Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sebagai gejala kemunduran demokrasi
Kontroversi penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan berlanjut karena sikap tidak tegas Presiden Jokowi
Masyarakat sipil perlu belajar dari kesuksesan dan kegagalan protes mahasiswa tahun 2019
POLEMIK mengenai penundaan pemilihan umum dan perpanjangan masa jabatan presiden masih berlanjut. Awalnya, sejumlah menteri dan ketua partai politik anggota koalisi pendukung pemerintahan menyampaikan keinginan agar pemilihan umum, yang sedianya diselenggarakan pada 2024, ditunda. Masa jabatan presiden, yang oleh konstitusi hanya dibatasi dua periode, diusulkan diperpanjang melalui amendemen konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo merespons isu ini dalam sejumlah kesempatan. Pada Selasa, 15 Maret lalu, Jokowi mengatakan tak berminat menjadi presiden tiga periode dan meyakinkan masyarakat bahwa ia akan tunduk kepada konstitusi. Namun pernyataan itu tak mencegah isu tersebut terus bergulir. Malah ada sejumlah deklarasi dukungan “Jokowi 3 periode”, yang melibatkan campur tangan orang dekat presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penolakan terhadap gagasan itu juga merebak. Penolakan datang dari masyarakat sipil dan politikus dari partai koalisi pendukung pemerintahan, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Untuk meredam kontroversi ini, dalam sidang kabinet paripurna pada Rabu, 6 April lalu, Jokowi menyampaikan agar para anggota kabinetnya menghentikan polemik tentang penundaan pemilihan umum dan perpanjangan masa jabatan presiden serta meminta mereka lebih berfokus mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat.
Marcus Mietzner, Guru Besar Madya Bidang Studi Indonesia di Australian National University, mengatakan dua isu itu tak akan berakhir sampai ada sikap tegas Presiden Jokowi. Ia memberi contoh sikap Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson pada 1968 yang mengatakan bahwa dia tidak akan meminta dan tidak akan menerima pencalonan partainya untuk periode berikutnya. “Kalau, misalnya, Presiden Jokowi mengatakan hal yang sama, semuanya akan jelas,” tuturnya dalam wawancara tertulis dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, dalam dua kali kesempatan, Kamis dan Jumat, 7 dan 8 April lalu.
Penulis buku Money, Power and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia ini menguraikan ada apa di balik isu penundaan pemilihan umum dan perpanjangan masa jabatan presiden ini, apa bahaya dari isu ini bagi demokrasi jika benar-benar terwujud, dan apa pengaruh oligarki terhadap kehidupan politik. Ia juga memberikan pandangan tentang hal-hal yang perlu dilakukan masyarakat sipil untuk menahan kemunduran demokrasi dan menyelamatkan agenda reformasi.
Bagaimana Anda melihat polemik mengenai penundaan pemilihan umum dan perpanjangan masa jabatan presiden ini?
Di negara demokrasi yang belum terkonsolidasi, munculnya ide menghilangkan pembatasan periode jabatan presiden atau penundaan pemilihan umum biasanya mengindikasikan kemunduran kualitas demokrasi. Di Bolivia, misalnya, Presiden Evo Morales mau maju pada pemilihan umum 2019 walaupun tidak dimungkinkan oleh konstitusi. Akibatnya, kondisi politik menjadi kacau dan demokrasi Bolivia mengalami krisis.
Presiden Jokowi sudah memberikan pernyataan, tapi mengapa tidak menghentikan kontroversi ini?
Saya setuju terhadap beberapa pernyataan pengamat yang mengatakan bahwa komentar Presiden Jokowi tentang itu sering bersayap. Dengan mengatakan bahwa dia akan taat pada konstitusi, tetap dibuka kemungkinan untuk maju kembali kalau konstitusi diubah. Pada 1968, Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson mengatakan bahwa dia tidak akan meminta dan tidak akan menerima pencalonan partainya untuk periode berikutnya. Kalau misalnya Presiden Jokowi akan mengatakan hal yang sama, semuanya akan jelas.
Permintaan Jokowi kepada para menteri untuk tidak membicarakan penundaan pemilihan umum atau perpanjangan jabatan bukan berarti Presiden Jokowi menolak dua hal itu. Dia cuma meminta kabinetnya untuk berfokus pada pekerjaannya. Sekali lagi, belum ada pernyataan Presiden Jokowi bahwa dia tidak akan maju lagi walaupun, misalnya, sekutunya di Majelis Permusyawaratan Rakyat mengubah konstitusi.
Apa sebenarnya yang membuat seorang presiden ingin menambah masa jabatannya? Apa dampaknya?
Sebenarnya, fakta bahwa seorang presiden ingin berlanjut itu hal yang biasa. Makin lama seorang pejabat memerintah, makin kuat kepercayaannya bahwa ia tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Justru karena itulah dibuat pembatasan periode jabatan. Semua sistem presidensial demokratis di dunia mempunyai peraturan seperti itu. Sebab, kalau tidak dibatasi, seorang presiden bisa saja mengemukakan berbagai macam alasan mengapa ia harus maju lagi. Alasan-alasan seperti itu kita sekarang dengar dari pembantu Presiden Jokowi juga.
Apa dampak penambahan masa jabatan presiden bagi demokrasi?
Pembatasan periode jabatan presiden di Indonesia termasuk amendemen konstitusi yang paling cepat dilakukan setelah Soeharto jatuh. Hal ini dianggap sangat penting dan ada konsensus antar-elite bahwa fenomena Sukarno dan Soeharto (yang berkuasa tanpa batas periode jabatan, dan akhirnya digulingkan) tidak boleh terulang lagi. Bahwa konsensus tersebut mulai hilang saat ini adalah suatu perkembangan yang mengkhawatirkan untuk demokrasi di Indonesia.
Peneliti dan aktivis menilai ada perubahan cukup besar antara pemerintahan Jokowi periode pertama dan kedua dalam menekan pengkritiknya.
Sebenarnya kecenderungan pemerintahan Jokowi untuk menghadapi para pengkritiknya dengan represi sudah kelihatan menjelang Pemilihan Umum 2019. Setelah pemilihan, tren tersebut makin kuat dan diperkuat lagi oleh pandemi. Gampang sekali bagi pemerintah untuk berargumentasi bahwa demonstrasi tidak diperbolehkan di tengah masa pandemi (seperti dalam kasus rancangan Undang-Undang Cipta Kerja), atau menghukum tokoh antipemerintah karena pelanggaran protokol kesehatan (seperti dalam kasus Rizieq Syihab). Maka perbedaannya antara periode pertama dan kedua hanya sebatas intensitas represinya.
Undang-Undang Cipta Kerja dan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi banyak ditentang tapi tetap disahkan. Apa yang menyebabkan pemerintah berani mengabaikan penolakan publik?
Di sini ada perbedaan antara Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono. SBY juga pernah mencoba mengamendemen Undang-Undang KPK dan Undang-Undang Ketenagakerjaaan, tapi dia berubah pikiran setelah protes keras muncul dari masyarakat. Jokowi lebih bersedia untuk mengabaikan protes tersebut. Tangan Jokowi lebih dingin dalam hal itu.
Anda pernah menyebutkan ihwal koalisi supermayoritas di Indonesia. Seperti apa bentuknya?
Sebetulnya yang namanya “presidensialisme koalisional” bisa ditemukan di banyak negara, khususnya di Amerika Latin. Tapi yang agak unik di Indonesia adalah bahwa koalisi tersebut bukan hanya terdiri atas partai politik. Wakil dari militer, polisi, birokrasi, dan organisasi Islam juga masuk dengan hak yang hampir sama dengan wakil partai politik. Artinya, koalisi Indonesia bukan hanya berfokus pada parlemen, tapi pada masyarakat secara keseluruhan.
Apa dampak koalisi supermayoritas ini? Bukankah posisi mayoritas sering kali justru bisa mengamankan kebijakan pemerintah, terutama dalam bidang ekonomi?
Koalisi supermayoritas bisa menjamin stabilitas politik karena semua kekuatan sosial-politik terakomodasi. Tapi harga akomodasi itu sangat mahal. Presiden tidak bisa menjalankan suatu kebijakan yang berpotensi melawan kepentingan anggota-anggota koalisinya. Karena itu, reformasi politik secara radikal tidak dimungkinkan dan interaksi antar-anggota koalisi berfokus pada distribusi patronase ekonomi. Artinya, walaupun sistem politiknya stabil, terjadi stagnasi atau regresi kualitas demokrasi karena reformasi institusional terhambat oleh kepentingan individual dan kolektif anggota koalisi.
Apakah koalisi supermayoritas ini berkontribusi bagi regresi demokrasi di Indonesia?
Regresi demokrasi terjadi di seluruh dunia dan Indonesia menjadi bagian dari tren tersebut. Kebebasan berekspresi makin dibatasi, konservatisme sosial dan agama makin kuat, serta pemegang kekuasaan tambah berani dalam merepresi pengkritik pemerintah. Semua fenomena tersebut ada di Indonesia juga. Harus diingat pula bahwa perkembangan tersebut tidak dimulai dengan Jokowi. Penurunan kualitas demokrasi di Indonesia dimulai pada periode kedua SBY.
Berkaca dari politik di negara lain, apa penyebab utama fenomena ini? Faktor apa yang lebih dominan di Indonesia?
Ada banyak faktor. Naiknya konservatisme agama dan sosial sebenarnya akibat demokratisasi juga. Keterbukaan politik di era pasca-Soeharto memberikan ruang kepada aktor-aktor yang mempunyai agenda diskriminasi terhadap kelompok minoritas. SBY tidak berani melawan tren tersebut dengan cara demokratis dan karena itu hal tersebut berkembang menjadi masalah besar untuk demokrasi Indonesia. Jokowi akhirnya melawan kelompok intoleran dengan cara represif dan kualitas demokrasi menurun lebih cepat lagi. Selain itu, ketidakmerataan ekonomi memberikan peluang kepada aktor populis untuk mencari dukungan elektoral dengan menyerang sistem demokratis yang ada. Masih ada banyak faktor yang lain, seperti klientelisme politik dan pengaruh politik aktor keamanan seperti militer, polisi, dan BIN (Badan Intelijen Negara).
Bagaimana peran oligarki dalam politik Indonesia saat ini?
Sulit dibantah bahwa para oligark mempunyai peran yang sangat besar dalam politik Indonesia, baik secara formal maupun informal. Mereka juga menjadi bagian dari koalisi supermayoritas itu. Representasi mereka dalam kabinet saat ini paling tinggi dalam sejarah Indonesia. Namun harus diingat juga bahwa mereka tidak menduduki semua posisi politik yang penting. Seperti aktor-aktor yang lain, mereka harus berkompromi dengan presiden dan kelompok koalisi lain untuk memperjuangkan kepentingan mereka.
Bagaimana oligarki itu bisa berpengaruh terhadap agenda reformasi dan demokratisasi?
Melalui representasi formal di kabinet, Dewan Perwakilan Rakyat, dan lembaga lain serta sebagai sponsor politik calon-calon di pemilihan umum. Banyak oligark berpengaruh di belakang layar, ada juga yang bermain paling depan sebagai ketua partai atau menteri.
Dengan situasi politik seperti saat ini, ada pesimisme terhadap peran partai politik. Apa pendapat Anda tentang itu?
Partai politik dirugikan oleh tren personalisasi yang makin kuat sejak 2009. Sistem proporsional terbuka memperlemah partai politik dan memperkuat calon perorangan yang hanya memakai partai sebagai perahu pencalonan. Mau tidak mau, kalau partai ingin diperkuat lagi, mereka harus kembali ke sistem proporsional tertutup seperti pada 1999. Hanya dalam keadaan seperti itu partai politik bisa memainkan peran penting dalam demokratisasi. Memang, sistem proporsional tertutup ada beberapa kelemahan juga, tapi bila dibandingkan dengan sistem saat ini, ia lebih unggul. Indonesia juga bisa mencoba sistem campuran antara proporsional tertutup dan sistem distrik seperti di Jerman, misalnya.
Apakah partai politik masih bisa diharapkan untuk menjaga demokrasi dan mengusung agenda reformasi?
Tentu saja ada harapan, tapi itu memerlukan reformasi institusional yang sangat luas. Selain reformasi sistem pemilihan umum, diperlukan reformasi sistem pendanaan politik. Kebanyakan calon partai politik saat ini membiayai kampanyenya sendiri atau mereka dibiayai oleh sponsor luar. Itu berarti kebanyakan calon yang maju adalah pengusaha atau orang yang bergantung pada pengusaha. Di banyak negara dengan demokrasi yang sudah terkonsolidasi, ada pembiayaan calon dan partai oleh negara. Di Indonesia ada juga, tapi sangat kecil. Dalam jangka panjang, pendanaan negara kepada partai dan calon harus ditingkatkan supaya orang yang tidak kaya atau yang tidak mau bergantung pada sponsor “hitam” juga bisa maju dalam pemilihan umum.
Apa yang bisa dilakukan publik atau masyarakat sipil agar bisa menahan kemunduran demokrasi dan mempertahankan agenda reformasi 1998?
Saat demonstrasi mahasiswa melawan revisi Undang-Undang KPK pada 2019, kelihatan sekali bahwa pemegang kekuasaan takut. Gerakan tersebut merupakan yang paling besar dalam 20 tahun terakhir ini. Namun pemerintah berhasil membubarkan gerakan tersebut dengan berbagai ancaman dan janji. Kalau aktivis-aktivis ingin memperjuangkan agenda reformasi, mereka harus mempelajari pengalaman gerakan 2019, baik dari segi kesuksesan maupun kegagalannya.
Marcus Mietzner
Tempat, tanggal lahir: Friedberg, Jerman, 5 Mei 1972
Pendidikan:
• PhD Political Science, Australian National University, 2005, dengan disertasi “Indonesian Civil-Military Relations: The Indonesian Armed Forces and Political Islam in Transition, 1997-2004”
• Master of Arts, Southeast Asian Studies, Goethe University, Frankfurt, 1997, dengan tesis
“Ambonese vs Indonesian Nationalism: Ideology, Politics and Historiography in the South Moluccas”
Pekerjaan:
• Civil-Military Relations Advisor, USAID Office of Transition Initiatives, Jakarta, 1999-2001
• Program Development Specialist, Development Alternatives, Inc., USAID Program Support Initiative, Jakarta, 2001-2004
• Program Development Specialist, Development Alternatives, Inc., Support for Peaceful Democratization Project, Jakarta, 2004-2007
• Guru Besar Madya Bidang Studi Indonesia di Department of Political and Social Change, School of International, Political, and Strategic Studies College of Asia and the Pacific, The Australian National University
Buku:
• Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia, 2013
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo