Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CITRA Mahkamah Konstitusi terpuruk. Survei Lembaga Public Opinion and Policy Research (Populi) Center pada Juni lalu menunjukkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini berada paling bawah setelah Tentara Nasional Indonesia, Presiden, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pengawas Pemilu, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu pemicunya adalah konflik kepentingan. Publik melihat pertalian keluarga Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika menikah dengan Idayati, adik Presiden Joko Widodo, pada 2022 membuka ruang penyalahgunaan kewenangan. Apalagi kini Mahkamah Konstitusi tengah menangani gugatan tentang usia minimal calon wakil presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai Solidaritas Indonesia yang menggugat batas usia dalam Undang-Undang Pemilu itu. Belakangan, dua anak muda dari Solo, Jawa Tengah, turut menggugat dengan alasan mereka penggemar Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Jika hakim konstitusi merevisi batas minimal usia calon presiden dan wakil presiden dari 40 menjadi 35 tahun, Gibran paling diuntungkan.
Ia digadang-gadang menjadi pendamping Prabowo Subianto, calon presiden Partai Gerindra, dalam Pemilu 2024. Gibran, anak Presiden Jokowi, kini berusia 36 tahun. Ambisinya menjadi wakil presiden terhalang oleh ketentuan tersebut. "Ini konflik kepentingan karena menyangkut keponakan," kata Jimly Asshiddiqie, Ketua Mahkamah Konstitusi 2003-2008, kepada Abdul Manan, Hussein Abri Dongoran, dan Iwan Kurniawan dari Tempo di rumahnya di Jakarta Selatan, Kamis, 12 Oktober lalu.
Guru besar tata negara Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 67 tahun ini melihat citra Mahkamah Konstitusi ambrol. Penyebabnya bukan hanya kepercayaan publik yang menurun, tapi juga keputusan-keputusan politik yang melanggar konstitusi, seperti pergantian hakim yang seharusnya independen, dan kecenderungan kekuasaan yang makin otoriter.
Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga paling tidak dipercaya menurut publik. Anda setuju?
Sekarang Mahkamah Agung sedang terpuruk. Dua hakim agung masuk penjara, satu bebas. Sekretarisnya juga masuk penjara. Kasus-kasus etika dan kriminal itu membuat citranya jelek. Tapi citra Mahkamah Agung masih lebih baik dibanding Mahkamah Konstitusi. Tentu ada masalah. Terutama, misalnya, soal kualitas putusan yang makin banyak tidak memuaskan orang. Terus, ada problem-problem soal etika.
Apakah kepercayaan terhadap MK saat ini berada di titik paling rendah?
Terendah. Supaya jangan turun lagi.
Penyebabnya apa? Karena masyarakat tidak puas terhadap putusan hakim?
Relatif. Putusan pengadilan itu tidak selalu populer. Majority rule itu prinsip demokrasi. Siapa yang banyak, dia yang menentukan. Belum tentu benar. Bisa juga kekuatan politik. Ada 270 juta rakyat Indonesia, 200 juta enggak suka dengan Mahkamah Konstitusi, misalnya. Apa itu ukuran? Kalau Anda menghitungnya dari segi jumlah, itu logika demokrasi formalistik. Tapi pengadilan itu melengkapi majority rule dengan minority rights. Putusan pengadilan mungkin tidak populer, tapi itu enggak masalah.
Faktor lain?
Menurut saya, masa depan demokrasi kita terancam, antara lain karena neo-totalitarianisme, yang saya gambarkan apabila negara, masyarakat sipil, korporasi, dan media menjadi satu.
Apa indikasinya?
Pengusaha besar merambah bisnis media. Dia bikin stasiun televisi dan radio serta jaringan media sosial. Lalu dia rajin menyumbang ke organisasi masyarakat sipil, diangkat jadi ketua dewan syura, dewan penasihat, dan semacamnya. Maka masyarakat sipil di tangan dia. Akhirnya, dia bikin partai. Dua kemungkinan. Dia mau jadi calon presiden atau calon wakil presiden. Paling tidak jadi kingmaker. Itu sedang terjadi sekarang. Konflik kepentingan antara bisnis, politik, media, dan masyarakat sipil terjadi. Suatu hari bisa ada seorang presiden menguasai empat itu sekaligus. Dia menguasai partai, dunia usaha, industri media, dan dielu-elukan oleh organisasi masyarakat. Itu totalitarianisme. Rusak demokrasi kita nanti.
Belum atau sudah?
Totalitarianisme sudah di depan mata. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah itu 60 persen pengusaha. Separuh dari menteri dan wakil menteri itu pengusaha. Maka logika penentu kebijakan itu pragmatisme usaha. Semua jangka pendek, mencari keuntungan.
Apa itu juga berdampak ke MK?
Kualitas demokrasi dan rule of law juga turun. Bahkan indeksnya lebih rendah. Mahkamah Konstitusi salah satu saja. Tapi ini ada yang tidak beres. Partai politik mengalami pembiruan darah, termasuk partai yang lahir sesudah reformasi. Bapaknya ketua umum, anak meneruskan. Jadi politik dinasti semua. Ada konflik kepentingan bisnis dan politik, ditambah lagi budaya feodal, budaya kerajaan. Sekarang sedang terjadi pembiruan darah politik dan konflik kepentingan bisnis dan politik. Struktur kelembagaan politik kita mengalami deinstitusionalisasi. Seharusnya kita melembagakan politik, tapi yang terjadi malah deinstitusionalisasi.
Seperti apa bentuknya?
Pejabat-pejabat, termasuk presiden, mencuit mungkin melalui stafnya. Tapi ada juga menteri yang kadang-kadang tidak jelas, ini cuitan pribadi atau jabatan. Dia larut dalam komunikasi publik, campur aduk antara institusi dan pribadi. Itu menunjukkan gejala deinstitusionalisasi.
Apa bahayanya?
Dampak kultur feodal, pelembagaan politik melemah, malah terjadi deinstitusionalisasi. Maka ini akan menentukan budaya politik. Misalnya presiden cawe-cawe soal pencalonan presiden dan wakil presiden. Di Amerika Serikat, ketika Hillary Clinton menjadi calon presiden, juru kampanyenya Obama, Presiden Amerika. Tapi Hillary kalah. Artinya, kalau lembaga politik itu sudah kuat, budaya feodal sudah tidak lagi signifikan, orang yang disukai mayoritas rakyat yang akan dipilih. Kalau presiden berkampanye, secara hukum enggak ada masalah, tapi dari segi etika dan budaya bermasalah. Sebab, nanti seluruh struktur pemerintahan sampai ke kepala desa enggak usah disuruh, sudah tahu. Oh, maunya presiden kita begini. Ya, mereka ikut semua.
Dalam soal putusan, apa yang membuat kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi rendah?
Kadang-kadang bukan soal putusan saja. Ada soal judicial governance, pelayanan kepada masyarakat. Tapi, yang juga penting, menurut saya, sejak Ketua Mahkamah Konstitusi ini kawin dengan adiknya Presiden, secara etika itu menimbulkan banyak benturan. Kalau ada perkara yang berkaitan dengan kepentingan Presiden, jadi masalah. Apalagi budaya kita masih feodal. Sesudah perkawinan, itu memerosotkan wibawa. Seolah-olah hakim tidak independen, tidak imparsial. Apalagi kalau nanti, misalnya, ada perkara pemakzulan. Pasti hakim berpihak, kan? Begitu juga terhadap peradilan undang-undang yang menjadi obsesi presiden.
Nah, sekarang Mahkamah Konstitusi sedang menangani gugatan batas usia calon presiden. Anda melihat ada konflik kepentingan?
Iya, lah. Karena ini menyangkut keponakan. Tapi ada juga yang bilang, “Ini enggak ada kaitan dengan capres-capresan. Kita baru mau menilai rules-nya dulu. Kalau rules-nya itu sudah dibuka, itu terserah sama capresnya mau nyari cawapres siapa. Kan, belum tentu juga Gibran.” Kalau penjelasannya begitu, iya juga. Nah, kedua itu faktor Jokowi effect.
Karena hakimnya sudah tidak independen?
Hakim harus independen, harus imparsial, dan terlihat imparsial. Kalau misalnya dia menyidangkan, ikut mengambil keputusan perkara yang di mata publik ini ada kaitan dengan keponakannya, walaupun dia jawab, “Ini kan belum sampai begitu, ini kan baru soal rules of the game,” tapi semua orang ngomongin Gibran. Nah, ini soal public trust. Kita kan tidak bisa tidak harus perhitungkan itu.
Apa dasar hakim harus independen?
Ada di Bangalore Principle of Judicial Conduct, yang kami jadikan referensi untuk menyusun Kode Etik Hakim Mahkamah Konstitusi pada 2003. Di situ ada kata looks. "Judges must be impartial and looks impartial. The judges must be independent and looks independent." Maksudnya, bukan sekadar hakim harus independen, juga terlihat independen di mata publik. Etika itu ada dua macam. Ada written ethics, ada sense of ethics. Bahasa Jawa-nya, ojo rumongso biso, nanging kudu bisoho rumongso (jangan merasa bisa, tapi harus bisa merasakan). Orang yang merasa bisa tapi enggak bisa merasakan itu keliru. Hakim harus bisa rumongso. Nah, prinsip itu sekarang tidak dipahami, tidak dihayati, dan tidak dijalankan.
Apakah putusan batas usia minimum calon presiden itu menjadi tidak sah?
Putusannya tetap berlaku, cuma tidak tepercaya. Tidak dipercaya orang. Stigma itu sudah keburu begitu.
Apa solusinya?
Gampang. Ketua Mahkamah Konstitusi enggak usah ikut mengadili soal itu. Secara umum, ada yang namanya official requirement, persyaratan jabatan atau persyaratan pekerjaan. Misalnya, untuk menjadi tentara, usia minimal 17 sampai 58 tahun. Kenapa 58 tahun? Karena, kalau sudah tua, enggak kuat lagi perang. Tapi tingkat harapan hidup manusia meningkat. Bisa saja orang yang sudah 60 tahun merasa masih kuat. Ini kan kalau zaman dulu usia perkawinan bisa 13 tahun, kemudian dinaikkan menjadi 16 tahun, lalu 17 tahun. Ini karena kualitas peradaban meningkat. Maka usia persyaratan untuk perkawinan itu dinamis. Jadi kuncinya diatur dengan undang-undang.
Layar menampilkan suasana sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2 Oktober 2023/Tempo/Hilman Fathurrahman W
Apakah hakim konstitusi berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang?
Dia boleh menilai undang-undangnya. Tapi ini menyangkut official requirement yang sangat relatif. Maka tidak bisa ditentukan. Jadi serahkan saja kepada pembentuk undang-undang. Untuk menentukan pilihan itu terlalu ribet. Jangan dikaitkan dengan diskriminasi. Setiap pekerjaan membutuhkan syarat jabatan tersendiri.
Anda pernah diajak bicara oleh hakim konstitusi soal ini?
Secara normatif, sampai putusan keluar, saya belum bisa menilai. Jadi kita percayakan saja. Lus curia novit, hakim tahu hukum apa yang hendak diputuskan. Kita orang luar cuma menduga-duga, mereka yang menghadapi kasusnya. Lalu mereka berdebat. Kalau terjadi posisi empat lawan empat, berarti seru. Saya memang mengidealkan keadilan itu harus ditemukan dengan cara perdebatan.
Dulu, sebagai Ketua MK saya suka mengadu domba. Sembilan hakim itu enggak boleh saling mengintip. Saya sediakan pustaka. Misalnya tentang hukuman mati. Staf saya suruh kumpulin jurnal ilmiah tentang pidana mati jadi satu. Saya panggil tenaga ahlinya. Terus setiap hakim saya lihat alirannya. Ini konservatif. Ini liberal. Saya adu domba saja, berdebat. Jadi perdebatan intelektual itu keharusan. Dulu hakim juga diwajibkan menulis pendapat hukum. Masalahnya, apakah tradisi begitu masih dikerjakan? Saya dengar enggak. Pertama, hakim itu tidak menulis sendiri pendapatnya. Kedua, tidak ada perdebatan.
Jimly Asshiddiqie
Tempat dan tanggal lahir:
- Palembang, 17 April 1956
Pendidikan:
- S-1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 1977-1982
- S-2 Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1984-1986
- S-3 Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, kerja sama dengan Rechtsfaculteit, Rijksuniversiteit, Universiteit Leiden, Belanda, 1987-1991
- Post-Graduate Course, Harvard Law School, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, 1994
Pekerjaan:
- Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sejak 1981
- Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (utusan golongan), 1997-1998
- Guru besar ilmu hukum tata negara Universitas Indonesia, 1998
- Guru besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 2000
- Pendiri dan Ketua Mahkamah Konstitusi, 2003-2008
- Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Ketatanegaraan, 2009-2010
- Penasihat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2009-2012
- Ketua Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum, 2010-2011
- Pendiri dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum, 2012-2017
- Ketua Dewan Penasihat Komnas HAM, 2013-2017
- Ketua Dewan Penasihat Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2019-2023
- Guru besar luar biasa Sekolah Tinggi Hukum Militer, 2020
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2019-2024
- Profesor kehormatan di University of Melbourne Law School, Australia, 2023
Kabarnya Prabowo Subianto meminta pandangan Anda soal gugatan batas usia itu?
Stafnya bertanya kepada saya. Saya berpendapat enggak mungkin dikabulkan. Tapi akhir-akhir ini saya berpikir ada kemungkinan dikabulkan.
Dalam perkara usia calon presiden ini, Anda melihat peran presiden?
Budaya kita feodal. Tahun 1963, Bung Karno dikukuhkan menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). Apa itu maunya Bung Karno? Enggak. Itu ide dari orang-orang sekitarnya yang mengelu-elukan. Dikultuskan. Bukan dia yang mau. Presiden tiga periode, bukan dia juga. Cuma, ini kiri-kanan ada yang memanas-manasi untuk kepentingannya sendiri. Jadi problem terbesar bangsa kita ini: pertama, budaya feodal, yang kedua pelembagaan politik. Ini soal serius. Waktu di Melbourne pada Juli lalu saya bercanda bahwa Australia ini kerajaan, cuma bersyukur perilaku politiknya sudah republik. Kalau Indonesia terbalik, sudah republik tapi kelakuannya kerajaan.
Kembali ke soal tingkat kepercayaan kepada MK. Penggantian hakim konstitusi Aswanto oleh DPR turut menurunkan wibawa MK?
Sangat. Enggak ada dalam sejarah peradaban umat manusia. Enak sekali memecat hakim yang independen. Enggak bisa begitu. Saya jelaskan juga kepada Mahfud Md. sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Tapi dia beralasan, “Kita enggak bisa apa-apa. Ini kan maunya DPR.” Siapa bilang maunya DPR? Ada persepsi yang keliru tentang sembilan hakim, yang tiga di antaranya dipilih oleh presiden, tiga oleh Mahkamah Agung, dan tiga oleh DPR. Dalam undang-undang itu tertulis oleh, bukan dari.
Artinya?
Tiga hakim itu bukan mewakili lembaga yang memilih mereka. Ia bukan perwakilan Anda. Anda itu hanya tukang pilih. Sesudah terpilih, selesai tugasmu. Selanjutnya dia independen.
Jadi DPR melanggar?
Salah menurut konstitusi, tapi dijalankan oleh Presiden dengan menerbitkan keputusan presiden. Itu namanya the rule by law, bukan the rule of law. The rule by law itu maknanya the rule of men by misusing law, hukum disalahgunakan untuk membuat keputusan semaunya penguasa.
Jadi seharusnya Presiden tidak mengeluarkan keputusan dalam kasus Aswanto?
Ya, seharusnya dia tidak menerbitkan keputusan presiden.
Apa dasarnya?
Karena penghentian hakim itu melanggar konstitusi. Tidak ada dasar untuk menghentikan. Presiden itu kepala negara, berarti dia merestui. Jadi seharusnya ia bisa dimakzulkan.
Apa ada yang berani?
Itu soal lain. Ini soal realitas politik karena di DPR mayoritas partai pendukung pemerintah. Apalagi semua ketua umum ada di kabinet. Kita selalu mengidealkan menteri itu, begitu menduduki jabatan menteri, dia bukan orang partai lagi supaya tidak ada konflik kepentingan. Jangan ketua umum. Tapi Jokowi ini kan enggak punya partai. Dia enggak menguasai partai. Maka ketua-ketua umum ditaruh di kabinetnya. Maka dia jadi berkuasa. Saya namakan itu politikus yang cantik, tapi bukan pemimpin. Dalam dua setengah abad sejarah Amerika, sudah biasa ketua umum melepaskan jabatan di partai saat jadi pejabat publik, karena dia harus melayani seluruh rakyat, semua golongan. Ketua partai di Amerika itu jadi manajer saja. Beda dengan di sini, jadi penguasa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, wawancara ini terbit di bawah judul "Totalitarianisme di Depan Mata"