Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Tumbangnya Hutan Terakhir Pagai Utara

Hutan terakhir di Pulau Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, ditebang. Kayunya untuk modal pembangunan kebun bibit tanaman minyak atsiri.

 

9 April 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Koperasi Minyak Atsiri Mentawai mendapatkan izin Pemanfaatan Kayu Kegiatan Non Kehutanan (PPKNK) dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat pada 26 Agustus 2021.

  • pada Juli 2019, Koperasi telah mengantongi izin lingkungan untuk perkebunan tanaman minyak atsiri seluas 1.500 hektare dari Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet.

  • Koalisi Peduli Hutan Mentawai mendesak Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat mencabut izin PPKNK karena memiliki dampak lingkungan yang besar.

DARI kejauhan, Estranus Siritoitet, 66 tahun, mengawasi gerakan buldoser yang membuka jalan ke dalam hutan di Dusun Maguiruk, Desa Silabu, Pagai Utara, Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat. Raungan mesin alat berat itu ditimpali bunyi kayu patah dan semak belukar yang terlindas roda rantai. Sesekali terdengar bunyi pohon tumbang yang diikuti suara burung-burung beterbangan ke udara. “Di dalam banyak pohon besar yang sudah ditebang. Kalau tak segera dikeluarkan bisa busuk,“ kata Estranus, Rabu, 9 Maret lalu.

Gelondong-gelondong kayu dikumpulkan di tempat penumpukan dekat Estranus berdiri. Lahan seluas lapangan sepak bola itu tadinya berupa hutan dengan tegakan pohon besar dan kecil. Di atas lahan itu terdapat puluhan gelondong jenis meranti, keruing, dan katuka. Pada tiap kayu tertempel kertas kuning berisi barcode dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada juga huruf “ES” dari cat putih pertanda inisial pemilik kayu.

Akhir tahun lalu, Estranus mewakili keluarga besarnya menyerahkan lahan yang berhutan kepada Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. Koperasi yang dipimpin bekas Bupati Kepulauan Mentawai, Edison Saleleubaja, itu membuka hutan lahan untuk dijadikan kebun serai wangi yang menghasilkan minyak atsiri. “Kami perlu uang untuk kebutuhan keluarga, untuk beli rokok,” tutur Estranus ihwal alasan menyerahkan lahannya.

Estranus memperkirakan luas hutan sukunya 400 hektare. Saat ini, kata dia, baru 2 hektare yang dibuka. Sebatang pohon berdiameter 50 sentimeter ke atas akan dihargai Rp 125 ribu. Sebagai tanda jadi, menjelang Natal tahun lalu, Estranus meminta pinjaman Rp 300 juta ke Koperasi. Awal Januari lalu pinjamannya cair, tapi cuma Rp 10 juta. Setelah dibagi-bagi ke semua keluarga, masing-masing mendapatkan Rp 300 ribu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pohon yang baru ditebang untuk kebun tanaman atsiri di hutan Silabu, Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat/Tempo/Febrianti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Estranus, tidak semua keluarga di sukunya sepakat menyerahkan lahan tersebut. Saudara laki-lakinya yang tertua dan keponakannya tidak setuju. “Jadi kami saling diam-diam saja. Saya katakan, kalau mereka tidak setuju, bagi dua saja lahannya,” ucap Estranus.

Koperasi Minyak Atsiri Mentawai mendapat izin pemanfaatan kayu kegiatan nonkehutanan (PKKNK) dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat pada 26 Agustus 2021. Sebelumnya, pada Juli 2019, Koperasi telah mengantongi izin lingkungan untuk perkebunan tanaman minyak atsiri seluas 1.500 hektare dari Bupati Yudas Sabaggalet. Sebagian masyarakat menolak penebangan pohon karena merasa tak pernah menyerahkan lahannya.

Ritawarti Sakerebau (53), salah seorang pemilik lahan, bercerita, pada Agustus 2021 pohon-pohon di hutan milik keluarganya tiba-tiba ditandai cat merah untuk siap ditebangi. Ayahnya yang sudah meninggal juga disebut telah menyerahkan lahannya ke Koperasi. Padahal lahan itu merupakan warisan keluarga. Ritawarti lalu mendatangi kantor Koperasi. “Kalau tidak setuju, lahannya tak akan diolah, tapi harus membuat batas,” kata Ritawarti menirukan ucapan pengurus Koperasi.

Ritawarti dan dua adik perempuannya harus menelan kecewa karena adik laki-laki dan sepupunya menyetujui penyerahan lahan. “Itulah lemahnya kedudukan perempuan,” tuturnya. Ia menyayangkan hilangnya hutan keluarga yang memiliki banyak pohon besar dan dihuni berbagai satwa seperti rusa, burung, dan primata itu. “Itu hutan terakhir di Pagai Utara, karena sebagian besar pohon sudah habis ditebangi perusahaan pemegang HPH (hak pengelolaan hutan),” ujarnya.

Waris Sakarebau, warga Silabu yang  menjadi anggota pertama Kopeasi Minyak Atsiri Mentawai, juga menolak menyerahkan lahannya. Ia ikut Koperasi pada 26 Oktober 2018 bersama 50 orang lain. Edison mengatakan Koperasi itu akan membuat usaha minyak atsiri. Anggota akan diberi bibit serai wangi dan bisa meminjam uang ke Koperasi. Edison juga meminta semua anggota membuat lubang untuk serai wangi di kebun belakang rumah masing-masing.

Waris menggali seribu lubang berukuran 30 x 30 x 30 sentimeter. Tiga tahun berlalu, bibit serai yang dijanjikan tak pernah ada. “Saya kerap tergelincir ke lubang itu. Sekarang saya tanami ubi,” kata Waris. Lalu ia mendengar Koperasi akan membuka hutan untuk membuat kebun atsiri, termasuk di hutan milik sukunya. Waris dan sukunya menolak. “Pohon sangat kami perlukan untuk bangun rumah, sampan, dan peti. Itu masa depan anak-anak,” ujarnya.

Koalisi Peduli Hutan Mentawai, yang terdiri atas Forum Mahasiswa Mentawai, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Barat, Lembaga Bantuan Hukum Padang, dan Yayasan Citra Mandiri Mentawai, mendesak Dinas Kehutanan Sumatera Barat mencabut izin PKKNK Koperasi Minyak Atsiri Mentawai karena memiliki dampak lingkungan yang besar. “Kebun atsiri hanya dalih saja untuk mengambil hasil kayu di hutan itu,” ucap Eko Pintalius Zebua, Ketua Koalisi Penyelamat Hutan Mentawai.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kepulauan Mentawai Yosep Sarogdok juga meminta Dinas Kehutanan Sumatera Barat mencabut izin PKKNK untuk Koperasi Minyak Atsiri Mentawai. “Yang disasar Koperasi Minyak Atsiri adalah potensi kayu, kami sudah bisa petakan. Kalau memang minyak atsiri itu yang potensial, kenapa tidak di lahan masyarakat yang ada?” kata Yosep.

Pembangunan kebun tanaman minyak atsiri itu, Yosep menjelaskan, juga tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kepulauan Mentawai 2015-2035 yang tak membolehkan perkebunan skala besar. Menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2015, Pagai Utara hanya dialokasikan untuk perkebunan skala kecil.

Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat Yozarwardi mengatakan izin PKKNK itu diberikan karena ada hutan di atas lahan untuk perkebunan dan ada hak negara dari penerimaan bukan pajak. “Pelaksanaannya sudah diverifikasi di lapangan. Kalau ada masyarakat yang tidak setuju nanti kami klusterkan dan akan dikeluarkan dari lokasi PKKNK,” tutur Yozarwardi dalam pertemuan dengan DPRD Sumatera Barat, 7 Januari lalu.

Pekerja mengelupasi kulit pohon meranti yang baru ditebang Koperasi Minyak Atsiri Mentawai dari hutan di Silabu, Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat/Tempo/Febrianti

Ditemui di kantor Koperasi Minyak Atsiri Mentawai di Jalan Lingkar, Nemnem Leleu, Kecamatan Sikakap, Pagai Utara, Edison mengatakan serai wangi yang ditanam untuk bibit mengalami kekeringan sehingga mati. Pihaknya membuka hutan karena membutuhkan modal. “Kalau tidak mengambil kayu dari mana saya dapat modal? Membangun perkebunan atsiri itu butuh Rp 34 miliar,” kata Edison, Kamis, 10 Maret lalu.

Karena tidak memiliki alat berat, Edison Saleleubaja menjelaskan, Koperasi bermitra dengan PT Satu Karya Mandiri Pratama untuk membuka hutan dan membeli kayunya. “Untuk satu kubik kayu, Koperasi mendapat Rp 135 ribu. Sebesar Rp 35 ribu diberikan kepada masyarakat dan Rp 100 ribu untuk modal Koperasi membangun kebun inti untuk bibit tanaman atsiri,” tutur Edison yang menjabat Bupati Kepulauan Mentawai 2001-2011.

Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet mengatakan penebangan hutan oleh Koperasi Minyak Atsiri Mentawai dilakukan tanpa setahunya karena ia hanya memberi izin untuk perkebunan atsiri pada 2019. “Dulu Pak Edison datang pada saya. Dia mau membuat koperasi atsiri untuk kebun induknya 10 hektare, sedangkan kebun lainnya masyarakat yang mengelola. Itu kan bagus,” kata Yudas, Sabtu, 12 Maret lalu.

Menurut Yudas, persoalan perizinan seperti ini merupakan dampak Undang-Undang Cipta Kerja. “Terlalu gampang mendapatkan izin dan semua orang bisa. Sekarang di Kepulauan Mentawai sedang marak-maraknya pengurusan izin untuk eksploitasi hutan, ada HPH, ada PKKNK. Jangankan rekomendasi, kita di sini dikasih tahu juga tidak,“ tuturnya.

Selama menjabat Bupati Kepulauan Mentawai, Edison mengeluarkan 30 izin pemanfaatan kayu (IPK) untuk perkebunan dengan luas total 31.244 hektare. Setelah semua hutan itu ditebang, tidak satu pun pemilik IPK yang mewujudkan perkebunan yang direncanakan. Pendapatan asli daerah Kepulauan Mentawai dari IPK ini juga tidak ada alias nol rupiah.

___

Liputan ini mendapat dukungan Rainforest Journalism Fund The Pulitzer Center.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Febrianti

Febrianti

Kontributor Tempo di Padang

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus