggunakan empat instrumen selain moneter ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Lagi pula, menurut asesmen kami, kalau pilihannya adalah menaikkan suku bunga atau membiarkan nilai tukar rupiah melemah, pelemahan nilai tukar rupiah berdampak negatif lebih segera terhadap pertumbuhan ekonomi daripada kenaikan suku bunga. Dampak kenaikan suku bunga baru terasa kurang-lebih satu setengah tahun. Sementara itu, pelemahan rupiah bisa segera, within quarter.
Apa yang pemerintah bisa lakukan untuk mendorong stabilisasi nilai tukar rupiah?
Sebelum dilantik, saya menghadap Pak Presiden. Kami berdiskusi panjang mengenai ekonomi dan stabilitas. Saya sampaikan arah kebijakan Bank Indonesia dan harapan akan lebih eratnya koordinasi antara pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan. Koordinasi yang erat diperlukan karena permasalahan ekonomi Indonesia tidak bisa diatasi oleh satu instansi saja. Maka, malam setelah saya dilantik, saya rapat koordinasi dengan Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Ketua OJK. Kami berdiskusi mengenai langkah-langkah memperkuat stabilitas dari tekanan global saat ini. Dari situ, ada kesepahaman bahwa stabilitas jangka pendek harus diprioritaskan. Tapi kami juga tetap mencari celah agar pertumbuhan ekonomi tidak terlalu buruk. Dari sisi infrastruktur, harus dilihat mana yang tidak membebani keuangan negara, yang bisa dibiayai oleh swasta.
Soal energi bagaimana?
Saya menghargai pemerintah yang tidak menaikkan harga dengan pertimbangan pertumbuhan ekonomi akan lebih berat tercapai kalau menaikkan harga di saat konsumsi rumah tangga dalam kondisi seperti ini. Ini bukan masalah konsistensi atau reformasi. Saya tahu komitmen Pak Presiden terhadap reformasi sangat tinggi. Tentunya mesti ada mitigasi kalau harga BBM tidak dinaikkan, misalnya terkait dengan keuangan Pertamina. Sejumlah langkah tentu akan dilakukan oleh pemerintah.
Perry Warjiyo
Tempat dan tanggal lahir: Sukoharjo, Jawa Tengah, 25 Februari 1959
Pendidikan: Sarjana Ekonomi Universitas Gadjah Mada (1982); Magister Ekonomi Moneter dan Internasional Iowa State University, Amerika Serikat (1989); Doktor Ekonomi Moneter dan Internasional Iowa State University, Amerika Serikat (1991)
Karier: Gubernur Bank Indonesia (Mei 2018-sekarang); Deputi Gubernur BI (2013-Mei 2018); Asisten Gubernur BI untuk Kebijakan Moneter, Makroprudensial, dan Internasional (2012-2013); Direktur Eksekutif Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI (2009-2012); Direktur Eksekutif South East Asia Voting Group IMF (2007-2009); Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI (2005-2007)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo