Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ini Evakuasi Terbesar Pemerintah

13 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketegangan akibat serangan udara terhadap pemberontak Syiah Houthi di Yaman merambat sampai ke kantor Kementerian Luar Negeri Indonesia. Musababnya, per September tahun lalu, tercatat ada lebih dari 4.000 warga Indonesia yang menetap di sana. Bahkan 23 orang sempat ditahan otoritas Yaman, sampai akhirnya dibebaskan pada 30 Maret lalu.

Selang tujuh bulan sejak pemerintah mengimbau warga Indonesia untuk bersedia dievakuasi, kini "tinggal" 2.000-an yang belum balik ke Tanah Air. Sebagian dari mereka memang ogah pulang kampung, tapi sebagian lainnya kesulitan menyentuh titik kumpul jalur evakuasi.

Sebanyak 89 mahasiswa Indonesia di Aden, misalnya, Selasa pekan lalu terpaksa "balik kanan" karena gagal mencapai pelabuhan untuk dievakuasi lewat jalur laut. Padahal kapal bermuatan 200 orang yang disewa pemerintah Indonesia dari Djibouti sudah menunggu di bibir pelabuhan selama hampir 24 jam. Walhasil, tim evakuasi yang beranggotakan TNI, polisi Indonesia, dan wakil Kementerian mesti menjajal skenario lain. Salah satunya lewat darat.

Sejumlah skenario yang menuntut militansi tim evakuasi itu membuat Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Bantuan Hukum Indonesia Lalu Muhammad Iqbal ketar-ketir. "Kadang ke teman yang bertugas di sana, kami bukannya meminta mereka untuk berani," kata Iqbal kepada Isma Savitri, Natalia Santi, dan fotografer Frannoto dari Tempo di ruangannya, Rabu petang pekan lalu. "Kami malah sering bilang ke tim, 'Be realistic, guys.' Karena kadang mereka terlalu militan menyelamatkan orang."

Pemulangan WNI di Yaman disebut Iqbal sebagai evakuasi terbesar yang pernah dilakukan pemerintah selama ini. Selain karena melibatkan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, sekaligus Badan Intelijen Negara, itu lantaran memakai skenario evakuasi jalur laut, udara, dan laut sekaligus.

****

Bagaimana perkembangan terakhir proses evakuasi?

Yang sudah pulang lebih dari seribu orang. Kami memperkirakan ada yang tidak masuk hitungan kami, yakni 1.448 pekerja di perusahaan gas dan minyak. Sejak tahun lalu, mereka sudah berkomunikasi dan mengatakan punya rencana evakuasi sendiri. Lalu ada 2.000 WNI di Hadramaut, 1.500 di Tarim, dan 500 di Al-Mukalah, yang kondisinya lebih stabil. Sekitar 2.000 orang yang ditargetkan untuk evakuasi itu terkonsentrasi di Hadramaut.?

Apa saja skenario evakuasi yang dijalankan?

Evakuasi Yaman merupakan yang terbesar yang pernah dilakukan Kementerian Luar Negeri. Ini pertama kalinya proses evakuasi menggunakan jalur darat, laut, udara. Juga evakuasi pertama yang prosesnya melibatkan Polri, TNI, dan Badan Intelijen Negara. Ini mungkin terjadi karena hubungan kolegial antara Menteri Luar Negeri, Wakil Kepala Polri, Panglima TNI, dan Kepala Badan Intelijen Negara yang kuat. Maka, begitu di sana terjadi serangan udara, kami langsung bereaksi dan mempersiapkan evakuasi.

Kunci politik luar negeri yang efektif adalah ketika hubungan di antara pimpinan instansi berlangsung sangat kolegial, juga dengan pimpinan negara lain. Tengah malam kemarin (7 April) Menteri Luar Negeri berkomunikasi dengan Menteri Pertahanan Arab Saudi karena pesawat kami kesulitan mendarat di Jizan. Sejak awal kami memang tidak punya izin mendarat di sana. Skenario itu kami ambil karena pesawat batal mendarat di Salalah, Yaman. Proses itu menjadi sangat mudah ketika dilakukan secara kolegial oleh Menteri Luar Negeri dengan mitra di mancanegara.

Sebelumnya proses evakuasi tak sekompleks ini?

Saya tidak bilang begitu. Tapi saya bilang bahwa kalau ada sesuatu yang berlangsung baik dalam kasus ini, itu adalah karena hubungan kolegial antara Menteri Luar Negeri dan mitra di dalam dan luar negeri. Kedua, karena memang kerja timnya bagus.

Siapa saja yang tergabung dalam tim yang mengevakuasi WNI di Yaman?

Ada polisi, tentara, dan teman dari Kementerian Luar Negeri. Mereka sebelumnya pernah terjun untuk evakuasi di Tunisia, Tripoli, Damaskus, dan Kairo. Jadi sudah terlatih baik. Mereka juga terlatih menangani situasi krisis karena pernah mendapat pelatihan badan PBB UNHCR. Tidak mengherankan kalau ada orang sukar masuk ke Yaman, sementara mereka (tim evakuasi) mudah saja masuk lewat Al-Hudaydah, bahkan disambut baik warga setempat. Di bagian barat Yaman, ada 15 orang yang bergabung dalam tim, sedangkan di sebelah timur ada 8 orang. Di barat, anggota timnya banyak karena tantangannya juga lebih banyak, walau jumlah WNI-nya tidak sebanyak di timur.

Bagaimana dinamika di tiap wilayah itu?

Tim timur dipimpin Yusron Ambary. Di daerah itu butuh orang yang punya kemampuan persuasif, yang bisa bahasa "nyantri", karena kebanyakan WNI di sana adalah pelajar. Saat awal tim Yusron datang, hanya 50 orang yang mau dievakuasi. Dalam tiga hari, sudah hampir 500 orang mau ikut evakuasi. Mereka juga melakukan pendekatan dengan pimpinan universitas dan pesantren. Kampus yang dulunya keras tak mengizinkan mahasiswanya mengikuti proses evakuasi belakangan berubah pikiran. Mereka memberikan dua opsi: kalau konfliknya jangka pendek, mahasiswa Indonesia boleh kembali dan menyelesaikan sekolah. Kalau konflik berlangsung lama, mahasiswa Indonesia diminta meneruskan ke cabang kampus mereka di Cirebon, Al-Aqaf. Karena ini misi kemanusiaan, pendekatannya harus sangat humanis.

Bagaimana dengan yang di barat?

Tim di bagian barat, termasuk di wilayah Al-Hudaydah, dipimpin Susapto Broto. Pendekatannya sangat humanis karena ini misi kemanusiaan. Kepada warga setempat, mereka menyatakan diri sebagai orang yang bersahabat dengan bangsa Yaman.?Tentu dengan bahasa Arab. Karena kebetulan banyak konflik terjadi di negara Arab, sumber daya manusia kami banyak yang bisa bahasa Arab.?Nyali mereka ini bolehlah. Ke teman yang bertugas di sana kami bukannya meminta mereka untuk berani, tapi untuk realistis. Itu karena kadang mereka terlalu militan menyelamatkan orang.

Dalam proses ini, Anda menjalin komunikasi dengan siapa saja?

Saya berkomunikasi dengan ICRC (Palang Merah Internasional) di Salaah. Kami notifikasi butuh bantuan, dan ternyata mereka punya masalah juga dalam menyalurkan bantuan ke Aden, tempat WNI kita banyak terkonsentrasi. Jadi akhirnya dia menyarankan WNI tetap tinggal dulu di sana.

Kenapa malah aman bertahan di Aden?

Menurut ICRC tempat itu aman ditinggali, daripada mereka keluar dari sana. Fasilitas seperti sekolah juga bukan target serangan.

Puluhan mahasiswa di Aden kemarin kesulitan dievakuasi lewat jalur laut. Apakah tim membuka kemungkinan evakuasi jalur darat?

Prinsipnya, kalau melakukan evakuasi itu tidak boleh menutup satu opsi. Jadi akan kami evaluasi dari waktu ke waktu. Kalau jalur darat, nanti lewat Al-Hudaydah. Karena itu lokasinya strategis, juga punya bandara dan pelabuhan. Dari Aden ke Hudaydah sekitar enam jam perjalanan. Ke Arab Saudi juga dekat, lima-enam jam. Al-Hudaydah juga berposisi di antara dua kota konflik, Sana'a dan Aden.

Sebagian WNI emoh balik ke Indonesia karena masih punya tanggungan sekolah. Bagaimana sikap tim evakuasi?

Itu tantangan tersendiri. Prinsipnya, kami tidak dalam posisi memaksa WNI di Yaman pulang. Karena sebetulnya itu adalah pilihan individu. Tapi, di sisi lain, pemerintah punya tanggung jawab perlindungan, sesuai dengan undang-undang. Tanggung jawab itu kami lakukan dengan menjelaskan pentingnya evakuasi, dan menjelaskan pandangan kami. Mungkin perspektif kami agak berbeda dengan sebagian teman di sana. Perspektif kami lebih luas karena sudah beberapa kali menangani konflik. Kami menilai ini ekskalasinya belum sampai puncak. Yang kami takutkan adalah kalau kami tidak punya opsi lagi.

Kondisi seperti apa itu?

Ketika kami sudah enggak bisa masuk Yaman lagi. Itu pentingnya kami memberi imbauan seoptimal mungkin saat ini. Bahwa kami sudah sediakan fasilitasnya, kami kirim orang dengan peralatan yang lengkap, dan kami tanggung biaya evakuasi sampai ke daerah asal.

Apakah situasi memang cepat berubah di sana?

Lihat saja peristiwa di Al-Mukalla pada 1 April lalu. WNI di sana masih ingin melanjutkan sekolah karena kondisinya masih baik. Esoknya serangan udara mulai terjadi ke penjara Al-Mukalla, untuk membebaskan 20 anggota Al-Qaidah. Itu menunjukkan kondisinya sangat labil. Tidak ada jaminan kondisi akan lebih baik setelah ini.

Kalau sampai hal yang tidak diinginkan terjadi, sementara evakuasi belum tuntas, pemerintah sudah tidak bisa disalahkan?

Arahan Menteri Luar Negeri, selama ada WNI yang butuh bantuan, kami akan membantu. Tapi batasan kami akan semakin kecil ketika kondisi makin sulit.

Akan memakai opsi mengirim kapal perang untuk proses evakuasi?

Kami sudah memikirkan itu, tapi tampaknya bukan pilihan efektif walau tidak tertutup kemungkinan. Sebab, kalau kapal perangnya kita kirim dari Beirut, prosesnya akan sangat panjang sampai ke Yaman. Ada juga kapal hidro yang sekarang ada di Port Said, Terusan Suez. Kapal itu baru bisa masuk Yaman dalam tujuh hari.

Kapal yang selama ini kita pakai dari Djibouti ke Aden itu milik siapa?

Itu kapal sewa dari Djibouti.

Berapa biaya sewanya?

Empat kali dibanding biaya normal. Kami enggak ada pilihan dan itu pun berebut. Kapal memang banyak di sana, tapi enggak semuanya berani masuk Yaman. Yang kami sewa adalah kapal dengan trayek sehari-hari Aden-Djibouti, sehingga sangat mengenal medan. Ukuran kapalnya memang kecil, kapasitasnya hanya 200 orang. Tapi, semakin besar kapal, manuvernya semakin lambat. Nah, kapal kita yang kecil itu bisa masuk langsung ke pelabuhan. Sayangnya, ada warga kita yang tidak bisa dievakuasi waktu itu.

Kemarin sempat ada puluhan WNI di Aden yang batal masuk kapal. Bagaimana ceritanya?

Waktu itu kapalnya sudah ada, tapi WNI-nya tidak ada. Padahal kapal sudah menunggu 24 jam. Akhirnya kami putar strategi. Orangnya jalan dulu, baru kapalnya jalan. Perjalanan kapal butuh sepuluh jam. Jadi, kalau malam ini misalnya saya minta kapal bergerak, besok sudah sampai.

Koordinasinya seperti apa?

Duta Besar RI Imam Santoso yang di Addis Ababa, Ethiopia, bergerak ke Djibouti. Lalu ada tim di Aden dan Jakarta juga yang mengamati pergerakan. Ini kadang dilematis. Kami semula meminta WNI di sana jalan duluan ke pelabuhan, sementara otoritas Yaman baru kasih izin mereka merapat ke pelabuhan kalau kapal sudah tersedia. Di sisi lain, kapal juga enggak bisa tinggal terlalu lama di pelabuhan, maksimal 24 jam.

Tapi perkembangan proses evakuasi di Yaman sepertinya positif….

Pada15 September 2014, pertama kali masuk Sana'a kami sudah mengimbau teman-teman untuk pulang, tapi yang mau hanya 332 orang. Begitu istana terkepung, kami perkuat imbauan, tapi yang mau hanya 178 orang. Setelah ada serangan, baru minat mendaftar evakuasi tinggi.

Sekolah di Sana'a tidak diliburkan?

Iya. Dilematisnya adalah saat keluarga di Indonesia minta anaknya dipulangkan, tapi anaknya sendiri enggak mau.

Kami mendengar tim evakuator pernah sampai ganti enam mobil untuk bergeser dari Salalah. Benarkah?

Itu di Salalah. Mereka dipinjami mobil perusahaan Medco, tapi cuma bisa sampai perbatasan. Akhirnya, ya, mereka ganti mobil enam kali baru bisa tiba di Tarim.

Jadi betul-betul susah akses menuju Tarim?

Iya. Dalam perjalanan masuk itu ada dua aspek: dia sendiri sedang berusaha bergerak ke Tarim atau observasi untuk memastikan jalur ini nantinya bisa dipakai untuk evakuasi. Jadi dia membuka jalur, bicara dengan warga yang ditemui di sepanjang perjalanan, mengatakan bahwa nanti akan ada WNI yang lewat di sini.?Seperti kulo nuwun-lah.

Warga di sana kenal orang Indonesia?

Pastilah. Pelajar yang di sana sebagian besar orang Indonesia. Itu jadi keuntungan kami dalam melakukan operasi. Semua pihak mudah menerima, seperti halnya di Tripoli dan Damaskus.?Hebatnya, teman-teman eks tim Damaskus masih membina hubungan dengan teman di sana. Hubungan yang dibangun ini aset, bisa ditransfer ke tim berikutnya. Ini berlaku sama dengan kasus di Yaman.?

Ada beberapa WNI yang semula ditahan akhirnya bisa dibebaskan?

Ini sekali lagi karena hubungan baik. Kami membebaskan mereka sehari setelah tahu kabar itu.

Mereka ditahan karena apa?

Karena situasi konflik mereka kesulitan memperpanjang izin tinggal. Mereka sebenarnya ingin ikut evakuasi karena itu datang ke Sana'a. Di sana mereka tidak punya tempat tinggal, maka tidur di masjid. Setelah itu, mereka ditangkap. Kami mendapat pemberitahuan, dan kami datangi. Akhirnya dilepaskan setelah kami jelaskan ini sedang situasi konflik.

Baiklah, kita beralih ke soal 16 WNI yang disebut-sebut terkait dengan ISIS dan ditangkap. Bagaimana keadaan mereka?

Baru 12 orang yang sudah kembali ke Indonesia. Yang menjadi perhatian kami adalah ada orang yang mau ke Suriah, sementara kami sudah memberi peringatan agar jangan bepergian ke negara itu. Apalagi mereka membawa anak. Dengan keinginan mereka bekerja, itu bukan tempat yang ramah bagi anak.

Apakah mereka memang akan bergabung dengan ISIS?

Kami tidak berani mengambil kesimpulan bahwa mereka terkait dengan ISIS. Di Suriah sendiri ada banyak kelompok selain ISIS. Informasi lanjutannya seperti apa, itu sekarang di Polri. Ini kalau mau deportasi semestinya police to police dari kepolisian Turki. Persyaratannya, jika dalam waktu 24 jam tidak ditemukan bukti, mereka harus diserahkan ke Kementerian Sosial.

Tapi mereka sudah telanjur dikaitkan dengan ISIS….

Banyak persoalan yang muncul. Media menganggap mereka ISIS, begitu pula masyarakat. Nah, ketika kembali, belum tentu mereka nanti diterima warga. Itu sebabnya kami berhati-hati melabeli sesuatu karena dampaknya pada anak sangat besar.?Coba tanyakan ke Kementerian Sosial apa yang terjadi. Sedih itu. Mereka sekarang sedang disembuhkan traumanya di daerah Bambu Apus, Jakarta Timur.

Yang 16 orang lain dan ikut datang dengan sebuah agen perjalanan apakah belum ketemu?

Belum, tapi masih pendeteksian oleh polisi. Yang unik adalah angka 16-nya. Itu ternyata sesuai dengan kapasitas mobil untuk masuk ke perbatasan. Sebelumnya banyak yang bertanya-tanya soal itu.

Dr Lalu Muhammad Iqbal
Tempat Dan Tanggal Lahir: Praya, Lombok, 10 Juli 1972
Pengalaman Kerja Di Kementerian Luar Negeri: L Staf Sub-direktorat Asia Tenggara, Direktorat Asia-pasifik, Ditjen Politik (1998-2001) L Sekretaris Iii, Kasubid Pensosbud/konsuler, Kbri Bukares (2001-2005) L Staf Direktorat Politik Khusus, Ditjen Multilateral I (2005-2006) L Kepala Seksi Kejahatan Terorganisasi Lintas Negara, Sub-direktorat Kejahatan Lintas Negara, Direktorat Keamanan Internasional Dan Perlucutan Senjata, Ditjen Multilateral (2006-2008) L Konselor Politik Kbri/ptri Wina (2008-), Kasubdit Perlindungan Wni Di Indonesia (2012-2014) L Pelaksana Tugas Direktur Perlindungan Wni Dan Bhi (2014-)
Pendidikan Fungsional/diplomatik: L Sekdilu/caraka Muda Ii (1998), L Sesdilu Angkatan 38 (2007) L Sesparlu 48 (2013)
Riwayat Pendidikan Tinggi: L S-1: Jurusan Hubungan Internasional, Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (1991-1996) L S-2: Magister Hubungan Internasional, Universitas Indonesia (1998-2000) L S-3: Doctor Of Political Science, Universitas Bukares, Rumania (2002-2005)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus