Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penelitian genetika kalong kapuak yang berasal dari Medan dan Deli Serdang terbukti mirip dengan virus Nipah yang terdapat di kelelawar buah asal Malaysia.
Peneliti juga menemukan antibodi terhadap virus Nipah pada beberapa spesies kelelawar di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Jawa.
Penelitian pengawasan satwa liar alias surveilans perlu dilakukan lagi dengan merebaknya kasus infeksi virus Nipah di Distrik Kozhikode, Kerala, India, yang telah menewaskan dua penderita.
TIAP kali merebak wabah penyakit zoonosis atau penyakit yang baru muncul, Ni Luh Putu Indi Dharmayanti hampir pasti melakukan penelitian surveilans terhadap satwa liar, terutama kelelawar. Terakhir, pada 2020-2021, Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu memeriksa tiga spesies kelelawar lokal untuk memastikan apakah mereka mengandung virus corona kelelawar (BatCov) atau tidak. Pasalnya, urutan genom SARS-CoV-2, virus yang memicu pandemi Covid-19, itu 96,2 persen identik dengan BatCov RaTG13 yang terdapat pada kelelawar asal Yunnan, Cina (Rhinolophus affinis).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelitian kelelawar Indi yang dipublikasikan di Journal of Veterinary Science pada Agustus 2021 menemukan bahwa 72 dari 182 sampel dari tiga spesies kelelawar positif memiliki BatCov. Rinciannya, 46 dari 96 sampel nyap biasa (Rousettus amplexicaudatus), 24 dari 45 codot krawar (Cynopterus brachyotis), dan 2 dari 5 cecadu pisang kecil (Macroglossus minimus) positif. Namun tak satu pun dari 36 sampel kalong kapuak (Pteropus vampyrus) yang positif. “Target kami hanya virus corona karena sampel kami tidak diambil di perbatasan dengan Malaysia,” kata Indi Dharmayanti melalui Zoom, Rabu, 10 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebenarnya surveilans pada kelelawar itu dilakukan (oleh para peneliti) secara periodik beberapa tahun sekali. Terakhir, kalau tidak salah, pada 2017, untuk mendeteksi Nipah dan Japanese encephalitis pada Pteropus sp. di Indonesia bagian timur,” tutur Indi, yang sebelumnya menjabat Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. “Setelah masa pandemi Covid-19, kami tidak pernah mendengar penelitian (serupa) itu lagi,” ujar Indi. Dia menekankan kembali pentingnya mendeteksi virus Nipah pada kelelawar lokal karena merebaknya kasus infeksi virus Nipah di Distrik Kozhikode, Kerala, India, baru-baru ini.
Ibnu Maryanto/Dok Pribadi
Peneliti yang berfokus mendeteksi virus Nipah pada kalong dan babi, Indi menjelaskan, adalah koleganya di Balai Besar Penelitian Veteriner, Indrawati Sendow. Kini Indrawati bernaung di bawah Pusat Riset Veteriner Organisasi Riset Kesehatan BRIN. Dalam seri webinar nasional bertajuk “Mewaspadai Penyebaran dan Penularan Virus Nipah di Indonesia” yang berlangsung pada Rabu, 11 Oktober lalu, Indrawati menyatakan mulai melakukan surveilans terhadap babi di wilayah perbatasan dengan Malaysia. Mengapa babi? Karena penelitian Indrawati hanya berselang setahun dari merebaknya wabah Nipah pertama di Malaysia pada 1998 dan menyebar ke Singapura pada 1999 melalui babi impor.
Indrawati melakukan tes serologi menggunakan reaksi enzyme-linked immunosorbent assay (elisa) terhadap lebih dari 4.700 sampel babi. Ternak babi itu berasal dari rumah potong hewan dan peternakan di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara. “Ternyata tidak ada satu pun sampel yang memiliki antibodi terhadap virus Nipah,” ucap Indrawati. Tak berhenti sampai di situ, ia pun melakukan pengujian konfirmasi menggunakan serum netralisasi bekerja sama dengan Australian Animal Health Laboratory di Geelong, Victoria, Australia. “Ternyata hasilnya sama. Jadi kami sangat yakin virus Nipah belum masuk ke Indonesia pada saat itu,” tuturnya.
Selesai pengujian pada babi, Indrawati melanjutkan deteksi virus Nipah pada tiga jenis kelelawar, yakni kalong kapuak, kalong hitam (Pteropus alecto), dan codot krawar. Metode pengujian juga menggunakan reaksi elisa. Dari total 240 sampel kalong kapuak yang dikumpulkan dari Sumatera Utara, Jawa, dan Kalimantan Barat, sebanyak 54 sampel atau 22,5 persen positif memiliki antibodi terhadap virus Nipah. Pada jenis kalong hitam dari Sulawesi Utara, dari 64 sampel ada enam (9,4 persen) yang memiliki antibodi terhadap virus itu. Adapun 15 sampel codot krawar yang diperoleh dari Kalimantan Barat hasilnya negatif.
Terhadap sampel yang positif, Indrawati melakukan uji konfirmasi menggunakan serum netralisasi. Pengujian itu bertujuan memastikan apakah benar itu antibodi terhadap virus Nipah, bukan virus Hendra, yang memiliki tingkat kesamaan tinggi dalam hal antigenitas. Virus Nipah (Henipavirus nipahense) disingkat NiV dan virus Hendra (Henipavirus hendraense) disingkat HeV. “Hasil positif yang sama didapatkan dengan serum netralisasi,” ujar Indrawati. Temuan lain, dia melanjutkan, di sebelah barat Garis Wallace, prevalensi antibodi terhadap NiV lebih tinggi daripada HeV. Sebaliknya, di sebelah timur Garis Wallace, HeV lebih dominan daripada NiV.
Ihwal virus Hendra yang lebih dominan di sebelah timur Garis Wallace itu terkonfirmasi melalui penelitian Ibnu Maryanto bersama tim Universitas Pendidikan Mandalika, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Menurut Ibnu, peneliti senior di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN, antibodi terhadap virus Nipah tidak ditemukan dalam sampel kelelawar yang berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. “Di Lombok ini tidak ada virus Nipah. Kami menangkap kelelawar di beberapa lokasi. Ketemunya virus Hendra, Hanta, dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS),” ucap Ibnu mengenai hasil penelitiannya tahun lalu yang sudah dikirim ke Iraqi Journal of Veterinary Sciences.
Ibnu mengungkapkan, penelitian mereka bertujuan mengetahui penyakit apa saja yang terdapat pada kelelawar di Lombok. “Ada sembilan spesies yang menjadi sampel. Ada kelelawar pemakan serangga, pemakan buah atau penyerbuk, dan kebanyakan kelelawar penghuni gua (lalai kembang atau Eonycteris spelaea). Kalong justru tidak berhasil ditangkap,” ujarnya. “Biasanya virus Nipah itu ada di codot mini (Cynopterus minutus) yang juga menjadi sampel penelitian ini, tapi tidak ditemukan,” tutur peneliti yang menjadi kepala tim penyusun buku Checklist of the Mammals of Indonesia tersebut.
Penelitian satwa liar penampung virus di Sulawesi juga dilakukan oleh Joko Pamungkas, pengajar di Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat. Joko, yang juga peneliti senior di Pusat Studi Satwa Primata, mengatakan penelitian surveilans itu ia lakukan pada 2011 hingga 2019 melalui proyek PREDICT, bagian dari program Emerging Pandemic Threat yang didanai Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan dipimpin oleh University of California Davis, Amerika. Proyek PREDICT yang melibatkan lebih dari 30 negara di Asia-Afrika ini bertujuan memetakan semua virus pada satwa liar dan melihat adakah potensi bahaya bagi manusia di masa depan.
Proyek PREDICT fase 1, yang berlangsung selama 2011-2014, Joko menerangkan, dapat mengumpulkan lebih dari 400 sampel satwa liar dari Sulawesi Utara dan Gorontalo, juga dari Jawa Barat dan Bali. Hasil pemeriksaan laboratorium terhadap spesimen yang berjumlah hampir 2.500 (terdiri atas hasil usap dari rongga mulut, hasil usap dari dubur, hasil usap dari alat kelamin, dan beberapa sampel darah) itu menemukan 33 virus dari lima famili, yakni Astroviridae, Herpesviridae, Paramyxoviridae, Rhabdoviridae, dan Coronaviridae. “Setelah kami urutkan dan lihat pohon filogenetiknya, ternyata jaraknya cukup jauh dari SARS, MERS, atau Nipah,” ujar Koordinator Indonesia untuk PREDICT ini.
Adapun data PREDICT fase 2, Joko menjelaskan, belum dilaporkan secara resmi kepada otoritas di Indonesia. Namun Joko menyebutkan ada 30 virus yang bisa ditemukan dan 13 di antaranya merupakan virus baru yang belum pernah dilaporkan. “Sama seperti fase 1, virus-virus itu masih jauh kekerabatannya dengan SARS, MERS, atau Nipah,” tuturnya. PREDICT Indonesia, Joko menambahkan, bekerja berdasarkan prioritas karena dana yang terbatas. “Kami memilih kelelawar pemakan buah, terutama genus Pteropus dan Acerodon, yang paling banyak dijual di pasar satwa liar.”
Di Indonesia, menurut Ibnu Maryanto, ahli kelelawar dan tikus, ada 329 spesies kelelawar. “Kalong (Pteropus vampyrus atau Pteropus alecto) jangkauan terbangnya bisa 60-70 kilometer. Itu saya buktikan dengan menangkap kalong di Kebun Raya Bogor dan isi perutnya ada polen mangrove,” ujarnya. Ibnu menduga virus Nipah masuk melalui kalong yang terbang dari Malaysia ke Sumatera. “Ada penelitian yang menemukan kalong dari Semenanjung Malaysia terbang sampai ke batas Riau daratan. Saya menduga pergeseran itu tak terjadi dalam sehari, melainkan beberapa waktu, yang disesuaikan dengan persediaan pakan,” ucapnya.
Penelitian Indrawati Sendow, yang bertajuk “Nipah Virus in the Fruit Bat Pteropus vampyrus in Sumatera, Indonesia” terbit di PLOS ONE milik Public Library of Science edisi 22 Juli 2013, merupakan laporan pertama deteksi virus Nipah pada kelelawar di Sumatera. Indrawati menerangkan, ia dan tim mengumpulkan sebanyak 215 spesimen berupa hasil usap rongga mulut, sampel darah, urine, dan sampel kantong kemih dari 71 ekor kalong kapuak yang diperoleh dari dua pasar hewan di Kota Medan dan Deli Serdang, Sumatera Utara.
Tes dengan reaksi berantai polimerase secara kontinu (real-time PCR) terhadap sampel menghasilkan dua sampel urine, satu sampel hasil usap rongga mulut, dan satu sampel kantong kemih yang positif mengandung virus Nipah. Empat genom virus Nipah tersebut diurutkan atau menjalani sequencing di Australian Animal Health Laboratory. “Hasilnya mirip dengan strain yang ada di Malaysia,” tutur Indrawati. “Analisis menunjukkan bahwa urutan nukleotida kami memiliki 100 persen keselarasan dengan virus referensi AAHL (Malaysia/human/1999/Genbank AF212302), 99,6 persen mirip dengan urutan kelelawar Malaysia (P. vampyrus/2010/Genbank FN869553),” tulis Indrawati.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Virus Nipah di Kelelawar Kita"